Waktu terasa cepat bagi
orang yang terperangkap dalam lingkaran kesibukan. Sebenarnya itu hanya
perasaan mereka saja yang tak bisa mengontrol waktu mereka dengan benar. Hingga
mereka tak sadar waktu mereka terbuang percuma. Sesal memang adanya di akhir.
Dan kesenangan hanya hiasan di awal. Rangkaian hidup yang penuh dengan
fatamorgana ini membuat banyak orang terperosok kedalam jurang terdalam. Sulit untuk melepaskan diri dan keluar
dari lubang gelap. Sampai tak jarang mereka melupakan tentang dirinya, siapa
dirinya, dan membuang dirinya jauh-jauh hanya untuk mencapai angan-angan
kosong. Apalah arti usaha mereka jika tak diselingi niat yang cukup. Tentu
hasilnya nol.
Tepat
pukul sebelas aku sudah sampai di terminal terboyo, semarang. Aku keluar dari
bis dan segera menuju ke toilet. karena aku sudah kebelet semenjak dua jam
lalu. Suasana panas menyengat bercampur bau genangan air dan comberan yang
menguap. Bau yang menyengat disebabkan air yang tak kunjung mengalir dalam
selokan itu. Mungkin sejak dulu memang seperti itu. Walau musim panas pun, air
comberan itu tetap saja menggenangi selokan. Apalagi kalau ada hujan. Banjir di
terminal ini sudah tidak dapat dihindari lagi.
Setelah
merasa lega dan membayar uang retribusi. Aku lalu pergi menuju masjid untuk
beristirahat sebentar. Aku masih capek karena semenjak dari jogja aku tak dapat
kursi untuk duduk. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Apalagi menjelang hari
libur begini. Semua bis muatannya pasti full.
Aku
bersandar di pojokan masjid. Seperti biasa untuk mencegah kegalauan aku
memain-mainkan Hpku. Aku rencananya mau melanjutkan perjalanan menuju kudus.
Tapi aku pending dulu menunggu sampai dzuhur tiba. Setelah itu aku baru
berangkat.
“mas.
Mau beli koran” terdengar lontaran kata yang membuatku kaget. Ternyata seorang
bapak-bapak penjual koran asongan.
“nggak usah pak” jawabku sopan sambil
menyimpulkan sedikit senyum untuk menyakinkan jika aku tak begitu tertarik
“tapi ini ada berita bolanya juga
lho” kembali dia menawarkan dagangannya
“maaf pak. Mungkin lain kali”
Dia agak kecewa, lalu pergi begitu
saja. Dari tingkahnya, aku rasa dia sedang kesal. Dan tebakan ku betul.
Beberapa langkah saat bapak itu pergi dia ngamuk-ngamuk di pelataran teras
terminal, tempat penumpang turun.
“yoh.... Yoh. Ket mau kok ra
payu-payu to yo...yo... jyan tenan!. Carane ngene nasibku piye iki, aku sesok
piye nek dagangku ra payu. Arep mangan opo aku! ayo dituku. Koranku dituku!”
Dia masih marah-marah seperti itu
terus sambil menawarkan korannya kepada para penumpang yang baru saja datang di
terminal ini. Tentu saja semua orang menghindar dan tak mau beli. Aku mulai
merasa agak kasihan, tapi yang juga aku pikirkan adalah orang lain apakah juga
merasa kasihan?. Entahlah, jika kasihan, mungkin mereka akan membeli korannya
dengan harga 2X lipat, atau mungkin memborong semua korannya. Namun nyatanya
tidak ada yang melakukannya.
Sudah
setengah jam dan aku langsung mengambil air wudhu. Untungnya untuk wudhu tidak
bayar. Coba kalau bayar. Pasti sudah aku siap-siapkan wudhu dari kos-kosan ku
di jogja tadi. Untuk kencing di toilet kumuh yang airnya bau comberan saja
harus bayar 2000, dan masuk terminal juga bayar. Air putih sekarang juga dijual
dan harus bayar. Semua sudah berubah. Yang dulunya gampang untuk didapat,
sekarang harus dibeli dengan uang.
Bapak-bapak
itu masih saja marah-marah. Padahal dagangannya sudah ada beberapa yang
terjual. Apa dia masih nggak terima kalau dagangannya belum habis. Aku sudah
tak mau mengurusnya lagi dan segera masuk masjid menunggu waktu sholat dzuhur
datang. Sementara menunggu aku masih kepikiran akan sesuatu. Masyaallah!, aku
lupa jemuranku belum aku angkat. Aku lantas menghirup napas dalam-dalam dan
mengeluarkan dengan pelan untuk melegakan hatiku. Semoga temanku bisa
pengertian sedikit. Untuk jaga-jaga mungkin aku akan meng-sms temanku yang ada
disana untuk mengangkati jemuranku jika sudah kering. Lalu tak menjelang lama
adzan dzuhur berkumandang.
Setelah
Sholat, aku bersiap dan mengecek barang-barang. Aku segera beranjak untuk
melanjutkan perjalanan. Panasnya matahari membuat ketiakku tak bisa membendung
keringatnya. Sementara bus yang dari semarang ke kudus tak ada yang ber-AC. Aku kembali menarik nafas dalam-dalam
dan bersiap dengan rasa panas yang nantinya aku rasakan. Apalagi jika bisnya
nge-time terlalu lama, ditambah penuh. Aku bakalan jadi orang panggang. Huh..
tak ada waktu untuk mengeluh. Segeralah aku mencari bus semarang-kudus yang
ternyata sesuai perkiraan bus itu sudah sesak dengan manusia. Aku dipaksa untuk
berdiri lagi. Jika menunggu bis yang lain pasti akan banyak memakan waktu lagi.
Orang-orang yang ada disini mungkin juga berpikiran hal yang sama. Namun aku
tak mau disama-samakan. Aku ingin menjadi pembeda. Maka, akupun turun dari bis
dan lebih memilih menunggu keberangkatan bis yang selanjutnya.
“mas. Kenapa turun? Ini bisnya sudah
mau berangkat. Ayo naik” kata seorang kenek bis yang menghampiriku sedang
terduduk di dekat warung bakso.
“maaf mas, bisnya penuh. Saya nunggu
bis yang berangkat habis ini saja”
“tapi nanti lama lho mas. Mending
sekarang saja”
“nggak mas” kataku teguh. Sedangkan
kenek itu tampak memasang muka tak puas dan segera berpaling menuju ke bus yang
sudah sesak dengan muatan manusia tersebut.
Apa yang sebenarnya para
penumpang itu pikirkan. Apa mereka harus berdesak-desakkan seperti itu hanya
untuk bisa pulang ke rumah lebih awal. Atau karena merasa terdesak dan tak
ingin membuang waktu untuk menunggu bis yang lain. kenapa mereka tak khawatir
dengan keselamatan diri sendiri. Harusnya mereka tahu jika terjadi hal yang
tidak diinginkan misal kecelakaan. Kan mereka juga akan lama sampai kerumah.
Paling bakalan masuk rumah sakit atau terparah masuk liang lahat. Kalau sampai
rumah lebih awal,memang apa saja yang akan mereka lakukan disana. Menonton TV,
berbincang-bincang, bersenda gurau bersama sanak keluarga, mainan HP, atau Cuma
melongo di depan layar monitor? Paling tak lebih dari itu. jadi lebih baik jika
menunggu. Sudahlah. Mungkin ini hanya sebuah persepsi. Pemikiran ini juga
mencoba untuk membenarkan pilihanku. Setidaknya aku tidak perlu terlalu
mengurusi orang lain. mengurus diri sendiri saja aku terkadang tidak bisa.
Para tukang asongan masih
bersemangat menawarkan jajanannya. Meski cuaca cukup panas. Tanggungan hidup
membuat mereka harus tetap bertahan dan berjuang. Banyak orang yang tidak
membeli. Alasannya adalah jajanan mereka tidak aman, tidak higienis, dan tidak
sehat. Bisa jadi mendoannya sudah dijual selama 2 minggu dan Cuma dipanasi agar
baunya tidak prengus. Dan ada juga teh botol yang sudah expired tapi
tanggal kadaluarsanya dihapus sama penjualnya untuk mengelabui para pembeli.
Jujur saja aku jarang membeli produk mereka. Cuma orang kepepet saja yang akan
membelinya. Di lain sisi, bapak-bapak yang berjualan koran tadi sudah tidak
nampak. Apa dia menyerah? Mungkin dia mencari peruntungan di tempat lain.
disinipun aku masih menunggu bis yang akan berangkat. Lama aku menunggu,
akhirnya muncul sebuah bus yang dari tadi magang datang menuju ke marga bus.
“Sepertinya bus itu sudah siap
berangkat. Tempatnya kosong lagi” gumamku sambil berjalan agak cepat menuju ke
tempat bus itu. tujuanku adalah duduk di bangku paling depan dekat sopir.
Karena disitu aku tak perlu merasakan desak-desakan antar sesama manusia.
“kudus, kudus mas mau ke kudus? ayo
mau berangkat” kata seorang kenek bis tersebut.
“Preet” pikirku dalam hati, aku tahu
logat mereka. Mereka bilang mau berangkat, tapi nyatanya harus menunggu 15
menit dulu baru berangkat.
Seperti biasa dia menarik para penumpang
sebanyak-banyaknya untuk kejar setoran. Aku Cuma mengangguk, lalu aku masuk
kedalam bus dan duduk di kursi yang paling depan. Hah.... perasaanku mulai
lega. Waktu menjelang mau pulang pasti selalu begini. Aku pernah merasakan
panas, hujan, desak-desakan, juga pernah diancam pengamen karena aku tak
memberinya uang. Namun hal ini menjadikanku tahu akan dunia luar yang lebih
luas. Orang-orang yang berjuang bertahan hidup dengan perjuangan yang
berbeda-beda. Lantas aku hanya sebagai pengamat. Namun terkadang selalu saja
ada pertanyaan yang terbesit di benakku.
“ perjuangan apa yang akan aku
lakukan kedepannya?”.
22 Desember, 2015
M habib Amrullah
0 komentar:
Posting Komentar