Jumat, 21 Juli 2017

Novel; Arthof's Journey (Hal 15-19)



Chapter 3

            Hutan Anjel terletak di sebuah tempat di negara Tinho. Sampai sekarang pun aku belum bisa percaya telah berada di negara yang berbeda. Pada awalnya kukira ini masih di negara asalku, Honin.

            Aku digiring oleh mbah tua ini menuju sebuah rumah joglo disamping gubuk rumahnya. Setelah masuk ke dalam ruangan itu, kulihat sesuatu hal yang tidak ingin kulihat berada di depanku.

“Anda ingin membunuhku!” kataku kaget setelah melihat berbagai rintangan penyiksaan yang mengerikan.

“hohohoho... tenang saja, kamu tidak akan mati jika berhasil melewatinya”

“Jika berhasil! Kalau tidak !?” kataku setengah tercengang.

“ya... mati saja... hohohoho...” katanya melepas tawa.

Aku tak habis pikir bila kata barusan adalah sebuah candaan.

“kamu harus bisa melewati ini bila ingin melewati hutan itu” susulnya ringan.

“mana ada hutan yang ada kayak beginiannya!”

“kau salah, justru perlengkapan ini aku ambil dari hutan”

“apa!?”

“apa kamu lupa. Aku tahu jika kau ini orang yang cukup pandai”

Setelah dipikir aku baru ingat. Memang hutan ini terkenal mematikan. Tidak seperti hutan saban yang punya hewan-hewan buas. Aku pernah membaca dari buku di perpustakaan sekolah, di hutan ini terkenal dengan tumbuhannya yang mematikan. Jadi seperti ini tetumbuhan yang tumbuh di hutan itu.

“jadi silakan dimulai”

“Anda bercanda! Tidak akan!” lekas aku berlari menjauh dari tempat brutal itu.

            Serasa sudah cukup aman dan menenangkan diriku di halaman belakang. Seketika mbah tua itu kembali menghampiri. Dan kini duduk di sebelahku.

“sayang sekali. Katanya kamu kepingin lekas sampai rumahmu”

“aku benar-benar sangat ingin. Tapi bisakah kita mengambil cara lain yang lebih aman? Yang tidak sampai membuat badanku tercabik-cabik”

“maaf. Tapi pilihannya Cuma itu”

“tidak. Kalau aku pikir-pikir. Mungkin Anda bisa mengantarkanku sampai ke seberang hutan ini kan? Bukti bahwa aku sampai kesini adalah pasti karena ada orang yang ada di sini membawaku kemari”

“memang benar Akulah orangnya. Tapi sayang. Jika kau ingin keluar dari sini Aku tidak bisa membantumu. Begitu juga dengan Gael dan Harumi”

“kenapa?”

“emmhh.... alasannya begitu rumit” dia menyentuhkan jari telunjuknya ke janggutnya.

“apakah serumit itu hanya untuk mengantarkanku ke seberang hutan ini. Padahal aku sangat yakin kalian pasti orang-orang yang hebat dan baik sampai mau merawat dan menyelamatkanku dari kematian. Tapi, kenapa kalian tidak ingin membantuku hanya untuk keluar dari hutan ini saja?”

“yah... Coba kamu pikirkanlah sendiri nak. Kamu tahukan Gael sudah di buat babak belur oleh seorang yang saat ini tengah mengincarmu”

“lalu?”

“meski kami membawamu kembali ke rumah. bukannya kamu malah akan diincar lagi”

“— !??” aku baru tersadar. Benar apa yang diucapkan oleh kakek ini. Tapi apakah mungkin alasannya...

“jadi anda ingin melatihku disini agar bisa melawan orang yang mengincarku itu. dan alasan untuk melewati hutan ini hanyalah sebuah alasan lain?”

“yah... Mungkin kira-kira begitu. Melihat betapa lemahnya kamu sekarang. Kamu bisa saja mati dihadapannya kapan saja. Jadi bersyukurlah kamu diberi kesempatan berlatih disini”

“tapi... kenapa? Apa alasan mbah jiwo sampai mau melatihku segala? Kenapa anda begitu peduli?”

“karena aku kagum saja padamu”

“kagum?”

“ya”

“kagum karena apa?” aku semakin bengung. Tapi kakek itu hanya tersenyum renyah dan tidak berkata apapun.

“apa mungkin karena akulah satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian sekolah itu?”
Kakek itu hanya mengangguk sambil tetap tersenyum renyah. Aku jadi bingung sendiri. Tak ada jawaban pasti dari anggukan itu.

            Tapi dari berbagai kejadian yang ada. Sekarang ini kepalaku benar-benar di penuhi berbagai pertanyaan. Tentang pria yang mengincarku itu, tentang orang-orang di sekolahku yang tiba-tiba di bantai secara bengis dan sadis, dan tentang keberadaan orang tua ini yang entah mengapa mencoba melindungiku disaat aku tidak memintanya.

“kamu akan keburikan kesempatan untuk bertanya jika telah berhasil melewati dua tahap”

“kalau boleh tahu? berapa tahap yang akan anda ajukan padaku?”

“sudah kubilangkan. Akan aku berikan kesempatan bertanya lebih banyak saat kamu sampai di tahap dua”
Aku menghela nafas panjang. Kakek ini benar-benar telaten sekali menjaga bicara dan rahasianya. Sulit membongkar informasi untuk saat ini. Mau tak mau aku memang harus ikut dengannya.

“baiklah” kataku setengah bersemangat.
***

            Kali ini aku berada di halaman depan rumahnya. Kulihat Gael sudah berada disana. Beberapa perban masih melilit badannya.

“oh, gael” sapaku dengan canggung “apa luka-lukamu sudah sembuh?”

“lukaku sudah sembilan puluh persen lebih pulih. Adikku merawatku dengan sangat telaten”

“baguslah” kataku dengan sebersit senyuman.

“kalau kamu. Apakah dia juga merawatmu dengan baik?”

“ya tentu” balasku sambil membayangkan perempuan menyebalkan itu.

“wahh syukurlah”

“ngomong-ngomong. Terimakasih ya kamu telah menyelamatkanku waktu itu. Aku tidak tahu apa jadinya nanti kalau kamu tidak menolongku. Dan maafkan aku juga karena telah menganggapmu lebih muda dariku” kataku sambil menunduk.

Reaksi Gael awalnya terlihat begitu kaget mendengar pernyataanku. Namun dia segera merubah ekpresinya dengan senyuman yang merekah sambil menggaruk-garuk rambutnya.

“sama-sama. Bukan kamu saja kok orang pertama yang menganggapku anak kecil. Lagian tubuhku juga seperti ini sih. Mirip kayak seorang anak berumur delapan tahun”

“baiklah. Tahap pertama akan segera dimulai” lanjut kakek itu. memutus keakraban perbincangan kami.
Di hadapanku sekarang sudah terdapat empat selongsong meriam yang terbuat dari bambu besar yang melingkariku.

“apa yang akan kulakukan dengan meriam ini. jangan bilang aku harus ditembaki dengannya”

“pemikiranmu cepat juga rupanya. Tapi kali ini kamu harus menghindarinya agar tidak terkena pelurunya”

“katakanlah peluru apa yang digunakan dan apa efeknya jika aku terkena pelurunya” kataku takut-takut.

“pelurunya Cuma terbuat dari kayu yang di poles bundar kok. Efeknya minimal tulangmu akan retak, mungkin” kata Gael dengan polosnya seaakan memberitahukannya dengan sangat enteng.

“Minimal katamu!!!”

“sudah jangan banyak bacot” di belakang sudah ada Harumi dengan membawa nampan yang berisi tiga gelas teh. “lakukan saja apa kata guru. Tak ada gunanya kamu mengeluh di saat kenyataan telah menghampirimu” dia menaruh teh itu di teras rumah. Duduk sambil melihat kami dari sana.
(perempuan ini  datang-datang sudah bikin kesal saja)

“baiklah akan segera dimulai” lanjut kakek itu lagi.
Aku mempersiapkan diri sambil tak henti-hentinya mengamati empat buah meriam yang melingkariku. Setidaknya aku bisa tahu letak tembakannya ketika melihat gael yang berpijak di salah satu meriam bambu itu.

“oke. Sekarang kita gunakan ini” kata mbah itu dengan tiba-tiba dia membelit mataku menggunakan kain.

“apa Anda gila mbah!! Kalau begini caranya. Itu sama saja kalau aku akan terbunuh lebih cepat”

“hohoho..... kamu tidak akan terbunuh lebih cepat jika berhasil menghindar. Jadi jangan tahan dirimu”

“apa!!?”

“kuncinya adalah fokus” kini mbah Jiwo membisikkan ke telingaku dengan lirih. “rasakanlah peluru mana yang akan di tembakkan. Dengarkanlah suara pelurunya. Dengarkanlah langkah gael yang ingin menyumet sumbunya. Lalu bereaksilah sesuai insting dan naluri dari informasi yang kau dapatkan dari inderamu yang berfungsi. Ketika kamu sudah mulai terbiasa. Maka semua akan terasa mudah. Semudah saat kamu menyerap materi pelajaran ataupun mengerjakan soal ujian”

Aku menelan ludah. Menyimak semua perkataan mbah Jiwo dengan cermat. Karena ini adalah masalah pertaruhan antara hidup dan matiku.

“berapa peluru yang harus aku hindari agar aku lulus tahap satu?”

“emmhh... mungkin sampai Gael merasa lelah”

“Anda gila!”

Buag!!” kali ini ada yang menendang perutku dengan keras

“sa—sakiit.... ukh...” aku tersungkur di tanah sambil menggeliat kesakitan. Pasti ini ulah...

“kalau sekali lagi kamu berkata tidak sopan pada ayah. Maka lain kali aku akan menendang kepalamu dua kali” Kata Harumi sambil mengeluarkan nafas berat yang penuh kemurkaan.

“ma—maaf” kataku sambil tetap mengerang kesakitan.

“tuhkan. Jika kamu berhasil memperoleh skill ini. Maka kamu akan bisa dengan mudah mengelak tendangan Harumi yang barusan. Bagaimana? Latihan ini benar-benar menguntungkan bukan” Kata mbah Jiwo sambil disusul gelak tawa. Seakan tidak mempedulikanku yang saat ini masih terkapar kesakitan di tanah.

***
                                                                                                                     
                                                                                                                    Bersambung........

2 komentar: