Matahari
pagi menyingsing menerangi kebun dan ladang yang ada di sekitar tempat itu.
dari kejauhan, terlihat segerombolan anak kecil sedang bermain kejar-kejaran.
Mereka terlihat sangat gembira ketika melihat teman mereka terjungkal
terpeleset gedang. Alhasil, hal itu juga membuat kedua remaja yang
sedang berteduh di bawah pohon rindang itu juga ikut terpingkal-pingkal
dibuatnya.
“sudah lama sekali ya” sahut
salah satu dari remaja itu.
“ya” kata remaja yang satunya.
“ingatkah, kapan terakhir kali
kita bisa bercanda ria seperti itu?” tanyanya.
“mungkin SMP. Lebih tepatnya SMP
kelas tiga” timpal satunya.
“dahulu, kita bisa bebas bermain
bersama teman-teman. Kita bebas melakukan apapun. Saling berkumpul lalu
melakukan permainan-permainan yang sudah jarang dilakukan oleh kebanyakan
anak-anak zaman sekarang. Ah, mengingatnya selalu saja membuat hatiku menjadi
rindu akan zaman itu”
“aku juga merasakan hal yang
sama. Kalau sekarang, mungkin kita sudah tidak patut lagi untuk melakukan hal
kekanak-kanakan seperti dulu”
Mereka berdua tersenyum dengan
senyuman khas masing-masing. Tubuh mereka terebah, dengan berbantalkan kedua
tangan. Pandangan mereka masih mengarah ke arah anak-anak yang sedang bermain
kejar-kejaran di dekat sana. Tanah perbukitan yang agak landai di sana membuat
mereka bisa melakukan hal itu.
“apakah kamu masih ingat?”
“apa?”
“saat kita sudah lelah bermain.
Biasanya kita sering beristirahat disini bersama dengan yang lain”
“tentu saja aku masih ingat.
Salah satu hal yang tidak aku ingat adalah. Sudah berapa kali aku mengencingi
pohon yang ada di belakang kita ini. dan sekarangpun pohon ini tumbuh begitu
besar. Mungkin kencingku dulu mengandung Urea”
“hah, pantesan dari tadi aku
mencium bau pesing”
“ada-ada saja kau. Kencingku dulu
mana bisa baunya tercium sampai sekarang. mungkin bau pesing yang kau cium
barusan hasil dari kencing-kencing anak-anak di seberang situ”
“Hahahaha... bisa jadi” dia diam
sejenak untuk menggali beberapa hal yang ada di dalam otak kepalanya.
“terkadang aku sangat ingin bisa kembali ke masa lalu. Merasakan lagi kehidupan
di masa kecilku” celetuknya lagi.
“kamu jangan terlalu berharap
sob. Mesin waktu belum di temukan”
“mungkin kamu yang besok akan
menemukannya”
“mungkin iya. Mungkin juga tidak”
Lalu mereka berdua tertawa dengan
tawa khasnya masing-masing.
Sinar matahari
sudah begitu kuat menyengat kulit. Butuh sekiranya losien UV tebal untuk
menangkal radikalisasi sinar matahari yang satu ini. tapi, anak-anak disini
rupanya sudah kebal akan sengatan sinar matahari yang sering mereka rasakan
setiap hari. Mungkin hal itulah yang membuat kulit mereka kini beradaptasi.
Bisa dilihat dari wajah-wajah mereka yang masih sumringah bermain meski sedang
bermandikan cahaya matahari.
“Hei Julman?”
“Hmm...?” dia bergumam.
“Dari tadi kok diam terus?”
“lha kamu juga sama”
“waktu yang berharga ini jangan
sampai kita sia-siakan Jul. Bisa saja kita tidak akan mendapatkan waktu seperti
apa yang sedang kita rasakan saat ini”
“iya-iya aku tahu” kata Julman. Hening
sejenak, sampai akhirnya jumpal melontarinya dengan pertanyaan “aku dapat kabar
jika kamu akan kuliah di luar negeri?”
“ya. kira-kira satu bulan lagi
aku akan berangkat. Tugasku sekarang adalah mengumpulkan berkas-berkas dan
arsip-arsip yang ada. Kalau kamu. Apa sudah memiliki niatan untuk melanjutkan
pendidikan?”
“belum. Mungkin aku tidak akan
melanjutkan pendidikanku lagi. Cukuplah sembilan tahun aku belajar. Selama sisa
hidupku ini, aku ingin membantu kedua orang tuaku untuk menggarap sawah”
“apa kamu tidak berniat untuk
keluar dari kampung?”
“jika semua memiliki niatan
seperti itu. terus siapa lagi yang akan merawat kampung ini. aku dulu pun juga
berniat untuk meninggalkan kampung dan mencari pekerjaan yang lebih baik di
luar sana. Tapi ketika aku melihat banyak teman-teman yang sudah berada di
kota-kota untuk mengejar pekerjaan. Dari situ aku berpikir akan lebih baik jika
aku tetap tinggal disini”
“pilihanmu itu sangat aku
apresiasi”
“apa itu apresiasi”
“artinya, aku sangat mendukungmu”
“ohh.... aku belum tahu betul
sama bahasa-bahasa asing selain bahasa indonesia”
“tadi itu bahasa indonesia.
Gimana sih. Bilang aja kosa katamu masih setebal buku tulis”
Lalu mereka berdua tertawa
kembali.
“hei Zulfan. aku kan sudah
menyatakan tujuanku untuk tinggal di desa. Lalu, sekarang giliranmu menjelaskan
tujuanmu. Kenapa kamu memilih keluar desa dan belajar sampai jauh-jauh segala?
Di dalam negeri ini kan sepertinya juga ada banyak tempat kuliah”
“alasanku cukup sederhana saja. Tapi
sepertinya sangat berat untuk di realisasikan”
“realisasikan?”
“diwu-jud-kan. Itu arti kata dari
realisasi” katanya sambil mengeja kata ‘wujudkan’
“Oooo....”
Lalu Zulfan kembali melanjutkan
bicaranya “alasanku memang cukup sederhana. Aku ingin mengubah tatanan yang ada
di luar sana yang menurutku salah”
“tatanan salah? Apa itu?” Tanya
Julman polos.
“sistem yang ada di dunia ini.
aku permisalkan saja dengan mesin penggiling padimu”
“ya”
“jika mesin penggiling padi itu
ada yang rusak. Apa yang akan terjadi dengan mesin penggiling padimu?”
“tidak bisa menyala”
“ya. Tidak bisa menyala. Atau
yang paling syukur bisa menyala, tapi hasil kerjanya tidak semaksimal jika
mesin penggiling padimu tidak ada yang rusak. Atau malah bisa jadi malfungsi,
alias tidak bekerja sesuai dengan yang diharapan. Jadi diibaratkan seperti
itulah. Itu hal yang sekarang ingin aku ubah. Mesin di dunia ini ada yang rusak
dan aku ingin untuk memperbaiki mesin itu agar sistem di dunia ini bisa
berfungsi dengan lebih baik dan tidak salah seperti sekarang ini”
“wah. Sungguh keinginanmu itu
pasti sangat luar biasa. Tapi maaf Zul, sepertinya aku belum mudeng
dengan apa yang barusan kamu katakan tadi. Tapi mungkin orang yang agak lebih
pintar sedikit bisa mengetahui makna dari kata-katamu itu”
“HAHAHA..... rasanya aku seperti
sedang bicara dengan orang yang baru lulus TK. Padahal kita seumuran”
“HAHAHA.... mungkin karena sudah
lama tidak belajar membuat otakku kian tumpul”
“HAHAHA..... mungkin barangkali,
karena sering tidak digunakan. Akhirnya otakmu melorot ke dungkul”
“HAHAHA..... atau bisa jadi, aku
sudah tidak punya otak”
“HAHAHA..... benar”
“HAHAHA.....salah”
Lalu mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.
Mereka
lalu membicarakan ke berbagai topik lain. Mulai dari yang sederhana, sampai yang
tidak sederhana. Ikatanlah yang membuat mereka sekarang masih bersahabat. Setidaknya
untuk saat ini. namun hal itu masih ingin mereka pertahankan. Walaupun mereka
sudah dipisah jauh oleh tempat dan keadaan. Ya, Zulfan semenjak kelas tiga SMP
sudah pindah dari kampung itu. karena alasan ekonomi yang membuat mereka harus
pindah ke kota sebelah.
“bagaimana kamu bisa jadi pinter
begitu?”
“mungkin faktor keadaan yang
melecutkan semangatku”
“apa disana keadaannya sangat
menekan”
“bisa dibilang begitu. Sifat
orang-orang sana berbanding terbalik dengan orang yang disini. Untungnya aku
masih belum terpengaruh”
Tak terasa
mereka sudah sangat lama berbaring di dalam naungan pohon yang rimbun itu.
angin berdesir menghempaskan ilalang yang tumbuh lebat di sekitar pohon itu.
pohon besar itu, adalah bukti bahwa masyarakat di desa ini cinta akan kehijauan.
Atau mungkin lebih tepatnya. Para penggergaji ilegal yang sering
menggundul-plontoskan hutan belum sampai ke desa tersebut.
“Zul?”
“apa Jul?”
“apa cita-citamu kedepannya?”
“untuk mewujudkan ambisiku....”
“ambisi?” Julman menyela
“keinginan”
“oh” Julman mengangguk paham
“untuk mewujudkan keinginanku.
Aku harus bisa masuk dalam kencah perpolitikan. Kamu nggak nanya kancah itu
apa”
Julman menggeleng “pokoknya
perpolitikan gitu aja. Ayo lanjutkan”
“hah” Zulfan membuang nafas “Jadi,
aku mau tidak mau harus bisa masuk ke dalam dunia perpolitikan. Namun sebelum
bisa masuk kesana. Aku harus memiliki kapasitas dan uang yang memadai. Maka
dari itu aku harus giat belajar dan menjadi pengusaha sukses”
“cita-citamu besar tapi jangan
lupa sama yang di atas Zul. Bisa-bisa kamu malah jadi Kafir lagi”
“tenang aja. Aku juga selalu
mengasah rohani kok. Insya Allah aku tidak akan melenceng dari jalan yang
lurus”
“Sholat juga jangan pernah
ditinggalkan. Kata guru ngaji disini. Dosanya sangat besar kalau kita sampai meninggalkan
sholat”
Zulfan mengangguk mantap.
“lalu apa lagi yang kamu inginkan?”
“menikah”
“menikah?”
“ya menikah. kira-kira sehabis
aku menyelesaikan S2 ku ini. Tapi yang aku nikahi bukan yang sembarangan”
“sok-sok’an banget kau Zulfan.
Memang tipikal apa yang ingin kau nikahi itu?” tanya Julman dengan antusias.
”setidaknya dia seorang wanita
kuat yang bisa menjaga dirinya. Kuat yang kumaksud disini adalah kuat agamanya
dan juga kuat kesabarannya. Karena bukan tidak mungkin kedepannya aku akan
menerima banyak tekanan karena telah melawan sistem zalim yang sudah bercokol
di dunia ini begitu lama. Mungkin hanya itu tipikal wanita yang ingin aku
nikahi”
“kalau kamu?” Zulfan balik
bertanya.
“kira-kira samalah. Tapi ada dua
tambahan yang harus ada”
“cantik dan kaya” jelas Zulfan
“lho kok kau tahu!?” Julman
terbelalak
“pemikiran orang desa itu mudah
di tebak”
“bukannya kamu juga orang desa”
“iya ndeng”
“HAHAHA.....”
“HAHAHA.....”
Lalu mereka berdua tertawa dengan
tawa khasnya masing-masing.
Daun
terlepas dari tangkainya. Lebah-lebah keluar dari sarangnya. Padi-padi dan
kacang-kacangan, tertanam rapi di kanan kiri jalanan setapak yang belum di
siram oleh aspal. Para penggarap sawah dan ladang dengan tekunnya bekerja
dengan menengenakan topi capit untuk melindungi mereka dari teriknya sinar
matahari. Terlihat jelas, yang bekerja disana hanyalah para orang tua.
Jam
Tangan Zulfan berbunyi. Sekarang adalah akhir dari kunjungannya kemari.
“saatnya aku untuk pergi”
“secepat ini!?”
“mungkin lain kali aku akan
berkunjung kemari”
“lain kali itu kapan?”
“yah. Mungkin akan cukup lama sih.
Tapi tenang saja. Aku tidak akan pernah lupa kok untuk mengunjungi tempat
kelahiranku sendiri”
“janji?”
“Insya Allah”
Lalu mereka berdua tersenyum
dengan senyum khasnya masing-masing. Lalu berjabat tangan dengan erat dan
dilanjutkan saling merangkul.
“aku pegi dulu”
“ya hati-hati”
“assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Zulfan berjalan kearah sepeda
motornya yang ia parkirkan. Pandangan Julman masih tak bisa lepas dari Zulfan,
sahabat semasa kecilnya itu. sampai akhirnya mereka saling membagi senyum untuk
yang terakhir kalinya. Dan Zulfan pun berlalu meninggalkan desa tersebut. Entah
berapa lama, dan entah sampai kapan, Zulfan akan kembali menapak ke kampung
halamannya. Mungkin lama, atau mungkin juga sebentar. Tergantung pada dirinya.
03-02-17
0 komentar:
Posting Komentar