softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Selasa, 21 Februari 2017

Kumpulan cerpen; Pilihan



            Setiap kali kusambut pagi, dengan refleks tanganku membersihkan belek-belek yang kantil di pojokan mata dekat hidung. Setelah benar-benar bersih, tak lupa aku berdo’a setelah tidur. Matahari belum menyingsing dan lampu-lampu masih pada menyala di luar sana.

“Adzan shubuh”

Segera aku keluar dari ranjang dan lekas berangkat menunaikan sholat shubuh.

            Kucing mengeong, anjing menggonggong, kambing mengembik, ayam berkokok. Mendung sudah terlihat menggantung di langit pagi ini. sepertinya hujan akan segera terjadi. Angin berhembus menggoyangkan angklung yang ditaruh salah satu warga di teras rumahnya. Diriku keluar menuju teras, menepi dalam balutan dinginnya udara pagi yang setara dengan udara AC. Ditemani sebuah kopi hangat, ku lontarkan pandanganku ke arah langit. Ku sruput kopiku perlahan sambil merasakan kehangatan yang terasa mengalir melalui kerongkongan.

“Ah....” Sungguh nikmat. Sayangnya aku kelebihan memasukkan air sehingga kurang begitu manis.

            Dari dulu aku tidak pernah peduli dengan tanggapan dan tatapan orang lain. Bagiku pandangan mereka hanyalah angin lalu yang hanya berlalu di dalam setiap detik hidupku. Terkadang, aku bisa melihat secercah perasaan dari berbagai orang yang melihat ku. Ada yang cuek, masa bodoh, benci, geting, gregetan, biasa, optimis, senang, bahagia, dan berbagai perasaan lain yang aku dapatkan hanya dari sekali lirik, maupun saat aku tak sengaja maupun sengaja sedang bercakap-cakap dengan mereka.
“Ah....” kembali aku sruput kopiku yang hambar. Rasa hambarnya membuatku ingin memasukkan gula. Tapi aku baru sadar jika gula dirumah sudah habis.

            Jika aku ditanya tentang apa yang sedang aku rasakan sekarang. Maka aku akan linglung, bingung, mumet, dan paling parah migrain. Perasaanku saat ini percampur aduk di akibatkan berbagai pilihan yang datang menghampiri. Sudah menjadi tugasku untuk memilih satu dari berbagai opsi yang di ajukan kepadaku. Namun sampai kini aku tak kunjung bisa untuk memilih. Rasa kesal dan sesal terkadang merasuk di hati. Mencoba melontarkan segenap rasa bersalah pada diri yang tak kunjung menentukan jati diri.
“Aku siapa? Hidupku akan kugunakan untuk apa? Dan bagaimana yang harus aku lakukan untuk esok harinya?” Kata-kata itu tak ayal selalu memenuhi pikiranku di setiap waktu.

“hidup harus memilih”

Itulah salah satu perkataan yang di gembar-gemborkan oleh hati nurani di dalam diriku. Kata-kata tersebut selalu terngiang di kepala, dan akhirnya menjadi beban pikiran.

            Hal yang menjadi beban pikiran biasanya timbul dari dalam pikiran. Hal yang sepele pun bisa memungkinkan untuk menjadi sebuah beban pikiran, begitu juga dengan beban berat, jika tidak terlalu dipikirkan, maka tidak akan menjadi beban pikiran. Tergantung pikiran dari masing-masing kepala.
“ah....” kembali ku sruput kopiku. Kehangatannya sudah cukup untuk menepis dinginnya udara pagi ini.
“memilih dari pada tidak memilih”
Segala aspek dan tetek bengek kehidupanku saat ini tak sebanding tekanan batin yang terasa di dalam diriku sendiri. Aku merasakan ada semacam tekakan berat yang sampai kini terus mendekap jiwaku yang kecil.

            Rasa bersalah selalu saja ada di akhir. Mumpung aku masih belum berada di akhir hidupku. Aku ingin membuat pilihanku ini tidak akan membuatku menyesal di akhir nanti.
“Ah....” kembali aku menyeruput kopi untuk keempat kalingya. Pandanganku masih menatap langit. Mendung di atas sana tak kunjung mengeluarkan hujan yang sudah di nanti-nanti oleh pepohonan disini.

            Masih banyak hal yang tidak aku ketahui tentang dunia ini. hanya mencari seorang diri tak akan membuatku keluar dari jalan buntu. Dunia terlalu luas jika hanya mencari seorang diri, setidaknya aku membutuhkan seorang yang pintar, atau seorang yang tepat yang pantas untuk ditanyai. Sesaat aku mencermati lebih dalam akan eksistensi dunia. Kulihat di dalamnya terdapat banyak sekat-sekat samar yang memisahkan antara ruang satu dengan ruang yang lainnya. Terlalu banyak jalan, dan tiap jalan diisi oleh berbagai orang-orang tertentu yang juga sejalan.

            Setiap orang yang hidup pasti akan menemui sebuah pilihan. Seperti halnya aku temui kini, hendak mau di bawa kemana hidupku ini? mau menempuh jalan yang mana? semua itu harus dipilih secermat mungkin dan dengan pertimbangan yang matang.

“ah....” kembali aku menyeruput kopiku. Gerimis pun akhirnya turun juga. Sebentar lagi hujan lebat akan menyusul. Mungkin.

“kamu terlalu banya memikirkan dirimu sendiri” kata diriku sendiri kepada diriku sendiri

Mungkin benar. Sadar ataupun tidak. Aku secara langsung maupun tudak langsung telah meninggikan hasrat pribadiku di atas yang lain. Entah kalau di sandingkan dengan apapun, aku selalu merasa yang pantas untuk di menangkan, di junjung tinggi, di hormati, di akui dan dengan di-di yang lain. Semua itu aku rasakan secara sadar maupun tidak. Sebagian yang lain aku juga menganggap mereka merasakan hal yang sama denganku. Entah mereka sadar atau tidak, entah mereka menentang atau tidak. Nyatanya seperti itu adanya. Jika dilihat secara kasat mata maupun dengan mata telanjang. Semua terlihat walaupun di sembunyikan sesembunyi apapun.

            Tabiat manusia memang selalu ingin enak, menang, tinggi, dan mendapat apa yang sudah di ingini. Selagi mereka mendapatka keuntungan. Terkadang apapun rela untuk di korbankan. Maka tidak menjadi hal baru jika ada sebuah pertikaian antar orang maupun antar kelompok yang saling berebut kepentingan. Hal itu untuk membela apa yang mereka percayai, mereka cintai, dan yang mereka banggakan. Segala hal yang di luar itu sudah di anggap salah dan harus di benahi. Sesuatu yang di luar kodrat keyakinan maka akan secepatnya di ringkus dan dihilangkan. Maka pertikaian akan menjadi hal biasa di dunia yang luas ini.

            Ada yang bilang dunia ini sempit. Aku berani bertaruh orang yang berkata seperti itu tidak akan kuat berjalan dari solo sampai jakarta. Padahal itu tidak ada sepertiga puluh enam dari dunia. Itu bukti dunia ini begitu luas. Hanya saja, mereka berpikir dunia ini sempit karena teknologi yang semakin memudahkan orang untuk berpindah tempat. Namun semisal mereka tinggal di pedalaman yang paling dalam dan jauh dengan teknologi, pasti mereka akan segera sadar betapa luasnya dunia ini. Yah, itu hanyalah sebuah pendapat. Semua orang berhak berpendapat. Dan tidak ada orang yang berhak melarang orang lain berpendapat.
“Ah...” aku kembali menyeruput kopiku.

            Haduh, malah sampai kemana-mana deh jadinya. Padahal aku awalnya membahas tentang pilihan. Ya, sekarang aku harus memilih. Memilih jalan yang harus aku tempuh selanjutnya. Dengan berbagai resiko dan keuntungan yang di tawarkan dari tiap pilihan yang di berikan kepadaku.

            Hidup dalam kebingungan memang terasa sangat memilukan. Belum memiliki arah tujuan yang jelas membuat hidup serasa berjalan di tengah kegelapan. Memilih ternyata bisa seberat ini. beda dengan ujian yang bisa di awur dan di logika kapan saja, walaupun logikanya diracik dengan sedikit pengawuran yang tidak bermutu. Memilih tujuan hidup berarti mempertaruhkan nyawa dan waktu yang di berikan hanya sekali. Kalau di sia-siakan maka aku mungkin akan mengalami penyesalan kelak. Dan pasti aku akan sangat kebingungan jika nanti bakal di tanyai.
“kau gunakan apa umurmu?”
“kau gunakan apa waktumu?”
“kesehatanmu?”
Dan lain-lain. Jika aku menjawab sekenanya dan mengawur dengan pengawuran yang biasa aku lakukan saat menjawab tes ujian. Pastilah aku akan medapat siksaan dari neraka yang amat pedih. Jadi tidak semudah itu. nilai jelek saat ujian tidak sebanding dengan siksaan neraka yang secolek apinya saja bisa membakar dunia. Tidak, sama sekali tidak sebanding.
“kamu masih saja mementingkan dirimu” sahut diriku kepada diriku.
Mungkin benar. Sampai saat ini aku selalu saja mementingkan diriku sendiri dari pada orang lain. Mengubah sifat ini begitu sulit. Butuh sebuah keikhlasan ekstra agar membuat sifat buruk ini menghilang dalam diri.
“ah...” aku kembali menyeruput kopiku. Aku sampai lupa, sudah berapa kali menyeruput kopiku ini. udara di luar semakin dingin dan hujan lebat turun mengguyur kampung ini.

            Kenapa aku harus memilih. Karena jika tidak memilih berarti aku tak akan memiliki orientasi yang jelas. Akan mudah terombang-ambing dalam ketidakjelasan yang menyiksa jiwa. Bisa jadi di masa yang akan datang aku akan menjadi seorang yang labil sehingga mudah terhasut. Seperti halnya kata guruku.

“tidak memilih sama saja munafik”

Mungkin karena orang yang tidak memiliki pilihan adalah orang yang tidak memiliki tujuan dan pegangan. Mereka akan mengikuti kepada kubu atau kelompok yang serasa menguntungkan mereka. Jadi begitulah nasib seorang yang tidak mempunyai tujuan. Kadang menjadi baik dan bisa menjadi jahat. Kadang berubah kuning, dan kadang berubah merah. Tergantung hal mana yang lebih menguntungkan bagi mereka. Selamanya aku tidak ingin menjadi orang yang dimikian. Karena orang yang tidak punya pilihan bagiku 
adalah sampah yang patut untuk di buang di tempat sampah.

“ah... Ampas!” tak terasa kopiku hanya menyisakan ampas. Aku tidak menyadari jika kopiku sudah habis sedari tadi. Aku membuang nafas dan mulai mengangkat badan dari kursi. Beranjak menuju belakang untuk membuat kopi yang baru.

!& )@ !&


17-02-17

Sabtu, 04 Februari 2017

Kumpulan cerpen; Obrolan dua sahabat



                Matahari pagi menyingsing menerangi kebun dan ladang yang ada di sekitar tempat itu. dari kejauhan, terlihat segerombolan anak kecil sedang bermain kejar-kejaran. Mereka terlihat sangat gembira ketika melihat teman mereka terjungkal terpeleset gedang. Alhasil, hal itu juga membuat kedua remaja yang sedang berteduh di bawah pohon rindang itu juga ikut terpingkal-pingkal dibuatnya.
“sudah lama sekali ya” sahut salah satu dari remaja itu.
“ya” kata remaja yang satunya.
“ingatkah, kapan terakhir kali kita bisa bercanda ria seperti itu?” tanyanya.
“mungkin SMP. Lebih tepatnya SMP kelas tiga” timpal satunya.
“dahulu, kita bisa bebas bermain bersama teman-teman. Kita bebas melakukan apapun. Saling berkumpul lalu melakukan permainan-permainan yang sudah jarang dilakukan oleh kebanyakan anak-anak zaman sekarang. Ah, mengingatnya selalu saja membuat hatiku menjadi rindu akan zaman itu”
“aku juga merasakan hal yang sama. Kalau sekarang, mungkin kita sudah tidak patut lagi untuk melakukan hal kekanak-kanakan seperti dulu”
Mereka berdua tersenyum dengan senyuman khas masing-masing. Tubuh mereka terebah, dengan berbantalkan kedua tangan. Pandangan mereka masih mengarah ke arah anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran di dekat sana. Tanah perbukitan yang agak landai di sana membuat mereka bisa melakukan hal itu.
“apakah kamu masih ingat?”
“apa?”
“saat kita sudah lelah bermain. Biasanya kita sering beristirahat disini bersama dengan yang lain”
“tentu saja aku masih ingat. Salah satu hal yang tidak aku ingat adalah. Sudah berapa kali aku mengencingi pohon yang ada di belakang kita ini. dan sekarangpun pohon ini tumbuh begitu besar. Mungkin kencingku dulu mengandung Urea”
“hah, pantesan dari tadi aku mencium bau pesing”
“ada-ada saja kau. Kencingku dulu mana bisa baunya tercium sampai sekarang. mungkin bau pesing yang kau cium barusan hasil dari kencing-kencing anak-anak di seberang situ”
“Hahahaha... bisa jadi” dia diam sejenak untuk menggali beberapa hal yang ada di dalam otak kepalanya. “terkadang aku sangat ingin bisa kembali ke masa lalu. Merasakan lagi kehidupan di masa kecilku” celetuknya lagi.
“kamu jangan terlalu berharap sob. Mesin waktu belum di temukan”
“mungkin kamu yang besok akan menemukannya”
“mungkin iya. Mungkin juga tidak”
Lalu mereka berdua tertawa dengan tawa khasnya masing-masing.

Sinar matahari sudah begitu kuat menyengat kulit. Butuh sekiranya losien UV tebal untuk menangkal radikalisasi sinar matahari yang satu ini. tapi, anak-anak disini rupanya sudah kebal akan sengatan sinar matahari yang sering mereka rasakan setiap hari. Mungkin hal itulah yang membuat kulit mereka kini beradaptasi. Bisa dilihat dari wajah-wajah mereka yang masih sumringah bermain meski sedang bermandikan cahaya matahari.
“Hei Julman?”
“Hmm...?” dia bergumam.
“Dari tadi kok diam terus?”
“lha kamu juga sama”
“waktu yang berharga ini jangan sampai kita sia-siakan Jul. Bisa saja kita tidak akan mendapatkan waktu seperti apa yang sedang kita rasakan saat ini”
“iya-iya aku tahu” kata Julman. Hening sejenak, sampai akhirnya jumpal melontarinya dengan pertanyaan “aku dapat kabar jika kamu akan kuliah di luar negeri?”
“ya. kira-kira satu bulan lagi aku akan berangkat. Tugasku sekarang adalah mengumpulkan berkas-berkas dan arsip-arsip yang ada. Kalau kamu. Apa sudah memiliki niatan untuk melanjutkan pendidikan?”
“belum. Mungkin aku tidak akan melanjutkan pendidikanku lagi. Cukuplah sembilan tahun aku belajar. Selama sisa hidupku ini, aku ingin membantu kedua orang tuaku untuk menggarap sawah”
“apa kamu tidak berniat untuk keluar dari kampung?”
“jika semua memiliki niatan seperti itu. terus siapa lagi yang akan merawat kampung ini. aku dulu pun juga berniat untuk meninggalkan kampung dan mencari pekerjaan yang lebih baik di luar sana. Tapi ketika aku melihat banyak teman-teman yang sudah berada di kota-kota untuk mengejar pekerjaan. Dari situ aku berpikir akan lebih baik jika aku tetap tinggal disini”
“pilihanmu itu sangat aku apresiasi”
“apa itu apresiasi”
“artinya, aku sangat mendukungmu”
“ohh.... aku belum tahu betul sama bahasa-bahasa asing selain bahasa indonesia”
“tadi itu bahasa indonesia. Gimana sih. Bilang aja kosa katamu masih setebal buku tulis”
Lalu mereka berdua tertawa kembali.
“hei Zulfan. aku kan sudah menyatakan tujuanku untuk tinggal di desa. Lalu, sekarang giliranmu menjelaskan tujuanmu. Kenapa kamu memilih keluar desa dan belajar sampai jauh-jauh segala? Di dalam negeri ini kan sepertinya juga ada banyak tempat kuliah”
“alasanku cukup sederhana saja. Tapi sepertinya sangat berat untuk di realisasikan”
“realisasikan?”
“diwu-jud-kan. Itu arti kata dari realisasi” katanya sambil mengeja kata ‘wujudkan’
“Oooo....”
Lalu Zulfan kembali melanjutkan bicaranya “alasanku memang cukup sederhana. Aku ingin mengubah tatanan yang ada di luar sana yang menurutku salah”
“tatanan salah? Apa itu?” Tanya Julman polos.
“sistem yang ada di dunia ini. aku permisalkan saja dengan mesin penggiling padimu”
“ya”
“jika mesin penggiling padi itu ada yang rusak. Apa yang akan terjadi dengan mesin penggiling padimu?”
“tidak bisa menyala”
“ya. Tidak bisa menyala. Atau yang paling syukur bisa menyala, tapi hasil kerjanya tidak semaksimal jika mesin penggiling padimu tidak ada yang rusak. Atau malah bisa jadi malfungsi, alias tidak bekerja sesuai dengan yang diharapan. Jadi diibaratkan seperti itulah. Itu hal yang sekarang ingin aku ubah. Mesin di dunia ini ada yang rusak dan aku ingin untuk memperbaiki mesin itu agar sistem di dunia ini bisa berfungsi dengan lebih baik dan tidak salah seperti sekarang ini”
“wah. Sungguh keinginanmu itu pasti sangat luar biasa. Tapi maaf Zul, sepertinya aku belum mudeng dengan apa yang barusan kamu katakan tadi. Tapi mungkin orang yang agak lebih pintar sedikit bisa mengetahui makna dari kata-katamu itu”
“HAHAHA..... rasanya aku seperti sedang bicara dengan orang yang baru lulus TK. Padahal kita seumuran”
“HAHAHA.... mungkin karena sudah lama tidak belajar membuat otakku kian tumpul”
“HAHAHA..... mungkin barangkali, karena sering tidak digunakan. Akhirnya otakmu melorot ke dungkul”
“HAHAHA..... atau bisa jadi, aku sudah tidak punya otak”
“HAHAHA..... benar”
“HAHAHA.....salah”
Lalu mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

                Mereka lalu membicarakan ke berbagai topik lain. Mulai dari yang sederhana, sampai yang tidak sederhana. Ikatanlah yang membuat mereka sekarang masih bersahabat. Setidaknya untuk saat ini. namun hal itu masih ingin mereka pertahankan. Walaupun mereka sudah dipisah jauh oleh tempat dan keadaan. Ya, Zulfan semenjak kelas tiga SMP sudah pindah dari kampung itu. karena alasan ekonomi yang membuat mereka harus pindah ke kota sebelah.
“bagaimana kamu bisa jadi pinter begitu?”
“mungkin faktor keadaan yang melecutkan semangatku”
“apa disana keadaannya sangat menekan”
“bisa dibilang begitu. Sifat orang-orang sana berbanding terbalik dengan orang yang disini. Untungnya aku masih belum terpengaruh”

Tak terasa mereka sudah sangat lama berbaring di dalam naungan pohon yang rimbun itu. angin berdesir menghempaskan ilalang yang tumbuh lebat di sekitar pohon itu. pohon besar itu, adalah bukti bahwa masyarakat di desa ini cinta akan kehijauan. Atau mungkin lebih tepatnya. Para penggergaji ilegal yang sering menggundul-plontoskan hutan belum sampai ke desa tersebut.
“Zul?”
“apa Jul?”
“apa cita-citamu kedepannya?”
“untuk mewujudkan ambisiku....”
“ambisi?” Julman menyela
“keinginan”
“oh” Julman mengangguk paham
“untuk mewujudkan keinginanku. Aku harus bisa masuk dalam kencah perpolitikan. Kamu nggak nanya kancah itu apa”
Julman menggeleng “pokoknya perpolitikan gitu aja. Ayo lanjutkan”
“hah” Zulfan membuang nafas “Jadi, aku mau tidak mau harus bisa masuk ke dalam dunia perpolitikan. Namun sebelum bisa masuk kesana. Aku harus memiliki kapasitas dan uang yang memadai. Maka dari itu aku harus giat belajar dan menjadi pengusaha sukses”
“cita-citamu besar tapi jangan lupa sama yang di atas Zul. Bisa-bisa kamu malah jadi Kafir lagi”
“tenang aja. Aku juga selalu mengasah rohani kok. Insya Allah aku tidak akan melenceng dari jalan yang lurus”
“Sholat juga jangan pernah ditinggalkan. Kata guru ngaji disini. Dosanya sangat besar kalau kita sampai meninggalkan sholat”
Zulfan mengangguk mantap.
“lalu apa lagi yang kamu inginkan?”
“menikah”
“menikah?”
“ya menikah. kira-kira sehabis aku menyelesaikan S2 ku ini. Tapi yang aku nikahi bukan yang sembarangan”
“sok-sok’an banget kau Zulfan. Memang tipikal apa yang ingin kau nikahi itu?” tanya Julman dengan antusias.
”setidaknya dia seorang wanita kuat yang bisa menjaga dirinya. Kuat yang kumaksud disini adalah kuat agamanya dan juga kuat kesabarannya. Karena bukan tidak mungkin kedepannya aku akan menerima banyak tekanan karena telah melawan sistem zalim yang sudah bercokol di dunia ini begitu lama. Mungkin hanya itu tipikal wanita yang ingin aku nikahi”
“kalau kamu?” Zulfan balik bertanya.
“kira-kira samalah. Tapi ada dua tambahan yang harus ada”
“cantik dan kaya” jelas Zulfan
“lho kok kau tahu!?” Julman terbelalak
“pemikiran orang desa itu mudah di tebak”
“bukannya kamu juga orang desa”
“iya ndeng”
“HAHAHA.....”
“HAHAHA.....”
Lalu mereka berdua tertawa dengan tawa khasnya masing-masing.

                Daun terlepas dari tangkainya. Lebah-lebah keluar dari sarangnya. Padi-padi dan kacang-kacangan, tertanam rapi di kanan kiri jalanan setapak yang belum di siram oleh aspal. Para penggarap sawah dan ladang dengan tekunnya bekerja dengan menengenakan topi capit untuk melindungi mereka dari teriknya sinar matahari. Terlihat jelas, yang bekerja disana hanyalah para orang tua.

                Jam Tangan Zulfan berbunyi. Sekarang adalah akhir dari kunjungannya kemari.
“saatnya aku untuk pergi”
“secepat ini!?”
“mungkin lain kali aku akan berkunjung kemari”
“lain kali itu kapan?”
“yah. Mungkin akan cukup lama sih. Tapi tenang saja. Aku tidak akan pernah lupa kok untuk mengunjungi tempat kelahiranku sendiri”
“janji?”
“Insya Allah”
Lalu mereka berdua tersenyum dengan senyum khasnya masing-masing. Lalu berjabat tangan dengan erat dan dilanjutkan saling merangkul.
“aku pegi dulu”
“ya hati-hati”
“assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Zulfan berjalan kearah sepeda motornya yang ia parkirkan. Pandangan Julman masih tak bisa lepas dari Zulfan, sahabat semasa kecilnya itu. sampai akhirnya mereka saling membagi senyum untuk yang terakhir kalinya. Dan Zulfan pun berlalu meninggalkan desa tersebut. Entah berapa lama, dan entah sampai kapan, Zulfan akan kembali menapak ke kampung halamannya. Mungkin lama, atau mungkin juga sebentar. Tergantung pada dirinya.



03-02-17