Minggu, 17 April 2016

Kumpulan Cerpen; Malas

Malas

            Terdapat sebuah benda yang ditakuti semua orang kecuali pemiliknya. Benda itu adalah hasil pengumpulan zat kotor yang menempel pada silia. Bentuknya padat namun bisa dibentuk jadi apa saja. Warnanya kuning keputih-putihan. Kadang warnanya coklat dan bisa juga hitam. Namun yang paling sering adalah kuning. Dialah upil. Tapi kita tidak sedang membahas tentang upil. Apalagi jika itu upil orang lain.
            Malas. Adalah sebuah kata untuk orang yang sedang tak mau melakukan apapun. Katanya malas adalah sebuah penyakit. Penyakit malas sering hinggap pada orang-orang yang kurang kerjaan atau orang yang sebenarnya punya kerja, tapi tidak memiliki semangat untuk melakukannya. Menurut Syamsuri. Seorang pelajar yang saat ini sedang berada di bangku kelas 2 SMA menyangkal pendapat tersebut. “malas tak selalu identik dengan kata sakit. Malas adalah sebuah gejala di saat pikiran seseorang tidak bisa mengetahui manfaat apa yang ingin dikerjakannya sehingga otak memilih untuk tidak mengerjakannya” katanya pada suatu waktu.

            Menurut kebanyakan orang yang ada di sekolahnya. Syamsuri termasuk orang yang pemalas. Dia sering terlihat tidur saat pelajaran. Sering tidak mengikuti les tambahan. Sering membolos saat ada ekstrakulikuler. Dan saat di suruh-suruh dia terkadang juga enggan melakukannya. sampai-sampai di kelas Syamsuri, hal itu menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Meskipun berulangkali dia menyangkalnya.
“aku ini bukan malas. Cuman.... aku hanya menghemat tenaga dan pikiran dari hal-hal yang tidak penting”
Syamsuri adalah seorang yang mudah bergaul. dia tidak pernah memilih-milih teman. Dan dirinya selalu bisa bersikap berbeda-beda sesuai dengan teman yang ada di hadapannya. Dia tak selalu tertutup, meskipun Syamsuri selalu menghindari kegiatan-kegiatan yang bersikap resmi seperti upacara atau rapat. Dia juga tak pernah mengikuti kegiatan organisasi. Karena dia pikir bahwa kegiatan tersebut sangat membosankan dan banyak menyita waktu.

            Sepulang dari sekolah, terlihat beberapa orang berkumpul di pinggiran pintu gerbang sekolah. Terdiri antara beberapa anak laki-laki dan perempuan. Mereka adalah siswa yang sangat aktif dengan kegiatan organisasi. Tak jarang mereka pulang larut hanya untuk mengejar proker yang belum selesai. Syamsuri memiliki beberapa firasat buruk saat ada seorang perempuan diantara mereka meliriknya. Syamsuri yang saat itu sudah kebelet ingin pulang kerumahnya tiba-tiba di cegat oleh seorang siswi yang meliriknya tadi.
“oi suri. Hari ini kamu nggak ada kerjaan kan?” kata perempuan itu. Badannya lebih kecil dari Syamsuri. Rambutnya sebahu dan berkulit sawo matang. Dilihat dari rupa-rupa capek dan senyum palsunya. Sudah jelas jika dia barusan minum 3 botol krati*gdeng.

“nggak. Tapi kalau aku disuruh-suruh mendingan kamu cari orang lain yang lebih pantas dari pada aku. Soalnya aku nggak mau disuruh-suruh” Syamsuri masih saja dengan muka malesnya meskipun dia menyangkal kalau tidak males, tapi memang bawaan dari lahir.
Perempuan yang berada di depannya memang berniat menyuruhnya jadi kerja rodi. Eh jadi perkap. Perempuan itu terus memohon dengan alasan sedang kekurangan orang. Tapi Syamsuri dengan upo yang masih di bibirnya terus menolak permintaan perempuan itu. Lalu perempuan yang sudah capek begadangan untuk membuat proker tersebut tersulut emosinya. “kalau kamu males disuruh-suruh. Kalau besar kamu mau jadi apa!”
“jadi bosmu” jawabnya santai
“bos dengkulmu. Siapa juga yang mau jadi anak buahmu. Bosnya aja malesnya kayak siput!”
“siput memang lambat. Tapi tetap bisa berjalan menuju ke arah tujuannya”
“berisik!, pulang aja sono. Dasar pemalas” lalu perempuan itu pergi sambil memaki. Syamsuri tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Lekas dia kembali berjalan untuk pulang.

            Entah mengapa meski Syamsuri terlihat malas namun dia sangat aktif dalam pelajaran bahasa inggris. Meski malas namun dia tak dijauhi temannya disebabkan sifat baik yang dimilikinya. Jarang Syamsuri mengejek teman apalagi nama bapak temannya. dan suatu waktu wanri merasa gelisah, kemudian segera datang menghampiri Syamsuri. Wanri adalah teman sekelas Syamsuri yang bisa dibilang cukup handal dalam bermain dota.
“bro, kamu sudah selesai ngerja’in PR B. Inggris belum?” tanya si Wanri dengan nada penuh harap.
“udah sih. Kamu pilih cara praktis atau harus aku ajari?”
“yang praktis ajalah. Soalnya B. Inggris mau mulai habis bel masuk nanti”
“oke” Syamsuri mengeluarkan buku catatan B. Inggris. Lalu dia berikan buku itu kepada Wanri. Wanri merasa sangat bahagia dan mengucapkan terimakasih. segera dia melihat sekeliling untuk mencari tempat yang cocok untuk menyalin pekerjaan  syamsuri.
“eh, aku juga mau pinjem”
“Lho, aku lupa kalau ada PR. Aku minjem habis kamu ya”
“aku juga, aku kurang setengah soal”
Para murid yang lain dengan cepat langsung mengantri untuk meminjam buku Syamsuri.

       Apakah hal itu juga disebut malas? Tapi kenapa kebanyakan orang tidak begitu mempermasalahkannya. Apa tugas dan perilaku itu berbeda sehingga mereka membedakan kemalasan hanya dengan pandangan mereka sendiri. Padahal diri mereka sendiripun terkadang juga malas meski mereka tidak mengetahui. Mengapa hanya tidur dikelas dinyatakan malas. Dan orang yang meniru pekerjaan teman hanya dikarenakan sudah berjuang menyalin tidak dikatakan malas? Padahal tadi malam Syamsuri rela begadangan untuk mengerjakan soal tersebut. Mungkinkah penilaian manusia sedangkal itu. Sedangkan mereka masih melakukan hal itu. Pikir Syamsuri. Namun dalam hati. Kalau tidak dalam hati. Sudah dari tadi dia di tempeleng temannya.

 “orang-orang lain berkata kalau aku malas? meskipun orang-orang yang mengataiku malas jarang mengerjakan PR dan memilih untuk menjiplak jawabanku. Berarti dia lebih malas dari orang malas karena menjiplak orang yang malas yang pernah di katainya pemalas?”
Dan ada juga yang menyebut Syamsuri pemalas tingkat akut karena tak mau berorganisasi. mekipun dirumah orang yang mengatai tadi sholatnya bolong-bolong. Padahal Syamsuri di surau dekat rumahnya selalu berada pada shaf terdepan. Apakah itu tidak di sebut malas? atau hal tersebut sudah menjadi hal biasa. Syamsuri mulai merasa kebingungan. Mungkin benar kata Syamsuri. “malas itu dikarenakan orang itu tidak tau manfaat dari apa yang dikerjakannya sehingga otak lebih memilih untuk tidak mengerjakannya” katanya lagi namun dibatin.

             Di hari-hari yang lain. Sinar matahari menerabas jendela kelas. Siang itu begitu panas sehingga membuat beberapa murid merasa gerah. Ruangan kelas tidak ber-AC. Dan hanya tersedia dua kipas angin yang tertempel di tembok kanan dan kiri ruangan. Saat itu, pak guru sedang menerangkan tentang proses peleburan molekul zat atom. “anak-anak. Kalian harus bisa memahami hakikat atom. Karena pasti materi ini nanti akan masuk UAS. Oleh karena itu kalian mesti serius mempelajari kimia. Harus bersungguh-sungguh agar nilai kalian nantinya bagus” kata-kata tersebut mungkin sudah sangat familiar terdengar oleh telinga. Beberapa guru sering mengucapkannya walaupun hanya diganti nama mata pelajarannya. Syamsuri juga sudah paham dengan kata-kata itu. dia sudah mengerti tentang atom-atom meski Cuma beberapa. Lantas dia merasa bosan dan dengan refleks sendiri. Dia tertidur pulas dengan kepala tertunduk di atas meja. Di lain pihak murid-murid yang lain juga merasa bosan. Panasnya cuaca juga membuat letih seluruh neuron dalam tubuh. Meski begitu, mereka tetap mencoba mendengarkan di karenakan sang guru saat itu di notabenekan sebagai guru yang galak.
“Plak!” hantaman penghapus hampir mengenai kepala Syamsuri. Namun entah mengapa dengan cekatan, tangan Syamsuri berhasil menangkap penghapus yang dilayangkan sang guru galak tersebut. Sehingga tidak sampai mengenai kepalanya. Sedangkan para murid yang lain terkagum-kagum. seakan tidak percaya dengan kegesitan Syamsuri yang dirasa itu Cuma kebetulan.
“Ada apa pak guru? Kok siang-siang panas begini main lempar-lemparan”
Kata Syamsuri setengah sadar. Dia tau jika guru yang berada di depannya adalah seorang guru galak yang berpredikat killer. Saat itu juga dia masih sempat mengolet dan menggali emas meski sudah tidak ada emas. Yang ada hanyalah semacam berbentuk cair yang ketika didapatkan langsung di oserkan di bawah meja oleh Syamsuri. disaat sang guru kepalanya sudah meluap-luap memikirkan siksaan apa yang cocok untuk anak ini. Syamsuri masih merasa sangat santai sesantai embun dipucuk daun. Para murid yang mendengar ataupun pura-pura dengar perkataan Syamsuri tidak habis pikir. Karena Syamsuri dianggap terlalu berani.
“Syamm....surii !!! berdiri !” bentakan suara pak guru menggelegar terdengar sampai radius gedung sekolah sebelah. Syamsuri dengan ketenangannya lekas berdiri dari tempat duduknya.
“ya pak”
“apa kamu tahu kesalahanmu?” guru itu menahan amarah untuk diledakkan di saat yang tepat. Sebuah spidol juga sudah berada di genggamannya.
“saya ketiduran pak. Soalnya cuaca panas. Sama materi bapak membosankan dan tidak interaktif sehingga membuat otak kanan saya tidak bekerja. Lalu menyuruh komponen syaraf otak yang saya miliki untuk tidur”
“Cklek!”spidol yang digenggam pak guru patah. Para murid membisu dan ketakutan. Mulut mereka menganga mendengar ucapan Syamsuri yang semakin berani. Suasana dalam ruangan yang panas semakin memanas oleh konflik yang sedang berlangsung di dalam kelas. Beberapa murid menelan ludah kemudian mereka pura-pura membaca materi di dalam buku pelajaran masing-masing. Seakan tak ingin tahu lagi nasib Syamsuri kedepannya. Guru yang amarahnya sudah berada di puncak tertinggi dengan langkah cepat mendatangi Syamsuri yang masih berdiri tenang di depan kursi. Sang guru dengan keras menampar pipi kiri Syamsuri “Plakk!” lalu pak guru itu berkata
