Terlihat ambigu, berbagai hal buruk mulai berdatangan satu
demi satu. Tak hanya berdampak dari diri Sadto sendiri, namun juga berdampak
buruk bagi orang lain. Apakah karena manusia itu makhluk sosial? Sehingga dampak
buruk itu bisa terbagi, menyatu, berpadu, dan berkesinambungan bagai domino.
Sadto terlihat lesu, lemas, dan lelah dengan apa yang
terjadi. Sudah berapa banyak orang yang dikecewakan. Awalnya Sadto berpikir jika
kesialan itu akan mengena pada diri sendiri, nyatanya hal itu berdampak juga pada
orang-orang yang ada di sekililingnya. Sadto tidak ingin hal ini terus
berlanjut. Membiarkan orang tak bersalah terkena imbas atas tingkah laku Sadto.
“Mengapa kami saling
terhubung? Apa yang membuat segala tindakanku berefek pula pada orang lain?” Sadto
tak habis pikir. Dia pandang anak-anak sedang berlari mengejar layangan putus. Entah
apa yang merasuki jiwa anak-anak itu sehingga membuat mereka lari tunggang
langgang hanya untuk mendapatkan layangan putus seharga seribu rupiah.
Tak heran Sadto saat ini tengah di jauhi banyak orang. Menghindari
kesialan yang kerap kali didapatkan ketika berada di dekat Sadto. Sadto
bukannya marah justru malah senang, karena korban kesialannya akan berkurang. Menerima
kondisi ini merupakan pilihan bijak. Tidak melibatkan orang lain dalam masalah
adalah pilihan terbaik yang bisa Sadto lakukan.
“Sadto kurang ajar, lain
kali aku ngga mau sekelompok sama kamu”
Sadto hanya bisa menunduk
tak berdaya, pasrah menerima lontaran kata pedas atas ketidak
bertanggungjawabannya. Cacian dan cibiran memang layak untuk Sadto dapatkan.
“Gara-gara kamu nilai
kami jadi jelek tau nggak, kalau mau males-malesan jangan sampe yang lain kena
imbasnya dong. Simpan masalahmu sendiri”
Lalu mereka berdua pergi
meninggalkan Sadto yang masih terduduk kaku disitu. Termenung menatap layar smartphone
untuk mendapatkan sinyal wifi. Beberapa rekannya yang lain juga Nampak tak ingin
mendekati Sadto.
***
Sampailah Sato di tempat yang sepi.
“rasanya aku ingin sekali
menghindari orang-orang. Menentramkan diri dalam kesendirian batin, ditemani
dentuman music mellow, bagai seorang ampas yang telah kehilangan sari-sari kehidupannya”
Pepohonan rimbun kala itu
membawa beberapa nyamuk yang kemudian menggigit Sadto. Sadto tak peduli lekas
mempersilakan mereka meminum darahnya. Dia tak ingin mencari gara-gara dengan
kerumunan nyamuk itu, apalagi untuk fokus menamplek para nyamuk itu gara mati
berdarah-darah di telapak tangan. Sadto hanya pasrah saja sambil menyesali perbuatannya.
Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Sadto masih berada
disitu. Data Ponsel ia matikan untuk menghilangkan keberadaannya dari orang-orang.
Dia tidak ingin diganggu pada saat ini. Meskipun masih ada banyak tugas yang
menanti.
Lantas
beberapa ada yang mencoba menelfonnya dengan menggunakan panggilan pulsa. Dahi Sato
berkerut. Mengapa dia tidak dibiarkan untuk sendiri untuk beberapa saat.
“What?”
Dia membiarkan
Smartphonenya berdering sendiri untuk beberapa lama. menunggu sang penelpon
bosan dengan panggilannya. Setelah lima kali barulah panggilan itu berhenti. Suasana
tenang kembali di dapatkan oleh Sato.
“sepertinya aku harus
membangun kembali bangunan yang telah runtuh”
Sadto
berfikir keras untuk bisa kembali menemukan semangatnya. Menemukan alasan yang
mendasari tindakannya. Menemukan cahaya terang, yang selama ini hilang dari
dalam hatinya. Dia ingin bangkit, namun tidak tahu untuk apa. Dia ingin
berjuang, namun tidak tahu apa dan siapa yang harus di perjuangkan. Setelah melihat
realita Sadto mulai paham, sedikit-demi sedikit itu mengikis bangunan yang
telah lama di buat. Sadto menjadi luntur, lembek bagai permen karet yang di dudul
sekali langsung berubah bentuk. Dia tidak memiliki pegangan yang kuat untuk
melanjutkan apa yang selama ini di perjuangkan. Hingga akhirnya dia berkubang
dalam lubang nestapa yang cukup dalam, dan pada saat itu orang-orang justru
malah menambah bebannya dengan sampah-sampah yang di buang kelubang itu.
“jika dibiarkan maka
bangunan yang selama ini kubangun akan runtuh semua, tak berbekas, rata dengan
tanah”
Sudah berapa banyak
kekecewaan. Dan itu dia dapatkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Namun yang
membuatnya bingung adalah beberapa hal yang itu berimbas pada… pada…
“aku tak ingin membahasa
itu. setiap orang memiliki penilaian dan tujuannya sendiri. Diri sendiri, eksistensi diri, merupakan tolak ukur nomor satu yang harus wajib terpenuhi. Sifat
ke Akuan, ke angkuhan, kedigdayaan. ketika merasa dirugikan jelas diri akan berjuang
membela dan mempertahankan diri, melampiaskan ke mereka yang bersalah, menyalahkan
mereka yang tidak benar, mengutuk mereka yang menganggu kebebasannya, mengganggu
eksistensinya”
“banyak orang berpikir asalkan
diri mereka tidak terusik maka semua itu baik. yang jelas patokan utama adalah
diri sendiri. Kepentingan diri jauh lebih baik dari pada orang lain. meski
secara sadar mereka menolak argument itu, namun alam bawah sadar mereka
menindak hal itu ”
Kesimpulan
berani yang bisa Sadto kemukakan saat ini. Namun semua itu ada benarnya. Dia masih
belum bisa membedakan, sebenarnya bisa, Cuma masih belum berani memastikan itu
benar atau tidak. Bagaimana bekerja dengan hati dan bekerja hanya untuk
kepentingan diri. Jika itu untuk kepentingan banyak orang mengapa tidak ada rasa
keterikatan ketika menyelesaikan suatu masalah? Hanya sebatas menunggu dan
membiarkan orang lain bekerja tanpa peduli dengan kondisi yang bekerja?
“itulah yang selama ini
menjadi patokanku menilai kinerja mereka atas dasar kebersamaan atau kepentingan
diri”
Paksaan memang jalan terbaik untuk menimbulkan rasa
tanggung jawab pada jiwa manusia. Tak ada pilihan lain selain mengikuti atau
ter cap sebagai seorang yang tidak kompeten yang nantinya bakal di nyinyir oleh
banyak orang.
“apakah hal itu termasuk
dari kebersamaan kerja? Apakah itu yang Namanya menjalin hubungan baik antar sesama
manusia? Menyalahkan atas dasar tanggung jawab tanpa peduli subjek yang melaksanakan
tanggung jawab? bahkan selama ini dia
hanya melihat dari kejauhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mau
tahu asalkan kerjaan berjalan dengan baik, baru mau tahu ketika semua sudah terlambat
untuk di ubah lagi”
“Statementku barusan
tidak lain hanyalah pembelaan belaka. Aku tak bisa memandang secara objektif
jika orang yang menjadi objek masalah adalah aku”
Memang
fitrah manusia tidak ingin disalahkan. Sadto paham itu. dia tersenyum dan
kembali menata pola pikirnya. Melupakan segala bentuk hambatan yang selama ini
menerpa. Fokus utama Sadto adalah kembali membangun bangunan yang telah runtuh.
Bukan menyalahkan mereka yang menghancurkan bangunan itu.
Sadto berdiri. Malam sudah terlalu larut. Lampu-lampu
jalan menyala semenjak tadi. Nyamuk-nyamuk menghilang karena kekenyangan menyerap
darah dari Sadto. Sadto berkemas untuk kembali ke kosan. Tidak ingin
berlama-lama melakukan uji nyali disitu ditemani dengan setan-setan alas.
Surakarta, November 5,
2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar