Sabtu, 21 Desember 2019

Kumpulan Cerpen; Manusia


       Manusia adalah makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang diberikan anugrah kesempur-naan akal dan Nurani. Sanggup berpikir logis serta berkembang sesuai dengan pola pikir yang herarkis. Manusia adalah makhluk yang ditugaskan untuk memimpin bumi. Manusia pula yang bertugas untuk menjaga, mengayomi, saling berkasih sayang, rukun, serta saling menolong dalam menjalani kehidupan. Manusia pada hakikatnya baik, tidak sombong, dan rajin menabung. Tapi…

“Manusia adalah sampah!” Bentak Firnas.
“Hei jaga bicaramu. Kamu itu juga manusia bang***!”
“aku mengakui diriku ini sampah! Aku bicara begini karena pada kenyataannya manusia adalah makhluk egois yang mengedepankan hawa nafsu, suka memakan sesama, serta sering menindas tanpa pandang upil!”
Aku terhenyak, tak kusangka pikiran temanku tiba-tiba menjadi seliar ini. Apa karena semalam habis nonton film ‘Boker’?
“dengar baik-baik Firnas, tak semua manusia itu memiliki sifat yang kamu sebutkan tadi. Ada manusia baik, ada manusia yang cinta pada sesama, suka menolong, dan welas asih ing tataning jagad
“bodo amat, pada kenyataannya setiap manusia yang aku temui hatinya sudah tidak murni, mereka penuh keserakahan serta suka merusak”
Firnas berlalu dengan perasaan jengkel. Setiap manusia yang bertemu pandang dengannya langsung di pelototi tanpa ampun.

            Dari kemarin Firnas tidak menampakkan batang hidungnya di kelas. hari ini juga dia tidak masuk. Banyak yang bertanya, mengapa anak serajin Firnas. Yang dari kelas satu sampai dua tidak pernah bolos, bahkan absennya 100 persen lengkap. Rela datang walau sedang malaria. Semangatnya untuk bersekolah dibilang paling top se-saentro jawa tengah. Namun sekarang karena tanpa alasan yang jelas, Firnas alpha untuk menghadiri kelas. Padahal hari ini ada kuis penting yang akan menjadi penambah nilai UAS nanti.

“kamu tau firnas dimana Mul?” tanya Sinti.
“aku ngga tau” jawabku “Mungkin sekarang dia sedang merenung dengan pikirannya”
“apa maksudmu?”
“Firnas sedang mengalami masa-masa kedewasaan. Santai saja, semoga hari-hari selanjutnya dia bisa kembali normal”
Sinti mengangguk senang.

            Seminggu berlalu, tak banyak perubahan yang terjadi pada hidup. Yang ada hanya keluhan karena UAS sebentar lagi akan hadir. Semua bersiap untuk belajar. Ada juga yang sans dan menganggap hal ini sepele, karena pada akhirnya mereka toh juga nyontek. Ada yang putus asa dan memilih ngegame.

“aku khawatir, Firnas seminggu ini tidak ada kabar” kata Michael.
“aku juga” aku takut Firnas terlalu berat memikirkan hakikat manusia. Karena aku juga manusia, terkadang bertanya tentang apa artinya menjadi manusia yang sesungguhnya. Mengapa aku menjadi manusia? dan apa fungsi ketika aku menjadi manusia? Apakah sudah sinkron dengan pernyataan yang selama ini sering kudengar selama hidup. Ataukan selama ini tanpa sadar aku sedang berpaling dari difinisi manusia yang selama ini ku ketahui.
“bu guru bilang Firnas mengalami panas demam tinggi. Beberapa orang berkunjung ke rumahnya tapi Firnas tidak mau ditemui”
“habis pulang sekolah, sore ini aku akan ke rumahnya”

            Seperti biasa sang ibu berkata jika Firnas tidak mau menemuiku, padahal aku terhitung sahabat dekat Firnas.

“apakah Firnas benar-benar sakit bu? Apakah selama seminggu ini sudah di periksa ke dokter?”
“sudah nak Mul, tapi nak Firnas tidak mau dirawat di rumah sakit, hanya mau di rawat di rumah”
“bolehkah saya masuk meski tidak diijinkan Firnas? saya sebagai teman dekatnya merasa khawatir dengan kondisinya”
Sang ibu berpikir sejenak, lalu mempersilakan aku masuk. Membukakan kamar Firnas, saat itu Dia masih rebahan di Kasur, dengan memegang sebuah buku. Firnas memang seorang yang suka membaca buku, entah sudah berapa banyak buku yang telah dibacanya.
“Firnas” sapaku padanya. Dia melirikku sekilas. Kemudian matanya kembali terlarut dalam buku bacaan.
“silakan masuk, saya siapkan teh anget dulu ya”
“ah ngga usah repot-repot bu” tolakku dengan halus
“ngga papa, anggap saja rumah sendiri” sang ibu lekas ke dapur untuk menyiapkan minumanku
Aku duduk di samping Firnas yang terbaring di Kasur.

“maaf karena memaksa masuk”
“ya” jawabnya singkat.
“apakah sakitmu sudah mendingan?”
“masih sama seperti sebelumnya”
“meski sudah diminumi obat?”
“aku ngga suka obat”
Dia masih membaca buku itu, aku melihat kover bukunya berjudul ‘icha-icha paradise vol 2, limited edition
“kamu suka banget buku itu ya?” aku sebenarnya ingin tertawa, hanya saja melihat kondisi dan mental Firnas membuatku tidak jadi melontarkan tawaku.
“yap”
Ibu Firnas datang kembali untuk mengantarkan teh anget padaku
“terimakasih”
Sang ibu tersenyum kemudian meninggalkan kami berdua kembali.
“apa kamu masih memikirkan tentang manusia?”
Firnas diam sejenak. Menutup bukunya kemudian bangkit mengambil posisi duduk. Dia agak kesulitan, aku membantunya agar bisa tegap duduk.
“aku selalu memikirkannya, tentang manusia, dan itu tidak ada habisnya”
“mengapa berpikir tentang manusia sangat penting bagimu? Bahkan diluar sana mereka bodo amat, yang penting bisa menjalani hidup dengan fun and happy
“aku takut ketika aku tidak mengerti akan menjadi manusia, kedepannya aku tidak akan menjadi manusia” katanya.
“maksudmu?”
“meski tubuhku ini manusia, aku takut perilakuku tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya”

Aku terdiam sejenak. Selama ini aku tidak pernah berpikir menjadi manusia memiliki beban yang begitu berat. Bahkan hanya untuk menjabarkan dan menelaah definisinya saja membuat temanku Firnas sampai vakum sekolah selama seminggu disertai demam tinggi.

“apakah kamu tahu mengapa manusia selalu ingin menang sendiri, ingin berkuasa, merendahkan yang lain serta berbangga pada diri sendiri, seakan dirinya yang terbaik, seakan semua yang berbeda darinya adalah musuh, semua yang mendukungnya adalah teman, semua yang dianggapnya tak enak dipandang harus dihindari, sedangkan yang memanjakan mata selalu di dekati, yang tak berguna di abaikan, sedangkan mereka yang berprestasi akan di banggakan”
“itu sudah sifat dasar manusia”
“manusia memang selalu memilih hal terbaik untuk dirinya, berusaha meminimalkan resiko dengan mendapat keuntungan yang besar, lebih mengharapkan hasil pasti dan cepat walau sedikit, ketimbang hasil berlimpah di masa datang namun samar”
“lalu apa yang kamu permasalahkan?”
“aku hanya tidak ingin menjadi seperti itu”
“bukankah dulu kamu memang tidak seperti itu?”
“yah, tapi lingkungan membuatku menjadi seperti itu. aku sangat frustasi dengan para manusia yang tidak tahu apa saja yang diharapkan ketika menjadi manusia. Itulah yang membuatku semakin lama semakin menjauhi sisi kemanusiaan. Bahkan sekarang masihkah aku menjadi seorang manusia. Ataukah gelar manusia ini hanya sebatas tubuh yang melekat pada jiwa ini”
“manusia ya…”
“sampai sekarang aku tak bisa menemukan solusinya. Karena tak semua orang akan memikirkan hal yang sama, seperti katamu tadi, bahkan ada yang masa bodoh jika dirinya itu sebenarnya manusia”

            Firnas merasa terombang-ambing dengan perasaan yang selama ini dirasakannya. Semakin dewasa manusia dituntut bisa menentukan sikap yang tepat dalam menjalani kehidupan. Jika salah bergerak itu akan menimbulkan banyak penyesalan. Dan waktu tak akan bisa diulang untuk membenarkan kejadian yang telah terjadi. Aku beruntung bisa merasakan dan mendalami hal ini sebelum masa tuaku. Setidaknya, aku bisa mengerti perasaan dari sahabatku yang selama ini tengah galau memikirkan nasib akan eksistensi manusia selama ini. Terutama dirinya dalam menjalani harinya sebagai seorang manusia.

“itu tandanya kamu sudah dewasa Firnas, kamu harus bersyukur karena bisa memikirkan hal ini lebih cepat dari orang lain seumuranmu”
“bersyukur?”
“ya”
“bagaimana caraku untuk bisa bersyukur?”
“jadilah manusia seutuhnya. Manusia yang membantu sesama, suka menolong, welas asih ing tataning jagad



Surakarta, 21 Desember 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar