https://wall.alphacoders.com/ |
Ketika
membual tentang masa depan, Kita berkhayal membuat sebuah mahakarya besar
perubah peradaban. Berharap meraih gambaran sempurna dalam menjalani tiap liku
kehidupan. Berperan menjadi seorang protagonist, dalam serial film bioskop kesayangan.
“bukankah dulu kamu ingin menjadi
seorang pemain bola?” – Haikal.
Rei tersenyum simpul “em, aku
ingat. Saking kebeletnya ingin menjadi pemain pro, pada hari itu juga aku
sampai menangis untuk segera dibelikan sepatu bola”
“tapi lucunya itu hanya bertahan
beberapa minggu saja ya, hingga kamu keluar dari SSB”
Rei mengangguk. “yah, hanya
sesaat, lalu dorongan itu perlahan lenyap. Bagai sariawan yang diobati lasegar”
“setelah itu kamu sempat berganti
cita-cita. Mulai dari hal konyol seperti ingin menjadi badut, hingga sesuatu
yang hebat seperti seorang ilmuan, dan kamu mengatakan itu dengan sangat
percaya diri dan penuh keyakinan”
Rei mengingatnya “hari-hari yang
menyenangkan”
“aku selalu menantikannya,
dorongan-dorongan yang pernah kamu ciptakan di masa lalu, membuatmu berani
mengambil jalan berbahaya untuk menggapai suatu tujuan”
Rei duduk santai di samping
Haikal. Berdua menikmati senja ditemani hembusan angin berbau tebu. Dia Mengarahkan
pandangannya ke langit. Di bawah pohon rindang membujur hamparan dataran tanah
luas yang ditanami ratusan tebu berbatang besar.
“Kamu benar Kal, dari dulu aku sering
berganti pilihan untuk mengambil sebuah keputusan”
“mengapa?” Tanya Haikal. Melihat
wajah sendu Rei yang ketika itu masih menatap kosong sang senja.
Rei berpikir sejenak. Mengingat segala
hal yang membuatnya ragu selama ini. “jalan itu, atau manusia, atau kebosanan,
atau bisa jadi…”
“bisa jadi…?”
“bisa jadi aku tidak menemukan
diriku yang asli di jalan itu”
Hening sejenak, sekawanan burung
berkelompok di atas membentuk formasi ‘V’ untuk terbang ke arah utara. Awan
mulai berkumpul menutup langit. Senja perlahan mulai redup dihempas angin. Dua
sekawan itu masih berada disitu, terdiam untuk menantikan sesuatu yang telah
lama mereka cari.
“dirimu yang asli memang seperti
apa?” tanya Haikal. Sebuah pertanyaan dadakan yang meluncur keluar dari
tenggorokannya. “apakah kamu mengetahui tentang dirimu sendiri?”
“diriku sendiri? Diriku yang asli
ya…” Rei berpikir sejenak, berusaha memahami bagian dirinya yang hilang.
“apa kamu sendiri juga tidak
tahu?”
Rei mengangguk.
Haikal tersenyum.
“memang tidak mudah untuk
mengenali diri sendiri. Itu hal dasar yang harus kamu kenali sebelum mengenal
orang lain”
“aku hanya mengingat diriku yang
dulu lebih hebat, lebih berani, lebih perkasa…”
“tapi kamu dulunya juga yang
paling cengeng, paling penakut, dan paling ceroboh…”
“seorang yang tidak ingin
mendapat luka apapun, sekaligus seorang yang ingin menerjang ke depan tak
peduli dengan berbagai luka yang ada”
“seorang yang tak peduli dan
tetap maju sejauh apapun rasa sakit yang di dapatnya”
Rei dan Haikal tersenyum. Tatapan
Rei yang kosong kini mulai terisi, matanya yang sayu perlahan kembali normal.
“namun orang seperti itu sudah
tidak ada lagi. Rasanya seperti… menjadi orang lain” – Rei.
“rasanya seperti tidak menjadi
diri sendiri, atau berubah menjadi diri yang lain?” – Haikal.
Rei menggeleng “diriku tetaplah
diriku”
“kamu benar…”
***
Waktu
bergulir semakin menjelaskan keberadaan kehidupan. Entah itu mengarah kepada
suatu hal suram atau kepada kebahagiaan. Usaha dan harapan yang kuat dalam
meraih cita-cita. Serta pengorbanan tanpa kenal lelah untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Tak bisa di pungkiri hal itu bisa lenyap hanya dengan sebuah
ketukan kecil dari dalam diri.
“perubahan itu apa selalu membawa
kepada kebaikan?” – Rei.
“Perubahan kadang membawa pada
kehancuran” – Haikal.
“bukankah lucu banyak orang
disana ingin sekali untuk berubah…”
“mereka berharap dengan perubahan
itu akan menjadi lebih baik”
“perubahan untuk menjadi lebih
baik? Atau justru kebaikan yang mereka khayalkan sebenarnya mengarah ke
kebaikan yang menjerumuskan?”
“aku tidak bisa menjawabnya”
Haikal memalingkan mukanya kebawah. Menatap rerumputan yang tumbuh di sekitar
tempat duduknya ”lagi pula, aku bukanlah orang yang berhak mengomentari
perubahan seseorang”
Rei terdiam.
Dalam
benak Rei masih memiliki tekad dan harapan untuk di capai di masa depan. Kemauan
kuat untuk mendapatkan impian yang telah lama di idam-idamkan. Berharap agar
terus bangkit sebanyak apapun dirinya terjatuh ke dalam jurang. Berharap masih
mampu berdiri walau beribu kali tubuhnya ambruk tertusuk panah.
“hidup … apakah sesulit itu?” –
Rei.
Haikal menggelengkan kepalanya.
“yang ada merekalah yang mempersulit diri”
“menurutmu… Bagaimana sikapmu
atas cara pandang orang lain?”
“mengapa kamu bertanya hal itu?”
“dari dulu aku tidak pernah terusik
seburuk atau sebaik apapun seseorang memandangku”
“lalu?”
“sekarang aku mulai merasa terusik
atas pandangan itu”
“apakah itu yang membuat beban di
dalam dirimu”
Rei mengangguk, berpikir bahwa hal
inilah yang membuatnya berubah.
“kalau dari pandanganku… kita
hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain”
“Maksudmu?”
Haikal tersenyum “Kita hidup sejatinya
untuk diri kita sendiri, termasuk setiap langkah yang kita bangun. Jika hidup
hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, jelas saja hidupmu serasa terkekang
karena sibuk memenuhi keinginan mereka terhadapmu”
Rei Paham. Sambil tersenyum
dirinya mulai memutuskan sesuatu “terimakasih”
Haikal tersenyum.
Rei ikut tersenyum.
Segala
yang diusahakan belum tentu akan berdampak pada perubahan. Yang dinilai
bukanlah hasil sementara yang ada di lapangan. Namun hasil akhir ketika
pertandingan itu telah selesai. Sejauh apapun, sekeras apapun seorang ingin
berubah dan beralih itu tidak menjadi masalah. Toh mereka akan mendapatkan
ganjaran sesuai dengan usaha yang mereka lakukan ketika bermain. Ketika waktu
itu masih berjalan.
“aku sekarang sadar, bukan hanya
soal orang lain. bahkan bukan hanya soal diri sendiri”
“kehadiran orang lain memang
penting, kehadiran diri juga sama penting, jadi mengapa kamu memilih untuk
berganti yang lain?”
“tidak ada yang lebih penting
dari pada hidup yang memiliki tujuan pasti”
“semua sudah ada jalannya.
Tinggal kita mau berjalan menyusurinya atau tidak”
Rei tersenyum, Haikal ikut
tersenyum. Sejauh ini mereka hanya bisa melihati diri mereka terus berubah digiring
oleh waktu. Bercanda, berkumpul, bermain, bertemu, dan berpisah. Diantaranya
mereka harus membuat keputusan untuk bersikap, di antaranya kadang harus
memperoleh suatu hal agar tetap ada, terus bersemangat dalam menempuh hari, dan
berharap waktu terakhir menjadi kemenangan manis.
Surakarta, 12 Maret 2020
M H A