Siapa
yang bisa mengukur usaha dari masing-masing individu yang telah berjuang?
Manusia? Tidak. Diri sendiri? Tidak, karena diri juga tergolong manusia. Lalu
siapa? Jawabnya ada di ujung langit. Kita kesana dengan seorang anak. Anak yang
sekarang tengah berkelana dari pulau satu ke pulau lain untuk mencari rezeki.
Kapal telah berlabuh ke tepian dermaga. Kerumunan orang
mulai berduyun turun dari kapal kayu itu. Enam jam sudah berlalu semenjak Rais
berangkat dari pulau sebelah. Berbekal seperangkat nasi bungkus dan beberapa
uang, dirinya berusaha agar bisa menjalani hidup yang lebih baik dengan mencari
kerja di pulau ini.
“nak, kamu sudah bisa
turun” sahut sang nahkoda yang saat itu membuyarkan lamunan Rais.
“baik pak” Rais turun.
Penumpang baru mulai berduyun mengisi kapal yang kosong. menunggu terisi penuh
untuk kembali berlabuh menuju pulau tempat tinggalnya dahulu.
Laut selalu biru. Matahari berwarna kuning cerah,
terkadang berubah oranye, atau berubah menjadi hitam ketika gerhana. Daun
berwarna hijau, ada yang kuning, ada yang berwarna coklat karena meranggas.
Semua benda yang Rais lihat pasti memiliki warna pada setiap bentuknya. semua
memiliki ciri khas tersendiri untuk di manfaatkan oleh manusia.
***
“Pak, saya ingin melamar
kerja di pabrik ini. Kemarin saya sudah kirim email ke perusahaan ini” kata
Rais kepada seorang satpam yang tengah menjaga pintu masuk pabrik.
“baik tunggu sebentar ya”
sang satpam menelpon bagian RnD untuk mengabarkan calon pekerja baru. “mohon
untuk menunggu di ruang pelayanan terlebih dahulu, nanti lurus, belok kanan
jalan terus kira-kira sepuluh meter, lalu balik kanan, maju lagi sepuluh meter,
nanti kamu sudah sampai di tempat itu”
Rais berpikir sejenak
“bukannya saya bakal balik lagi ke tempat awal pak?”
“hwahahaha, maf-maaf saya
tadi bercanda, ruangan tepat berada di depan, kamu bisa tunggu dulu disitu”
kata pak satpam sambil mempersilakan Rais untuk masuk ke ruang pelayanan.
Lama menunggu hingga pengeras suara memanggilnya menuju
ke pintu RnD. Ruangan itu ber AC dan tampak elegan. Tidak seperti pemandangan
di luar pabrik yang penuh dengan tumbuhan dan bau tembakau kering.
Rais duduk di bangku
panas tersebut. Meski udara sekitar ruangan begitu dingin, entah mengapa kursi yang
di dudukinya terasa panas.
“Jelaskan profil diri
anda secara singkat dan lengkap” kata mas-mas bermata tajam itu. Dia tak serta
merta memperkenalkan diri, namun langsung mengorek info pribadi Rais.
“Nama Rais Alam, tinggal
di pulau Ulu-ulu seberang sana, umur 17 tahun, pengalaman bekerja di ladang
bapak, tidak tamat SMP, pernah menjuarai lomba balap karung antar RT, pernah
juga menjuarai lomba bertumbuk antar kelas waktu SD, tidak ada yang bisa saya
banggakan selain tubuh lengkap yang siap melakukan pekerjaan apapun di pabrik
ini”
“apa alasan nak Rais
ingin bekerja di pabrik ini?”
“saya ingin berguna di
pabrik rokok ini. Melancarkan usahanya supaya rokok-rokok yang terjual bisa
bermanfaat bagi mereka yang ingin cepat mati di luar sana”
“hahaha, alasan yang
menarik. Anda perokok?”
“tidak, tapi saya suka
ngemut puntung rokoknya, karena ada manis-manisnya”
“okey, saya sudah
menerima infonya. Saya akan kabari lagi lewat Email yang akan dikirim tiga hari
lagi”
“baik pak terimakasih”
Mereka berdua bersalaman,
Rais berlalu pergi untuk menemukan masjid tempat dia tinggal selama tiga hari.
***
Setelah mengecek email di warnet, ternyata Rais di terima
dan bisa bekerja mulai besok, dirinya berada di bagian mengurusi pengangkatan
rokok menuju ke tempat pengemasan. Sift kerjanya malam hari dari jam 5 sore
sampai jam 9 malam.
Rais menjalani hari-harinya bekerja di pabrik rokok
dengan perasaan yang Bahagia, mengirim uang hasil jerih payahnya selama ini
kepada kedua orang tua, bahkan hasil rokok bonus yang selalu di terimanya
perbulan Rais berikan kepada ayahnya yang memang seorang pecandu rokok.
Karena hasil kerja yang memuaskan, dalam kurun waktu satu
tahun Rais di angkat menjadi kepala divisi pengangkutan barang. Semangatnya sangat
di contoh para pekerja lain di pabrik itu. Rais ingin agar rokok-rokok ini bisa
terdistribusi dengan baik. Supaya para penikmat rokok tidak pada sakau karena
kehabisan stok. Dia menjamin rokok-rokok ini akan sampai kepada mereka yang
menginginkannya.
Semua berjalan lancar, keuntungan perusahaan meningkat
pesat. Tak ada yang membantah bahkan mendukung ketika di tahun kedua Rais
menjadi manajer di perusahaan itu. Rais pun tanpa sadar juga tak membayangkan
posisinya saat ini. Dia hanya berkerja tak kenal Lelah dan dengan senang hati menerima
tugas tanpa beban. Hingga sang bos saat itu ingin membuka pabrik cabang baru.
Dan menginginkan Rais lah yang memegang kendali di perusahaan tersebut.
“hai, halo” sapa sang bos
kala itu.
“ah pak bos, ada yang
bisa saya bantu?” jawab Rais sopan.
“begini, berhubung saya
akan membuka cabang baru di daerah pulau tempat tinggal nak Rais, saya ingin
menembusi kamu untuk menjadi manajer utama di perusahaan tersebut. Bagaimana?”
Rais berpikir sejenak,
tidak terlihat kaget dengan tawaran sang bos kala itu, bahkan kemungkinan Rais
sudah menebak bahwa dialah yang pastinya akan terpilih “gimana ya bos…”
“lha gimana, apa kamu
ragu untuk menjadi pemimpin di sana?”
Rais menangguk sambil
tersenyum masam “saya merasa tidak pantas menjabat disana, saya rasa kemampuan
saya tidak akan cocok berada disitu, toh masih banyak orang lain yang lebih
berkompeten. Bukan seperti saya yang hanya seorang lulusan SMP”
“mengapa? Bukankah hasil
kerjamu sangat baik selama dua tahun terakhir?”
“Tidak ada yang baik
ketika saya tidak bisa membuat yang lain merasa nyaman. Mereka bisa lebih bersatu
dan berbuat lebih baik ketika saya tidak ada. Justru karena adanya saya melah
menjadi penghalang bagi perusahaan untuk bisa lebih maju”
“mengapa nak Rais bisa
berpikir seperti itu?”
“Dari pengamatan selama
ini. Saya merasa tidak sefrekuensi. Jika memang hasil kinerjaku bagus, itu toh
juga karena mereka. Pada akhirnya saya tidak bisa berbuat apa-apa, tak mampu
melakukan apa-apa. Hanya berujung kegagalan yang nantinya akan memberatkan perusahaan
ini”
“nak Rais pingin resign?”
“ya”
Surakarta, 22 Desember
2019
M H A