“kamu kira, semua yang kamu bosani itu buruk buatmu. Tak berguna untukmu. Bisa jadi yang kamu bosani itu bermanfaat bagimu kelak! Camkan itu! dan kamu jangan pernah merasa sok keminter dan cuek dengan pelajaran-pelajaran yang lainnya. Itu bisa menjadi penghambatmu untuk maju. Ingat! Mencari ilmu itu dari pangkuan sampai ke liang lahat! Mengerti! kamu itu Buka jimmy neutron! Jadi jangan berlagak pintar!”
Amarah pak guru begitu menggelora. Sampai murid-murid kelas sebelah pada lari tunggang-langgeng, mengintip di luar jendela kelas Syamsuri untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Syamsuri mengelus-elus pipinya yang masih terasa sakit . dia mengambil nafas panjang dan dihembuskan lewat mulut. Mulutnya mulai terbuka. Syamsuri lalu berbicara.
“pak guru. Saya ini memang hanya manusia. Dan sebagai manusia biasa, saya juga memiliki keterbatasan. Tidak semua ilmu bisa saya serap. Tidak semua yang ada di dunia ini bisa saya pahami. Saya memilih dan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang saya kuasai. saya melakukan sesuatu sesuai dengan yang bisa saya lakukan untuk saya lakukan di masa mendatang nanti. Dan saya juga mencoba meninggalkan sesuatu yang menurut saya itu bukan tempatku. Jadi biarlah orang lain yang menempati. Sebagai seorang manusia biasa. Setiap orang pasti memiliki kelebihannya di bidang masing-masing. Berarti itu tandanya bapak tidak bisa memaksakan kelebihan yang bapak miliki kepada saya karena saya bukan manusia super yang bisa mempelajari segalanya. Jadi mohon pengertian bapak. Saya menghormati bapak dan tetap mengikuti pelajaran bapak. Namun dengan hormat, saya tidak tertarik dengan pelajaran bapak. Maka dari itu disini saya hanya ikut untuk mengejar nilai saya agar tidak dibawah KKM dan untuk menggenapi nilai rapor saya agar tuntas”
Para murid di kelas tersebut serasa tak bisa bergerak. Tak ada yang menyangka bila ada murid yang berani berkata seperti itu, apalagi kepada guru killernya.
“jika memang anda tidak berniat untuk mengikuti pelajaran saya. Kalau begitu silakan anda keluar dari kelas ini. Dan selamanya anda tidak usah mengikuti pelajaran dari saya!”
“saya tidak bilang kalu saya tidak berniat. Saya sudah memiliki niat belajar pelajaran bapak namun hanya sebatas mencukupi nilai raport saya”
“kalau begitu nilai anda akan saya tulis KKM. Jadi kamu tidak perlu risau. Jadi cepat pergi!”
“tapi itu perbuatan yang tidak jujur. Lebih baik saya masih berjuang menggarap soal yang bapak berikan”
“lha maumu gimana. Sebelum saya suruh kamu tri-up 100 kali!”
“saya nggak masalah jika keluar dari kelas atau terkena hukuman bapak. Saya juga ikhlas ditampar bapak tadi. Namun di waktu pelajaran bapak yang akan datang mohon biarkan saya tidur jika memang itu membosankan. Dan saya pastinya juga akan mendengarkan jika saya merasa tertarik. Jadi mohon pengertiannya. Saya sekarang pamit keluar dulu”
Lalu Syamsuri melangkah keluar. Konflik sudah mereda. Para murid yang melihat dari luar jendela lama kelamaan mulai bubar dan pada balik ke kelas mereka masing-masing. Suasana kelas mulai terasa hening. Detikan jarum jam terdengar disela-sela hembusan angin yang dihembuskan kipas angin. Panas sudah tidak terasa, yang ada hanyalah ketegangan. Sang guru masih terdiam dan pikirannya kacau oleh seorang murid. Sedangkan murid lain masih bungkam dan tak ingin memikirkan kejadian ini lagi. Mereka menguburnya pada benak masing-masing.

***
            Syamsuri sedang berada di dekat kantin sekolah. Dia menabahkan hati dan menenangkan pikiran. “aku kena marah deh. Apa begini susahnya jadi orang yang jujur” sistem yang sudah lama tertanam memang akan sangat susah dicabut. Syamsuri yang sudah terlanjur berada dimana nilai mapel menjadi segalanya membuat dirinya terbelenggu dengan sesuatu yang tidak disukainya “apa salahnya jika aku memilih keinginanku sendiri. Dan belajar yang memang aku ingini. Apakah penjurusan Cuma ada di kuliahan. Apakah dengan mempelajari semuanya membuat orang tidak dikatai malas? buaknkah itu malah membuang-buang waktu?” dia masih bergumam dalam batinnya. Dalam kesendiriannya.

            Waktu semakin berlalu dan Syamsuri masih berada dalam konsistensinya mengejar apa yang sudah menjadi tujuannya, karena dia tahu, tak semuanya bisa dia miliki. Dalam hari-hari yang penuh dengan cobaan. Dinginnya air menjadi senjata untuk penyejuk jiwa. Di dalam ruangan yang tenang membuat Syamsuri melupakan hal-hal yang memang harus dilupakan.

            Langit putih mendung berbalut dengan awan hitam. Dalam hitungan menit hujan sepertinya akan  segera datang. Ibu-ibu sudah pada sibuk mengangkati jemuran. Lubang-lubang dijalanan yang menganga seakan sudah siap kapanpun untuk menampung tetesan air sehingga menimbulkan genangan. Para pengendara motor yang peka pasti sudah menepi di pinggiran jalan untuk mengenakan mantelnya. Hari masih pagi menjelang siang. Kira-kira masih sekitar pukul 10. Diruangan guru, seorang Guru yang berpredikat killer sedang merasa letih sehabis mengajar dari kelas atas. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi sembari melihat suasana diluar yang sudah mulai gerimis. Seorang guru lain saat itu juga sedang berada di sampingnya.

“sepertinya bapak kecape’an sekali hari ini. Apa tadi malem ngelembur lagi?” tanya guru disampingnya sambil menyodorkan secangkir kopi hitam yang aroma harumnya sudah tercium di hidung guru killer tersebut.
“enggak kok. Saya Cuma kepikiran waktu dapat kejadian tidak mengenakkan dengan murid saya” sambil menerima kopi dari tangan temannya. Lalu menyeruputnya pelan-pelan. Rasa panasnya kopi terasa pas disaat hujan lebat sudah mulai menderu di luar ruangan.
“masalah apa pak?” tanya guru disebelahnya dengan rasa penasaran
“apa kita harus tidak memaksa para murid untuk memakan materi yang kita berikan. Dan membuat mereka semua untuk bisa memilih mata pelajaran apa yang benar-benar mereka inginkan. Lalu menjadikan mereka menjadi beberapa kelompok belajar. Dengan kata lain. Merubah sistem yang ada?”
“ah bapak ini. Ngapain mikir kayak gitu. Sekarang ini tugas kita adalah membina para murid untuk mendapat nilai yang baik di rapot mereka. Untuk membantu mereka memilih jurusan kuliah kedepannya. Dengan nilai nilai yang cantik untuk perjuangan mereka merengkuh pendidikan yang lebih tinggi. Dan juga untuk memperbaiki predikat sekolah kita ini. Biarlah sistem berjalan seperti biasanya. Toh kita juga nggak usah susah-susah nambahin ini ngurangin itu. yang penting kita masih dapet gaji untuk menafkahi keluarga. Jadi untuk apa kita memikirin apa yang semestinya tidak usah dipikirin. Ya kan pak?” lalu dia tertawa agak keras. Sambil menyeruput kopi yang sudah diseruput guru killer tersebut.

   Guru killer itu menganggukkan kepalanya namun dalam hatinya dia tak terlalu setuju dengan pendapat tersebut. Dalam hatinya dia merasa bertanggung jawab sebagai seorang guru yang kelak akan menyukseskan murid-muridnya. Dia sadar jika banyak orang-orang diluar sana sehabis wisuda menjadi pengangguran disana-sini. Lalu dia memikirkan murid yang berani menentangnya. Serasa orang tersebut Cuma ada satu dari ribuan yang lain.
“apa mungkin para murid yang lain juga berpikiran hal yang sama?”


Surkarta, 16 desember 2015


M Habib Amrullah

1 komentar: