Rasanya begitu aneh, mungkin ada yang habis kentut. Bau ini begitu menyengat di lubang hidungku. Tak berselang lama, rasa perih mulai terasa menjalar ke seluruh bagian tubuh.
“ukh...”
kubuka mataku perlahan. Butuh beberapa hitungan detik hingga aku bisa melihat
sekeliling dengan jelas.
Aku sedang berada di sebuah kamar tidur. Temboknya terdiri atas
kayu tua dan berpasak bambu. Atapnya pun masih terdiri dari jerami tua yang di
anyam. Aku mencoba bangkit tapi luka di tubuhku tak mengijinkannya. Lama aku di
ruangan ini sendiri. ternyata bau yang menyengat itu adalah bau menyan. Dari
dulu Aku tidak suka dengan bau-bauan seperti itu.
Pintu perlahan terkuak. Mata kupicingkan untuk melihat siapa
gerangan orang yang masuk tanpa mengetuk pintu. Setelah jelas mataku memandang.
Tak kusangka dia adalah seorang perempuan. Parasnya yang menawan membuatku
tidak bisa berkedip untuk sesaat. Namun karena letupan rasa sakit di pinggang
membuatku akhirnya tersadar dari angan-angan palsu.
Sambil meringis kesakitan. Dia
mendekat menuju ke arahku dengan membawa segelas air teh. Aku menelan ludah.
Jantungku bertambah cepat seiring jaraknya semakin dekat denganku. Saat ini aku
benar-benar diuntungkan dengan rupa menawanku. Sehingga kuyakin dia pasti akan
tersipu malu saat akan berbicara denganku. Tapi –
“bagaimana
perasaanmu sekarang ini?” Tanyanya dengan nada malas. Cara bicaranya sama
sekali tidak menampakkan kesan kasihan akan kondisi parahku ini. Dan rupanya
dia sama sekali tidak kepincut dengan keelokan rupaku. Padahal setiap pagi saat
berangkat ke sekolah. Sudah terdapat jejeran para siswi yang merapat di setiap
jalan lewatku hanya untuk memandang wajahku.
“Oi...
kenapa nggak dijawab. Apa sekarang kamu sudah mulai bisu?” tiba-tiba dia
menggertak.
“A-aku...”
“hah...
kalau nggak kuat ngomong nggak usah dipaksakan. Kamu nanti malah tambah sakit
dan membuatku bekerja ekstra lagi menyembuhkan luka-lukamu”
Kali
ini gambaranku padanya mulai berbalik. Ternyata watak wanita ini berbanding
terbalik dengan wajah cantiknya itu. benar-benar sangat disayangkan.
Setelah menaruh segelas air teh. Hampir
saja dia pergi dan meinggalkan kamar ini kembali. Namun aku segera menyahutnya
karena memiliki berbagai macam pertanyaan yang menyelimuti otak ini.
“Tunggu
sebentar!”
“Apa?”
katanya tanpa penuh hasrat.
“bolehkah
aku bertanya sesuatu?”
Dia
diam sejenak sambil melangkah kembali dengan malasnya “jangan banyak-banyak.
Aku tak punya waktu banyak untuk mengurusimu lebih lama”
Dahiku
berkerut. Ternyata dia cukup menjengkelkan juga. “Apa yang sebenarnya terjadi
sebelum aku sampai disini? Tolong ceritakan padaku. Jika kamu menjelaskannya
secara rinci. Mungkin itu adalah satu-satunya pertanyaanku saat ini”
Setelah
berpikir sejenak. Akhirnya Wanita itu angkat bicara.
“kamu
beruntung bisa selamat dari kejarannya. Si Gael telah berjuang mati-matian
menyelamatkan nyawamu yang terancam. Untung dia juga selamat. Tapi lukanya
lebih parah darimu”
“Gael.
Maksudmu. Bocah itu?”
“APA
KATAMU!!!”
‘Buag!’
dia menendang perutku keras. Seperti tidak peduli bila aku sedang setengah
sekarat di kasur ini.
“AKH!!!”
rasanya begitu sakit seperti operasi usus tanpa obat bius.
“Ke-Kenapa
kamu tiba-tiba... ukh...!” aku menahan perih yang bagai melumat organ dalamku
ini.
“kuperingatkan
kau. Jangan seenaknya memanggil kakakku dengan sebutan bocah, bocah”
(Tak
kusangka dia kakaknya. Pantas saja orang yang kukira bocah itu memanggilku
bocah. Dan lagi, padahal dia seumuran denganku. Mengapa juga memanggilku bocah!
Sialan!)
“ma-maaf”
kataku, sambil tetap meringis kesakitan. Aku tahu bila salah. Cuman, kenapa
hukumannya harus sekeras ini.
“lain
kali kalau kamu ulangi, aku akan menjejak kepalamu”
(di-dia
ternyata seorang psikopat!)
“sampai
jumpa” dia mulai melangkah pergi.
“tunggu!”
Dia
berhenti tanpa menoleh ke arahku “kamu bilang satu pertanyaankan”
“satu
lagi. sebenarnya tempat apa ini? dimana aku sekarang?”
“dasar
laki-laki payah. memegang kata-katamu sendiri saja tidak becus. Aku tak akan
menjawabnya jadi cari tahulah sendiri”
Sampai
dia menutup pintu kamar. Barulah dengan nada berbisik aku mengumpatinya
habis-habisan.
(dasar
perempuan menyebalkan! lucknut! sinting!!!)
***
Aku mungkin tertidur cukup lama. Aku
tidak tahu ini hari apa atau jam berapa, tanggal apa dan tahun berapa. Aku
tidak tahu lagi sudah terbaring disini berapa hari. Yang kutahu cuma bertemu
dengan wanita cantik yang menjengkelkan. Yang merawat dan memberiku makan dengan
tidak ikhlas. Sampai saat inipun dia tidak mengenalkan nama ataupun dirinya.
Hal itulah yang mendorongku agar cepat sembuh dan supaya bisa pergi menjauh
dari perempuan itu.
“dok
dok” terdengar ketukan dari pintu. Itu bukan dari wanita itu. Karena aku hafal
betul bila dia msauk pasti langsung membuka tanpa mengetuk pintu. Pintu
perlahan terkuak. muncullah sesosok orang tua yang rambutnya sudah beruban
semua. Berjenggot panjang dan berkulit
sawo langsat.
“bagaimana
kondisimu sekarang, nak? Apa sudah merasa baikan?” tanyanya penuh dengan
kewibawaan.
“Ya...
seluruh luka-lukaku sudah sembuh. Apa aku boleh pulang sekarang?”
“jangan
terburu-buru. Menginaplah semalam lagi”
“maaf
mbah, tapi aku tidak punya bayak waktu lagi. mungkin sekarang kedua orangtuaku
tengah sibuk mencariku kemana-mana”
Wajah
orang tua itu mendadak berubah sesaat sampai akhirnya dia menyodorkan tangannya
ke arahku.
“perkenalkan. Saya Sudjiwo. Panggil saja Mbah Jiwo”
“ba-baik
mbah Jiwo. Saya Arthof” aku menjabat tangannya erat.
“apa
putriku merawatmu dengan baik”
Ingin
sekali aku menyatakan ketidaksukaanku, namun sepertinya itu bukan pilihan yang
baik. “ya, dia sudah cukup baik merawat saya. Bukti kalau saya masih hidup
adalah kerja keras dari putri anda”
“Hohohoho....
apa kamu langsung tertarik dengannya pada pandangan pertama”
“ah...
mungkin untuk beberapa detik saat awal kami bertemu”
“hohohoho...
maafkan anakku ya bila kamu merasa kurang nyaman dengannya. Dari dulu dia
memang begitu. Dia adalah orang yang sangat membenci pria”
“oh
begitu” (Pantas saja) aku ingin sekali menanyakan apakah dia seorang lesbi.
Tapi kurasa itu tidak perlu.
“kalau
anda bagaimana. Mbah Jiwo kan pria?”
“kecuali
aku dan Gael tentunya”
“maksud
mbah boc-... eh si kecil itu?” aku hampir keceplosan.
“ya.
Umurnya sudah tiga puluh tahun. Dia adalah anak kandungku”
“Kuda
Gile! kalau yang putri!?”
“dia
anak angkatku, umurnya baru lima belas tahun”
(jadi
umurnya sama denganku ya...)
“kenapa
dia sampai segitunya membenci pria mbah?” tanyaku penasaran.
“hohoho....
ceritanya cukup panjang. Mungkin lain kali akan kuceritakan bila kamu bersedia
tinggal disini lebih lama”
Pintu
terkuak kembali. ternyata si dia muncuk kembali. Bicaranya sangat sopan ketika
dengan mbahnya.
“Makanannya
sudah siap yah” Katanya lembut lalu disusul melirik ke arahku dengan tatapan
tajam. Membuatku agak sedikit kikuk, bingung, dan juga kesal.
“baiklah.
Aku akan segera ke sana bersama dengan pemuda ini” kata simbah itu dengan penuh
kebijaksanaan.
Lalu
dia berlalu pergi sambil menutup pintu.
“kenapa
dia ini?”
“Namanya
Harumi. Dia itu sebenarnya anak yang baik kok”
(mungkin
aku tidak butuh tahu namanya, mengingat aku akan segera melupakannya)
“mari
ikut makan bersama. Berhubung kami saat ini sedang memasak aneka masakan yang
lezat”
Aku
menangguk dan kami berjalan bersama menuju ruang makan.
***
Setelah menginap semalam di rumah mbah Jiwo. Akhirnya aku
membulatkan tekat untuk balik ke rumah secepatnya.
“baiklah,
aku akan pulang sekarang”
“tidak
semudah itu nak”
aku
tidak menegerti sama sekali “kenapa?”
“setidaknya
untuk pulang ke rumahmu, kamu harus bisa melewati beberapa ujian yang ada di
sini”
“jangan
bercanda mbah Jiwo. Anda tahu sendirikan bagaimana perasaan kedua orangtua ku
merasakan anak mereka hilang cukup lama. Mereka pasti sedang frustasi disana. Kalau
anda ingin uang. Nanti akan saya transfer deh pas saya udah sampai rumah”
“tenang
saja, saya tidak butuh uang. Kedua orang tuamu juga tidak akan mencarimu
sekarang ini. Jadi semua alasan yang kamu ajukan sudah teratasi”
“aku
belum sepenuhnya mengerti. Apa maksudnya mereka tidak bisa mencariku untuk saat
ini?”
“yak...
mengerti atau tidak. Tapi kamu tidak akan kuijinkan kembali kesana”
“kalau
begitu aku akan kembali sendiri” lalu aku mulai berjalan menelusuri hutan ini.
“percuma,
aku yakin kamu akan mati duluan sebelum berhasil melewati hutan ini. kamu harus
tahu kalau sekarang kita berada di hutan Anjel. Hutan paling angker nomor dua
setelah hutan Saban di negara Indons. Melewatinya sendiri tanpa persiapan sama
saja mencari mati”
“—...!!!”
aku tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika mengetahui lokasiku sekarang ini.
kukira ini hanyalah di sebuah pegunungan kecil yang bertempat di sebelah kotaku.
Aku bisa mempercayai perkataan dari mbah Jiwo ketika dalam waktu yang sama melihat
hutan lebat membentang sejauh mataku memandang dari pegunungan kecil ini.
“maka
dari itu, disini aku akan membantumu sampai kamu benar-benar layak untuk
melewati hutan ini”
“kira-kira
berapa lama?” kataku dengan nada terpuruk.
“Selama
engkau mampu mengatasi semuanya, jadi ini tergantung seberapa kerasnya dirimu
mencoba”
***
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar