Rabu, 06 November 2019

Kumpulan Cerpen ; 21



Waktu semakin menipis, Raga semakin tergerus. Tak terasa, tak berasa, tak kuasa, merasa asa ini tak bisa lagi di perjuangkan. Menyalakan lentera, mengusir kegelapan yang seketika lenyap tersapu cahaya kuning kemerahan. Jalan yang ditempuh tak selamanya benar, yang ada hanyalah arah yang sebenarnya sudah di rancang. Namun sulit untuk bisa berjalan pada sebongkah aspal kecil yang tertera di depan, apakah ini jalan yang benar? karena jalan yang benar bukan berarti itu selalu sempit, kadang luas, hanya saja kita belum menemukannya.

“gimana? Motor lu bisa lewat ga?”
“mustahil, kalaupun bisa, itupun pasti esoknya motorku harus di servis karena jalanan yang begitu terjal”
“gapapa, ketimbang ga sampek tujuan, lagian lo harus kuliah besok. Masalah servis motor paling Cuma nunggu ngga ada tiga jam, kalo ga rame” Jelas Sudirjo.

Aku mengangguk setuju. Besok ada kuliah, dan aku harus menghadiri sesi itu untuk partisipasi kehadiran 75 persen. Ngga masuk sekali maka pupus sudah, mau tak mau harus mengulang lagi di semester selanjutnya.

            Aku beranikan diri melawati jalan itu, sebuah jalan yang harusnya tengah di perbaiki. Tak ada jalan lain selain jalan itu. padahal kedua orang tuaku sudah menyuruh untuk izin saja dan menghendaki agar berangkat kuliah pekan depan.

“tidak bisa, aku ingin menggali ilmu di kuliah, aku yakin itu masih worth it, dan masih diperlukan di dunia ini, tinggal bagaimana cara kita mengembangkan dan mempraktekkan ilmu itu di kehidupan nyata” jawabku seketika membantah mereka yang bilang kuliah itu buang-buang waktu, meski pada dasarnya memang iya. Karena alasan terselubungku adalah agar tidak alpha untuk yang ke empat kalinya.

            Hari berganti. Motorku benar-benar K.O. dan harus menjalani masa rehabilitasi selama empat jam di bengkel. Akhirnya memesan ojek online, sampai di kelas tepat waktu. Menyapa beberapa teman kemudian menikmati perkuliahan dengan seksama.

“ada yang janggal. Tak biasanya kamu kesini tepat waktu”
“biasanya kamu ke kunci di luar kelas kan. hebat banget bisa datang paling pagi di kelas?”
mereka tersenyum sinis, berusaha mengejek denga kata-kata santuy yang menghujam tajam ke dalam jiwa.
***


            Kelas selesai. Semua kembali seperti semula. Tersisa waktu setengah jam sampai motorku selesai di reparasi.

“mas, ini motormu sering kamu ajak trill2an to?” tanya bang Tubeless
“ndak mas. Cuma kemarin aja agak kurang beruntung harus lewatin jalan jelek”
“soalnya ini motor tua mas. Kalau ndak di rawat baik-baik bakal mati kayak kentut”
“iya mas saya tau”
Mulai saat itu aku paham bahwa benda harus di rawat dengan sebaik baiknya.
***


            Manusia. Begitulah kata orang-orang. mereka selalu mengingat hidup tanpa mengingat mati. Selalu merasa nikmat kadang merasa sakit. Membayangkan jika segala rasa sakit yang di dapat lebih perih dari orang lain. Tanpa peduli rasa sakit orang lain. dan begitu abai dengan nikmat yang selalu di terima setiap hari. Kesadaran itu berdampak pada tindakan, yang di olah dalam persepsi bawah sadar. Itu menjadi pokok dasar tolak ukur orang itu sukses atau tidak.

            Seseorang nongkrong di kolong jembatan. Para kere itu, mengapa mereka bisa menetap disana? Para politikus, para insinyur, para anggota dewan yang memiliki berbagai macam kekayaan. Mereka juga berposisi dan nongkrong di Gedung-gedung mewah. Orang-orang pintar, orang-orang goblok, orang terpelajar, maupun yang kurang ajar. Mereka semua nongkrong di tempat masing-masing. Di tempat-tempat yang telah di tentukan. Di sesuaikan dengan adil menurut dengan kapasitasnya. Namun banyak orang menganggap nya tidak adil. Lantas kenapa?

Mereka yang miskin membelot dan gusar. Merasa marah atas keadaan mereka yang serba kekurangan. Mereka yang kurang ajar frustasi. Merasa tersakiti dan hidup serasa seperti amplas kopling. Para terpelajar sambat, merasa hidupnya monoton, taka da gairah, dan ujung-ujungnya hanya bisa jadi pesuruh kerja. Para politikus, mereka nyaman, Cuma segala macam rasa khawatir selalu hinggap di dada mereka akibat tekanan-tekanan dari para invisible hand.

            Serasa tidak ada sama sekali nikmat. Seakan nikmat begitu mahal dirasakan di kehidupan sehari-hari. Seakan nikmat itu barang langka yang jarang di dapat semua orang. padahal mereka bisa saja merasakan nikmat itu di sekitar. Jika mereka sadar bahwa hanya dengan menghirup dan menghembuskan nafas saja itu merupakan salah satu nikmat. Hanya saja mereka tidak menyadarinya.

            Mereka hanya terlambat menyadari. Ketika mereka sadar mereka baru tahu kalau itu sudah terlambat. Terlambat akan satu hal yang membuat mereka berpaling dari kenyataan. Menuju dalam kesemuan yang mereka anggap itu nyata. Sesuatu yang melalaikan, bahkan membuat diri tak kuasa berpaling darinya.

“akan kuberi tahu apa yang Namanya penderitaan”
“aku sudah sering mengalaminya”
“seberapa sakit itu?”
“tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Tapi aku yakin setiap orang pasti memiliki deritanya masing-masing. Itulah cobaan, itulah pembelajaran. Yang kutahu itu membuatku semakin dewasa dan tegar menjalani hidup”
“mungkinkah begitu? Apa kau bisa merasakan mereka yang dilibas oleh berbagai penderitaan tiada akhir”
“aku bisa membayangkannya. Aku juga banyak melihatnya, mendengar ceritanya, mendengar jeritannya, rintihannya, melihat peluhnya, sakitnya, semua”

Melihat realitas sekarang begitu pelik. Tak semua kebaikan masuk hanya dengan di sampaikan. Tampilan ternyata sangat berpengaruh. Kalian bisa membuktikan itu melalui perbuatan. Tapi perbuatan itu tak melulu bisa dilakukan setiap waktu.

Ini kesekian kalinya aku menemukan diri berbalut amarah. Ingin rasanya melampiaskan tapi diri berusaha agar tetap sabar. Segala tanggungan yang luar biasa. Terus menderu bagai peluru yang menyasar ke berbagai tempat.

Beberapa hari menjelang. Memang seperti tidak ada penyelesaian yang berarti. Sebenarnya aku tahu mengapa masalah ini bisa terjadi. Bahkan aku tahu cara penangan yang sekiranya tepat untuk mengatasi segala macam problem yang menderu. Hanya saja tubuh ini tak sepakat dengan apa yang ada dalam pikiranku, walhasil dampak dan perbuatan berbeda dari apa yang di hasilkan oleh pikiran

“itu membuatku frustasi. Pantas saja katingku dulu sampai keluar. Padahal kutahu dia sedang mendapatkan tempat yang nyaman. Menghilang seperti di telan bumi”
“yah, aku juga tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan sesuatu yang sebisa mungkin itu akan menghasilkan dampak yang besar”
“kau pikir apa yang membuat sebuah organisasi, komunitas atau kumpulan itu bubar dan tak membekas”
“karena mereka tak menghasilkan output. Kalaupun ada itu tak seberapa. Atau mungkin itu adalah output yang dipaksakan”
“hmm, seseorang yang tidak melihat hasil apapun disitu. Namun disitu aku melihat hasil yang banyak. Hanya saja disitu juga terjadi banyak penyimpangan. Kenapa?”
“bukankah dirimu juga? Tidak bisa menjaga yang harusnya kau jaga?”
“memang benar. aku tidak bisa mengelaknya lagi. Itu sudah terjadi di depan mataku dan aku tahu itu semua bermula dari diri ini”
“lantas apa yang membuatmu marah ketika itu salahmu sendiri?”
“aku marah pada diriku sendiri”



Surakarta, 6 November 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar