Rabu, 12 Juli 2017

Novel; Arthof's Journey (Hal 7-10)

Chapter 2

            Seminggu telah berlalu semenjak kejadian miris itu. Berkali-kali aku diintrogasi oleh polisi dan ditanyai berbagai macam hal dan seberapa jauh keterlibatanku pada kasus ini. Sampai akhirnya mereka pun melepaskanku karena tidak menemukan bukti apapun bila akulah sang pelakunya. Akupun sendiri bingung mengapa bisa dituduh sebagai pelaku pembunuhan teman sekolahku sendiri.

            Sampai saat ini perasaan trauma itu tidak kunjung hilang dari ingatanku. Terkadang badanku menggigil sendiri ketika melihat warna merah cat atau sirup. Sehingga kini kedua orang tuaku mulai menjauhkan barang-barang itu dari jangkauanku.

“Mau kemana Arthof?” Tanya ibuku ketika melihatku sedang berjalan menuju pintu.
“aku mau keluar menenangkan diri”
“dimana?”
“ditaman kota”
“mau dianterin?”
“nggak usah bu... Aku bisa sendirian naik motor”
“Kalau begitu hati-hati ya nak. Kalau ada apa-apa segera telfon ibu”
“baik bu”
Aku segera bergegas mengambil motor di garasi dan melajukannya ke taman kota.

            Seperti biasa. Pagi ini taman begitu ramai. Apalagi ini adalah hari libur. Dan berhubung sekolahku ditutup, sehingga sekarang aku jadi seorang pelajar yang nganggur.

            Disini aku berjalan kesana kemari. Mencari tempat yang teduh, tenang, dan sepi. Aku ingin merilekskan pikiran ini. sudah beberapa hari ini aku mengurung diri di kamar. Keluarpun hanya untuk bertemu polisi yang ingin mengitrogasiku. Kehidupanku yang tenang dan indah bisa kandas bagai puing-puing. Tak kusangka kehidupanku yang tentram bisa berubah secepat ini.

            Angin yang berhembus di sekitarku membuatku kedua mataku mengantuk. Rasanya begitu sejuk menjalar ke seluruh tubuhku. Tak sadar kepalaku sudah miring dan kesadarankupun sebentar lagi lenyap tersapu angin.

PSYUU!!!

Suara itu terdengar tepat di sisi kiri kupingku. Membuatku segera tergugah untuk melihat benda yang tampaknya telah membentuk sebuah lubang di pohon tempatku bersandar.
“Untung tadi kepalaku miring ke kanan!” aku menelan ludah. Dilihat dari bentuknya, itu adalah selongsong peluru. Pikiranku kembali kalut mengingat penjahat itu pasti masih mengincarku. Mereka pasti tahu bila akulah satu-satunya siswa yang masih hidup.

            Segera aku berlari untuk meminta bantuan. Karena terlalu gugup tak sengaja kakiku menyandung sebuah batu. Seketika aku terjatuh dan meringkik kesakitan.

PSYUU!!

Lagi-lagi tembakan itu. kali ini tepat menyenggol bajuku. Mungkin jika aku tidak jatuh tadi, sudah terdapat lubang menganga di perutku. Ternyata tuhan belum berkenan untuk membuatku mati disini. Untuk itu aku segera mersponnya dengan bangkit dan berlari kencang menuju ke tempat yang ramai tadi.
“Dimana orang-orang!” aku tercengang. Entah kenapa, taman yang semula ramai mendadak sepi. Mataku melotot mengitari seluruh taman yang kosong melompong. Semua orang lenyap tak tersisa.

PSYUU!!!

“akhh....!”

Kali ini tembakan itu mengenai bahu kiriku. Darah hangat mulai mengalir di sela-sela tangan kananku yang menutupinya. Rasa sakit dan perih mulai terasa persekian detik kemudian. Tanpa pikir panjang. Aku segera berlari menuju jalanan raya untuk meminta pertolongan. Niat kehidupanku yang besar menyangkal agar aku tidak mati disini. Namun semenjak aku berlari. Tembakan itu semakin liar saja menuju ke arahku.

PSYU PSYU PSYU PSYU

            Aku menghindari tembakan itu sekenanya. Dan untungnya semuanya berhasil aku hindari. Walaupun aku sendiri sampai kaget jika bisa menghindari semua tembakannya. Walau tak jarang ada beberapa yang menyerempet dan mengoyak kausku.

Aku hampir sampai ke jalanan raya. Disana mungkin orang itu tak akan berani membunuhku disana, dalam keramaian. Dan semoga saja mereka mau membantuku agar lepas dari maut. Namun sayang, harapan itu tiba-tiba pupus kala seseorang pemuda berusia dua puluh tahunan berjubah serba hitam muncul di hadapanku. Tatapan matanya begitu dingin. Terselip pedang tipis di belakang pundaknya. Sambil membawa pistol di tangan kanan yang entah itu pitol jenis apa. Dia terus menatapku sehingga tanpa sadar membuatku ngompol.

“a...a...ap...” aku tergagap sampai tak bisa berkata-kata lagi. Yang kupikirkan saat itu adalah kematian dan nasib celanaku yang sudah basah kuyup. Aura orang ini luar biasa. Dia seperti seorang pembunuh professional yang sudah sering membunuh banyak orang.

“luar biasa” katanya kalem dan singkat. Ekspresi wajahnya datar ketika menatapku yang sedang ketakutan dua pertiga mati.

“a....a...ap..?” rupanya aku masih belum bisa ngomong.

“kamu adalah satu-satunya orang yang berhasil menghindar dari pembunuhan yang aku lakukan. Awalnya kukira kamu adalah seorang yang hebat. Nyatanya Cuma anak ingusan”
Aku hanya melotot ketakutan sampai tidak bisa bergerak. Dia kembali menodongkan pistol hitamnya ke arah jidatku.

“bagus, diamlah disitu. Maka kematianmu tidak akan menyakitkan”
Tangannya sudah bersiap menekan pelatuknya. Mataku terpejam dan harapanku sudah pupus. Mungkin sebentar lagi aku akan segera mati.

PSYUU!!

TRAANGG!!!

Lama waktu berlalu dan aku tidak merasakan timah panas yang menembus jidatku.

“WOI bocah sedeng! cepat lari! Apa kamu ingin mati hah!”

Mataku segera aku buka. Terlihat seorang anak kecil yang barusan mengatai aku bocah.

“jangan hanya diam saja. Larilah. Akan kutahan dia sebisa mungkin” dia memakai pedang pendek sambil memasang kuda-kuda.

“ta-tapi harus lari kemana? Jalan satu-satunya ialah melewati orang ini!”

“ya lewati saja. Kamu ini pintar apa bego sih. Nanti aku akan menahannya. Tenang saja!”

“Baiklah bocah. Lain kali jangan panggil aku bocah!”

            Segera aku berlari melewati orang berjubah itu. Kulihat dia merespon cepat dan bergerak menuju ke arahku. Tapi bocah itu segera bereaksi dan menahanya agar diam di tempatnya. Sekilas aku kembali teringat pada bocah yang waktu itu aku beri es krim dan menipuku lalu mendadak hilang.

“ka-kau kan!?” aku sekarang ingat bocah itu.

Si jubah hitam itu berhasil mengelak dan menyingkirkan anak kecil itu. dia menyayatkan pedangnya di udara dan muncul padatan angin tajam layaknya di serial anime menuju ke arahku. Kurasa aku harus menghindari angin yang bergerak cepat itu, jika tidak pasti kepalaku akan terpenggal. Namun karena tidak fokus menatap ke arah depan, aku tidak menyadari ada sebatang pohon besar yang menantiku disana.

DUUAAK!!’ benturan keras kontan membuat kepalaku puyeng.

Semua terasa berputar-putar bagai menaiki komedi putar berkecepatan 120 rads/secon. Lekas badanku terjatuh dan berhasil menghindari padatan sayatan angin yang kini merobek batang pohon dan membuatnya tumbang. Sialnya batang pohon itu segera ambruk menuju ke arahku. Sedangkan akibat benturan keras tadi, Menyebabkan kesadaranku perlahan pudar dan tidak bisa merasakan apapun lagi pada saat itu.

***
                                                                                                                        Bersambung......

0 komentar:

Posting Komentar