Rabu, 27 November 2019

Kumpulan Cerpen; Datar



            “Apa yang membedakan hari ini dengan hari lalu?” Tanya Budiawan.
“kemarin hari rabu, sekarang hari kamis?” Jawabku.
“ya, tapi bukan Cuma itu cuy?” dia Nampak girang, ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan semenjam satu jam yang lalu. Setidaknya aku sudah menebak isi kepalanya.
“kemarin cintaku di terima! Gila ga sih? Padahal aku Cuma keceplosan!”
Aku mencoba ikut berbahagia, memberikan setidaknya senyum renyah sebagai bentuk apresiasi atas capaian yang dia dapat. Inilah yang menjadi jawaban mengapa dia mentraktirku mie ayam siang ini.
“Dan ternyata selama ini dia juga memendam rasa sama aku! Aduh, jika saja aku lebih cepat menyatakan cintaku…”
well, lalu apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
“nanti hari sabtu cuy, aku ada first date bareng dia, bakal aku baca berbagai tutorial kencan agar kesan pertamaku baik ke dia”
“semoga sukses, tapi jangan sampe kelewat batas ya”
“tenang saja bor, pacaranku lebih mengarah untuk menjaga dia, kencan kami ini bakalan syar’i kok”
***

“mas, ingin cendol dawet?”
“yah, saya beli satu”
Dengan ekpresi senang pedagang itu membuatkan ku satu gelas cendol yang kupesan. Membuatnya dengan lincah, menandakan pengalamannya dalam membuat minuman cendol dawet. Segelas cendol dawet tersaji di hadapanku.
“terimakasih”
“siap mas”

Mungkin dia sudah menjalani pekerjaan ini dengan sangat baik. Sambil memakan cendol aku masih kepikiran tentang apa yang aku hadapi saat ini. Tak ada rasa, tak berasa, hambar, bahkan cendol dawet ini saja tak bisa kurasakan setengah mati, padahal lidahku ini normal. Tak ada rasa, bagaik meminum air putih.

“ada apa mas, apa rasanya kurang enak?” rupanya bapak itu melihat raut mukaku yang masam
“tidak kok, rasanya enak” aku harus menipunya untuk mengenmabalikan senyumnya yang hilang lima detik yang lalu.

            Melihat orang yang sedang tersandung. Melihat seorang yang menangis, anak-anak yang nakal dan membully seorang anak yang lain. semua itu terkesan biasa di mataku. Semua seakan tidak ada artinya, tidak ada hablumnya. Bahkan ketika diriku sedang bergurau dengan orang lain. aku tidak menemukan sensasi tawa yang ada dalam setiap jokes nya. Sama sekali tidak.

“tadi sepertinya kamu memaksakan tawamu, apakah guyonan kami tadi segaring itu?” tanya rasya, dia sangat teliti sampai bisa merasakan ekspresi yang telah kusembunyikan
“tidak. Guyonan kalian sangat lucu, mengalahkn juara 1 stand up comedy”
“tapi, kenapa kamu tidak tertawa seperti biasanya? Apakah kamu memiliki masalah yang ingin kamu sharing denganku disini” pintanya sekali lagi. Dia memang orang yang sangat bisa membaca orang lain.
“tidak ada, aku tidak memiliki masalah, ataupun beban yang harus dipikirkan hingga otakku stress, tapi…”
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku
“aku mungkin sudah tidak bisa disebut manusia lagi”
Rasya memiringkan kepalanya, kebingungan menjabarkan kata-kataku.

            Seekor kucing yang kehilangan buntutnya, kulitnya mengelupas dan bulunya mulai rontok, seorang yang kecipratan genangan  air saat berjalan di trotoar, seorang yang kesandung, seorang yang sedang mengupil, seorang yang sedang membasuh keringat ketek, seorang yang sedang menggaruk-garuk Joni kemudian di cium, seorang yang sedang tertimpuk baseball, seorang yang sedang terkena hantaman bola di kepala. Semua tertawa, semua bisa merasakan sakitnya, malunya, lucunya, keindahannya. Namun aku lain. mengapa sekarang aku tidak merasakan hal itu?

“aneh” pikirku, seandainya ini diriku yang dulu, sudah barang tentu aku akan merasa kasihan, atau mungkin tertawa terbahak, atau menolong, atau mungkin setidaknya ikut berbela sungkawa
“ada apa denganku?”
Perasaan yang hilang, rasa empati yang sirna, semua terhempas entah kemana. Dimana aku harus mencari? Rasa yang sungguh datar, berbeda dengan diriku dulu. Waktu kecil bahkan aku bisa membedakan pola warna dari tiap agenda yang biasa kujalani, penuh warna dan mudah untuk di ingat. Apakah ini karena pola hidup? Tekanan hidup yang menekan sehingga lantas membuatku masa bodoh dan kehilangan tekanan itu? tekanan yang menyesakkan hati. Sebuah intens yang kadangkala membuatku khawatir sampai tidak bisa tidur pada malam hari. Namun sekarang segala tekanan itu serasa biasa, segala keadaan itu serasa ampas. Tak penting.

“kenapa kamu tidak mau membantunya? Apakah kamu hanya mau diam disana dan melihat” tanya seorang ibu-ibu ketika di hadapanku terjadi kecelakaan beruntun.
Lamunanku terbuyar. Orang-orang banyak berhamburan ke lokasi kejadian. Membantu mereka yang terjepit, mengevakuasi para korban yang luka-luka. Mengkondisikan lokasi yang kacau balau. Mengatur jalan raya agar tidak macet parah.

“ketika ada kejadian seperti itu, kamu masih bisa-bisanya diam?”
Aku mengangguk
“Dimana hati nuranimu? Dimana empatimu? Dimana sisi kemanusiaanmu!?”
“sudah hilang, dan yang menghilangkannya tak lain manusia itu sendiri”


Surakarta, 28 November 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar