Rabu, 28 September 2016

Kumpulan Cerpen; Metafora



Dinginnya pagi menggetarkan hati. Kelopak mawar mekar, mengundang lebah untuk menghisap sari. Embun. Menempel di beberapa pucuk dedaunan. Dedaunan itu ada yang hijau. Dan ada juga yang mengering, hingga garing. Waktu berdering. Seluruhnya menjadi bising. Semuanya menjadi asing. Bahkan hatiku kini berhenti bergetar. Menyadari jika waktuku tinggal sebentar.

Sekolah itu, mati. Tak ada seorangpun yang berkelekar. Sunyi. Benar-benar sunyi.  Mereka mencoba memikirkan. Tapi tak ada waktu untuk melamun. Semua kembali menjadi sebuah dinding. Kenapa bisa dinding? Karena semua mengurung dirinya sendiri. pada pikiran sendiri. Berpikir dengan kepercayaan sendiri.  Berdiam diri dalam tempatnya sendiri. Sebagian. Tapi sebagian itu cukup banyak untuk dihitung dengan rambut sendiri. sehingga kita juga memerlukan rambut orang lain. tapi nyatanya kita tetap mementingkan diri sendiri. sehingga lebih memilih menempelkan rambut orang lain pada rambut kita sendiri.

Sebuah dinding, hanyalah sebuah benda bisu, tidak bisa mencelatu, ditempeli debu. selalu membeku. dan tak serta merta bisa mabur. Usul? Seorang anak kecil memberi usulan kepada gurunya
“Bu guru. Sekolah kita kok seperti kandang babi... bau, bulug, dan gedungnya buruk?” dengan polosnya dia berkata seperti itu
“HEI!!! KENAPA KAMU BERKATA SEPERTI ITU!?” Sang guru marah sambil menjewer kuping muridnya
“Aduh....duh.... maaf bu guru.... ampuun....” anak kecil itu meronta. Rupanya dia sudah kapok. Sehingga tak berani lagi untuk berkomentar dan mengemukakan pendapat. Hanya pasrah dengan segala fasilitas yang ada, hanya pasrah dengan segala sesuatu yang ada. Temannya yang lain pun berdiam. Tak ada yang berani berbicara. tak ada yang berani melawan. semua tampak diam mendengarkan sang guru kembali menerangkan pelajaran. Dan menghiraukan bau busuk yang semenjak tadi menusuk hidung mereka.

            Istirahat tiba, pedagang bakpau sudah sampai di sekolah yang hampir ambruk itu. para murid berlarian membeli dagangannya. Walau harus berdesak-desakan. Itu sudah setimpal dengan hasil yang di dapatkan. Sebuah bakpau setengah harga. Membuat dagangan saat itu langsung habis terjual. Para murid yang tidak kebagian menangis. Tapi mereka langsung diam lagi. melihat sang guru sudah membawa tongkat. Bersiap memukul murid yang masih menangis  gara-gara kehabisan bakpau.

            Langit melukiskan arsiran putih, dengan latar oranye kejingga-jingga’an. jingga bukannya sama dengan oranye? Betul. Tapi juga bisa salah. Karena, sesuatu yang kita anggap betul sebetulnya belum pasti betul. Karena kebetulan bukanlah milik kita. Apakah betul begitu? salah, tapi bisa jadi betul. Karena kesalah kita yang kita anggap salah sesalahnya belum pasti salah. Sudahlah. Kembalilah pada dinding-dinding itu lagi. dinding-dinding bangunan amburadul itu, yang membisu meminta untuk di perbarui. Yang sudah merasa jenuh, segera meminta untuk di gusur dan di pugar kembali. Dan yang sudah mulai keropos-keropos menangis. Meminta agar segera diperbaiki. Dinding-dinding sekolah itu, berkelekar. Membuat suasana yang semula sunyi, menjadi bergetar. Tapi tak ada orang yang sadar. Karena hanya sebuah getaran berfrekuensi rendah.
“kenapa kita tidak dirawat oleh orang-orang itu?” kata salah satu tembok sekolah.
“Nggak ada dananya. Sekarang sedang krisis moneter! Inflasi sudah terjadi dimana-mana” salah satu dinding pengamat politik menyahut
“Sok tahu, kenapa kamu bisa tahu?” tanya dinding di depannya.
“karena di balikku ada Televisi yang biasa aku dengar. Semua beritanya aku dengar. Makanya aku bisa tahu, walaupun badanku terus menyangkut disini” Jelas, dinding pengamat politik. Dinding-dinding yang sudah mengerti mengangguk paham. Hei, dinding nggak bisa mengangguk. Tananglah, dinding-dinding itu mengangguk dengan isyarat getaran berfrekuensi rendah.

            Lalu, tibalah malam saat bulan purnama bersinar. Ada tukang bakpau yang sedang disana. Di sekolah. menanti seseorang yang semenjak tadi belum datang juga.
“kenapa dia ada di situ terus?” tanya salah satu tembok. Mengintip tukang bakpau dari balik tembok yang sudah bolong.
“yah, kamu nggak tau. Dia mau menunggu kiriman dari seseorang” kata tembok yang bolong, yang sudah sering melihat tukang bakpau itu bertransaksi.
“Kiriman apa?”
“tepung kadaluarsa. Makanya, bakpaunya harganya murah”
“APA!!”
“nggak usah mendramatisir!!” Bentak salah satu dinding tua. Yang tidak suka dengan kelebaian.
“apapun akan di tempuh manusia untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya” kata tembok pengamat politik
“benarkah?” ada salah satu dinding yang kepo
“meski sekarang sudah diganti menjadi. Pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapat hasil tertentu. Dan pengorbanan tertentu untuk hasil maksimal. Tetap saja. Ada orang yang masih menerapkan sistem pertama”
“oh....” kata dinding kepo yang sebenarnya tidak tahu maksud dari perkataan dinding politik, diakibatkan akalnya yang masih belum kesampaian.

            Langit yang gelap menjadi terang. Serpihan batu berserakan di tengah jalan. Dahi seorang berkerut memikirkan hutangan. Asap. Membawa pertikel-pertikel jahat yang tidak boleh dihirup. Serangga berkutat dalam kehidupannya yang sederhana. Berusaha mencari makan, untuk melanjutkan kehidupan di hari esok mendatang. Sedangkan manusia, hidup dalam sebuah kehidupan yang rumit. Seberapa rumit? Lihatlah hidupmu. Seberapa sulitkah harimu. Seberapa sibukkah orang tuamu. Apa kau pernah melihat kambing belajar bercocok tanam? Yang ada mereka hanya memakan rumput yang ada di sekitar mereka. Cukup simpel, tidak ribet, dan tanpa perlu mengluarkan dompet. Tanpa perlu mengomeli anaknya jika sedang kencing sembarangan. Tanpa ada beban apapun jika besok ada ulangan sekolah. Bersikap masa bodoh jika ada krisis maupun isis. Dan tidak perlu ambil pusing dengan bisnis yang akan mengalami kebangkrutan.

            Tapi, jadi binatang apakah enak? Mereka kini selalu dikurung. Ada yang disembelih. Ada yang diplitesi anak-anak kecil. Ada yang di raket listrik. Ada pula yang di racuni kapur ajaib. Jadi, apa enaknya jadi Binatang. Maka dari itu, jadilah dinding.
“aku merasa bersyukur bisa menjadi dinding” kata sebuah dinding sekolah kepada dinding sekolah yang lain.
“kenapa?”
“aku tak perlu merasakan sakit bila terbunuh. Karena pada dasarnya aku tidak bisa dibunuh, tapi hanya hancur. Dan tak perlu pusing memikirkan bagaimana hidupku dan masa depanku” jelas dinding itu
“benarkah?”
“ya, disini aku memang merasa bosan karena selalu berada disini terus. Tapi aku tetap merasa bersyukur menjadi sebuah tembok. Walaupun tembok yang reot”

Fajar menyingsing dari balik pohon jati. Pohon itu sebentar lagi akan tergergaji oleh mobil yang mengeluarkan suara bising. Sekolah lebih sepi dari biasanya. Murid-murid tidak lagi berdatangan ke sekolah itu. Karena, sekolah sudah resmi ditutup. tanda kuning marka polisi telah menutup akses masuk gerbang ke sekolah. dan rencananya sekolahan ini akan dirubuhkan karena sudah tidak layak pakai. Para murid diharap untuk pindah ke sekolah lain. karena sekolah akan segera dihancurkan. Namun, tidak ada indikasi akan adanya pembangunan kembali. Soalnya, dana daerah tidak mencukupi. Karena sudah terkena pajak persenan dari tangan-tangan mecukil.
“ada apa ini? apa kita akan segera di perbaiki?” tanya salah satu dinding kepada profesor dinding. Dia adalah dinding yang menyangga papan tulis.
“tidak. Kita akan dihancurkan saja, dan tidak akan pernah di bangun lagi” Kata professor dinding. Dinding yang bertanya menjadi sedih. Bisa dilihat dari debu-debu yang menempel di dinding itu, berhamburan di terpa angin.
“kenapa kita dihancurkan?” tanya dinding kepo pada professor
“karena sekolah ini sudah tidak layak pakai. Selain itu, polisi dan warga setempat menemukan mayat di area kompleks sekolah ini. diduga karena kasus pembunahan” jelas Profesor dinding yang bergelar PhD (Profesor haluan Dinding)
Di lain sisi Dinding amburadul itu, juga terjadi sebuah percakapan
“kita sebentar lagi akan hancur. Bagaimana ini? katanya jadi tembok itu enak. Kalau tahu begini, mendingan aku tidak menjadi tembok” kata salah satu tembok
“jangan begitu. syukurilah dirimu bisa menjadi tembok. Karena, kita sudah diberikan sebuah peran yang mudah dalam kehidupan ini. kau tahu, segala kehidupan di segala sisinya pasti ada enak, dan ada enggaknya” jelas dinding lain yang pandai bersyukur.
Lalu, Ada dari sebagian dinding-dinding itu yang mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya. Ada dinding yang menangis. Ada dinding yang baper. Dan ada pula dinding yang teguh menerima nasib. Mereka saling bertingkah satu sama lain. menyadari jika hari mereka akan berakhir disini. Hari-hari yang selama ini mereka lalui dengan para murid-murid yang selalu mencoreti tubuh mereka. Mengenang seekor anjing yang tiba-tiba mengencingi mereka. Meratapi atas kejelekan mereka. Dan kenangan mereka bersama teman-teman tembok yang lainnya. Dan kini perpisahan itu memang harus terjadi. itulah kehidupan. Apa benar begitu?. entahlah. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Karena kebenaran bukanlah milik kita.



Minggu, 25 – 9 = 16

Muhammad habib Amrullah

0 komentar:

Posting Komentar