Pada suatu masa yang tidak diketahui. Hiduplah seorang anak kere yang suka menginjak batu empuk (istilah bakunya adalah ta1, lihat kamus anwar zahid dalam ceramahnya). Badannya kumal, keleknya bau, kakinya berborok, berbadan krempeng, dan kerapatan rambutnya melebihi ijuk sapu, atau lebih tepatnya pring yang disagar-sigar.
Memasuki semester ke 48 awal kehidupannya. Dia mulai bosan menjadi
sesosok kere yang keleweran di trotoar jalan. Pikirannya yang dangkal dan tak terpelajar
masih sempat terbesitkan keinginan untuk mengubah kehidupannya. Dirinya saja
nggumun bisa berpikir. Dia amat bangga karena bisa berpikir layaknya manusia
lain yang mendapat gaji itu.
Dalam sela-sela pikirannya. Dia mencoba berpikir lebih dalam dengan menemukan beberapa masalah yang selama ini tidak pernah ia temukan pemecahannya selama hidupnya. Dan ketika berhasil tahu. Rasanya seperti di beri Ilham dari langit.
“saya
sekarang paham mengapa satu jika ditambah satu sama dengan dua!” pekiknya.
Kini dia merasa sedikit lebih pintar. Kemajuannya dalam berpikir ini membuatnya amat bahagia dan bangga. Barulah sekarang dia menyadari dan amat bersyukur bila bisa menjadi seorang yang bisa berpikir. Lalu, dengan segenap kesadaran, akhirnya dia memampirkan diri menuju masjid untuk sholat yang pertama kalinya.
Setelah sholat. Sekarang dia mulai duduk-duduk sambil merenung. Mengumpulkan konsentrasi untuk bisa berpikir kembali. Namun perutnya tiba-tiba merengek meminta isi. Dengan cekatan dia meloncat ke tempat sampah yang ada di dekatnya. Mengorek serpihan makanan sisa yang biasa dia lakukan sehari-hari. Namun dia tidak menemukan apapun disitu.
“hah...” keluhnya.
Namun beberapa saat dia teringat. Dia punya tuhan untuk dimintai pertolongan. Pikirannya yang melesat cepat bagai peluru segera membuatnya tersadar. Dia teramat takjub. Dia geleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya bila bisa berpikir secepat itu dan menyadari jika dia mempunyai tuhan. Karena dia tahu, bukan sembarangan orang bisa berpikir dan menyadari bila dia mempunyai tuhan setiap waktu.
“mungkin karena aku habis sholat tadi” batinnya. Dan kini dia menengadahkan tangan untuk berdo’a kepada tuhan.
‘ya Allah, beri saya makan. Karena jika tidak. Saya nggak akan bisa berpikir gara-gara diganggu suara perut ini ya Allah. Ya Allah, berilah saya makan. Karena sudah dari kemarin saya belum makan. Kalau bisa berilah saya makanan yang baik. Kalau boleh usul, saya maunya steak ya Allah. Karena seumur hidup saya belum pernah nyoba steak. Aamiin...’
Lalu dia menelangkupkan tangannya ke mukanya.
Beberpa saat dia menanti di pinggiran tong sampah sambil menunggu makanan yang dia minta. Namun tak kunjung datang.
“apa Allah belum mendengar do’a saya. Atau do’a saya masih dalam masa transfer?” dia bingung. Dalam kebingungannya, dia mencoba menganalisa ke dalam otaknya atas permasalahan yang dihadapinya.
Namun tak kunjung ketemu. Dia mulai gerah walau masih tetap bersabar menanti pesanan. Setengah jam berlalu dan tiada hasil. Perutnya terus memelas dan panas. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan berjalan mencari makan.
Di perempatan. Dia menyenggol seorang laki-laki yang membawa sekresek steak ayam yang dibelinya di warung steak ternama. Dan salah satu kreseknya terjatuh dari genggaman pria itu. Steak itupun jatuh melesat ke tanaha dan akhirnya kotor. Sang kere yang sadar segera meminta maaf sambil mengiba. Namun sang pemuda itu untungnya baik. Dia tak mempermasalahkan karena yang jatuh itu adalah bonus. Berhubung warung steak yang dia beli pada waktu itu menerapkan sistem beli satu gratis satu pada hari itu.
“saya minta maaf mas. Jangan pukul saya”
“ndak apa-apa. Lagian itu bukan rezeki saya”
“tapi saya nggak bisa mengganti steak bapak yang kotor itu”
“ndak papa. Saya masih punya satu kok”
Ketika sang pemuda itu ingin membuangnya di tempat sampah, sang kere dengan responsif mencegatnya.
“tunggu
mas!”
“he?”
“biar saya ambil boleh. Saya belum makan dari kemarin”
“oh silakan.. meski agak kotor. Insya Allah akan bersih jika di lap pakai tangan”
Lalu dia memberikan steak yang jatuh itu ke tangan sang kere.
“makasih banget mas” katanya setengah menangis.
“jangan makasih ke saya. Bersyukurlah ke Allah saja. Saya hanyalah sebagai perantara pak. Kalau begitu saya permisi dulu. istri saya tadi ngebel akan ngamuk bila saya nggak segera mati’in kecoa yang ngumpet di kolong kasur”
“ya silakan-silakan”
Lalu
sang pemuda tadi berlalu meninggalkan sang kere.
Sang kere tadi begitu senang mendapat makanan yang diinginkannya. Setelah selesai makan. Dia kembali bersyukur kepada tuhan yang telah memberikannya.
“terimakasih
ya Allah telah mengabulkan do’a hamba sehingga hamba bisa tenang untuk berfikir
lagi”
Lalu
dia kembali mencari kursi umum. Duduk disana dan berfikir kembali dengan
tenang. Saat itulah dia mulai berpikir mengapa dia bisa menjadi kere, mengapa ada
banyak kere, mengapa orang yang tidak kere kebanyakan tidak peduli dengan nasib
kere, mengapa para kere dilihat seperti sampah yang merusak pemandangan. Dia
berpikir lebih dalam untuk mengorek segala realita yang ada di hadapannya.
Tanpa bergeming dahinya mulai berkerut memeras keringat sehingga menjatuhkan
beberapa tetes ke tanah.
“aku harus jadi presiden!” katanya mantap dalam hati.
Dia pikir bila seandainya jadi presiden. Dia akan bisa menuntaskan ketidakadilan dan kekurang efisienan. Dia berpikir bila awal mula permasalahan yang terjadi disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang becus. Maka dari itu, dia berpikir untuk menjadi presiden dan membenahi semua permasalahan yang ada.
“benar, presiden! Orang tertololpun tahu bila presidenlah yang memikul tanggung jawab atas negara. Ini negara sedang carut marut. Berarti presiden belum sepenuhnya bijak mengelola negara. Itulah alasannya kenapa selama kehidupanku yang singkat ini tetap menjadi kere melulu” pikirnya dalam batin.
Kemudian dia mencari tempat yang ramai dan memposisikan diri terlebih dahulu.
“perhatian masyarakat sekalian!” pekiknya. Ternyata perbuatannya tak sedikit mengundang banyak perhatian.
“wahai para saudaraku yang terjajah oleh para penguasa bengis. Mari kita tegakkan kembali keadilan dan meminta kembali hak kita yang terebut!!!” kini makin banyaklah orang yang berkumpul dan mendengarkannya.
“mari kita ciptakan kehidupan yang selama ini kita impikan. Mari kita lepas belenggu yang terus memeras pikiran dan tenaga kita untuk memenuhi hasrat mereka!” kali ini jalanan mulai macet karena banyak pengendara yang berhenti di sekitar situ.
“dengarkan saudara-saudara sependeritaanku!!! Jika nanti saya terpilih menjadi presiden kalian. Saya berjanji akan menegakkan keadilan untuk segala jenjang masyarakat!!! Tidak merendahkan dan meninggikan sebagian golongan!!! Semua dipikul sama rata. Maka dari itu, pilihlah saya!! Dukunglah saya menjadi presiden selanjutnya!!!” tak berselang lama beberapa polisi yang tahu bila ada keributan segera datang ke tempat kejadian.
“kalian pasti berpikir. Meski di buat sibuk saya yakin sebagian kalian pasti ada yang sadar!! Bahwa kita sedang diperbudak. Itulah sebab yang pasti membuat saya menjadi seorang kere dari dulu hingga sekarang. Dan apakah kalian sadar bila selama ini bertambah miskin. Lihatlah sekarang makanan harganya sudah 10.000 lebih!!! Padahal dahulu 50 perak saja sudah kenyang!!!”
Tiga polisi lekas berlari dan membekuk sang kere untuk di bawa ke kantor polisi.
“lepaskaaan!!! Lepaskaan saya!!! Saya pingin jadi presiden untuk merubah tatanan sial ini!!! minggaat!!!” dia terus mencerocos dan berusaha melepaskan diri dan berteriak. Sedangkan polisi yang tentunya lebih kuat berhasil membekuknya dan segera di masukkan ke dalam mobil polisi yang sudah disediakan.
“Kurang Tajir! Mana keadilan kalian! Mana semua keadilan yang kalian gemborkan! Apa nggak boleh saya mendeklarasikan diri sebagai calon presiden! Apa hanya orang-orang kalian saja yang boleh jadi presiden!! Wooii!!!!” dia akhirnya masuk ke dalam mobil polisi. Lalu mobil itu segera berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga.
Semua orang yang ada disana melihat, semua orang yang ada di sana mendengar, semua orang yang ada di sana merasakan. Mereka tahu, mereka mengerti, mereka menyadari. Namun dalam satu sisi, sebagian dari mereka berpikir, bila cara yang dilakukan pemuda kere tadi salah dan terlalu cepat.
Jepara,
12 Juli 2017
MHA
0 komentar:
Posting Komentar