Waktu
semakin menipis, Raga semakin tergerus. Tak terasa, tak berasa, tak kuasa,
merasa asa ini tak bisa lagi di perjuangkan. Menyalakan lentera, mengusir
kegelapan yang seketika lenyap tersapu cahaya kuning kemerahan. Jalan yang
ditempuh tak selamanya benar, yang ada hanyalah arah yang sebenarnya sudah di
rancang. Namun sulit untuk bisa berjalan pada sebongkah aspal kecil yang
tertera di depan, apakah ini jalan yang benar? karena jalan yang benar bukan
berarti itu selalu sempit, kadang luas, hanya saja kita belum menemukannya.
“gimana? Motor lu bisa lewat ga?”
“mustahil, kalaupun bisa, itupun
pasti esoknya motorku harus di servis karena jalanan yang begitu terjal”
“gapapa, ketimbang ga sampek
tujuan, lagian lo harus kuliah besok. Masalah servis motor paling Cuma nunggu
ngga ada tiga jam, kalo ga rame” Jelas Sudirjo.
Aku mengangguk setuju. Besok ada
kuliah, dan aku harus menghadiri sesi itu untuk partisipasi kehadiran 75
persen. Ngga masuk sekali maka pupus sudah, mau tak mau harus mengulang lagi di
semester selanjutnya.
Aku
beranikan diri melawati jalan itu, sebuah jalan yang harusnya tengah di
perbaiki. Tak ada jalan lain selain jalan itu. padahal kedua orang tuaku sudah
menyuruh untuk izin saja dan menghendaki agar berangkat kuliah pekan depan.
“tidak bisa, aku ingin menggali
ilmu di kuliah, aku yakin itu masih worth it, dan masih diperlukan di
dunia ini, tinggal bagaimana cara kita mengembangkan dan mempraktekkan ilmu itu
di kehidupan nyata” jawabku seketika membantah mereka yang bilang kuliah itu
buang-buang waktu, meski pada dasarnya memang iya. Karena alasan terselubungku
adalah agar tidak alpha untuk yang ke empat kalinya.
Hari
berganti. Motorku benar-benar K.O. dan harus menjalani masa rehabilitasi selama
empat jam di bengkel. Akhirnya memesan ojek online, sampai di kelas tepat
waktu. Menyapa beberapa teman kemudian menikmati perkuliahan dengan seksama.
“ada yang janggal. Tak biasanya
kamu kesini tepat waktu”
“biasanya kamu ke kunci di luar
kelas kan. hebat banget bisa datang paling pagi di kelas?”
mereka tersenyum sinis, berusaha
mengejek denga kata-kata santuy yang menghujam tajam ke dalam jiwa.
***
Kelas
selesai. Semua kembali seperti semula. Tersisa waktu setengah jam sampai
motorku selesai di reparasi.
“mas, ini motormu sering kamu ajak
trill2an to?” tanya bang Tubeless
“ndak mas. Cuma kemarin aja agak
kurang beruntung harus lewatin jalan jelek”
“soalnya ini motor tua mas. Kalau
ndak di rawat baik-baik bakal mati kayak kentut”
“iya mas saya tau”
Mulai saat itu aku paham bahwa
benda harus di rawat dengan sebaik baiknya.
***
Manusia.
Begitulah kata orang-orang. mereka selalu mengingat hidup tanpa mengingat mati.
Selalu merasa nikmat kadang merasa sakit. Membayangkan jika segala rasa sakit
yang di dapat lebih perih dari orang lain. Tanpa peduli rasa sakit orang lain.
dan begitu abai dengan nikmat yang selalu di terima setiap hari. Kesadaran itu
berdampak pada tindakan, yang di olah dalam persepsi bawah sadar. Itu menjadi
pokok dasar tolak ukur orang itu sukses atau tidak.
Seseorang
nongkrong di kolong jembatan. Para kere itu, mengapa mereka bisa menetap
disana? Para politikus, para insinyur, para anggota dewan yang memiliki
berbagai macam kekayaan. Mereka juga berposisi dan nongkrong di Gedung-gedung
mewah. Orang-orang pintar, orang-orang goblok, orang terpelajar, maupun yang
kurang ajar. Mereka semua nongkrong di tempat masing-masing. Di tempat-tempat
yang telah di tentukan. Di sesuaikan dengan adil menurut dengan kapasitasnya. Namun
banyak orang menganggap nya tidak adil. Lantas kenapa?
Mereka
yang miskin membelot dan gusar. Merasa marah atas keadaan mereka yang serba
kekurangan. Mereka yang kurang ajar frustasi. Merasa tersakiti dan hidup serasa
seperti amplas kopling. Para terpelajar sambat, merasa hidupnya monoton, taka
da gairah, dan ujung-ujungnya hanya bisa jadi pesuruh kerja. Para politikus,
mereka nyaman, Cuma segala macam rasa khawatir selalu hinggap di dada mereka
akibat tekanan-tekanan dari para invisible hand.
Serasa
tidak ada sama sekali nikmat. Seakan nikmat begitu mahal dirasakan di kehidupan
sehari-hari. Seakan nikmat itu barang langka yang jarang di dapat semua orang.
padahal mereka bisa saja merasakan nikmat itu di sekitar. Jika mereka sadar
bahwa hanya dengan menghirup dan menghembuskan nafas saja itu merupakan salah
satu nikmat. Hanya saja mereka tidak menyadarinya.
Mereka
hanya terlambat menyadari. Ketika mereka sadar mereka baru tahu kalau itu sudah
terlambat. Terlambat akan satu hal yang membuat mereka berpaling dari
kenyataan. Menuju dalam kesemuan yang mereka anggap itu nyata. Sesuatu yang
melalaikan, bahkan membuat diri tak kuasa berpaling darinya.
“akan kuberi tahu apa yang
Namanya penderitaan”
“aku sudah sering mengalaminya”
“seberapa sakit itu?”
“tak bisa aku ungkapkan dengan
kata-kata. Tapi aku yakin setiap orang pasti memiliki deritanya masing-masing.
Itulah cobaan, itulah pembelajaran. Yang kutahu itu membuatku semakin dewasa
dan tegar menjalani hidup”
“mungkinkah begitu? Apa kau bisa
merasakan mereka yang dilibas oleh berbagai penderitaan tiada akhir”
“aku bisa membayangkannya. Aku
juga banyak melihatnya, mendengar ceritanya, mendengar jeritannya, rintihannya,
melihat peluhnya, sakitnya, semua”
Melihat realitas sekarang begitu pelik. Tak
semua kebaikan masuk hanya dengan di sampaikan. Tampilan ternyata sangat
berpengaruh. Kalian bisa membuktikan itu melalui perbuatan. Tapi perbuatan itu
tak melulu bisa dilakukan setiap waktu.
Ini
kesekian kalinya aku menemukan diri berbalut amarah. Ingin rasanya melampiaskan
tapi diri berusaha agar tetap sabar. Segala tanggungan yang luar biasa. Terus
menderu bagai peluru yang menyasar ke berbagai tempat.
Beberapa
hari menjelang. Memang seperti tidak ada penyelesaian yang berarti. Sebenarnya
aku tahu mengapa masalah ini bisa terjadi. Bahkan aku tahu cara penangan yang
sekiranya tepat untuk mengatasi segala macam problem yang menderu. Hanya saja
tubuh ini tak sepakat dengan apa yang ada dalam pikiranku, walhasil dampak dan
perbuatan berbeda dari apa yang di hasilkan oleh pikiran
“itu membuatku frustasi. Pantas
saja katingku dulu sampai keluar. Padahal kutahu dia sedang mendapatkan tempat
yang nyaman. Menghilang seperti di telan bumi”
“yah, aku juga tidak tahu jalan
mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan sesuatu yang sebisa mungkin itu akan
menghasilkan dampak yang besar”
“kau pikir apa yang membuat
sebuah organisasi, komunitas atau kumpulan itu bubar dan tak membekas”
“karena mereka tak menghasilkan
output. Kalaupun ada itu tak seberapa. Atau mungkin itu adalah output yang
dipaksakan”
“hmm, seseorang yang tidak
melihat hasil apapun disitu. Namun disitu aku melihat hasil yang banyak. Hanya
saja disitu juga terjadi banyak penyimpangan. Kenapa?”
“bukankah dirimu juga? Tidak bisa
menjaga yang harusnya kau jaga?”
“memang benar. aku tidak bisa
mengelaknya lagi. Itu sudah terjadi di depan mataku dan aku tahu itu semua
bermula dari diri ini”
“lantas apa yang membuatmu marah
ketika itu salahmu sendiri?”
“aku marah pada diriku sendiri”
Surakarta, 6 November 2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar