Selasa, 28 Mei 2019

Kumpulan Cerpen ; Tugas


Malam yang dingin menggigit kulit. Badan menggigil tak kuasa menahan rasa Lelah dan letih. kepala terasa di kepruk benda keras, teramat depresi dengan berbagai cobaan yang menderu sejak seminggu ini. Mata jenuh memerah, sekarat dengan deretan akar-akar merah yang merambat di bola mata. Kantung mata sampai memiliki kantung mata, kepala tertunduk berulang kali, berusaha menyuruh sang pemilik untuk istirahat walau hanya sekejap saja.

“Bajigur!” bentak Sarfudin, tak kuasa menahan penat yang kini mulai menjalar ke saraf kesabarannya. Sudah beberapa hari ini pemadatan serta tugas-tugas kuliah datang menderu bak banjir bah dari kota sebelah.

                Namun tidak seperti yang diduga, tugas yang katanya menjadi parameter untuk menilai keaktifan mahasiswa ini sendiri justru malah berbalik arah menjadi senjata mematikan untuk membuat cepat loyo mahasiswa, entah itu karena stress tekanan deadline maupun jadwal padat yang membuat kesibukan pribadi Sarfudin terusik. Berhubung Ia mengikuti beberapa organisasi kampus yang lumayan banyak.

“empat hari tidak tidur, tubuh sudah gemetaran, bahkan kamar amburadul karena tidak pernah di bersihkan” batin Sarfudin.
“kau kira pemadatan bakal membuat kami merasa senang karena jadwal kelas semakin cepat? Kau kira dengan tugas segunung merbabu membuat otak kami menjadi tajam dan pintar-pintar? Kau kira kami ini macam einstein yang otaknya encer kayak oli top one!?” mencoba melampiaskan kekesalan dengan berbicara pada dirinya sendiri.

                Jam telah menunjuk pukul dua dini hari, sedangkan tugas masih berada di tengah perjalanan. Estimasi waktu telah ditetapkan bahwasanya Sarfudin tidak akan tidur lagi pada malam ini. Alhasil dirinya harus pintar-pintar mencuri waktu saat matkul besok, untuk sekiranya bisa tidur satu hingga dua jam agar daya motorik dan akalnya tetap terjaga.
                Sesi akhir kuliah memang memiliki kesenangan tersendiri, namun hanya saja terkadang para dosen memberikan kelas tambahan dan juga tugas yang tak masuk akal ketika mahasiswa dituntut untuk segera menyelesaikan. Ketika mahasiswa ingin cepat lulus, maka bayarannya ialah kinerja yang dipercepat, kuantitas digencot maksimal dengan mengabaikan kualitas yang ada.

                Sarfudin terlihat lesu, saban hari tak bisa mengikuti agenda akhir mata kuliah yang mematikan ini. Dirinya tak segercep mereka yang masih tetap bisa fokus karena memang tak memiliki beban organisasi ataupun kerja lapangan, sedangkan ia harus bersusah payah membagi keduanya dengan kuliah supaya bisa terurus sampai sekarang.

“Dan***” sahutnya. Teman yang ada di sebelahnya hanya bisa menggeleng melihat tingkah Sarfudin yang seperti biasanya dalam seminggu ini.
“lo stress lur?” tanya Tan-tan.
“HMMM” gerutunya, memberikan isyarat iya.
 “udahlah, nikmatin aja, entar tau-tau juga bakal wisuda kok”
“soalnya kalau udah selesai tuh bakal muncul lagi, bikin jenuh tau ga”
“ya dinikmatin lagi lah”
“percuma menikmati sesuatu yang tidak disukai, alhasil aku mengorbankan sesuatu yang aku sukai yang tentunya itu lebih berhak untuk aku nikmati” gerutu Sarfudin.
“he, Allah kan udah pernah bilang tu, terkadang apa yang kita suka itu belum tentu baik, justru hal yang lo ga suka kek gini itu bakal baik di masa depan lo”
“iye gua tau”

kini Tan-tan ditinggal tidur, dosen memang kurang begitu memperhatikan murid barisan belakang, dan selama dua jam akhirnya Sarfudin bisa tertidur dengan leluasa tanpa memperhatikan pelajaran.

                Beberapa mahasiswa Nampak pusing dan tak ambil pikir. Asalkan IPK cumloude, mengapa tidak? Ilmu tak masalah mau mental kemana asalkan bisa absen duduk manis atau tiduran. Tak peduli dengan materi, Dosen, pengajaran berbasis penanaman karakter, dan embel-embel program Pendidikan yang lain. bahkan mereka akan sangat bangga ketika bisa TA (titip Absen).

“ini nih yang perlu di ubah, biang keroknya tak lain adalah Pendidikan hanya dilakukan sebagai ajang formalitas dalam penginputan data. Apanya yang tekologi 4.0? apanya yang ngatain Pendidikan kita maju? Hilih bullshit, suma Cuma embel-embel pemanis, iklan ekonomis untuk menggaet pasar supaya para generasi muda mau kuliah dan menghabiskan uangnya di universitas” Gerutu sarfudin di sela-sela kuliah, dosen kala itu terjebak macet sehingga kelas kosong untuk sementara.

“Jujur apa yang mereka dapat tak sebanding dengan uang pajak rakyat yang mensubsidi mereka, tidak setara dengan uang semesteran yang ditanggung orang tua kita. Anaknya disini Cuma di cekoki bagaimana cara dapat IPK cumloude, bagaimana cara cari kerja, bagaimana cara mencontek pekerjaan teman, bagaimana bisa cari pacar banyak, dll. Ga mutu! Dan salah satu alasan dari semua ini adalah TUGAS! Mulai sekarang dengan ini saya menyatakan, menolak keras tugas-tugas dosen yang diberikan kepada saya kecuali dengan alasan jelas dan bermutu, bukan hanya karena berdasar nilai!” mukanya merah padam, mengeluarkan segala yang telah dia pendam sekian lama. dan akhirnya dia berhasil mengutarakannya kepada teman sebangku kuliahnya.
“kalo lo ga nugas, emang IPK mu mau di isi pakai nilai apa? Pake penilaian praktek orasi dan demo dijalanan?” tanya teman sebelahnya.
“aku ga gagas IPK, liat stave jobs, mark Zuckerberg! Mereka para DO-werz yang sukses meski tak lulus kuliah. Karena mereka paham kuliah itu ga penting, ga se passion dengan mereka”
“lo rencana mau DO juga?”
“ya sampe lulus lah. Cuma aku ga gagas IPK titik. Asalkan itu cukup itu lebih baik, penting selama masa kuliah aku bisa mendalami sesuatu dan belajar mengenai pengalaman. Ketimbang harus kusisihkan waktu untuk mengurus contekan, pacarana, apalagi tugas ga penting”
***

Pernyataan Sarfudin sontak menuai kontroversi. Pernyataan nyeleneh bin radikal itu akhirnya sampai ke telinga salah satu dekan fakultas tersebut.

“Anda yang bernama Sarfudin?” tanya sang Dekan. Kini Sarfudin sedang di introgasi di ruangannya.
Sarfudin mencoba bersikap setenang mungkin, meski tidak pernah menduga pernyataannya bakal di permasalahkan di tingkat dekan fakultas. “benar pak, saya Sarfudin Al Wanii, salah satu mahasiswa di fakultas FEB jurusan S1 manajemen 2017”
“Ananda Sarfudin tau kenapa bisa dipanggil kesini?” tanya Dekan, dengan nada berat.
Sarfudin menggeleng, sok-sok an tidak tau.
“saya hari ini mendengar statement yang kurang menarik, bahwasanya ada seorang mahasiswa yang menentang sistem dengan tidak ingin mengerjakan tugas-tugas dosen. Dan ketika saya teliti, ternyata hal ini keluar pertama kali dari mulut anda, benar begitu?”
“benar pak” sahut Sarfudin mantap.
“apa alasanmu berkata seperti itu. kamu tahu mulut itu lebih tajam dari pada pisau?” Pak Dekan menggunakan nada introgasi yang menekan.
“saya tahu pak, namun disini saya sebagai mahasiswa juga harusnya boleh memiliki kebebasan berpendapat” Timpal Sarfudin.
“memang tiap orang boleh bebas berpendapat. Tapi anda juga harus tahu, ketika anda melakukan kebebasan berpendapat, secara tidak langsung anda mengusik kepentingan dari orang lain. ketika hal itu sudah menganggu kepentingan yang lain, maka mau tidak mau anda harus bertanggung jawab dan berhadapan dengan kepentingan yang telah anda usik itu. sampai sini anda paham? Anda mengerti betapa bahayanya yang anda ucapkan? Hal itu secara tidak langsung akan membuat mahasiswa lain teracuni dan juga berpikir hal yang sama, merasa bakal menganggap kuliah itu tidak berguna. Kalau mereka pada DO siapa yang harus disalahkan?” pelotot pak Dekan.
“tentu saja instansi” Jawab Sarfudin “setelah tahu dampak dan resiko kedepannya bakal seperti itu, mengapa tidak berusaha mengganti sistem? bukan malah menumpas mereka yang ingin menjadi pelapor perubahan sistem” sahut Sarfudin.
Dan hingga saat ini, pada detik ini. Sarfudin tidak pernah lagi keluar dari ruangan itu.


Selasa, 28 Mei 2019



M            H             A

0 komentar:

Posting Komentar