Malam yang
dingin menggigit kulit. Badan menggigil tak kuasa menahan rasa Lelah dan letih.
kepala terasa di kepruk benda keras, teramat depresi dengan berbagai cobaan
yang menderu sejak seminggu ini. Mata jenuh memerah, sekarat dengan deretan akar-akar
merah yang merambat di bola mata. Kantung mata sampai memiliki kantung mata,
kepala tertunduk berulang kali, berusaha menyuruh sang pemilik untuk istirahat
walau hanya sekejap saja.
“Bajigur!” bentak Sarfudin, tak
kuasa menahan penat yang kini mulai menjalar ke saraf kesabarannya. Sudah
beberapa hari ini pemadatan serta tugas-tugas kuliah datang menderu bak banjir
bah dari kota sebelah.
Namun
tidak seperti yang diduga, tugas yang katanya menjadi parameter untuk menilai
keaktifan mahasiswa ini sendiri justru malah berbalik arah menjadi senjata
mematikan untuk membuat cepat loyo mahasiswa, entah itu karena stress tekanan
deadline maupun jadwal padat yang membuat kesibukan pribadi Sarfudin terusik.
Berhubung Ia mengikuti beberapa organisasi kampus yang lumayan banyak.
“empat hari tidak tidur, tubuh
sudah gemetaran, bahkan kamar amburadul karena tidak pernah di bersihkan” batin
Sarfudin.
“kau kira pemadatan bakal membuat
kami merasa senang karena jadwal kelas semakin cepat? Kau kira dengan tugas
segunung merbabu membuat otak kami menjadi tajam dan pintar-pintar? Kau kira
kami ini macam einstein yang otaknya encer kayak oli top one!?” mencoba
melampiaskan kekesalan dengan berbicara pada dirinya sendiri.
Jam
telah menunjuk pukul dua dini hari, sedangkan tugas masih berada di tengah
perjalanan. Estimasi waktu telah ditetapkan bahwasanya Sarfudin tidak akan
tidur lagi pada malam ini. Alhasil dirinya harus pintar-pintar mencuri waktu
saat matkul besok, untuk sekiranya bisa tidur satu hingga dua jam agar daya
motorik dan akalnya tetap terjaga.
Sesi
akhir kuliah memang memiliki kesenangan tersendiri, namun hanya saja terkadang
para dosen memberikan kelas tambahan dan juga tugas yang tak masuk akal ketika
mahasiswa dituntut untuk segera menyelesaikan. Ketika mahasiswa ingin cepat
lulus, maka bayarannya ialah kinerja yang dipercepat, kuantitas digencot
maksimal dengan mengabaikan kualitas yang ada.
Sarfudin
terlihat lesu, saban hari tak bisa mengikuti agenda akhir mata kuliah yang
mematikan ini. Dirinya tak segercep mereka yang masih tetap bisa fokus karena
memang tak memiliki beban organisasi ataupun kerja lapangan, sedangkan ia harus
bersusah payah membagi keduanya dengan kuliah supaya bisa terurus sampai
sekarang.
“Dan***” sahutnya. Teman yang ada
di sebelahnya hanya bisa menggeleng melihat tingkah Sarfudin yang seperti
biasanya dalam seminggu ini.
“lo stress lur?” tanya Tan-tan.
“HMMM” gerutunya, memberikan
isyarat iya.
“udahlah, nikmatin aja, entar tau-tau juga
bakal wisuda kok”
“soalnya kalau udah selesai tuh
bakal muncul lagi, bikin jenuh tau ga”
“ya dinikmatin lagi lah”
“percuma menikmati sesuatu yang
tidak disukai, alhasil aku mengorbankan sesuatu yang aku sukai yang tentunya
itu lebih berhak untuk aku nikmati” gerutu Sarfudin.
“he, Allah kan udah pernah bilang
tu, terkadang apa yang kita suka itu belum tentu baik, justru hal yang lo ga
suka kek gini itu bakal baik di masa depan lo”
“iye gua tau”
kini Tan-tan ditinggal tidur,
dosen memang kurang begitu memperhatikan murid barisan belakang, dan selama dua
jam akhirnya Sarfudin bisa tertidur dengan leluasa tanpa memperhatikan
pelajaran.
Beberapa
mahasiswa Nampak pusing dan tak ambil pikir. Asalkan IPK cumloude, mengapa
tidak? Ilmu tak masalah mau mental kemana asalkan bisa absen duduk manis atau
tiduran. Tak peduli dengan materi, Dosen, pengajaran berbasis penanaman
karakter, dan embel-embel program Pendidikan yang lain. bahkan mereka akan
sangat bangga ketika bisa TA (titip Absen).
