Semua orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Itulah yang
membuat manusia harus bisa saling mengerti satu dengan yang lain. kalau tidak.
Bisa-bisa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
“Tapi, bagaimana sekarang” kata Alif. Seorang mahasiswa yang sudah
menggenapi hidupnya selama dua dekade ini. Matanya masih berjibaku menatap
langit biru yang cerah. Dia masih saja berbaring sambil menopang kepalanya
dengan tangan.
“apanya?” Nurman berhenti menceguk minuman isotoniknya. Lalu
menatap Alif. Dia dan Alif memang terlihat seumuran. Tapi sebenarnya dia lebih
tua 5 tahun dari pada Alif.
“bagi sebagian orang, dunia ini memang bisa dibilang aman. Namun,
dilain sisi, banyak orang yang menjadi korban akan keamaanan yang kita rasakan
sekarang ini. Kau tahu, sekarang konflik sudah merembet kemana-mana” eluh Alif.
Tangannya mengepal menunjukkan rasa kekecewaan yang terbesit di dalam dada.
“aku tahu maksudmu. Apalagi saudara-saudara kita selalu saja
menjadi korban kekejaman mereka. Akupun juga merasa terbakar. Tapi apa daya.
Sekarang ini aku belum punya kekuatan apapun. Mungkin karena yang berkuasa
sekarang adalah bukan dari orang-orang yang baik. Mungkin”
Panas matahari membuat kedua pria itu berkeringat. Sebotol minuman
isotonik sudah habis diminum oleh Nurman. Si Alif marah karena tidak di turahi.
Lantas dia bersabar dan menahan emosinya.
Tak lama kedua orang tersebut meninggalkan tempat tersebut. Mereka
sudah tak betah menahan panas yang semenjak tadi memanggang mereka. Alif dan
Nurman kembali berlari. Melanjutkan lari pagi yang semestinya sudah selesai
dari tadi. tapi itu terhalang dengan adanya sebuah baku tembak antara teroris
dengan aparat kepolisian. Kejadian itu terjadi di tengah-tengah perjalanan lari
pagi mereka. Kalau tidak salah. Dalam tragedi tersebut terdapat 11 korban. 4
orang dinyatakan tewas akibat peluru nyasar dan 6 orang yang lain meninggal
terkena bom. Sedangkan 1 orang lagi mengalami luka-luka
Kedua orang itu
berlari untuk kembali menuju kos-kos’an masing-masing. Tak heran jika mereka
harus kembali melewati lokasi terjadi pemboman tadi. Garis-garis line polisi terpasang
memutari sebuah gedung yang sudah runtuh terkena ledakan. Terlihat suasana
sudah mulai bisa dikintrol dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
orang yang selfie di tempat kejadian perkara.
“siapa sebenarnya dalang dari semua ini?” Alif tak sengaja
melontarkan kata tersebut.
“entahlah. Kita sepertinya cuma boleh tahu sampai disini”
“apakah kamu menerima hal seperti ini” Nurman melihat wajah Alif
mulai terlihat geram
“tenanglah. Jika kau marah-marah disini. Yang ada kamu malah di
foto’in sama para alayers dan di hastags dengan berbagai hastags
yang aneh-aneh” Nurman mencoba menenangkan suasana. Alif yang merasa jika
perbuatannya sia-sia, berusaha menenangkan kembali pikirannya.
Tak jauh dari tempat tersebut. di waktu yang bersamaan. Seorang gadis
berbaju putih dan ber rok hitam, memandang tempat kejadian dari atas sebuah
gedung pencakar langit. Rambut setengah bahunya berkibaran tertiup angin
kencang. Semua orang tak menyadari ataupun tahu keberadaan gadis tersebut.
Sampai disaat Alif dan Nurman meninggalkan tempat. Tanpa disadari, gadis itu
juga menghilang dari tempatnya.
Hari berikutnya,
awan mendung yang gelap menyelubungi langit-langit. Saat itu, yang terjadi
hanyalah sebuah gerimis. Namun miris. karena Cuma itu, air-air diselokan sudah
mulai membanjiri jalanan. Alif berjalan melewati genangan air yang menguap dari
selokan. Sebuah payung kecil di tentengnya. Wajahnya terlihat lesu karena hari
ini dia habis mengerjakan 3 remidial. Lantas jalannya sempoyongan. Dia tak
peduli jika sudah 2 kali hampir mampus di tabrak mobil. Untung sang sopir
menginjak rem dalam-dalam. Sehingga dia masih mendapat kesempatan mengumpati si
Alif yang masih hidup.
“woi bocah tuut...(mesoh). Kamu anaknya siapa to!. Emang ini jalan
buyut lo!” bentak pak sopir sambil menekan klakson keras-keras. Tapi si Alif
Cuma membalas dengan senyuman. Kali ini dia tak mau mencari ribut dengan pak
sopir. Dan masih saja berjalan sempoyongan menuju kos-kos’annya.
Gerimis pun
berubah menjadi hujan yang lebat. Sebagian tempat sudah banyak yang terendam.
Warga yang rumahnya sudah tidak layak tinggal, masih tetap nekat untuk berada
di rumahnya. Alasannya dikarenakan, lebih mudah mendapatkan air. Alif masih
berjalan menyusuri gang sempit. Sebentar lagi mungkin dia akan sampai di kos nya.
Walau begitu, sepertinya Alif tidak bisa cepat-cepat datang ke kosnya. Dia baru
sadar bahwa kunci pintu kosnya ketinggalan di laci meja. Tempat kelasnya
berada.
“kutuuuu kupreeeet....!” suara Alif menggelegar sampai menjadi
pusat perhatian orang-orang di sekitar sana. Dia yang tadinya loyo dan lemas.
Tiba-tiba saja bisa lari dengan kencang, menuju ke kampusnya.
Di sebuah
pertigaan jalan gang yang sempit. Bertemulah si Alif dengan seorang perempuan
berambut sepanjang bahu. Dirinya sama sekali tak peduli dan tetap berlari.
Namun sang wanita dengan sengaja menjegal kaki Alif dengan kakinya. Sehingga
membuatnya tersungkur dan mendusur beberapa meter.
“apa-apaan sih!” teriak Alif. Sebelum mengetahui jika yang
dilihatnya hanyalah seorang perempuan yang kebasahan terkena hujan yang deras.
Mata Alif yang garang seketika berubah. Dia menghembuskan nafas dalam-dalam
sambil bangkit dari ketersungkurannya.
“mbak... saya bilangin ya... kalau jalan kakinya untuk melangkah
jangan di panjang-pajangin. Kasihan orang yang terkena kaki si mbak.”
Perempuan itu tetap diam di tempatnya. Alif melihat wajahnya penuh
duka, entah apa yang perempuan itu rasakan. Alif pun mencoba menanyakan
“ada masalah apa ya mbak?”
Perempuan itu tetap diam. Tapi dia melangkah mendekati Alif dan
memberikan sebuah kertas yang sudah basah. Lantas perempuan itu pergi “tolong
berikan ini kepada orang yang layak” kata perempuan itu sambil berlalu. Alif
tak bisa berkata lagi. Dalam kebingungan yang tercampur oleh guyuran hujan yang
lebat. Tatapannya terfokus pada sebuah kertas yang sedang di genggamnya.
Pikirannya melamun pada berbagai hal yang ada. setelah dia membaca beberapa
huruf yang leder terkena tetesan hujan. Ternyata adalah sebuah nama yang
menyangkut kasus pemboman kemarin. Alif tiba-tiba kaget. Dalam suasana dingin
yang menggigit. Dia tak bisa berkata selain hanya menganga. Dalam situasi
tersebut. Dia tak ingin berpikiran terlalu panjang. Hal yang selama ini harus
di perbuatnya haruslah hal yang benar-benar mungkin.
“apa ini semacam bukti dari kasus teror bom kemarin?” pikirannya
terjun ke dalam bawah sadarnya
“tapi apakah ini benar-benar bukti yang nyata. Atau hanya sebuah
guyonan” matanya sayu menatap kertas yang di pegangnya
“tapi kenapa perempuan tadi tidak memberikan hal ini kepada pihak
polisi atau petugas keamanan yang lain? kenapa harus aku? Apa gara-gara hal ini
hanya sebuah kebetulan” awang-awangnya menelusuri berbagai hal yang menurutnya
mungkin untuk di pikirkan
“jelaskah ini untuk membuktikan tentang keinginanku untuk mencari
sebuah kebenaran...? tidak. Tidak ada bukti untuk hal semacam ini. Mungkin
orang-orang disana hanya menganggap ini sebuah humor belaka. Dan bisa jadi aku
akan di cap sebagai orang yang terlibat dengan kasus ini. Apa mungkin begitu”
pikirannya bercampur aduk menjadi satu. Membuat sebuah bubur kacang ijo yang
siap di santap kapanpun
“tentunya wanita tadi pasrah. Mungkin karena tidak ada orang yang percaya. Atau karena dia
memang berbohong. Atau mungkin karena dia takut untuk menyampaikan kebenaran.
Aku tidak mengerti. Ternyata aku hanyalah orang biasa. Pengetahuanku hanyalah
sebatas tahu jika ada sebuah teror yang meruntuhkan sebuah gedung. Jika aku
mencoba tahu lebih jauh. justru akulah yang akan tergusur.” Kali ini dia sudah
menyimpulkan sesuatu. Apa itu kebenaran dan hal yang menyokongnya. Berbagai
macam pikiran yang dipikirkannya seakan menolak untuk menemui kebenaran yang
ada. Dirinya belum kuat terhadap tekanan yang di berikan dari berbagai penjuru.
Nafasnya belum kuat untuk berlari dari monster-monster yang siap menerkamnya
hidup-hidup.
“sudahlah, aku tidak peduli. aku belum siap untuk hal ini” lalu dia
membuang kertas tersebut. membuatnya tergenang dalam air yang keruh. Tulisan
disana sudah tidak bisa lagi di baca oleh siapapun. Sedangkan, Alif melanjutkan berlari untuk mengambil kuncinya yang tertinggal di laci mejanya.
14 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar