Selasa, 05 November 2019

Kumpulan Cerpen ; SADTO



            Terlihat ambigu, berbagai hal buruk mulai berdatangan satu demi satu. Tak hanya berdampak dari diri Sadto sendiri, namun juga berdampak buruk bagi orang lain. Apakah karena manusia itu makhluk sosial? Sehingga dampak buruk itu bisa terbagi, menyatu, berpadu, dan berkesinambungan bagai domino.

            Sadto terlihat lesu, lemas, dan lelah dengan apa yang terjadi. Sudah berapa banyak orang yang dikecewakan. Awalnya Sadto berpikir jika kesialan itu akan mengena pada diri sendiri, nyatanya hal itu berdampak juga pada orang-orang yang ada di sekililingnya. Sadto tidak ingin hal ini terus berlanjut. Membiarkan orang tak bersalah terkena imbas atas tingkah laku Sadto.
“Mengapa kami saling terhubung? Apa yang membuat segala tindakanku berefek pula pada orang lain?” Sadto tak habis pikir. Dia pandang anak-anak sedang berlari mengejar layangan putus. Entah apa yang merasuki jiwa anak-anak itu sehingga membuat mereka lari tunggang langgang hanya untuk mendapatkan layangan putus seharga seribu rupiah.

            Tak heran Sadto saat ini tengah di jauhi banyak orang. Menghindari kesialan yang kerap kali didapatkan ketika berada di dekat Sadto. Sadto bukannya marah justru malah senang, karena korban kesialannya akan berkurang. Menerima kondisi ini merupakan pilihan bijak. Tidak melibatkan orang lain dalam masalah adalah pilihan terbaik yang bisa Sadto lakukan.
“Sadto kurang ajar, lain kali aku ngga mau sekelompok sama kamu”
Sadto hanya bisa menunduk tak berdaya, pasrah menerima lontaran kata pedas atas ketidak bertanggungjawabannya. Cacian dan cibiran memang layak untuk Sadto dapatkan.
“Gara-gara kamu nilai kami jadi jelek tau nggak, kalau mau males-malesan jangan sampe yang lain kena imbasnya dong. Simpan masalahmu sendiri”
Lalu mereka berdua pergi meninggalkan Sadto yang masih terduduk kaku disitu. Termenung menatap layar smartphone untuk mendapatkan sinyal wifi. Beberapa rekannya yang lain juga Nampak tak ingin mendekati Sadto.
***

            Sampailah Sato di tempat yang sepi.

“rasanya aku ingin sekali menghindari orang-orang. Menentramkan diri dalam kesendirian batin, ditemani dentuman music mellow, bagai seorang ampas yang telah kehilangan sari-sari kehidupannya”

Pepohonan rimbun kala itu membawa beberapa nyamuk yang kemudian menggigit Sadto. Sadto tak peduli lekas mempersilakan mereka meminum darahnya. Dia tak ingin mencari gara-gara dengan kerumunan nyamuk itu, apalagi untuk fokus menamplek para nyamuk itu gara mati berdarah-darah di telapak tangan. Sadto hanya pasrah saja sambil menyesali perbuatannya.

            Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Sadto masih berada disitu. Data Ponsel ia matikan untuk menghilangkan keberadaannya dari orang-orang. Dia tidak ingin diganggu pada saat ini. Meskipun masih ada banyak tugas yang menanti.

Lantas beberapa ada yang mencoba menelfonnya dengan menggunakan panggilan pulsa. Dahi Sato berkerut. Mengapa dia tidak dibiarkan untuk sendiri untuk beberapa saat.

What?

Dia membiarkan Smartphonenya berdering sendiri untuk beberapa lama. menunggu sang penelpon bosan dengan panggilannya. Setelah lima kali barulah panggilan itu berhenti. Suasana tenang kembali di dapatkan oleh Sato.

“sepertinya aku harus membangun kembali bangunan yang telah runtuh”

Sadto berfikir keras untuk bisa kembali menemukan semangatnya. Menemukan alasan yang mendasari tindakannya. Menemukan cahaya terang, yang selama ini hilang dari dalam hatinya. Dia ingin bangkit, namun tidak tahu untuk apa. Dia ingin berjuang, namun tidak tahu apa dan siapa yang harus di perjuangkan. Setelah melihat realita Sadto mulai paham, sedikit-demi sedikit itu mengikis bangunan yang telah lama di buat. Sadto menjadi luntur, lembek bagai permen karet yang di dudul sekali langsung berubah bentuk. Dia tidak memiliki pegangan yang kuat untuk melanjutkan apa yang selama ini di perjuangkan. Hingga akhirnya dia berkubang dalam lubang nestapa yang cukup dalam, dan pada saat itu orang-orang justru malah menambah bebannya dengan sampah-sampah yang di buang kelubang itu.

“jika dibiarkan maka bangunan yang selama ini kubangun akan runtuh semua, tak berbekas, rata dengan tanah”

Sudah berapa banyak kekecewaan. Dan itu dia dapatkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Namun yang membuatnya bingung adalah beberapa hal yang itu berimbas pada… pada…

“aku tak ingin membahasa itu. setiap orang memiliki penilaian dan tujuannya sendiri. Diri sendiri, eksistensi diri, merupakan tolak ukur nomor satu yang harus wajib terpenuhi. Sifat ke Akuan, ke angkuhan, kedigdayaan. ketika merasa dirugikan jelas diri akan berjuang membela dan mempertahankan diri, melampiaskan ke mereka yang bersalah, menyalahkan mereka yang tidak benar, mengutuk mereka yang menganggu kebebasannya, mengganggu eksistensinya”

“banyak orang berpikir asalkan diri mereka tidak terusik maka semua itu baik. yang jelas patokan utama adalah diri sendiri. Kepentingan diri jauh lebih baik dari pada orang lain. meski secara sadar mereka menolak argument itu, namun alam bawah sadar mereka menindak hal itu ”

Kesimpulan berani yang bisa Sadto kemukakan saat ini. Namun semua itu ada benarnya. Dia masih belum bisa membedakan, sebenarnya bisa, Cuma masih belum berani memastikan itu benar atau tidak. Bagaimana bekerja dengan hati dan bekerja hanya untuk kepentingan diri. Jika itu untuk kepentingan banyak orang mengapa tidak ada rasa keterikatan ketika menyelesaikan suatu masalah? Hanya sebatas menunggu dan membiarkan orang lain bekerja tanpa peduli dengan kondisi yang bekerja?

“itulah yang selama ini menjadi patokanku menilai kinerja mereka atas dasar kebersamaan atau kepentingan diri”

            Paksaan memang jalan terbaik untuk menimbulkan rasa tanggung jawab pada jiwa manusia. Tak ada pilihan lain selain mengikuti atau ter cap sebagai seorang yang tidak kompeten yang nantinya bakal di nyinyir oleh banyak orang.

“apakah hal itu termasuk dari kebersamaan kerja? Apakah itu yang Namanya menjalin hubungan baik antar sesama manusia? Menyalahkan atas dasar tanggung jawab tanpa peduli subjek yang melaksanakan tanggung jawab?  bahkan selama ini dia hanya melihat dari kejauhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mau tahu asalkan kerjaan berjalan dengan baik, baru mau tahu ketika semua sudah terlambat untuk di ubah lagi”
“Statementku barusan tidak lain hanyalah pembelaan belaka. Aku tak bisa memandang secara objektif jika orang yang menjadi objek masalah adalah aku”

Memang fitrah manusia tidak ingin disalahkan. Sadto paham itu. dia tersenyum dan kembali menata pola pikirnya. Melupakan segala bentuk hambatan yang selama ini menerpa. Fokus utama Sadto adalah kembali membangun bangunan yang telah runtuh. Bukan menyalahkan mereka yang menghancurkan bangunan itu.

            Sadto berdiri. Malam sudah terlalu larut. Lampu-lampu jalan menyala semenjak tadi. Nyamuk-nyamuk menghilang karena kekenyangan menyerap darah dari Sadto. Sadto berkemas untuk kembali ke kosan. Tidak ingin berlama-lama melakukan uji nyali disitu ditemani dengan setan-setan alas.





Surakarta, November 5, 2019


M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar