Setiap kali
kusambut pagi, dengan refleks tanganku membersihkan belek-belek yang kantil di
pojokan mata dekat hidung. Setelah benar-benar bersih, tak lupa aku berdo’a
setelah tidur. Matahari belum menyingsing dan lampu-lampu masih pada menyala di
luar sana.
“Adzan shubuh”
Segera aku keluar dari ranjang dan lekas berangkat menunaikan
sholat shubuh.
Kucing
mengeong, anjing menggonggong, kambing mengembik, ayam berkokok. Mendung sudah
terlihat menggantung di langit pagi ini. sepertinya hujan akan segera terjadi.
Angin berhembus menggoyangkan angklung yang ditaruh salah satu warga di teras
rumahnya. Diriku keluar menuju teras, menepi dalam balutan dinginnya udara pagi
yang setara dengan udara AC. Ditemani sebuah kopi hangat, ku lontarkan pandanganku
ke arah langit. Ku sruput kopiku perlahan sambil merasakan kehangatan yang
terasa mengalir melalui kerongkongan.
“Ah....” Sungguh nikmat. Sayangnya aku kelebihan memasukkan
air sehingga kurang begitu manis.
Dari dulu
aku tidak pernah peduli dengan tanggapan dan tatapan orang lain. Bagiku
pandangan mereka hanyalah angin lalu yang hanya berlalu di dalam setiap detik
hidupku. Terkadang, aku bisa melihat secercah perasaan dari berbagai orang yang
melihat ku. Ada yang cuek, masa bodoh, benci, geting, gregetan, biasa, optimis,
senang, bahagia, dan berbagai perasaan lain yang aku dapatkan hanya dari sekali
lirik, maupun saat aku tak sengaja maupun sengaja sedang bercakap-cakap dengan
mereka.
“Ah....” kembali aku sruput kopiku yang hambar. Rasa
hambarnya membuatku ingin memasukkan gula. Tapi aku baru sadar jika gula
dirumah sudah habis.
Jika aku
ditanya tentang apa yang sedang aku rasakan sekarang. Maka aku akan linglung,
bingung, mumet, dan paling parah migrain. Perasaanku saat ini percampur aduk di
akibatkan berbagai pilihan yang datang menghampiri. Sudah menjadi tugasku untuk
memilih satu dari berbagai opsi yang di ajukan kepadaku. Namun sampai kini aku
tak kunjung bisa untuk memilih. Rasa kesal dan sesal terkadang merasuk di hati.
Mencoba melontarkan segenap rasa bersalah pada diri yang tak kunjung menentukan
jati diri.
“Aku siapa? Hidupku akan kugunakan untuk apa? Dan bagaimana
yang harus aku lakukan untuk esok harinya?” Kata-kata itu tak ayal selalu
memenuhi pikiranku di setiap waktu.
“hidup harus memilih”
Itulah salah satu perkataan yang di gembar-gemborkan oleh
hati nurani di dalam diriku. Kata-kata tersebut selalu terngiang di kepala, dan
akhirnya menjadi beban pikiran.
Hal yang
menjadi beban pikiran biasanya timbul dari dalam pikiran. Hal yang sepele pun
bisa memungkinkan untuk menjadi sebuah beban pikiran, begitu juga dengan beban
berat, jika tidak terlalu dipikirkan, maka tidak akan menjadi beban pikiran.
Tergantung pikiran dari masing-masing kepala.
“ah....” kembali ku sruput kopiku. Kehangatannya sudah cukup
untuk menepis dinginnya udara pagi ini.
“memilih dari pada tidak memilih”
Segala aspek dan tetek bengek kehidupanku saat ini tak
sebanding tekanan batin yang terasa di dalam diriku sendiri. Aku merasakan ada
semacam tekakan berat yang sampai kini terus mendekap jiwaku yang kecil.
Rasa
bersalah selalu saja ada di akhir. Mumpung aku masih belum berada di akhir
hidupku. Aku ingin membuat pilihanku ini tidak akan membuatku menyesal di akhir
nanti.
“Ah....” kembali aku menyeruput kopi untuk keempat kalingya.
Pandanganku masih menatap langit. Mendung di atas sana tak kunjung mengeluarkan
hujan yang sudah di nanti-nanti oleh pepohonan disini.
Masih banyak
hal yang tidak aku ketahui tentang dunia ini. hanya mencari seorang diri tak
akan membuatku keluar dari jalan buntu. Dunia terlalu luas jika hanya mencari
seorang diri, setidaknya aku membutuhkan seorang yang pintar, atau seorang yang
tepat yang pantas untuk ditanyai. Sesaat aku mencermati lebih dalam akan
eksistensi dunia. Kulihat di dalamnya terdapat banyak sekat-sekat samar yang
memisahkan antara ruang satu dengan ruang yang lainnya. Terlalu banyak jalan,
dan tiap jalan diisi oleh berbagai orang-orang tertentu yang juga sejalan.
Setiap orang
yang hidup pasti akan menemui sebuah pilihan. Seperti halnya aku temui kini,
hendak mau di bawa kemana hidupku ini? mau menempuh jalan yang mana? semua itu
harus dipilih secermat mungkin dan dengan pertimbangan yang matang.
“ah....” kembali aku menyeruput kopiku. Gerimis pun akhirnya
turun juga. Sebentar lagi hujan lebat akan menyusul. Mungkin.
“kamu terlalu banya memikirkan dirimu sendiri” kata diriku
sendiri kepada diriku sendiri
Mungkin benar. Sadar ataupun tidak. Aku secara langsung
maupun tudak langsung telah meninggikan hasrat pribadiku di atas yang lain. Entah
kalau di sandingkan dengan apapun, aku selalu merasa yang pantas untuk di
menangkan, di junjung tinggi, di hormati, di akui dan dengan di-di yang lain.
Semua itu aku rasakan secara sadar maupun tidak. Sebagian yang lain aku juga
menganggap mereka merasakan hal yang sama denganku. Entah mereka sadar atau
tidak, entah mereka menentang atau tidak. Nyatanya seperti itu adanya. Jika
dilihat secara kasat mata maupun dengan mata telanjang. Semua terlihat walaupun
di sembunyikan sesembunyi apapun.
Tabiat
manusia memang selalu ingin enak, menang, tinggi, dan mendapat apa yang sudah
di ingini. Selagi mereka mendapatka keuntungan. Terkadang apapun rela untuk di
korbankan. Maka tidak menjadi hal baru jika ada sebuah pertikaian antar orang
maupun antar kelompok yang saling berebut kepentingan. Hal itu untuk membela
apa yang mereka percayai, mereka cintai, dan yang mereka banggakan. Segala hal
yang di luar itu sudah di anggap salah dan harus di benahi. Sesuatu yang di
luar kodrat keyakinan maka akan secepatnya di ringkus dan dihilangkan. Maka
pertikaian akan menjadi hal biasa di dunia yang luas ini.
Ada yang
bilang dunia ini sempit. Aku berani bertaruh orang yang berkata seperti itu
tidak akan kuat berjalan dari solo sampai jakarta. Padahal itu tidak ada sepertiga
puluh enam dari dunia. Itu bukti dunia ini begitu luas. Hanya saja, mereka
berpikir dunia ini sempit karena teknologi yang semakin memudahkan orang untuk
berpindah tempat. Namun semisal mereka tinggal di pedalaman yang paling dalam
dan jauh dengan teknologi, pasti mereka akan segera sadar betapa luasnya dunia
ini. Yah, itu hanyalah sebuah pendapat. Semua orang berhak berpendapat. Dan
tidak ada orang yang berhak melarang orang lain berpendapat.
“Ah...” aku kembali menyeruput kopiku.
Haduh, malah
sampai kemana-mana deh jadinya. Padahal aku awalnya membahas tentang pilihan.
Ya, sekarang aku harus memilih. Memilih jalan yang harus aku tempuh
selanjutnya. Dengan berbagai resiko dan keuntungan yang di tawarkan dari tiap
pilihan yang di berikan kepadaku.
Hidup dalam
kebingungan memang terasa sangat memilukan. Belum memiliki arah tujuan yang
jelas membuat hidup serasa berjalan di tengah kegelapan. Memilih ternyata bisa
seberat ini. beda dengan ujian yang bisa di awur dan di logika kapan saja,
walaupun logikanya diracik dengan sedikit pengawuran yang tidak bermutu.
Memilih tujuan hidup berarti mempertaruhkan nyawa dan waktu yang di berikan
hanya sekali. Kalau di sia-siakan maka aku mungkin akan mengalami penyesalan kelak.
Dan pasti aku akan sangat kebingungan jika nanti bakal di tanyai.
“kau gunakan apa umurmu?”
“kau gunakan apa waktumu?”
“kesehatanmu?”
Dan lain-lain. Jika aku menjawab sekenanya dan mengawur
dengan pengawuran yang biasa aku lakukan saat menjawab tes ujian. Pastilah aku
akan medapat siksaan dari neraka yang amat pedih. Jadi tidak semudah itu. nilai
jelek saat ujian tidak sebanding dengan siksaan neraka yang secolek apinya saja
bisa membakar dunia. Tidak, sama sekali tidak sebanding.
“kamu masih saja mementingkan dirimu” sahut diriku kepada diriku.
Mungkin benar. Sampai saat ini aku selalu saja mementingkan
diriku sendiri dari pada orang lain. Mengubah sifat ini begitu sulit. Butuh
sebuah keikhlasan ekstra agar membuat sifat buruk ini menghilang dalam diri.
“ah...” aku kembali menyeruput kopiku. Aku sampai lupa, sudah
berapa kali menyeruput kopiku ini. udara di luar semakin dingin dan hujan lebat
turun mengguyur kampung ini.
Kenapa aku
harus memilih. Karena jika tidak memilih berarti aku tak akan memiliki
orientasi yang jelas. Akan mudah terombang-ambing dalam ketidakjelasan yang
menyiksa jiwa. Bisa jadi di masa yang akan datang aku akan menjadi seorang yang
labil sehingga mudah terhasut. Seperti halnya kata guruku.
“tidak memilih sama saja
munafik”
Mungkin karena orang yang
tidak memiliki pilihan adalah orang yang tidak memiliki tujuan dan pegangan.
Mereka akan mengikuti kepada kubu atau kelompok yang serasa menguntungkan
mereka. Jadi begitulah nasib seorang yang tidak mempunyai tujuan. Kadang
menjadi baik dan bisa menjadi jahat. Kadang berubah kuning, dan kadang berubah
merah. Tergantung hal mana yang lebih menguntungkan bagi mereka. Selamanya aku
tidak ingin menjadi orang yang dimikian. Karena orang yang tidak punya pilihan
bagiku
adalah sampah yang patut untuk di buang di tempat sampah.
“ah... Ampas!” tak terasa
kopiku hanya menyisakan ampas. Aku tidak menyadari jika kopiku sudah habis
sedari tadi. Aku membuang nafas dan mulai mengangkat badan dari kursi. Beranjak
menuju belakang untuk membuat kopi yang baru.
!& )@ !&
17-02-17