Manusia adalah makhluk sosial. Manusia adalah makhluk
yang diberikan anugrah kesempur-naan akal dan Nurani. Sanggup berpikir logis
serta berkembang sesuai dengan pola pikir yang herarkis. Manusia adalah makhluk
yang ditugaskan untuk memimpin bumi. Manusia pula yang bertugas untuk menjaga,
mengayomi, saling berkasih sayang, rukun, serta saling menolong dalam menjalani
kehidupan. Manusia pada hakikatnya baik, tidak sombong, dan rajin menabung. Tapi…
“Manusia adalah sampah!”
Bentak Firnas.
“Hei jaga bicaramu. Kamu
itu juga manusia bang***!”
“aku mengakui diriku ini
sampah! Aku bicara begini karena pada kenyataannya manusia adalah makhluk egois
yang mengedepankan hawa nafsu, suka memakan sesama, serta sering menindas tanpa
pandang upil!”
Aku terhenyak, tak
kusangka pikiran temanku tiba-tiba menjadi seliar ini. Apa karena semalam habis
nonton film ‘Boker’?
“dengar baik-baik Firnas,
tak semua manusia itu memiliki sifat yang kamu sebutkan tadi. Ada manusia baik,
ada manusia yang cinta pada sesama, suka menolong, dan welas asih ing tataning
jagad”
“bodo amat, pada
kenyataannya setiap manusia yang aku temui hatinya sudah tidak murni, mereka
penuh keserakahan serta suka merusak”
Firnas berlalu dengan
perasaan jengkel. Setiap manusia yang bertemu pandang dengannya langsung di
pelototi tanpa ampun.
Dari kemarin Firnas tidak menampakkan batang hidungnya di
kelas. hari ini juga dia tidak masuk. Banyak yang bertanya, mengapa anak
serajin Firnas. Yang dari kelas satu sampai dua tidak pernah bolos, bahkan absennya
100 persen lengkap. Rela datang walau sedang malaria. Semangatnya untuk
bersekolah dibilang paling top se-saentro jawa tengah. Namun sekarang karena
tanpa alasan yang jelas, Firnas alpha untuk menghadiri kelas. Padahal hari ini
ada kuis penting yang akan menjadi penambah nilai UAS nanti.
“kamu tau firnas dimana Mul?”
tanya Sinti.
“aku ngga tau” jawabku “Mungkin
sekarang dia sedang merenung dengan pikirannya”
“apa maksudmu?”
“Firnas sedang mengalami
masa-masa kedewasaan. Santai saja, semoga hari-hari selanjutnya dia bisa
kembali normal”
Sinti mengangguk senang.
Seminggu berlalu, tak banyak perubahan yang terjadi pada
hidup. Yang ada hanya keluhan karena UAS sebentar lagi akan hadir. Semua bersiap
untuk belajar. Ada juga yang sans dan menganggap hal ini sepele, karena pada
akhirnya mereka toh juga nyontek. Ada yang putus asa dan memilih ngegame.
“aku khawatir, Firnas
seminggu ini tidak ada kabar” kata Michael.
“aku juga” aku takut Firnas
terlalu berat memikirkan hakikat manusia. Karena aku juga manusia, terkadang bertanya
tentang apa artinya menjadi manusia yang sesungguhnya. Mengapa aku menjadi
manusia? dan apa fungsi ketika aku menjadi manusia? Apakah sudah sinkron dengan
pernyataan yang selama ini sering kudengar selama hidup. Ataukan selama ini tanpa
sadar aku sedang berpaling dari difinisi manusia yang selama ini ku ketahui.
“bu guru bilang Firnas
mengalami panas demam tinggi. Beberapa orang berkunjung ke rumahnya tapi Firnas
tidak mau ditemui”
“habis pulang sekolah,
sore ini aku akan ke rumahnya”
Seperti biasa sang ibu berkata jika Firnas tidak mau menemuiku,
padahal aku terhitung sahabat dekat Firnas.
“apakah Firnas benar-benar
sakit bu? Apakah selama seminggu ini sudah di periksa ke dokter?”
“sudah nak Mul, tapi nak
Firnas tidak mau dirawat di rumah sakit, hanya mau di rawat di rumah”
“bolehkah saya masuk
meski tidak diijinkan Firnas? saya sebagai teman dekatnya merasa khawatir
dengan kondisinya”
Sang ibu berpikir sejenak,
lalu mempersilakan aku masuk. Membukakan kamar Firnas, saat itu Dia masih
rebahan di Kasur, dengan memegang sebuah buku. Firnas memang seorang yang suka
membaca buku, entah sudah berapa banyak buku yang telah dibacanya.
“Firnas” sapaku padanya. Dia
melirikku sekilas. Kemudian matanya kembali terlarut dalam buku bacaan.
“silakan masuk, saya
siapkan teh anget dulu ya”
“ah ngga usah repot-repot
bu” tolakku dengan halus
“ngga papa, anggap saja
rumah sendiri” sang ibu lekas ke dapur untuk menyiapkan minumanku
Aku duduk di samping Firnas
yang terbaring di Kasur.
“maaf karena memaksa
masuk”
“ya” jawabnya singkat.
“apakah sakitmu sudah
mendingan?”
“masih sama seperti
sebelumnya”
“meski sudah diminumi
obat?”
“aku ngga suka obat”
Dia masih membaca buku
itu, aku melihat kover bukunya berjudul ‘icha-icha paradise vol 2, limited
edition’
“kamu suka banget buku
itu ya?” aku sebenarnya ingin tertawa, hanya saja melihat kondisi dan mental
Firnas membuatku tidak jadi melontarkan tawaku.
“yap”
Ibu Firnas datang kembali
untuk mengantarkan teh anget padaku
“terimakasih”
Sang ibu tersenyum
kemudian meninggalkan kami berdua kembali.
“apa kamu masih memikirkan
tentang manusia?”
Firnas diam sejenak. Menutup
bukunya kemudian bangkit mengambil posisi duduk. Dia agak kesulitan, aku membantunya
agar bisa tegap duduk.
“aku selalu memikirkannya,
tentang manusia, dan itu tidak ada habisnya”
“mengapa berpikir tentang
manusia sangat penting bagimu? Bahkan diluar sana mereka bodo amat, yang penting
bisa menjalani hidup dengan fun and happy”
“aku takut ketika aku
tidak mengerti akan menjadi manusia, kedepannya aku tidak akan menjadi manusia”
katanya.
“maksudmu?”
“meski tubuhku ini
manusia, aku takut perilakuku tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya”
Aku terdiam sejenak. Selama
ini aku tidak pernah berpikir menjadi manusia memiliki beban yang begitu berat.
Bahkan hanya untuk menjabarkan dan menelaah definisinya saja membuat temanku
Firnas sampai vakum sekolah selama seminggu disertai demam tinggi.
“apakah kamu tahu mengapa
manusia selalu ingin menang sendiri, ingin berkuasa, merendahkan yang lain
serta berbangga pada diri sendiri, seakan dirinya yang terbaik, seakan semua
yang berbeda darinya adalah musuh, semua yang mendukungnya adalah teman, semua
yang dianggapnya tak enak dipandang harus dihindari, sedangkan yang memanjakan
mata selalu di dekati, yang tak berguna di abaikan, sedangkan mereka yang
berprestasi akan di banggakan”
“itu sudah sifat dasar
manusia”
“manusia memang selalu
memilih hal terbaik untuk dirinya, berusaha meminimalkan resiko dengan mendapat
keuntungan yang besar, lebih mengharapkan hasil pasti dan cepat walau sedikit,
ketimbang hasil berlimpah di masa datang namun samar”
“lalu apa yang kamu
permasalahkan?”
“aku hanya tidak ingin
menjadi seperti itu”
“bukankah dulu kamu
memang tidak seperti itu?”
“yah, tapi lingkungan
membuatku menjadi seperti itu. aku sangat frustasi dengan para manusia yang
tidak tahu apa saja yang diharapkan ketika menjadi manusia. Itulah yang
membuatku semakin lama semakin menjauhi sisi kemanusiaan. Bahkan sekarang
masihkah aku menjadi seorang manusia. Ataukah gelar manusia ini hanya sebatas
tubuh yang melekat pada jiwa ini”
“manusia ya…”
“sampai sekarang aku tak
bisa menemukan solusinya. Karena tak semua orang akan memikirkan hal yang sama,
seperti katamu tadi, bahkan ada yang masa bodoh jika dirinya itu sebenarnya
manusia”
Firnas merasa terombang-ambing dengan perasaan yang
selama ini dirasakannya. Semakin dewasa manusia dituntut bisa menentukan sikap
yang tepat dalam menjalani kehidupan. Jika salah bergerak itu akan menimbulkan
banyak penyesalan. Dan waktu tak akan bisa diulang untuk membenarkan kejadian
yang telah terjadi. Aku beruntung bisa merasakan dan mendalami hal ini sebelum
masa tuaku. Setidaknya, aku bisa mengerti perasaan dari sahabatku yang selama
ini tengah galau memikirkan nasib akan eksistensi manusia selama ini. Terutama dirinya
dalam menjalani harinya sebagai seorang manusia.
“itu tandanya kamu sudah
dewasa Firnas, kamu harus bersyukur karena bisa memikirkan hal ini lebih cepat
dari orang lain seumuranmu”
“bersyukur?”
“ya”
“bagaimana caraku untuk
bisa bersyukur?”
“jadilah manusia
seutuhnya. Manusia yang membantu sesama, suka menolong, welas asih ing
tataning jagad”
Surakarta, 21 Desember
2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar