Rabu, 19 Juli 2017

Novel; Arthof's Journey (Hal 10-14)



            Rasanya begitu aneh, mungkin ada yang habis kentut. Bau ini begitu menyengat di lubang hidungku. Tak berselang lama, rasa perih mulai terasa menjalar ke seluruh bagian tubuh.

“ukh...” kubuka mataku perlahan. Butuh beberapa hitungan detik hingga aku bisa melihat sekeliling dengan jelas.

Aku sedang berada di sebuah kamar tidur. Temboknya terdiri atas kayu tua dan berpasak bambu. Atapnya pun masih terdiri dari jerami tua yang di anyam. Aku mencoba bangkit tapi luka di tubuhku tak mengijinkannya. Lama aku di ruangan ini sendiri. ternyata bau yang menyengat itu adalah bau menyan. Dari dulu Aku tidak suka dengan bau-bauan seperti itu.

Pintu perlahan terkuak. Mata kupicingkan untuk melihat siapa gerangan orang yang masuk tanpa mengetuk pintu. Setelah jelas mataku memandang. Tak kusangka dia adalah seorang perempuan. Parasnya yang menawan membuatku tidak bisa berkedip untuk sesaat. Namun karena letupan rasa sakit di pinggang membuatku akhirnya tersadar dari angan-angan palsu.

            Sambil meringis kesakitan. Dia mendekat menuju ke arahku dengan membawa segelas air teh. Aku menelan ludah. Jantungku bertambah cepat seiring jaraknya semakin dekat denganku. Saat ini aku benar-benar diuntungkan dengan rupa menawanku. Sehingga kuyakin dia pasti akan tersipu malu saat akan berbicara denganku. Tapi –  

“bagaimana perasaanmu sekarang ini?” Tanyanya dengan nada malas. Cara bicaranya sama sekali tidak menampakkan kesan kasihan akan kondisi parahku ini. Dan rupanya dia sama sekali tidak kepincut dengan keelokan rupaku. Padahal setiap pagi saat berangkat ke sekolah. Sudah terdapat jejeran para siswi yang merapat di setiap jalan lewatku hanya untuk memandang wajahku.

“Oi... kenapa nggak dijawab. Apa sekarang kamu sudah mulai bisu?” tiba-tiba dia menggertak.

“A-aku...”

“hah... kalau nggak kuat ngomong nggak usah dipaksakan. Kamu nanti malah tambah sakit dan membuatku bekerja ekstra lagi menyembuhkan luka-lukamu”

Kali ini gambaranku padanya mulai berbalik. Ternyata watak wanita ini berbanding terbalik dengan wajah cantiknya itu. benar-benar sangat disayangkan.

            Setelah menaruh segelas air teh. Hampir saja dia pergi dan meinggalkan kamar ini kembali. Namun aku segera menyahutnya karena memiliki berbagai macam pertanyaan yang menyelimuti otak ini.

“Tunggu sebentar!”

“Apa?” katanya tanpa penuh hasrat.

“bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Dia diam sejenak sambil melangkah kembali dengan malasnya “jangan banyak-banyak. Aku tak punya waktu banyak untuk mengurusimu lebih lama”
Dahiku berkerut. Ternyata dia cukup menjengkelkan juga. “Apa yang sebenarnya terjadi sebelum aku sampai disini? Tolong ceritakan padaku. Jika kamu menjelaskannya secara rinci. Mungkin itu adalah satu-satunya pertanyaanku saat ini”
Setelah berpikir sejenak. Akhirnya Wanita itu angkat bicara.

“kamu beruntung bisa selamat dari kejarannya. Si Gael telah berjuang mati-matian menyelamatkan nyawamu yang terancam. Untung dia juga selamat. Tapi lukanya lebih parah darimu”

“Gael. Maksudmu. Bocah  itu?”

“APA KATAMU!!!”

Buag!’ dia menendang perutku keras. Seperti tidak peduli bila aku sedang setengah sekarat di kasur ini.

“AKH!!!” rasanya begitu sakit seperti operasi usus tanpa obat bius.

“Ke-Kenapa kamu tiba-tiba... ukh...!” aku menahan perih yang bagai melumat organ dalamku ini.

“kuperingatkan kau. Jangan seenaknya memanggil kakakku dengan sebutan bocah, bocah”

(Tak kusangka dia kakaknya. Pantas saja orang yang kukira bocah itu memanggilku bocah. Dan lagi, padahal dia seumuran denganku. Mengapa juga memanggilku bocah! Sialan!)

“ma-maaf” kataku, sambil tetap meringis kesakitan. Aku tahu bila salah. Cuman, kenapa hukumannya harus sekeras ini.

“lain kali kalau kamu ulangi, aku akan menjejak kepalamu”

(di-dia ternyata seorang psikopat!)

“sampai jumpa” dia mulai melangkah pergi.

“tunggu!”

Dia berhenti tanpa menoleh ke arahku “kamu bilang satu pertanyaankan”

“satu lagi. sebenarnya tempat apa ini? dimana aku sekarang?”

“dasar laki-laki payah. memegang kata-katamu sendiri saja tidak becus. Aku tak akan menjawabnya jadi cari tahulah sendiri”

Sampai dia menutup pintu kamar. Barulah dengan nada berbisik aku mengumpatinya habis-habisan.
(dasar perempuan menyebalkan! lucknut! sinting!!!)
***

            Aku mungkin tertidur cukup lama. Aku tidak tahu ini hari apa atau jam berapa, tanggal apa dan tahun berapa. Aku tidak tahu lagi sudah terbaring disini berapa hari. Yang kutahu cuma bertemu dengan wanita cantik yang menjengkelkan. Yang merawat dan memberiku makan dengan tidak ikhlas. Sampai saat inipun dia tidak mengenalkan nama ataupun dirinya. Hal itulah yang mendorongku agar cepat sembuh dan supaya bisa pergi menjauh dari perempuan itu.

“dok dok” terdengar ketukan dari pintu. Itu bukan dari wanita itu. Karena aku hafal betul bila dia msauk pasti langsung membuka tanpa mengetuk pintu. Pintu perlahan terkuak. muncullah sesosok orang tua yang rambutnya sudah beruban semua. Berjenggot panjang dan  berkulit sawo langsat.

“bagaimana kondisimu sekarang, nak? Apa sudah merasa baikan?” tanyanya penuh dengan kewibawaan.

“Ya... seluruh luka-lukaku sudah sembuh. Apa aku boleh pulang sekarang?”

“jangan terburu-buru. Menginaplah semalam lagi”

“maaf mbah, tapi aku tidak punya bayak waktu lagi. mungkin sekarang kedua orangtuaku tengah sibuk mencariku kemana-mana”
Wajah orang tua itu mendadak berubah sesaat sampai akhirnya dia menyodorkan tangannya ke arahku. 

“perkenalkan. Saya Sudjiwo. Panggil saja Mbah Jiwo”

“ba-baik mbah Jiwo. Saya Arthof” aku menjabat tangannya erat.

“apa putriku merawatmu dengan baik”

Ingin sekali aku menyatakan ketidaksukaanku, namun sepertinya itu bukan pilihan yang baik. “ya, dia sudah cukup baik merawat saya. Bukti kalau saya masih hidup adalah kerja keras dari putri anda”

“Hohohoho.... apa kamu langsung tertarik dengannya pada pandangan pertama”

“ah... mungkin untuk beberapa detik saat awal kami bertemu”

“hohohoho... maafkan anakku ya bila kamu merasa kurang nyaman dengannya. Dari dulu dia memang begitu. Dia adalah orang yang sangat membenci pria”

“oh begitu” (Pantas saja) aku ingin sekali menanyakan apakah dia seorang lesbi. Tapi kurasa itu tidak perlu.

“kalau anda bagaimana. Mbah Jiwo kan pria?”


“kecuali aku dan Gael tentunya”

“maksud mbah boc-... eh si kecil itu?” aku hampir keceplosan.

“ya. Umurnya sudah tiga puluh tahun. Dia adalah anak kandungku”

“Kuda Gile! kalau yang putri!?”

“dia anak angkatku, umurnya baru lima belas tahun”

(jadi umurnya sama denganku ya...)

“kenapa dia sampai segitunya membenci pria mbah?” tanyaku penasaran.

“hohoho.... ceritanya cukup panjang. Mungkin lain kali akan kuceritakan bila kamu bersedia tinggal disini lebih lama”

Pintu terkuak kembali. ternyata si dia muncuk kembali. Bicaranya sangat sopan ketika dengan mbahnya.

“Makanannya sudah siap yah” Katanya lembut lalu disusul melirik ke arahku dengan tatapan tajam. Membuatku agak sedikit kikuk, bingung, dan juga kesal.

“baiklah. Aku akan segera ke sana bersama dengan pemuda ini” kata simbah itu dengan penuh kebijaksanaan.

Lalu dia berlalu pergi sambil menutup pintu.

“kenapa dia ini?”

“Namanya Harumi. Dia itu sebenarnya anak yang baik kok”

(mungkin aku tidak butuh tahu namanya, mengingat aku akan segera melupakannya)

“mari ikut makan bersama. Berhubung kami saat ini sedang memasak aneka masakan yang lezat”
Aku menangguk dan kami berjalan bersama menuju ruang makan.
***

Setelah menginap semalam di rumah mbah Jiwo. Akhirnya aku membulatkan tekat untuk balik ke rumah secepatnya.

“baiklah, aku akan pulang sekarang”

“tidak semudah itu nak”

aku tidak menegerti sama sekali “kenapa?”

“setidaknya untuk pulang ke rumahmu, kamu harus bisa melewati beberapa ujian yang ada di sini”

“jangan bercanda mbah Jiwo. Anda tahu sendirikan bagaimana perasaan kedua orangtua ku merasakan anak mereka hilang cukup lama. Mereka pasti sedang frustasi disana. Kalau anda ingin uang. Nanti akan saya transfer deh pas saya udah sampai rumah”

“tenang saja, saya tidak butuh uang. Kedua orang tuamu juga tidak akan mencarimu sekarang ini. Jadi semua alasan yang kamu ajukan sudah teratasi”

“aku belum sepenuhnya mengerti. Apa maksudnya mereka tidak bisa mencariku untuk saat ini?”

“yak... mengerti atau tidak. Tapi kamu tidak akan kuijinkan kembali kesana”

“kalau begitu aku akan kembali sendiri” lalu aku mulai berjalan menelusuri hutan ini.

“percuma, aku yakin kamu akan mati duluan sebelum berhasil melewati hutan ini. kamu harus tahu kalau sekarang kita berada di hutan Anjel. Hutan paling angker nomor dua setelah hutan Saban di negara Indons. Melewatinya sendiri tanpa persiapan sama saja mencari mati”

“—...!!!” aku tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mengetahui lokasiku sekarang ini. kukira ini hanyalah di sebuah pegunungan kecil yang bertempat di sebelah kotaku. Aku bisa mempercayai perkataan dari mbah Jiwo ketika dalam waktu yang sama melihat hutan lebat membentang sejauh mataku memandang dari pegunungan kecil ini.

“maka dari itu, disini aku akan membantumu sampai kamu benar-benar layak untuk melewati hutan ini”

“kira-kira berapa lama?” kataku dengan nada terpuruk.

“Selama engkau mampu mengatasi semuanya, jadi ini tergantung seberapa kerasnya dirimu mencoba”
***

Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar