softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Sabtu, 22 April 2017

Kumpulan cerpen; Hari berganti




            Hari sudah berganti. Syamsuddin menatap nanar keluar jendela. Dilihatnya sebuah kejadian yang tak disangka-sangka. Sebuah pembunuhan dilakukan tepat di depan matanya. Di depan rumahnya. Di depan jalanan yang pagi itu sedang membisu. Seorang yang telah membunuh ibu-ibu itu lekas kabur. Dicurinya motor si korban. Sedangkan Korban sudah terkulai tak berdaya di depan jalan rumahnya.

            Tak sampai siang hari. Orang-orang sekitar situ pada geger, mengetahui ada sesosok mayat di jalan raya. Mereka menduga bila pembunuhan ini disebabkan oleh motif pencurian. Semua orang yang ada di interogasi termasuk Syamsuddin. Saat itu dirinya masuk ke ruangan khusus yang tersedia. Hal itu dilakukan untuk mencegah para wartawan tidak seenaknya masuk merekam pembicaraan mereka. Disana hanya ada sang polisi dan Syamsuddin.

“apakah benar. Nama bapak Syamsuddin”
Syamsuddin hanya bisa mengangguk.
“kasus pembunuhan ini terjadi tepat di depan rumah anda. apakah anda tahu proses kejadian pembunuhan ini?”
Syamsuddin mengangguk
“pada pagi itu anda juga sedang berada di depan rumah. Apakah anda melihat proses pembunuhan ini?”
Syamsuddin mengangguk.
“diduga korban dibacok tiga kali menggunakan arit sampai akhirnya sang korban meninggal. Lalu motor korban lekas diambil oleh sang pelaku untuk dibawa lari. Benar begitu kejadiannya?”
Syamsuddin mengangguk.
“saya juga mendengar dari saksi lain. Jika korban saat itu adalah seorang warga desa ini yang notabenenya adalah seorang yang kaya?”
Syamsuddin mengangguk.
“apakah anda bisu sehingga hanya bisa mengangguk?”
Syamsuddin menggeleng.
“kenapa anda sedari tadi tidak berbicara?” tanya polisi dengan ekspresi bingung.
Hening sejenak. Mata Syamsuddin terlihat kosong. Bola matanya memudar seperti sedang melamunkan sesuatu. Polisi yang melihatnya kini menjadi tahu. Pasti dia sedang mengalami tekanan berat karena telah melihat pembunuhan langsung di depan matanya.
“baik. Terimakasih saudara Syamsuddin. Anda sudah membantu proses penyelidikan kami. Jika nanti ada masalah. Saya akan menghubungi anda kembali”
Lalu mereka berdua berjabat tangan. Langkah Syamsuddin lemas meninggalkan ruang introgasi itu. Badannya sempoyongan, semburat wajahnya menggambarkan seseorang yang sudah bosan hidup. Sang polisi hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat kejadian itu.

            Hari kembali berganti. Pagi itu Syamsuddin seperti biasa. Menepi di depan rumahnya, memandang keluar melalui kaca jendela. Sayup pagi itu sepi seperti biasa. Terlihat kapur putih membentuk tubuh seseorang tergambar di jalanan aspal. Tangannya gemetar ketika mengingat pembunuh itu. Pembuluh darahnya terasa menyempit ketika sedang membayangkan kejadian kemarin. Rasa takut saat itu. Kengerian saat itu. Tekanan berat saat itu. Trauma itu telah membuatnya tidak masuk kerja kemarin. Bola matanya masih lekat memandang keluar. Lalu rasa bersalahpun muncul dari lubang hatinya yang kecil.
“kenapa saat itu aku tidak menolongnya!?” jeritnya dalama hati. Dia tahu, saat itu hanya Syamsuddin yang ada di tempat itu.

            Rasa takut ternyata bisa membuat seseorang menjadi tidak berkutik. Syamsuddin masih saja menyalahkan dirinya karena tidak berani menolong ibu-ibu itu. Padahal dia tahu. Bisa saja dia menyelamatkannya. Bisa saja dia berteriak minta tolong sebelum si pelaku kabur. Bisa saja dia menyegat dan meringkus sang pelaku dengan senapan angin yang ada di rumahnya. Ya! dia memiliki senapan angin di rumah. Tapi kenapa dia hanya diam saja. Sambil terpana menatap kejadian pembunuhan yang ada di depan rumahnya!

            Hari kembali berganti. Syamsuddin melangkah keluar untuk masuk kerja kembali. Sudah dua hari dia membolos dari kantor. Sekarang dia harus terima bila gaji bulanannya bakal di potong.

“kemana saja kamu dua hari ini?” tanya sahabat dekatnya saat Syamsuddin tiba di kantor “apa kamu masih ketakutan. Gara-gara pembunuhan yang ada di depan rumahmu?”
Syamsuddin mengangguk.
“jangan diambil hati lah. Mana mungkinkan arwahnya gentayangan di depan rumahmu. Kalau kamu takut di rumah sendiri. Kapan-kapan aku temenin deh”
Syamsuddin menggeleng
“kamu sekarang berlagak bisu ya. Apa kamu lagi main antonim nih” katanya sambil disambut seulas senyuman. Kini dia memeragakan beberapa gerakan antonim yang menjemukan dan tidak layak di tonton.
“ah iya. Aku hampir kelupaan” katanya setelah selesai beberapa kali memperlihatkan antonim tidak bermutu “besok ada pertandingan bola. Aku sudah beli’in tiketnya untuk dua orang nih. Kamu mau kan?”
Syamsuddin mengangguk.
“oke. Siip! Tiga hari lagi kita bakal nonton bareng di stadiun” katanya sambil menepuk bahu Syamsuddin yang layu karena tidak bersemangat.

            Hari kembali berganti. Sudah tiga hari semenjak kejadian yang menggemparkan itu. Dan hari ini dirinya dikagetkan kembali dengan sesuatu. Langkahnya cepat mengambil sandal dan langsung melontar mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Lalu menyetarter motor dan lekas minggat menuju kantor.

            Langit masih putih dan matahari belum nampak. Sampai juga Syamsuddin ke area perkantoran. Namun sayang. Tak sampai di depan kantor. Syamsuddin dengan tangan gemetar menghentikan laju motornya. Tubuhnya mendelik di tempat yang sulit dilihat. Ditatapnya dengan gentar. Segerombolan orang sedang menumpahkan beberapa liter bensin ke berbagai sudut kantor. Lalu disulutkan api itu hingga membara. Nyala api mulai berkobar-kobar. Membuat kantor itu terbakar dengan hebatnya. Beberapa gerombolan orang bertopeng itu kini pada kabur menggunakan motor. Syamsuddin hanya bisa terpana melihat kobaran api yang menjilat ganas. menghanguskan bangunan kantor tempatnya bekerja. Mulutnya menganga melihat kejadian yang seharusnya bisa ditangkalnya. Lama dirinya terdiam. Sampai akhirnya beberapa orang disekitar situ yang menyadari adanya kebakaran, saling bergotong royong mencoba memadamkan api dengan segala cara. Lima belas menit setelahnya. Pemadam kebakaran sampai ke area itu untuk segera memadamkan apinya.

            Kantor itu sudah ludes terbakar. Perkakas dan barang-barang di dalam sudah lunas dilalap api. Kerugian ditaksir hingga milyaran rupiah. Bos yang mengetahui gedungnya telah terbakar kabarnya sedang berada di rumah sakit jiwa. Para pekerja otomatis di berhentikan dan menjadi seorang pengangguran. Terlhat marka polisi membentang melingkupi bangunan gosong itu. Disana polisi masih meneliti apa yang sebenarnya terjadi. Lalu beberapa orang di interogasi.

“jadi anda kesana. Datang ke kantor karena mendapat sebuah mimpi jika kantor tempat anda bekerja sedang terbakar?” tanya sang polisi dengan nada tak percaya
Syamsuddin mengangguk.
“apakah saudara saat di tempat kejadian mengetahui apa yang pelaku lakukan sebelum membakar gedung itu?”
Syamsuddin mengangguk.
“apakah benar. Kasus pembakaran ini dengan menggunakan bensin?”
Syamsuddin mengangguk.
“menurut beberapa praduga. Motif yang digunakan adalah persaingan usaha yang tidak sehat. Apakah hal ini juga ada di dalam mimpi anda? Betulkah itu?”
Syamsuddin mengangguk
“ah maaf. Mungkin saya sulit untuk mempercayai  hal ini. Namun, kita sudah bertemu dua kali. Saya rasa, Sebaiknya jika saudara sedang melihat sebuah tindak kejahatan, segeralah melapor kepada kami bila bapak tidak bisa menangkalnya sendiri. Jika bapak diam saja. Maka akan ada banyak orang yang dirugikan” jelas pak polisi
Syamsuddin hanya bisa mengangguk. Matanya sayu dan badannya terlihat lesu. Bibirnya memutih karena semenjak pagi tadi belum makan nasi.

            Syamsuddin sudah diijinkan untuk meninggalkan ruangan. Kali ini tujuannya adalah warung makan pinggir jalan. Saat makan pikirannya melamun kemana-mana. Dirinya merasa serba salah. Dia tahu tapi seperti tidak mau tahu. Syamsuddin seperti telah meninggalkan sebuah tanggungjawab besar. Jiwanya bagai tergerus dalam tekanan berat. Badannya serasa di plekutu oleh orang-orang berbadan kekar. Yaitu rasa takutnya.

            Hari kembali berganti. Temannya datang berkunjung ke rumah Syamsuddin.
“haduuhh.... Sekarang kita jadi pengangguran deh. Maaf ya. Tiketnya ada di laci meja kantor. Dan ikut kebakar. Nggak jadi deh kita nonton sepakbola”
Syamsuddin hanya terdiam dan menyiapkan segelas teh ke hadapan temannya.
“sudahlah tak usah terlalu dipikirkan. Aku tahu perasaanmu sekarang sedang kacau. Kemarin aku juga merasakan hal yang sama. Tapi segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya. Kan tinggal nyari kerja, udah gampang. Jadi kasir beta maret juga nggak masalah. Yang penting masih bisa hidup” kata orang itu sambil disusul tawa. Syamsuddin yang mendengarnya hanya bisa memberikan senyum kecut.
“sudahlah. Jika kamu masih belum dapat kerja. Aku bisa mencarikannya. Mungkin sekarang, kalau tidak besok. Yang jelas, rawatlah kondisimu dahulu. Kulihat badanmu bau dan rambutmu acak-acakan. Jangan jadi laki-laki kemproh-lah. Pantas saja kamu sampai sekarang masih perjaka melulu” kini dia kembali tertawa. Syamsuddin hanya bisa memberikan senyum kecutnya.
***

            Hari sudah berganti. Malam harinya dia tergugah dan segera mencuci mukanya. Cepat dia keluarkan motor dan berlalu dalam malam yang masih menyisakan kegelapan. Matanya menyipit diterpa hembusan angin yang kuat. Syamsuddin tidak ingin kembali melewatkan tanggungjawab ini.

            Spidometer menunjuk angka seratus lebih. Motornya melaju kencang di jalanan yang lengang. Syamsuddin tidak ingin terlambat sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Setelah sampai, dia banting langkahnya menuju salah satu rumah. Berlari menuju pintu depan rumah dan menggedor pintu itu keras-keras.

“SURYO BANGUN! BANGUN CEPAT!” teriaknya lantang memecah kesunyian malam itu.
“ada apa sih diin... malam-malam kok gembar-gembor. Ada perlu apa?” seseorang keluar dari dalam rumah. Matanya yang sayu terlihat sedang menahan kantuk.
“cepat keluar dari tempat ini. Dirumahmu ada BOM!”
“kamu bicara apaan sih. Apa kamu lagi ngelindur?”
“sudahlah cepat. Sudah tidak ada waktu buat bercanda. Cepat bawa keluar keluargamu dari rumah sekarang!”
“males ah” Suryo tidak menanggapi pernyataan Syamsuddin dengan baik. Kemudian kembali menutup pintu rumahnya. Namun dengan cepat Syamsuddin menahan pintu itu agar tidak tertutup. Lalu menarik lengan Suryo keluar dari rumah. Kemudian berlari menjauh. Lama mereka disana. Suryo merasa dipermainkan.
“sudah cukup! Mungkin pikiranmu sedang bermasalah, sampai kamu tidak bisa berfikir dengan benar” ketus Suryo kesal. kini dia melangkah kembali menuju rumahnya.

            Syamsuddin terpaku dalam keheningan malam. Badannya kaku dan tidak bisa digerakkan. Dirinya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tangan dan kakinya kembali gemetar mengingat mimpinya tadi malam. Pandangannya masih menatap lurus kedepan. Dirinya tidak pernah tahu bila mimpi itu akan menjadi kenyataan. Dan setelah Suryo menutup pintu rumahnya. Di saat yang bersamaan. Rumah itu meledak dengan suara keras.

‘JDDUUUUAAARRRR!!!!’


21-04-17