Selasa, 21 Februari 2017

Kumpulan cerpen; Pilihan



            Setiap kali kusambut pagi, dengan refleks tanganku membersihkan belek-belek yang kantil di pojokan mata dekat hidung. Setelah benar-benar bersih, tak lupa aku berdo’a setelah tidur. Matahari belum menyingsing dan lampu-lampu masih pada menyala di luar sana.

“Adzan shubuh”

Segera aku keluar dari ranjang dan lekas berangkat menunaikan sholat shubuh.

            Kucing mengeong, anjing menggonggong, kambing mengembik, ayam berkokok. Mendung sudah terlihat menggantung di langit pagi ini. sepertinya hujan akan segera terjadi. Angin berhembus menggoyangkan angklung yang ditaruh salah satu warga di teras rumahnya. Diriku keluar menuju teras, menepi dalam balutan dinginnya udara pagi yang setara dengan udara AC. Ditemani sebuah kopi hangat, ku lontarkan pandanganku ke arah langit. Ku sruput kopiku perlahan sambil merasakan kehangatan yang terasa mengalir melalui kerongkongan.

“Ah....” Sungguh nikmat. Sayangnya aku kelebihan memasukkan air sehingga kurang begitu manis.

            Dari dulu aku tidak pernah peduli dengan tanggapan dan tatapan orang lain. Bagiku pandangan mereka hanyalah angin lalu yang hanya berlalu di dalam setiap detik hidupku. Terkadang, aku bisa melihat secercah perasaan dari berbagai orang yang melihat ku. Ada yang cuek, masa bodoh, benci, geting, gregetan, biasa, optimis, senang, bahagia, dan berbagai perasaan lain yang aku dapatkan hanya dari sekali lirik, maupun saat aku tak sengaja maupun sengaja sedang bercakap-cakap dengan mereka.
“Ah....” kembali aku sruput kopiku yang hambar. Rasa hambarnya membuatku ingin memasukkan gula. Tapi aku baru sadar jika gula dirumah sudah habis.

            Jika aku ditanya tentang apa yang sedang aku rasakan sekarang. Maka aku akan linglung, bingung, mumet, dan paling parah migrain. Perasaanku saat ini percampur aduk di akibatkan berbagai pilihan yang datang menghampiri. Sudah menjadi tugasku untuk memilih satu dari berbagai opsi yang di ajukan kepadaku. Namun sampai kini aku tak kunjung bisa untuk memilih. Rasa kesal dan sesal terkadang merasuk di hati. Mencoba melontarkan segenap rasa bersalah pada diri yang tak kunjung menentukan jati diri.
“Aku siapa? Hidupku akan kugunakan untuk apa? Dan bagaimana yang harus aku lakukan untuk esok harinya?” Kata-kata itu tak ayal selalu memenuhi pikiranku di setiap waktu.

“hidup harus memilih”

Itulah salah satu perkataan yang di gembar-gemborkan oleh hati nurani di dalam diriku. Kata-kata tersebut selalu terngiang di kepala, dan akhirnya menjadi beban pikiran.

            Hal yang menjadi beban pikiran biasanya timbul dari dalam pikiran. Hal yang sepele pun bisa memungkinkan untuk menjadi sebuah beban pikiran, begitu juga dengan beban berat, jika tidak terlalu dipikirkan, maka tidak akan menjadi beban pikiran. Tergantung pikiran dari masing-masing kepala.
“ah....” kembali ku sruput kopiku. Kehangatannya sudah cukup untuk menepis dinginnya udara pagi ini.
“memilih dari pada tidak memilih”
Segala aspek dan tetek bengek kehidupanku saat ini tak sebanding tekanan batin yang terasa di dalam diriku sendiri. Aku merasakan ada semacam tekakan berat yang sampai kini terus mendekap jiwaku yang kecil.

            Rasa bersalah selalu saja ada di akhir. Mumpung aku masih belum berada di akhir hidupku. Aku ingin membuat pilihanku ini tidak akan membuatku menyesal di akhir nanti.
“Ah....” kembali aku menyeruput kopi untuk keempat kalingya. Pandanganku masih menatap langit. Mendung di atas sana tak kunjung mengeluarkan hujan yang sudah di nanti-nanti oleh pepohonan disini.

            Masih banyak hal yang tidak aku ketahui tentang dunia ini. hanya mencari seorang diri tak akan membuatku keluar dari jalan buntu. Dunia terlalu luas jika hanya mencari seorang diri, setidaknya aku membutuhkan seorang yang pintar, atau seorang yang tepat yang pantas untuk ditanyai. Sesaat aku mencermati lebih dalam akan eksistensi dunia. Kulihat di dalamnya terdapat banyak sekat-sekat samar yang memisahkan antara ruang satu dengan ruang yang lainnya. Terlalu banyak jalan, dan tiap jalan diisi oleh berbagai orang-orang tertentu yang juga sejalan.

            Setiap orang yang hidup pasti akan menemui sebuah pilihan. Seperti halnya aku temui kini, hendak mau di bawa kemana hidupku ini? mau menempuh jalan yang mana? semua itu harus dipilih secermat mungkin dan dengan pertimbangan yang matang.

“ah....” kembali aku menyeruput kopiku. Gerimis pun akhirnya turun juga. Sebentar lagi hujan lebat akan menyusul. Mungkin.

“kamu terlalu banya memikirkan dirimu sendiri” kata diriku sendiri kepada diriku sendiri

Mungkin benar. Sadar ataupun tidak. Aku secara langsung maupun tudak langsung telah meninggikan hasrat pribadiku di atas yang lain. Entah kalau di sandingkan dengan apapun, aku selalu merasa yang pantas untuk di menangkan, di junjung tinggi, di hormati, di akui dan dengan di-di yang lain. Semua itu aku rasakan secara sadar maupun tidak. Sebagian yang lain aku juga menganggap mereka merasakan hal yang sama denganku. Entah mereka sadar atau tidak, entah mereka menentang atau tidak. Nyatanya seperti itu adanya. Jika dilihat secara kasat mata maupun dengan mata telanjang. Semua terlihat walaupun di sembunyikan sesembunyi apapun.

            Tabiat manusia memang selalu ingin enak, menang, tinggi, dan mendapat apa yang sudah di ingini. Selagi mereka mendapatka keuntungan. Terkadang apapun rela untuk di korbankan. Maka tidak menjadi hal baru jika ada sebuah pertikaian antar orang maupun antar kelompok yang saling berebut kepentingan. Hal itu untuk membela apa yang mereka percayai, mereka cintai, dan yang mereka banggakan. Segala hal yang di luar itu sudah di anggap salah dan harus di benahi. Sesuatu yang di luar kodrat keyakinan maka akan secepatnya di ringkus dan dihilangkan. Maka pertikaian akan menjadi hal biasa di dunia yang luas ini.

            Ada yang bilang dunia ini sempit. Aku berani bertaruh orang yang berkata seperti itu tidak akan kuat berjalan dari solo sampai jakarta. Padahal itu tidak ada sepertiga puluh enam dari dunia. Itu bukti dunia ini begitu luas. Hanya saja, mereka berpikir dunia ini sempit karena teknologi yang semakin memudahkan orang untuk berpindah tempat. Namun semisal mereka tinggal di pedalaman yang paling dalam dan jauh dengan teknologi, pasti mereka akan segera sadar betapa luasnya dunia ini. Yah, itu hanyalah sebuah pendapat. Semua orang berhak berpendapat. Dan tidak ada orang yang berhak melarang orang lain berpendapat.
“Ah...” aku kembali menyeruput kopiku.

            Haduh, malah sampai kemana-mana deh jadinya. Padahal aku awalnya membahas tentang pilihan. Ya, sekarang aku harus memilih. Memilih jalan yang harus aku tempuh selanjutnya. Dengan berbagai resiko dan keuntungan yang di tawarkan dari tiap pilihan yang di berikan kepadaku.

            Hidup dalam kebingungan memang terasa sangat memilukan. Belum memiliki arah tujuan yang jelas membuat hidup serasa berjalan di tengah kegelapan. Memilih ternyata bisa seberat ini. beda dengan ujian yang bisa di awur dan di logika kapan saja, walaupun logikanya diracik dengan sedikit pengawuran yang tidak bermutu. Memilih tujuan hidup berarti mempertaruhkan nyawa dan waktu yang di berikan hanya sekali. Kalau di sia-siakan maka aku mungkin akan mengalami penyesalan kelak. Dan pasti aku akan sangat kebingungan jika nanti bakal di tanyai.
“kau gunakan apa umurmu?”
“kau gunakan apa waktumu?”
“kesehatanmu?”
Dan lain-lain. Jika aku menjawab sekenanya dan mengawur dengan pengawuran yang biasa aku lakukan saat menjawab tes ujian. Pastilah aku akan medapat siksaan dari neraka yang amat pedih. Jadi tidak semudah itu. nilai jelek saat ujian tidak sebanding dengan siksaan neraka yang secolek apinya saja bisa membakar dunia. Tidak, sama sekali tidak sebanding.
“kamu masih saja mementingkan dirimu” sahut diriku kepada diriku.
Mungkin benar. Sampai saat ini aku selalu saja mementingkan diriku sendiri dari pada orang lain. Mengubah sifat ini begitu sulit. Butuh sebuah keikhlasan ekstra agar membuat sifat buruk ini menghilang dalam diri.
“ah...” aku kembali menyeruput kopiku. Aku sampai lupa, sudah berapa kali menyeruput kopiku ini. udara di luar semakin dingin dan hujan lebat turun mengguyur kampung ini.

            Kenapa aku harus memilih. Karena jika tidak memilih berarti aku tak akan memiliki orientasi yang jelas. Akan mudah terombang-ambing dalam ketidakjelasan yang menyiksa jiwa. Bisa jadi di masa yang akan datang aku akan menjadi seorang yang labil sehingga mudah terhasut. Seperti halnya kata guruku.

“tidak memilih sama saja munafik”

Mungkin karena orang yang tidak memiliki pilihan adalah orang yang tidak memiliki tujuan dan pegangan. Mereka akan mengikuti kepada kubu atau kelompok yang serasa menguntungkan mereka. Jadi begitulah nasib seorang yang tidak mempunyai tujuan. Kadang menjadi baik dan bisa menjadi jahat. Kadang berubah kuning, dan kadang berubah merah. Tergantung hal mana yang lebih menguntungkan bagi mereka. Selamanya aku tidak ingin menjadi orang yang dimikian. Karena orang yang tidak punya pilihan bagiku 
adalah sampah yang patut untuk di buang di tempat sampah.

“ah... Ampas!” tak terasa kopiku hanya menyisakan ampas. Aku tidak menyadari jika kopiku sudah habis sedari tadi. Aku membuang nafas dan mulai mengangkat badan dari kursi. Beranjak menuju belakang untuk membuat kopi yang baru.

!& )@ !&


17-02-17

0 komentar:

Posting Komentar