Kamis, 30 April 2020

Kumpulan Cerpen; At Home




            Sambil tertatih pria krempeng itu tetap berjalan lurus sambil meminggul karung goni. Pakaiannya lusuh berbau semerbak apek. Banyak orang sekitar menjauh karena tidak ingin terkontaminasi. Memilih menutup hidung atau berjalan bagai menghindari mantan. Tapi suasana akhir-akhir ini berbeda. Seakan semua menghilang di depan matanya. Suasana sepi kesana kemari. Yang ada hanyalah kicauan burung yang mulai berani bertengger di pucuk-pucuk pohon tanpa rasa takut terkena senapan. Jalanan lengang bahkan jika pria itu ingin tidur nggeletak disanapun ga akan tertabrak – saking jarangnya kendaraan melintas. Semua sudah mengurung driiri dalam rumah masing-masing akibat pandemic.

            Lelaki itu tahu bahwa banyak larangan untuk keluar rumah tersebar di berbagau media. Mulai dari koran bekas, televisi warung yang tak sengaja dia lihat, hingga obrolan para warga yang melintas. Semua membicarakan tentang penyakit itu, dan semua sadar dan takut jika tertular penyakit itu. membela diri dengan menutup diri di rumah, pemerintah menyarankan untuk work at home, stay at home, productive at home dan berbagai semboyan yang memaksa masyarakat untuk tidak keluar. Supaya penyebarkan virus tidak semakin mewabah. Gelandangan itu tahu, gelandangan itu juga paham. Tapi apa daya, mengurung diri dirumah sama saja bunuh diri, meski toh tidak terkena penyakit juga bakalan mati kelaparan karena tidak mendapat asupan nasi.

            Pria itu masih berjalan lurus, mengumpulkan tiap bongkahan sampah yang ada disekitarnya. Peluh dan bau sudah tidak digubris. Virus apapun sudah di abaikan. Asalkan bisa hidup dengan berjuang itu lebih baik ketimbang berdiam diri.

“woi, jangan masuk area ini, kami sedang melakukan Lockdown di desa kami!” bentak warga kapling.
Tidak hanya disini, banyak teriakan juga didapat di berbagai kapling yang ingin pria krempeng itu masuki. Tapi tak masalah, masih banyak tempat lain yang menyediakan sampah untuknya.

Aku menghembuskan nafas berat…

            Melihatnya saja sudah merasa kasihan – Tiap hari menatap dari dalam jendela kamar – pemulung itu lekas berlalu meninggalkan tempat. Berlabuh ke tempat lain untuk mengais sampah.

“le, jangan lupa kalo ada tugas atau kuliah”
“iya buk” sahutku dari dalam kamar.

Kembali menatap layer smartphone, sebentar lagi waktunya kuliah online. Aku sama sekali tidak memperhatikan berapa kali absen yang sudah terlewat. Tak peduli lagi berapa nilai IP semester yang akan di dapat sekarang. Asalkan semua matkul lulus, itu sudah lebih dari cukup. Lagian aku belum bisa maksimal melakukan metode ini. Mesti terlihat mudah namun ternyata menyesuaikan perkuliahan ini lebih sulit dari yang dikira. Mulai dari jadwal yang tidak teratur hingga kadang ketiduran saat kelas berlangsung.

            Apalagi niat di dalam diri juga belum terbangun menambah kemalasan Ketika melakukan apapun. Entah itu tugas, organisasi, maupun kegiatan rumahan. Semua dilakukan melalui rebahan. Sambil sekali menatap keluar jendela melihati mereka yang masih pontang-panitng bertahan hidup di luar sana. Melakukan cara apapun untuk bisa mengisi perut mereka.

“bro, nanti kalau sudah selesai bagi tugas ya”

WhoApp Kembali berdering. Temanku ini memang selalu mencari jawaban di berbagai tempat termasuk aku. Yah aku memang tergolong cepat Ketika melakukan sesuatu. Hal itulah yang bisa membuatku malas sampai mendekati deadline.

“ya, kalo beres, ga janji” timpalku seadanya.

Kehidupan yang dimulai dirumah, aku hanya bisa merasakan betapa sepinya karena tiap hari harus mendekam disini. Tidak merasakan susahnya mereka yang masih berkeliaran di luar untuk mencari pundi rezeki.

            Melihat berita isinya hanya tentan covid. Yang trending-trending juga berbagai macam hal konyol, tidak mendidik, dan tidak penting. Tidak ada sesuatu yang menggugahku. Tak ada siaran piala Euro yang mungkin bisa kami sekeluarga nikmati selama puasa andai wabah tidak terjadi. Bisa melihat anime launching tepat waktu, bisa nongkrong bareng temen. Para pekerja harian juga dapat asupan gizi, dan PHK besar-besaran tidak akan terjadi.

“tapi aku percaya segala hal pasti ada hikmahnya” balas seseorang Ketika melihat status galau ku di whoapp.
“hee, memang apa hikmahnya?”
“do’a-do’a mereka yang suka rebahan terkabul”
“montoon bercanda”
“haha, dari dulu lu juga sama kan pasti berharap bisa libur Panjang dikala kesibukan kuliah”
“iya sih pernah”
“nah itu salah satu hikmahnya, kita dibuat merasakan libur panjang”
“tapi tetep aja nyesek kalo tugasnya bejibun kek gini. Pamadatan kuliah dll”
“haha, nikmati aja boss. Mungkin juga hikmah supaya lebih dekat dan bisa sharing-sharing bareng keluarga. Udah lama kan lu ga di rumah”

Aku hanya bisa membalas emoticon senyum. Sudah terlalu lama aku tidak tinggal dirumah hingga melupakan nama beberapa orang di sekitar tetangga rumah.

            Apa yang bisa dilakukan dirumah selain menganggur seharian. Bertingkah seolah produktif tapi nyatanya selalu mencuri waktu untuk bermain dan membuang waktu. Masa yang begitu mencekam dimana hampir segala sesuatu tidak bisa dilakukan. Hanya berbekal jaringan, mau tidak mau banyak orang mulai berpikir dan harus berubah demi mengarungi kehidupan secara maksimal.

“dimasa peralihan seperti ini aku tidak bisa betah dirumah. Tugas menggunung bahkan sampai tidak bisa mengikuti proses belajar perkuliahan”
“meski ada saja orang yang masih betah dan berusaha keras mengikuti kelas”
“aku bahkan sampai lupa rasanya hari minggu, karena kesannya semua hari itu seperti libur”
“gila aku ketinggalan banyak tugas”
“ya ampun kenapa ga ada yang pc aku siang tadi, aku ketiduran ga ikut kelas!”

Grub Whoapp mulai ramai.

Beberapa orang merasa tidak terima Ketika diwisuda online, beberapa juga harus melewatkan momen penting kelulusan SMA dengan wisuda online. Rapat online, organisasi online, kajian online. Tapi itulah yang terbaik yang bisa dilakukan sekarang.

“apa yang harus kamu lakukan sekarang?”
“adaptasi”




Jepara, 30 April 2020

MHA 


0 komentar:

Posting Komentar