“ini nih yang perlu di ubah,
biang keroknya tak lain adalah Pendidikan hanya dilakukan sebagai ajang
formalitas dalam penginputan data. Apanya yang tekologi 4.0? apanya yang
ngatain Pendidikan kita maju? Hilih bullshit, suma Cuma embel-embel pemanis,
iklan ekonomis untuk menggaet pasar supaya para generasi muda mau kuliah dan menghabiskan
uangnya di universitas” Gerutu sarfudin di sela-sela kuliah, dosen kala itu
terjebak macet sehingga kelas kosong untuk sementara.
“Jujur apa yang mereka dapat tak
sebanding dengan uang pajak rakyat yang mensubsidi mereka, tidak setara dengan
uang semesteran yang ditanggung orang tua kita. Anaknya disini Cuma di cekoki
bagaimana cara dapat IPK cumloude, bagaimana cara cari kerja, bagaimana cara
mencontek pekerjaan teman, bagaimana bisa cari pacar banyak, dll. Ga mutu! Dan
salah satu alasan dari semua ini adalah TUGAS! Mulai sekarang dengan ini saya
menyatakan, menolak keras tugas-tugas dosen yang diberikan kepada saya kecuali
dengan alasan jelas dan bermutu, bukan hanya karena berdasar nilai!” mukanya
merah padam, mengeluarkan segala yang telah dia pendam sekian lama. dan
akhirnya dia berhasil mengutarakannya kepada teman sebangku kuliahnya.
“kalo lo ga nugas, emang IPK mu
mau di isi pakai nilai apa? Pake penilaian praktek orasi dan demo dijalanan?”
tanya teman sebelahnya.
“aku ga gagas IPK, liat stave
jobs, mark Zuckerberg! Mereka para DO-werz yang sukses meski tak lulus kuliah.
Karena mereka paham kuliah itu ga penting, ga se passion dengan mereka”
“lo rencana mau DO juga?”
“ya sampe lulus lah. Cuma aku ga
gagas IPK titik. Asalkan itu cukup itu lebih baik, penting selama masa kuliah
aku bisa mendalami sesuatu dan belajar mengenai pengalaman. Ketimbang harus
kusisihkan waktu untuk mengurus contekan, pacarana, apalagi tugas ga penting”
***
Pernyataan Sarfudin sontak menuai
kontroversi. Pernyataan nyeleneh bin radikal itu akhirnya sampai ke telinga salah
satu dekan fakultas tersebut.
“Anda yang bernama Sarfudin?”
tanya sang Dekan. Kini Sarfudin sedang di introgasi di ruangannya.
Sarfudin mencoba bersikap
setenang mungkin, meski tidak pernah menduga pernyataannya bakal di
permasalahkan di tingkat dekan fakultas. “benar pak, saya Sarfudin Al Wanii,
salah satu mahasiswa di fakultas FEB jurusan S1 manajemen 2017”
“Ananda Sarfudin tau kenapa bisa
dipanggil kesini?” tanya Dekan, dengan nada berat.
Sarfudin menggeleng, sok-sok an
tidak tau.
“saya hari ini mendengar
statement yang kurang menarik, bahwasanya ada seorang mahasiswa yang menentang
sistem dengan tidak ingin mengerjakan tugas-tugas dosen. Dan ketika saya
teliti, ternyata hal ini keluar pertama kali dari mulut anda, benar begitu?”
“benar pak” sahut Sarfudin
mantap.
“apa alasanmu berkata seperti
itu. kamu tahu mulut itu lebih tajam dari pada pisau?” Pak Dekan menggunakan
nada introgasi yang menekan.
“saya tahu pak, namun disini saya
sebagai mahasiswa juga harusnya boleh memiliki kebebasan berpendapat” Timpal Sarfudin.
“memang tiap orang boleh bebas
berpendapat. Tapi anda juga harus tahu, ketika anda melakukan kebebasan
berpendapat, secara tidak langsung anda mengusik kepentingan dari orang lain.
ketika hal itu sudah menganggu kepentingan yang lain, maka mau tidak mau anda
harus bertanggung jawab dan berhadapan dengan kepentingan yang telah anda usik
itu. sampai sini anda paham? Anda mengerti betapa bahayanya yang anda ucapkan?
Hal itu secara tidak langsung akan membuat mahasiswa lain teracuni dan juga
berpikir hal yang sama, merasa bakal menganggap kuliah itu tidak berguna. Kalau
mereka pada DO siapa yang harus disalahkan?” pelotot pak Dekan.
“tentu saja instansi” Jawab
Sarfudin “setelah tahu dampak dan resiko kedepannya bakal seperti itu, mengapa
tidak berusaha mengganti sistem? bukan malah menumpas mereka yang ingin menjadi
pelapor perubahan sistem” sahut Sarfudin.
Dan hingga saat ini, pada detik
ini. Sarfudin tidak pernah lagi keluar dari ruangan itu.
Selasa, 28 Mei 2019
M H A