“Apa yang membedakan hari ini dengan hari lalu?” Tanya
Budiawan.
“kemarin hari rabu,
sekarang hari kamis?” Jawabku.
“ya, tapi bukan Cuma itu
cuy?” dia Nampak girang, ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan
semenjam satu jam yang lalu. Setidaknya aku sudah menebak isi kepalanya.
“kemarin cintaku di
terima! Gila ga sih? Padahal aku Cuma keceplosan!”
Aku mencoba ikut
berbahagia, memberikan setidaknya senyum renyah sebagai bentuk apresiasi atas
capaian yang dia dapat. Inilah yang menjadi jawaban mengapa dia mentraktirku
mie ayam siang ini.
“Dan ternyata selama ini
dia juga memendam rasa sama aku! Aduh, jika saja aku lebih cepat menyatakan
cintaku…”
“well, lalu apa
yang ingin kamu lakukan sekarang?”
“nanti hari sabtu cuy,
aku ada first date bareng dia, bakal aku baca berbagai tutorial kencan
agar kesan pertamaku baik ke dia”
“semoga sukses, tapi
jangan sampe kelewat batas ya”
“tenang saja bor, pacaranku
lebih mengarah untuk menjaga dia, kencan kami ini bakalan syar’i kok”
***
“mas, ingin cendol
dawet?”
“yah, saya beli satu”
Dengan ekpresi senang
pedagang itu membuatkan ku satu gelas cendol yang kupesan. Membuatnya dengan
lincah, menandakan pengalamannya dalam membuat minuman cendol dawet. Segelas
cendol dawet tersaji di hadapanku.
“terimakasih”
“siap mas”
Mungkin dia sudah
menjalani pekerjaan ini dengan sangat baik. Sambil memakan cendol aku masih
kepikiran tentang apa yang aku hadapi saat ini. Tak ada rasa, tak berasa,
hambar, bahkan cendol dawet ini saja tak bisa kurasakan setengah mati, padahal
lidahku ini normal. Tak ada rasa, bagaik meminum air putih.
“ada apa mas, apa rasanya
kurang enak?” rupanya bapak itu melihat raut mukaku yang masam
“tidak kok, rasanya enak”
aku harus menipunya untuk mengenmabalikan senyumnya yang hilang lima detik yang
lalu.
Melihat orang yang sedang tersandung. Melihat seorang yang
menangis, anak-anak yang nakal dan membully seorang anak yang lain. semua itu
terkesan biasa di mataku. Semua seakan tidak ada artinya, tidak ada hablumnya.
Bahkan ketika diriku sedang bergurau dengan orang lain. aku tidak menemukan
sensasi tawa yang ada dalam setiap jokes nya. Sama sekali tidak.
“tadi sepertinya kamu
memaksakan tawamu, apakah guyonan kami tadi segaring itu?” tanya rasya, dia
sangat teliti sampai bisa merasakan ekspresi yang telah kusembunyikan
“tidak. Guyonan kalian
sangat lucu, mengalahkn juara 1 stand up comedy”
“tapi, kenapa kamu tidak
tertawa seperti biasanya? Apakah kamu memiliki masalah yang ingin kamu sharing
denganku disini” pintanya sekali lagi. Dia memang orang yang sangat bisa
membaca orang lain.
“tidak ada, aku tidak
memiliki masalah, ataupun beban yang harus dipikirkan hingga otakku stress,
tapi…”
Dia mendekatkan kepalanya
ke arahku
“aku mungkin sudah tidak
bisa disebut manusia lagi”
Rasya memiringkan
kepalanya, kebingungan menjabarkan kata-kataku.
Seekor kucing yang kehilangan buntutnya, kulitnya
mengelupas dan bulunya mulai rontok, seorang yang kecipratan genangan air saat berjalan di trotoar, seorang yang
kesandung, seorang yang sedang mengupil, seorang yang sedang membasuh keringat
ketek, seorang yang sedang menggaruk-garuk Joni kemudian di cium, seorang yang
sedang tertimpuk baseball, seorang yang sedang terkena hantaman bola di kepala.
Semua tertawa, semua bisa merasakan sakitnya, malunya, lucunya, keindahannya. Namun
aku lain. mengapa sekarang aku tidak merasakan hal itu?
“aneh” pikirku,
seandainya ini diriku yang dulu, sudah barang tentu aku akan merasa kasihan, atau
mungkin tertawa terbahak, atau menolong, atau mungkin setidaknya ikut berbela
sungkawa
“ada apa denganku?”
Perasaan yang hilang,
rasa empati yang sirna, semua terhempas entah kemana. Dimana aku harus mencari?
Rasa yang sungguh datar, berbeda dengan diriku dulu. Waktu kecil bahkan aku
bisa membedakan pola warna dari tiap agenda yang biasa kujalani, penuh warna
dan mudah untuk di ingat. Apakah ini karena pola hidup? Tekanan hidup yang
menekan sehingga lantas membuatku masa bodoh dan kehilangan tekanan itu?
tekanan yang menyesakkan hati. Sebuah intens yang kadangkala membuatku khawatir
sampai tidak bisa tidur pada malam hari. Namun sekarang segala tekanan itu
serasa biasa, segala keadaan itu serasa ampas. Tak penting.
“kenapa kamu tidak mau
membantunya? Apakah kamu hanya mau diam disana dan melihat” tanya seorang
ibu-ibu ketika di hadapanku terjadi kecelakaan beruntun.
Lamunanku terbuyar. Orang-orang
banyak berhamburan ke lokasi kejadian. Membantu mereka yang terjepit,
mengevakuasi para korban yang luka-luka. Mengkondisikan lokasi yang kacau
balau. Mengatur jalan raya agar tidak macet parah.
“ketika ada kejadian
seperti itu, kamu masih bisa-bisanya diam?”
Aku mengangguk
“Dimana hati nuranimu? Dimana
empatimu? Dimana sisi kemanusiaanmu!?”
“sudah hilang, dan yang
menghilangkannya tak lain manusia itu sendiri”
Surakarta, 28 November
2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar