Sabtu, 23 April 2016

Kumpulan Cerpen; Kebenaran?



Semua orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Itulah yang membuat manusia harus bisa saling mengerti satu dengan yang lain. kalau tidak. Bisa-bisa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
“Tapi, bagaimana sekarang” kata Alif. Seorang mahasiswa yang sudah menggenapi hidupnya selama dua dekade ini. Matanya masih berjibaku menatap langit biru yang cerah. Dia masih saja berbaring sambil menopang kepalanya dengan tangan.
“apanya?” Nurman berhenti menceguk minuman isotoniknya. Lalu menatap Alif. Dia dan Alif memang terlihat seumuran. Tapi sebenarnya dia lebih tua 5 tahun dari pada Alif.
“bagi sebagian orang, dunia ini memang bisa dibilang aman. Namun, dilain sisi, banyak orang yang menjadi korban akan keamaanan yang kita rasakan sekarang ini. Kau tahu, sekarang konflik sudah merembet kemana-mana” eluh Alif. Tangannya mengepal menunjukkan rasa kekecewaan yang terbesit di dalam dada.
“aku tahu maksudmu. Apalagi saudara-saudara kita selalu saja menjadi korban kekejaman mereka. Akupun juga merasa terbakar. Tapi apa daya. Sekarang ini aku belum punya kekuatan apapun. Mungkin karena yang berkuasa sekarang adalah bukan dari orang-orang yang baik. Mungkin”

Panas matahari membuat kedua pria itu berkeringat. Sebotol minuman isotonik sudah habis diminum oleh Nurman. Si Alif marah karena tidak di turahi. Lantas dia bersabar dan menahan emosinya.

Tak lama kedua orang tersebut meninggalkan tempat tersebut. Mereka sudah tak betah menahan panas yang semenjak tadi memanggang mereka. Alif dan Nurman kembali berlari. Melanjutkan lari pagi yang semestinya sudah selesai dari tadi. tapi itu terhalang dengan adanya sebuah baku tembak antara teroris dengan aparat kepolisian. Kejadian itu terjadi di tengah-tengah perjalanan lari pagi mereka. Kalau tidak salah. Dalam tragedi tersebut terdapat 11 korban. 4 orang dinyatakan tewas akibat peluru nyasar dan 6 orang yang lain meninggal terkena bom. Sedangkan 1 orang lagi mengalami luka-luka

            Kedua orang itu berlari untuk kembali menuju kos-kos’an masing-masing. Tak heran jika mereka harus kembali melewati lokasi terjadi pemboman tadi. Garis-garis line polisi terpasang memutari sebuah gedung yang sudah runtuh terkena ledakan. Terlihat suasana sudah mulai bisa dikintrol dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang selfie di tempat kejadian perkara.
“siapa sebenarnya dalang dari semua ini?” Alif tak sengaja melontarkan kata tersebut.
“entahlah. Kita sepertinya cuma boleh tahu sampai disini”
“apakah kamu menerima hal seperti ini” Nurman melihat wajah Alif mulai terlihat geram
“tenanglah. Jika kau marah-marah disini. Yang ada kamu malah di foto’in sama para alayers dan di hastags dengan berbagai hastags yang aneh-aneh” Nurman mencoba menenangkan suasana. Alif yang merasa jika perbuatannya sia-sia, berusaha menenangkan kembali pikirannya.
Tak jauh dari tempat tersebut. di waktu yang bersamaan. Seorang gadis berbaju putih dan ber rok hitam, memandang tempat kejadian dari atas sebuah gedung pencakar langit. Rambut setengah bahunya berkibaran tertiup angin kencang. Semua orang tak menyadari ataupun tahu keberadaan gadis tersebut. Sampai disaat Alif dan Nurman meninggalkan tempat. Tanpa disadari, gadis itu juga menghilang dari tempatnya.

            Hari berikutnya, awan mendung yang gelap menyelubungi langit-langit. Saat itu, yang terjadi hanyalah sebuah gerimis. Namun miris. karena Cuma itu, air-air diselokan sudah mulai membanjiri jalanan. Alif berjalan melewati genangan air yang menguap dari selokan. Sebuah payung kecil di tentengnya. Wajahnya terlihat lesu karena hari ini dia habis mengerjakan 3 remidial. Lantas jalannya sempoyongan. Dia tak peduli jika sudah 2 kali hampir mampus di tabrak mobil. Untung sang sopir menginjak rem dalam-dalam. Sehingga dia masih mendapat kesempatan mengumpati si Alif yang masih hidup.
“woi bocah tuut...(mesoh). Kamu anaknya siapa to!. Emang ini jalan buyut lo!” bentak pak sopir sambil menekan klakson keras-keras. Tapi si Alif Cuma membalas dengan senyuman. Kali ini dia tak mau mencari ribut dengan pak sopir. Dan masih saja berjalan sempoyongan menuju kos-kos’annya.

            Gerimis pun berubah menjadi hujan yang lebat. Sebagian tempat sudah banyak yang terendam. Warga yang rumahnya sudah tidak layak tinggal, masih tetap nekat untuk berada di rumahnya. Alasannya dikarenakan, lebih mudah mendapatkan air. Alif masih berjalan menyusuri gang sempit. Sebentar lagi mungkin dia akan sampai di kos nya. Walau begitu, sepertinya Alif tidak bisa cepat-cepat datang ke kosnya. Dia baru sadar bahwa kunci pintu kosnya ketinggalan di laci meja. Tempat kelasnya berada.
“kutuuuu kupreeeet....!” suara Alif menggelegar sampai menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar sana. Dia yang tadinya loyo dan lemas. Tiba-tiba saja bisa lari dengan kencang, menuju ke kampusnya.

            Di sebuah pertigaan jalan gang yang sempit. Bertemulah si Alif dengan seorang perempuan berambut sepanjang bahu. Dirinya sama sekali tak peduli dan tetap berlari. Namun sang wanita dengan sengaja menjegal kaki Alif dengan kakinya. Sehingga membuatnya tersungkur dan mendusur beberapa meter.
“apa-apaan sih!” teriak Alif. Sebelum mengetahui jika yang dilihatnya hanyalah seorang perempuan yang kebasahan terkena hujan yang deras. Mata Alif yang garang seketika berubah. Dia menghembuskan nafas dalam-dalam sambil bangkit dari ketersungkurannya.
“mbak... saya bilangin ya... kalau jalan kakinya untuk melangkah jangan di panjang-pajangin. Kasihan orang yang terkena kaki si mbak.”
Perempuan itu tetap diam di tempatnya. Alif melihat wajahnya penuh duka, entah apa yang perempuan itu rasakan. Alif pun mencoba menanyakan
“ada masalah apa ya mbak?”
Perempuan itu tetap diam. Tapi dia melangkah mendekati Alif dan memberikan sebuah kertas yang sudah basah. Lantas perempuan itu pergi “tolong berikan ini kepada orang yang layak” kata perempuan itu sambil berlalu. Alif tak bisa berkata lagi. Dalam kebingungan yang tercampur oleh guyuran hujan yang lebat. Tatapannya terfokus pada sebuah kertas yang sedang di genggamnya. Pikirannya melamun pada berbagai hal yang ada. setelah dia membaca beberapa huruf yang leder terkena tetesan hujan. Ternyata adalah sebuah nama yang menyangkut kasus pemboman kemarin. Alif tiba-tiba kaget. Dalam suasana dingin yang menggigit. Dia tak bisa berkata selain hanya menganga. Dalam situasi tersebut. Dia tak ingin berpikiran terlalu panjang. Hal yang selama ini harus di perbuatnya haruslah hal yang benar-benar mungkin.
“apa ini semacam bukti dari kasus teror bom kemarin?” pikirannya terjun ke dalam bawah sadarnya
“tapi apakah ini benar-benar bukti yang nyata. Atau hanya sebuah guyonan” matanya sayu menatap kertas yang di pegangnya
“tapi kenapa perempuan tadi tidak memberikan hal ini kepada pihak polisi atau petugas keamanan yang lain? kenapa harus aku? Apa gara-gara hal ini hanya sebuah kebetulan” awang-awangnya menelusuri berbagai hal yang menurutnya mungkin untuk di pikirkan
“jelaskah ini untuk membuktikan tentang keinginanku untuk mencari sebuah kebenaran...? tidak. Tidak ada bukti untuk hal semacam ini. Mungkin orang-orang disana hanya menganggap ini sebuah humor belaka. Dan bisa jadi aku akan di cap sebagai orang yang terlibat dengan kasus ini. Apa mungkin begitu” pikirannya bercampur aduk menjadi satu. Membuat sebuah bubur kacang ijo yang siap di santap kapanpun
“tentunya wanita tadi pasrah. Mungkin karena  tidak ada orang yang percaya. Atau karena dia memang berbohong. Atau mungkin karena dia takut untuk menyampaikan kebenaran. Aku tidak mengerti. Ternyata aku hanyalah orang biasa. Pengetahuanku hanyalah sebatas tahu jika ada sebuah teror yang meruntuhkan sebuah gedung. Jika aku mencoba tahu lebih jauh. justru akulah yang akan tergusur.” Kali ini dia sudah menyimpulkan sesuatu. Apa itu kebenaran dan hal yang menyokongnya. Berbagai macam pikiran yang dipikirkannya seakan menolak untuk menemui kebenaran yang ada. Dirinya belum kuat terhadap tekanan yang di berikan dari berbagai penjuru. Nafasnya belum kuat untuk berlari dari monster-monster yang siap menerkamnya hidup-hidup.
“sudahlah, aku tidak peduli. aku belum siap untuk hal ini” lalu dia membuang kertas tersebut. membuatnya tergenang dalam air yang keruh. Tulisan disana sudah tidak bisa lagi di baca oleh siapapun. Sedangkan, Alif melanjutkan berlari untuk mengambil kuncinya yang tertinggal di laci mejanya.


14 Februari 2016

0 komentar:

Posting Komentar