Hari sudah berganti. Syamsuddin
menatap nanar keluar jendela. Dilihatnya sebuah kejadian yang tak
disangka-sangka. Sebuah pembunuhan dilakukan tepat di depan matanya. Di depan
rumahnya. Di depan jalanan yang pagi itu sedang membisu. Seorang yang telah
membunuh ibu-ibu itu lekas kabur. Dicurinya motor si korban. Sedangkan Korban
sudah terkulai tak berdaya di depan jalan rumahnya.
Tak sampai siang hari. Orang-orang
sekitar situ pada geger, mengetahui ada sesosok mayat di jalan raya. Mereka
menduga bila pembunuhan ini disebabkan oleh motif pencurian. Semua orang yang
ada di interogasi termasuk Syamsuddin. Saat itu dirinya masuk ke ruangan khusus
yang tersedia. Hal itu dilakukan untuk mencegah para wartawan tidak seenaknya
masuk merekam pembicaraan mereka. Disana hanya ada sang polisi dan Syamsuddin.
“apakah
benar. Nama bapak Syamsuddin”
Syamsuddin
hanya bisa mengangguk.
“kasus
pembunuhan ini terjadi tepat di depan rumah anda. apakah anda tahu proses
kejadian pembunuhan ini?”
Syamsuddin
mengangguk
“pada
pagi itu anda juga sedang berada di depan rumah. Apakah anda melihat proses pembunuhan
ini?”
Syamsuddin
mengangguk.
“diduga
korban dibacok tiga kali menggunakan arit sampai akhirnya sang korban
meninggal. Lalu motor korban lekas diambil oleh sang pelaku untuk dibawa lari.
Benar begitu kejadiannya?”
Syamsuddin
mengangguk.
“saya
juga mendengar dari saksi lain. Jika korban saat itu adalah seorang warga desa
ini yang notabenenya adalah seorang yang kaya?”
Syamsuddin
mengangguk.
“apakah
anda bisu sehingga hanya bisa mengangguk?”
Syamsuddin
menggeleng.
“kenapa
anda sedari tadi tidak berbicara?” tanya polisi dengan ekspresi bingung.
Hening
sejenak. Mata Syamsuddin terlihat kosong. Bola matanya memudar seperti sedang
melamunkan sesuatu. Polisi yang melihatnya kini menjadi tahu. Pasti dia sedang
mengalami tekanan berat karena telah melihat pembunuhan langsung di depan
matanya.
“baik.
Terimakasih saudara Syamsuddin. Anda sudah membantu proses penyelidikan kami.
Jika nanti ada masalah. Saya akan menghubungi anda kembali”
Lalu
mereka berdua berjabat tangan. Langkah Syamsuddin lemas meninggalkan ruang
introgasi itu. Badannya sempoyongan, semburat wajahnya menggambarkan seseorang
yang sudah bosan hidup. Sang polisi hanya bisa geleng-geleng kepala ketika
melihat kejadian itu.
Hari kembali berganti. Pagi itu
Syamsuddin seperti biasa. Menepi di depan rumahnya, memandang keluar melalui
kaca jendela. Sayup pagi itu sepi seperti biasa. Terlihat kapur putih membentuk
tubuh seseorang tergambar di jalanan aspal. Tangannya gemetar ketika mengingat pembunuh
itu. Pembuluh darahnya terasa menyempit ketika sedang membayangkan kejadian
kemarin. Rasa takut saat itu. Kengerian saat itu. Tekanan berat saat itu.
Trauma itu telah membuatnya tidak masuk kerja kemarin. Bola matanya masih lekat
memandang keluar. Lalu rasa bersalahpun muncul dari lubang hatinya yang kecil.
“kenapa
saat itu aku tidak menolongnya!?” jeritnya dalama hati. Dia tahu, saat itu
hanya Syamsuddin yang ada di tempat itu.
Rasa takut ternyata bisa membuat seseorang
menjadi tidak berkutik. Syamsuddin masih saja menyalahkan dirinya karena tidak
berani menolong ibu-ibu itu. Padahal dia tahu. Bisa saja dia menyelamatkannya.
Bisa saja dia berteriak minta tolong sebelum si pelaku kabur. Bisa saja dia
menyegat dan meringkus sang pelaku dengan senapan angin yang ada di rumahnya.
Ya! dia memiliki senapan angin di rumah. Tapi kenapa dia hanya diam saja. Sambil
terpana menatap kejadian pembunuhan yang ada di depan rumahnya!
Hari kembali berganti. Syamsuddin
melangkah keluar untuk masuk kerja kembali. Sudah dua hari dia membolos dari
kantor. Sekarang dia harus terima bila gaji bulanannya bakal di potong.
“kemana
saja kamu dua hari ini?” tanya sahabat dekatnya saat Syamsuddin tiba di kantor “apa kamu
masih ketakutan. Gara-gara pembunuhan yang ada di depan rumahmu?”
Syamsuddin
mengangguk.
“jangan
diambil hati lah. Mana mungkinkan arwahnya gentayangan di depan rumahmu. Kalau
kamu takut di rumah sendiri. Kapan-kapan aku temenin deh”
Syamsuddin
menggeleng
“kamu
sekarang berlagak bisu ya. Apa kamu lagi main antonim nih” katanya sambil
disambut seulas senyuman. Kini dia memeragakan beberapa gerakan antonim yang
menjemukan dan tidak layak di tonton.
“ah
iya. Aku hampir kelupaan” katanya setelah selesai beberapa kali
memperlihatkan antonim tidak bermutu “besok ada pertandingan bola. Aku sudah
beli’in tiketnya untuk dua orang nih. Kamu mau kan?”
Syamsuddin
mengangguk.
“oke.
Siip! Tiga hari lagi kita bakal nonton bareng di stadiun” katanya sambil
menepuk bahu Syamsuddin yang layu karena tidak bersemangat.
Hari kembali berganti. Sudah tiga
hari semenjak kejadian yang menggemparkan itu. Dan hari ini dirinya dikagetkan
kembali dengan sesuatu. Langkahnya cepat mengambil sandal dan langsung melontar
mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Lalu menyetarter motor dan lekas minggat
menuju kantor.
Langit masih putih dan matahari
belum nampak. Sampai juga Syamsuddin ke area perkantoran. Namun sayang. Tak
sampai di depan kantor. Syamsuddin dengan tangan gemetar menghentikan laju
motornya. Tubuhnya mendelik di tempat yang sulit dilihat. Ditatapnya dengan gentar.
Segerombolan orang sedang menumpahkan beberapa liter bensin ke berbagai sudut
kantor. Lalu disulutkan api itu hingga membara. Nyala api mulai berkobar-kobar.
Membuat kantor itu terbakar dengan hebatnya. Beberapa gerombolan orang
bertopeng itu kini pada kabur menggunakan motor. Syamsuddin hanya bisa terpana
melihat kobaran api yang menjilat ganas. menghanguskan bangunan kantor
tempatnya bekerja. Mulutnya menganga melihat kejadian yang seharusnya bisa
ditangkalnya. Lama dirinya terdiam. Sampai akhirnya beberapa orang disekitar situ
yang menyadari adanya kebakaran, saling bergotong royong mencoba memadamkan api
dengan segala cara. Lima belas menit setelahnya. Pemadam kebakaran sampai ke
area itu untuk segera memadamkan apinya.
Kantor itu sudah ludes terbakar.
Perkakas dan barang-barang di dalam sudah lunas dilalap api. Kerugian ditaksir
hingga milyaran rupiah. Bos yang mengetahui gedungnya telah terbakar kabarnya sedang
berada di rumah sakit jiwa. Para pekerja otomatis di berhentikan dan menjadi
seorang pengangguran. Terlhat marka polisi membentang melingkupi bangunan
gosong itu. Disana polisi masih meneliti apa yang sebenarnya terjadi. Lalu
beberapa orang di interogasi.
“jadi
anda kesana. Datang ke kantor karena mendapat sebuah mimpi jika kantor tempat
anda bekerja sedang terbakar?” tanya sang polisi dengan nada tak percaya
Syamsuddin
mengangguk.
“apakah
saudara saat di tempat kejadian mengetahui apa yang pelaku lakukan sebelum
membakar gedung itu?”
Syamsuddin
mengangguk.
“apakah
benar. Kasus pembakaran ini dengan menggunakan bensin?”
Syamsuddin
mengangguk.
“menurut
beberapa praduga. Motif yang digunakan adalah persaingan usaha yang tidak
sehat. Apakah hal ini juga ada di dalam mimpi anda? Betulkah itu?”
Syamsuddin
mengangguk
“ah
maaf. Mungkin saya sulit untuk mempercayai hal ini. Namun, kita sudah bertemu dua kali.
Saya rasa, Sebaiknya jika saudara sedang melihat sebuah tindak kejahatan,
segeralah melapor kepada kami bila bapak tidak bisa menangkalnya sendiri. Jika
bapak diam saja. Maka akan ada banyak orang yang dirugikan” jelas pak polisi
Syamsuddin
hanya bisa mengangguk. Matanya sayu dan badannya terlihat lesu. Bibirnya
memutih karena semenjak pagi tadi belum makan nasi.
Syamsuddin sudah diijinkan untuk
meninggalkan ruangan. Kali ini tujuannya adalah warung makan pinggir jalan. Saat
makan pikirannya melamun kemana-mana. Dirinya merasa serba salah. Dia tahu tapi
seperti tidak mau tahu. Syamsuddin seperti telah meninggalkan sebuah tanggungjawab besar. Jiwanya bagai tergerus dalam tekanan berat. Badannya serasa di plekutu oleh orang-orang berbadan kekar.
Yaitu rasa takutnya.
Hari kembali berganti. Temannya
datang berkunjung ke rumah Syamsuddin.
“haduuhh....
Sekarang kita jadi pengangguran deh. Maaf ya. Tiketnya ada di laci meja kantor.
Dan ikut kebakar. Nggak jadi deh kita nonton sepakbola”
Syamsuddin
hanya terdiam dan menyiapkan segelas teh ke hadapan temannya.
“sudahlah
tak usah terlalu dipikirkan. Aku tahu perasaanmu sekarang sedang kacau. Kemarin
aku juga merasakan hal yang sama. Tapi segala sesuatu pasti ada jalan
keluarnya. Kan tinggal nyari kerja, udah gampang. Jadi kasir beta maret juga
nggak masalah. Yang penting masih bisa hidup” kata orang itu sambil disusul
tawa. Syamsuddin yang mendengarnya hanya bisa memberikan senyum kecut.
“sudahlah.
Jika kamu masih belum dapat kerja. Aku bisa mencarikannya. Mungkin sekarang,
kalau tidak besok. Yang jelas, rawatlah kondisimu dahulu. Kulihat badanmu bau
dan rambutmu acak-acakan. Jangan jadi laki-laki kemproh-lah. Pantas saja kamu sampai sekarang masih perjaka melulu”
kini dia kembali tertawa. Syamsuddin hanya bisa memberikan senyum kecutnya.
***
Hari sudah berganti. Malam harinya
dia tergugah dan segera mencuci mukanya. Cepat dia keluarkan motor dan berlalu
dalam malam yang masih menyisakan kegelapan. Matanya menyipit diterpa hembusan
angin yang kuat. Syamsuddin tidak ingin kembali melewatkan tanggungjawab ini.
Spidometer menunjuk angka seratus
lebih. Motornya melaju kencang di jalanan yang lengang. Syamsuddin tidak ingin
terlambat sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Setelah sampai,
dia banting langkahnya menuju salah satu rumah. Berlari menuju pintu depan
rumah dan menggedor pintu itu keras-keras.
“SURYO
BANGUN! BANGUN CEPAT!” teriaknya lantang memecah kesunyian malam itu.
“ada
apa sih diin... malam-malam kok gembar-gembor. Ada perlu apa?” seseorang keluar dari dalam rumah. Matanya yang
sayu terlihat sedang menahan kantuk.
“cepat
keluar dari tempat ini. Dirumahmu ada BOM!”
“kamu
bicara apaan sih. Apa kamu lagi ngelindur?”
“sudahlah
cepat. Sudah tidak ada waktu buat bercanda. Cepat bawa keluar keluargamu dari
rumah sekarang!”
“males
ah” Suryo tidak menanggapi pernyataan Syamsuddin dengan baik. Kemudian kembali
menutup pintu rumahnya. Namun dengan cepat Syamsuddin menahan pintu itu agar
tidak tertutup. Lalu menarik lengan Suryo keluar dari rumah. Kemudian berlari
menjauh. Lama mereka disana. Suryo merasa dipermainkan.
“sudah
cukup! Mungkin pikiranmu sedang bermasalah, sampai kamu tidak bisa berfikir
dengan benar” ketus Suryo kesal. kini dia melangkah kembali menuju rumahnya.
Syamsuddin terpaku dalam
keheningan malam. Badannya kaku dan tidak bisa digerakkan. Dirinya tidak tahu lagi
apa yang harus dilakukan. Tangan dan kakinya kembali gemetar mengingat mimpinya
tadi malam. Pandangannya masih menatap lurus kedepan. Dirinya tidak pernah tahu
bila mimpi itu akan menjadi kenyataan. Dan setelah Suryo menutup pintu rumahnya.
Di saat yang bersamaan. Rumah itu meledak dengan suara keras.
‘JDDUUUUAAARRRR!!!!’
21-04-17