Dinginnya pagi menggetarkan hati. Kelopak mawar mekar, mengundang
lebah untuk menghisap sari. Embun. Menempel di beberapa pucuk dedaunan.
Dedaunan itu ada yang hijau. Dan ada juga yang mengering, hingga garing. Waktu
berdering. Seluruhnya menjadi bising. Semuanya menjadi asing. Bahkan hatiku
kini berhenti bergetar. Menyadari jika waktuku tinggal sebentar.
Sekolah itu, mati. Tak ada seorangpun yang berkelekar. Sunyi.
Benar-benar sunyi. Mereka mencoba
memikirkan. Tapi tak ada waktu untuk melamun. Semua kembali menjadi sebuah
dinding. Kenapa bisa dinding? Karena semua mengurung dirinya sendiri. pada
pikiran sendiri. Berpikir dengan kepercayaan sendiri. Berdiam diri dalam tempatnya sendiri.
Sebagian. Tapi sebagian itu cukup banyak untuk dihitung dengan rambut sendiri.
sehingga kita juga memerlukan rambut orang lain. tapi nyatanya kita tetap
mementingkan diri sendiri. sehingga lebih memilih menempelkan rambut orang lain
pada rambut kita sendiri.
Sebuah dinding, hanyalah sebuah benda bisu, tidak bisa mencelatu, ditempeli debu. selalu membeku. dan tak serta merta bisa mabur. Usul?
Seorang anak kecil memberi usulan kepada gurunya
“Bu guru. Sekolah kita kok seperti kandang babi... bau, bulug, dan
gedungnya buruk?” dengan polosnya dia berkata seperti itu
“HEI!!! KENAPA KAMU BERKATA SEPERTI ITU!?” Sang guru marah sambil menjewer
kuping muridnya
“Aduh....duh.... maaf bu guru.... ampuun....” anak kecil itu
meronta. Rupanya dia sudah kapok. Sehingga tak berani lagi untuk berkomentar
dan mengemukakan pendapat. Hanya pasrah dengan segala fasilitas yang ada, hanya
pasrah dengan segala sesuatu yang ada. Temannya yang lain pun berdiam. Tak ada
yang berani berbicara. tak ada yang berani melawan. semua tampak diam
mendengarkan sang guru kembali menerangkan pelajaran. Dan menghiraukan bau
busuk yang semenjak tadi menusuk hidung mereka.
Istirahat tiba,
pedagang bakpau sudah sampai di sekolah yang hampir ambruk itu. para murid
berlarian membeli dagangannya. Walau harus berdesak-desakan. Itu sudah setimpal
dengan hasil yang di dapatkan. Sebuah bakpau setengah harga. Membuat dagangan
saat itu langsung habis terjual. Para murid yang tidak kebagian menangis. Tapi
mereka langsung diam lagi. melihat sang guru sudah membawa tongkat. Bersiap
memukul murid yang masih menangis
gara-gara kehabisan bakpau.
Langit melukiskan
arsiran putih, dengan latar oranye kejingga-jingga’an. jingga bukannya sama
dengan oranye? Betul. Tapi juga bisa salah. Karena, sesuatu yang kita anggap
betul sebetulnya belum pasti betul. Karena kebetulan bukanlah milik kita.
Apakah betul begitu? salah, tapi bisa jadi betul. Karena kesalah kita yang kita
anggap salah sesalahnya belum pasti salah. Sudahlah. Kembalilah pada
dinding-dinding itu lagi. dinding-dinding bangunan amburadul itu, yang membisu
meminta untuk di perbarui. Yang sudah merasa jenuh, segera meminta untuk di
gusur dan di pugar kembali. Dan yang sudah mulai keropos-keropos menangis. Meminta
agar segera diperbaiki. Dinding-dinding sekolah itu, berkelekar. Membuat
suasana yang semula sunyi, menjadi bergetar. Tapi tak ada orang yang sadar.
Karena hanya sebuah getaran berfrekuensi rendah.
“kenapa kita tidak dirawat oleh orang-orang itu?” kata salah satu
tembok sekolah.
“Nggak ada dananya. Sekarang sedang krisis moneter! Inflasi sudah
terjadi dimana-mana” salah satu dinding pengamat politik menyahut
“Sok tahu, kenapa kamu bisa tahu?” tanya dinding di depannya.
“karena di balikku ada Televisi yang biasa aku dengar. Semua
beritanya aku dengar. Makanya aku bisa tahu, walaupun badanku terus menyangkut
disini” Jelas, dinding pengamat politik. Dinding-dinding yang sudah mengerti
mengangguk paham. Hei, dinding nggak bisa mengangguk. Tananglah,
dinding-dinding itu mengangguk dengan isyarat getaran berfrekuensi rendah.
Lalu, tibalah
malam saat bulan purnama bersinar. Ada tukang bakpau yang sedang disana. Di
sekolah. menanti seseorang yang semenjak tadi belum datang juga.
“kenapa dia ada di situ terus?” tanya salah satu tembok. Mengintip
tukang bakpau dari balik tembok yang sudah bolong.
“yah, kamu nggak tau. Dia mau menunggu kiriman dari seseorang” kata
tembok yang bolong, yang sudah sering melihat tukang bakpau itu bertransaksi.
“Kiriman apa?”
“tepung kadaluarsa. Makanya, bakpaunya harganya murah”
“APA!!”
“nggak usah mendramatisir!!” Bentak salah satu dinding tua. Yang
tidak suka dengan kelebaian.
“apapun akan di tempuh manusia untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya” kata tembok pengamat
politik
“benarkah?” ada salah satu dinding yang kepo
“meski sekarang sudah diganti menjadi. Pengorbanan sekecil-kecilnya
untuk mendapat hasil tertentu. Dan pengorbanan tertentu untuk hasil maksimal.
Tetap saja. Ada orang yang masih menerapkan sistem pertama”
“oh....” kata dinding kepo yang sebenarnya tidak tahu maksud dari
perkataan dinding politik, diakibatkan akalnya yang masih belum kesampaian.
Langit yang gelap
menjadi terang. Serpihan batu berserakan di tengah jalan. Dahi seorang berkerut
memikirkan hutangan. Asap. Membawa pertikel-pertikel jahat yang tidak boleh
dihirup. Serangga berkutat dalam kehidupannya yang sederhana. Berusaha mencari
makan, untuk melanjutkan kehidupan di hari esok mendatang. Sedangkan manusia,
hidup dalam sebuah kehidupan yang rumit. Seberapa rumit? Lihatlah hidupmu. Seberapa
sulitkah harimu. Seberapa sibukkah orang tuamu. Apa kau pernah melihat kambing belajar
bercocok tanam? Yang ada mereka hanya memakan rumput yang ada di sekitar
mereka. Cukup simpel, tidak ribet, dan tanpa perlu mengluarkan dompet. Tanpa
perlu mengomeli anaknya jika sedang kencing sembarangan. Tanpa ada beban apapun
jika besok ada ulangan sekolah. Bersikap masa bodoh jika ada krisis maupun
isis. Dan tidak perlu ambil pusing dengan bisnis yang akan mengalami
kebangkrutan.
Tapi, jadi
binatang apakah enak? Mereka kini selalu dikurung. Ada yang disembelih. Ada
yang diplitesi anak-anak kecil. Ada yang di raket listrik. Ada pula yang
di racuni kapur ajaib. Jadi, apa enaknya jadi Binatang. Maka dari itu, jadilah
dinding.
“aku merasa bersyukur bisa menjadi dinding” kata sebuah dinding
sekolah kepada dinding sekolah yang lain.
“kenapa?”
“aku tak perlu merasakan sakit bila terbunuh. Karena pada dasarnya
aku tidak bisa dibunuh, tapi hanya hancur. Dan tak perlu pusing memikirkan
bagaimana hidupku dan masa depanku” jelas dinding itu
“benarkah?”
“ya, disini aku memang merasa bosan karena selalu berada disini
terus. Tapi aku tetap merasa bersyukur menjadi sebuah tembok. Walaupun tembok
yang reot”
Fajar menyingsing dari balik pohon jati. Pohon itu sebentar lagi
akan tergergaji oleh mobil yang mengeluarkan suara bising. Sekolah lebih sepi
dari biasanya. Murid-murid tidak lagi berdatangan ke sekolah itu. Karena,
sekolah sudah resmi ditutup. tanda kuning marka polisi telah menutup akses masuk
gerbang ke sekolah. dan rencananya sekolahan ini akan dirubuhkan karena sudah
tidak layak pakai. Para murid diharap untuk pindah ke sekolah lain. karena
sekolah akan segera dihancurkan. Namun, tidak ada indikasi akan adanya
pembangunan kembali. Soalnya, dana daerah tidak mencukupi. Karena sudah terkena
pajak persenan dari tangan-tangan mecukil.
“ada apa ini? apa kita akan segera di perbaiki?” tanya salah satu
dinding kepada profesor dinding. Dia adalah dinding yang menyangga papan tulis.
“tidak. Kita akan dihancurkan saja, dan tidak akan pernah di bangun
lagi” Kata professor dinding. Dinding yang bertanya menjadi sedih. Bisa dilihat
dari debu-debu yang menempel di dinding itu, berhamburan di terpa angin.
“kenapa kita dihancurkan?” tanya dinding kepo pada professor
“karena sekolah ini sudah tidak layak pakai. Selain itu, polisi dan
warga setempat menemukan mayat di area kompleks sekolah ini. diduga karena
kasus pembunahan” jelas Profesor dinding yang bergelar PhD (Profesor haluan
Dinding)
Di lain sisi Dinding amburadul itu, juga terjadi sebuah percakapan
“kita sebentar lagi akan hancur. Bagaimana ini? katanya jadi tembok
itu enak. Kalau tahu begini, mendingan aku tidak menjadi tembok” kata salah
satu tembok
“jangan begitu. syukurilah dirimu bisa menjadi tembok. Karena, kita
sudah diberikan sebuah peran yang mudah dalam kehidupan ini. kau tahu, segala
kehidupan di segala sisinya pasti ada enak, dan ada enggaknya” jelas dinding
lain yang pandai bersyukur.
Lalu, Ada dari sebagian dinding-dinding itu yang mengucapkan salam
perpisahan pada teman-temannya. Ada dinding yang menangis. Ada dinding yang
baper. Dan ada pula dinding yang teguh menerima nasib. Mereka saling bertingkah
satu sama lain. menyadari jika hari mereka akan berakhir disini. Hari-hari yang
selama ini mereka lalui dengan para murid-murid yang selalu mencoreti tubuh
mereka. Mengenang seekor anjing yang tiba-tiba mengencingi mereka. Meratapi
atas kejelekan mereka. Dan kenangan mereka bersama teman-teman tembok yang
lainnya. Dan kini perpisahan itu memang harus terjadi. itulah kehidupan. Apa
benar begitu?. entahlah. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Karena kebenaran
bukanlah milik kita.
Minggu, 25 – 9 = 16
Muhammad habib Amrullah