Seminggu telah berlalu semenjak
kejadian miris itu. Berkali-kali aku diintrogasi oleh polisi dan ditanyai
berbagai macam hal dan seberapa jauh keterlibatanku pada kasus ini. Sampai
akhirnya mereka pun melepaskanku karena tidak menemukan bukti apapun bila
akulah sang pelakunya. Akupun sendiri bingung mengapa bisa dituduh sebagai
pelaku pembunuhan teman sekolahku sendiri.
Sampai saat ini perasaan trauma itu
tidak kunjung hilang dari ingatanku. Terkadang badanku menggigil sendiri ketika
melihat warna merah cat atau sirup. Sehingga kini kedua orang tuaku mulai
menjauhkan barang-barang itu dari jangkauanku.
“Mau
kemana Arthof?” Tanya ibuku ketika melihatku sedang berjalan menuju pintu.
“aku
mau keluar menenangkan diri”
“dimana?”
“ditaman
kota”
“mau
dianterin?”
“nggak
usah bu... Aku bisa sendirian naik motor”
“Kalau
begitu hati-hati ya nak. Kalau ada apa-apa segera telfon ibu”
“baik
bu”
Aku
segera bergegas mengambil motor di garasi dan melajukannya ke taman kota.
Seperti biasa. Pagi ini taman begitu
ramai. Apalagi ini adalah hari libur. Dan berhubung sekolahku ditutup, sehingga
sekarang aku jadi seorang pelajar yang nganggur.
Disini aku berjalan kesana kemari.
Mencari tempat yang teduh, tenang, dan sepi. Aku ingin merilekskan pikiran ini.
sudah beberapa hari ini aku mengurung diri di kamar. Keluarpun hanya untuk
bertemu polisi yang ingin mengitrogasiku. Kehidupanku yang tenang dan indah
bisa kandas bagai puing-puing. Tak kusangka kehidupanku yang tentram bisa
berubah secepat ini.
Angin yang berhembus di sekitarku
membuatku kedua mataku mengantuk. Rasanya begitu sejuk menjalar ke seluruh
tubuhku. Tak sadar kepalaku sudah miring dan kesadarankupun sebentar lagi
lenyap tersapu angin.
‘PSYUU!!!’
Suara
itu terdengar tepat di sisi kiri kupingku. Membuatku segera tergugah untuk
melihat benda yang tampaknya telah membentuk sebuah lubang di pohon tempatku
bersandar.
“Untung
tadi kepalaku miring ke kanan!” aku menelan ludah. Dilihat dari bentuknya, itu
adalah selongsong peluru. Pikiranku kembali kalut mengingat penjahat itu pasti
masih mengincarku. Mereka pasti tahu bila akulah satu-satunya siswa yang masih
hidup.
Segera aku berlari untuk meminta
bantuan. Karena terlalu gugup tak sengaja kakiku menyandung sebuah batu.
Seketika aku terjatuh dan meringkik kesakitan.
‘PSYUU!!’
Lagi-lagi
tembakan itu. kali ini tepat menyenggol bajuku. Mungkin jika aku tidak jatuh
tadi, sudah terdapat lubang menganga di perutku. Ternyata tuhan belum berkenan
untuk membuatku mati disini. Untuk itu aku segera mersponnya dengan bangkit dan
berlari kencang menuju ke tempat yang ramai tadi.
“Dimana
orang-orang!” aku tercengang. Entah kenapa, taman yang semula ramai mendadak
sepi. Mataku melotot mengitari seluruh taman yang kosong melompong. Semua orang
lenyap tak tersisa.
‘PSYUU!!!’
“akhh....!”
Kali
ini tembakan itu mengenai bahu kiriku. Darah hangat mulai mengalir di sela-sela
tangan kananku yang menutupinya. Rasa sakit dan perih mulai terasa persekian
detik kemudian. Tanpa pikir panjang. Aku segera berlari menuju jalanan raya
untuk meminta pertolongan. Niat kehidupanku yang besar menyangkal agar aku
tidak mati disini. Namun semenjak aku berlari. Tembakan itu semakin liar saja
menuju ke arahku.
‘PSYU
PSYU PSYU PSYU’
Aku menghindari tembakan itu
sekenanya. Dan untungnya semuanya berhasil aku hindari. Walaupun aku sendiri
sampai kaget jika bisa menghindari semua tembakannya. Walau tak jarang ada
beberapa yang menyerempet dan mengoyak kausku.
Aku hampir sampai ke jalanan raya. Disana mungkin orang itu tak
akan berani membunuhku disana, dalam keramaian. Dan semoga saja mereka mau membantuku
agar lepas dari maut. Namun sayang, harapan itu tiba-tiba pupus kala seseorang
pemuda berusia dua puluh tahunan berjubah serba hitam muncul di hadapanku. Tatapan
matanya begitu dingin. Terselip pedang tipis di belakang pundaknya. Sambil
membawa pistol di tangan kanan yang entah itu pitol jenis apa. Dia terus
menatapku sehingga tanpa sadar membuatku ngompol.
“a...a...ap...”
aku tergagap sampai tak bisa berkata-kata lagi. Yang kupikirkan saat itu adalah
kematian dan nasib celanaku yang sudah basah kuyup. Aura orang ini luar biasa.
Dia seperti seorang pembunuh professional yang sudah sering membunuh banyak
orang.
“luar
biasa” katanya kalem dan singkat. Ekspresi wajahnya datar ketika menatapku yang
sedang ketakutan dua pertiga mati.
“a....a...ap..?”
rupanya aku masih belum bisa ngomong.
“kamu
adalah satu-satunya orang yang berhasil menghindar dari pembunuhan yang aku
lakukan. Awalnya kukira kamu adalah seorang yang hebat. Nyatanya Cuma anak
ingusan”
Aku
hanya melotot ketakutan sampai tidak bisa bergerak. Dia kembali menodongkan
pistol hitamnya ke arah jidatku.
“bagus,
diamlah disitu. Maka kematianmu tidak akan menyakitkan”
Tangannya
sudah bersiap menekan pelatuknya. Mataku terpejam dan harapanku sudah pupus.
Mungkin sebentar lagi aku akan segera mati.
‘PSYUU!!’
‘TRAANGG!!!’
Lama
waktu berlalu dan aku tidak merasakan timah panas yang menembus jidatku.
“WOI
bocah sedeng! cepat lari! Apa kamu ingin mati hah!”
Mataku
segera aku buka. Terlihat seorang anak kecil yang barusan mengatai aku bocah.
“jangan
hanya diam saja. Larilah. Akan kutahan dia sebisa mungkin” dia memakai pedang
pendek sambil memasang kuda-kuda.
“ta-tapi
harus lari kemana? Jalan satu-satunya ialah melewati orang ini!”
“ya
lewati saja. Kamu ini pintar apa bego sih. Nanti aku akan menahannya. Tenang
saja!”
“Baiklah
bocah. Lain kali jangan panggil aku bocah!”
Segera aku berlari melewati orang
berjubah itu. Kulihat dia merespon cepat dan bergerak menuju ke arahku. Tapi
bocah itu segera bereaksi dan menahanya agar diam di tempatnya. Sekilas aku
kembali teringat pada bocah yang waktu itu aku beri es krim dan menipuku lalu
mendadak hilang.
“ka-kau
kan!?” aku sekarang ingat bocah itu.
Si jubah hitam itu berhasil mengelak dan menyingkirkan anak kecil
itu. dia menyayatkan pedangnya di udara dan muncul padatan angin tajam layaknya
di serial anime menuju ke arahku. Kurasa aku harus menghindari angin yang
bergerak cepat itu, jika tidak pasti kepalaku akan terpenggal. Namun karena
tidak fokus menatap ke arah depan, aku tidak menyadari ada sebatang pohon besar
yang menantiku disana.
‘DUUAAK!!’
benturan keras kontan membuat kepalaku puyeng.
Semua terasa berputar-putar bagai menaiki komedi putar
berkecepatan 120 rads/secon. Lekas badanku terjatuh dan berhasil menghindari
padatan sayatan angin yang kini merobek batang pohon dan membuatnya tumbang.
Sialnya batang pohon itu segera ambruk menuju ke arahku. Sedangkan akibat
benturan keras tadi, Menyebabkan kesadaranku perlahan pudar dan tidak bisa
merasakan apapun lagi pada saat itu.
***
Bersambung......
Bersambung......
0 komentar:
Posting Komentar