Malas
Terdapat
sebuah benda yang ditakuti semua orang kecuali pemiliknya. Benda itu adalah
hasil pengumpulan zat kotor yang menempel pada silia. Bentuknya padat namun
bisa dibentuk jadi apa saja. Warnanya kuning keputih-putihan. Kadang warnanya
coklat dan bisa juga hitam. Namun yang paling sering adalah kuning. Dialah
upil. Tapi kita tidak sedang membahas tentang upil. Apalagi jika itu upil orang
lain.
Malas.
Adalah sebuah kata untuk orang yang sedang tak mau melakukan apapun. Katanya
malas adalah sebuah penyakit. Penyakit malas sering hinggap pada orang-orang
yang kurang kerjaan atau orang yang sebenarnya punya kerja, tapi tidak memiliki
semangat untuk melakukannya. Menurut Syamsuri. Seorang pelajar yang saat ini
sedang berada di bangku kelas 2 SMA menyangkal pendapat tersebut. “malas tak
selalu identik dengan kata sakit. Malas adalah sebuah gejala di saat pikiran
seseorang tidak bisa mengetahui manfaat apa yang ingin dikerjakannya sehingga
otak memilih untuk tidak mengerjakannya” katanya pada suatu waktu.
Menurut
kebanyakan orang yang ada di sekolahnya. Syamsuri termasuk orang yang pemalas.
Dia sering terlihat tidur saat pelajaran. Sering tidak mengikuti les tambahan.
Sering membolos saat ada ekstrakulikuler. Dan saat di suruh-suruh dia terkadang
juga enggan melakukannya. sampai-sampai di kelas Syamsuri, hal itu menjadi
bahan olok-olokan teman-temannya. Meskipun berulangkali dia menyangkalnya.
“aku ini bukan malas. Cuman.... aku hanya menghemat tenaga
dan pikiran dari hal-hal yang tidak penting”
Syamsuri adalah seorang yang mudah bergaul. dia tidak pernah memilih-milih
teman. Dan dirinya selalu bisa bersikap berbeda-beda sesuai dengan teman yang
ada di hadapannya. Dia tak selalu tertutup, meskipun Syamsuri selalu
menghindari kegiatan-kegiatan yang bersikap resmi seperti upacara atau rapat. Dia
juga tak pernah mengikuti kegiatan organisasi. Karena dia pikir bahwa kegiatan
tersebut sangat membosankan dan banyak menyita waktu.
Sepulang
dari sekolah, terlihat beberapa orang berkumpul di pinggiran pintu gerbang
sekolah. Terdiri antara beberapa anak laki-laki dan perempuan. Mereka adalah
siswa yang sangat aktif dengan kegiatan organisasi. Tak jarang mereka pulang
larut hanya untuk mengejar proker yang belum selesai. Syamsuri memiliki
beberapa firasat buruk saat ada seorang perempuan diantara mereka meliriknya.
Syamsuri yang saat itu sudah kebelet ingin pulang kerumahnya tiba-tiba di cegat
oleh seorang siswi yang meliriknya tadi.
“oi suri. Hari ini kamu nggak ada kerjaan kan?” kata
perempuan itu. Badannya lebih kecil dari Syamsuri. Rambutnya sebahu dan
berkulit sawo matang. Dilihat dari rupa-rupa capek dan senyum palsunya. Sudah
jelas jika dia barusan minum 3 botol krati*gdeng.
“nggak. Tapi kalau aku disuruh-suruh mendingan kamu cari
orang lain yang lebih pantas dari pada aku. Soalnya aku nggak mau
disuruh-suruh” Syamsuri masih saja dengan muka malesnya meskipun dia menyangkal
kalau tidak males, tapi memang bawaan dari lahir.
Perempuan yang berada di depannya memang berniat menyuruhnya
jadi kerja rodi. Eh jadi perkap. Perempuan itu terus memohon dengan alasan
sedang kekurangan orang. Tapi Syamsuri dengan upo yang masih di bibirnya
terus menolak permintaan perempuan itu. Lalu perempuan yang sudah capek
begadangan untuk membuat proker tersebut tersulut emosinya. “kalau kamu males
disuruh-suruh. Kalau besar kamu mau jadi apa!”
“jadi bosmu” jawabnya santai
“bos dengkulmu. Siapa juga yang mau jadi anak buahmu. Bosnya
aja malesnya kayak siput!”
“siput memang lambat. Tapi tetap bisa berjalan menuju ke arah
tujuannya”
“berisik!, pulang aja sono. Dasar pemalas” lalu perempuan itu
pergi sambil memaki. Syamsuri tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Lekas
dia kembali berjalan untuk pulang.
Entah
mengapa meski Syamsuri terlihat malas namun dia sangat aktif dalam pelajaran
bahasa inggris. Meski malas namun dia tak dijauhi temannya disebabkan sifat
baik yang dimilikinya. Jarang Syamsuri mengejek teman apalagi nama bapak
temannya. dan suatu waktu wanri merasa gelisah, kemudian segera datang
menghampiri Syamsuri. Wanri adalah teman sekelas Syamsuri yang bisa dibilang
cukup handal dalam bermain dota.
“bro, kamu sudah selesai ngerja’in PR B. Inggris belum?”
tanya si Wanri dengan nada penuh harap.
“udah sih. Kamu pilih cara praktis atau harus aku ajari?”
“yang praktis ajalah. Soalnya B. Inggris mau mulai habis bel
masuk nanti”
“oke” Syamsuri mengeluarkan buku catatan B. Inggris. Lalu dia
berikan buku itu kepada Wanri. Wanri merasa sangat bahagia dan mengucapkan
terimakasih. segera dia melihat sekeliling untuk mencari tempat yang cocok
untuk menyalin pekerjaan syamsuri.
“eh, aku juga mau pinjem”
“Lho, aku lupa kalau ada PR. Aku minjem habis kamu ya”
“aku juga, aku kurang setengah soal”
Para murid yang lain dengan cepat langsung mengantri untuk
meminjam buku Syamsuri.
Apakah hal
itu juga disebut malas? Tapi kenapa kebanyakan orang tidak begitu
mempermasalahkannya. Apa tugas dan perilaku itu berbeda sehingga mereka
membedakan kemalasan hanya dengan pandangan mereka sendiri. Padahal diri mereka
sendiripun terkadang juga malas meski mereka tidak mengetahui. Mengapa hanya
tidur dikelas dinyatakan malas. Dan orang yang meniru pekerjaan teman hanya
dikarenakan sudah berjuang menyalin tidak dikatakan malas? Padahal tadi malam
Syamsuri rela begadangan untuk mengerjakan soal tersebut. Mungkinkah penilaian
manusia sedangkal itu. Sedangkan mereka masih melakukan hal itu. Pikir Syamsuri.
Namun dalam hati. Kalau tidak dalam hati. Sudah dari tadi dia di tempeleng
temannya.
“orang-orang lain
berkata kalau aku malas? meskipun orang-orang yang mengataiku malas jarang
mengerjakan PR dan memilih untuk menjiplak jawabanku. Berarti dia lebih malas
dari orang malas karena menjiplak orang yang malas yang pernah di katainya
pemalas?”
Dan ada juga yang menyebut Syamsuri pemalas tingkat akut
karena tak mau berorganisasi. mekipun dirumah orang yang mengatai tadi
sholatnya bolong-bolong. Padahal Syamsuri di surau dekat rumahnya selalu berada
pada shaf terdepan. Apakah itu tidak di sebut malas? atau hal tersebut sudah
menjadi hal biasa. Syamsuri mulai merasa kebingungan. Mungkin benar kata
Syamsuri. “malas itu dikarenakan orang itu tidak tau manfaat dari apa yang
dikerjakannya sehingga otak lebih memilih untuk tidak mengerjakannya” katanya
lagi namun dibatin.
Di hari-hari yang lain. Sinar matahari
menerabas jendela kelas. Siang itu begitu panas sehingga membuat beberapa murid
merasa gerah. Ruangan kelas tidak ber-AC. Dan hanya tersedia dua kipas angin
yang tertempel di tembok kanan dan kiri ruangan. Saat itu, pak guru sedang
menerangkan tentang proses peleburan molekul zat atom. “anak-anak. Kalian harus
bisa memahami hakikat atom. Karena pasti materi ini nanti akan masuk UAS. Oleh
karena itu kalian mesti serius mempelajari kimia. Harus bersungguh-sungguh agar
nilai kalian nantinya bagus” kata-kata tersebut mungkin sudah sangat familiar
terdengar oleh telinga. Beberapa guru sering mengucapkannya walaupun hanya
diganti nama mata pelajarannya. Syamsuri juga sudah paham dengan kata-kata itu.
dia sudah mengerti tentang atom-atom meski Cuma beberapa. Lantas dia merasa
bosan dan dengan refleks sendiri. Dia tertidur pulas dengan kepala tertunduk di
atas meja. Di lain pihak murid-murid yang lain juga merasa bosan. Panasnya
cuaca juga membuat letih seluruh neuron dalam tubuh. Meski begitu, mereka tetap
mencoba mendengarkan di karenakan sang guru saat itu di notabenekan sebagai
guru yang galak.
“Plak!” hantaman penghapus hampir mengenai kepala Syamsuri.
Namun entah mengapa dengan cekatan, tangan Syamsuri berhasil menangkap
penghapus yang dilayangkan sang guru galak tersebut. Sehingga tidak sampai
mengenai kepalanya. Sedangkan para murid yang lain terkagum-kagum. seakan tidak
percaya dengan kegesitan Syamsuri yang dirasa itu Cuma kebetulan.
“Ada apa pak guru? Kok siang-siang panas begini main
lempar-lemparan”
Kata Syamsuri setengah sadar. Dia tau jika guru yang berada
di depannya adalah seorang guru galak yang berpredikat killer. Saat itu
juga dia masih sempat mengolet dan menggali emas meski sudah tidak ada emas.
Yang ada hanyalah semacam berbentuk cair yang ketika didapatkan langsung di
oserkan di bawah meja oleh Syamsuri. disaat sang guru kepalanya sudah
meluap-luap memikirkan siksaan apa yang cocok untuk anak ini. Syamsuri masih
merasa sangat santai sesantai embun dipucuk daun. Para murid yang mendengar
ataupun pura-pura dengar perkataan Syamsuri tidak habis pikir. Karena Syamsuri
dianggap terlalu berani.
“Syamm....surii !!! berdiri !” bentakan suara pak guru
menggelegar terdengar sampai radius gedung sekolah sebelah. Syamsuri dengan ketenangannya
lekas berdiri dari tempat duduknya.
“ya pak”
“apa kamu tahu kesalahanmu?” guru itu menahan amarah untuk
diledakkan di saat yang tepat. Sebuah spidol juga sudah berada di genggamannya.
“saya ketiduran pak. Soalnya cuaca panas. Sama materi bapak
membosankan dan tidak interaktif sehingga membuat otak kanan saya tidak
bekerja. Lalu menyuruh komponen syaraf otak yang saya miliki untuk tidur”
“Cklek!”spidol yang digenggam pak guru patah. Para murid membisu
dan ketakutan. Mulut mereka menganga mendengar ucapan Syamsuri yang semakin
berani. Suasana dalam ruangan yang panas semakin memanas oleh konflik yang
sedang berlangsung di dalam kelas. Beberapa murid menelan ludah kemudian mereka
pura-pura membaca materi di dalam buku pelajaran masing-masing. Seakan tak
ingin tahu lagi nasib Syamsuri kedepannya. Guru yang amarahnya sudah berada di
puncak tertinggi dengan langkah cepat mendatangi Syamsuri yang masih berdiri
tenang di depan kursi. Sang guru dengan keras menampar pipi kiri Syamsuri
“Plakk!” lalu pak guru itu berkata
“kamu kira, semua yang kamu bosani itu buruk buatmu. Tak
berguna untukmu. Bisa jadi yang kamu bosani itu bermanfaat bagimu kelak! Camkan
itu! dan kamu jangan pernah merasa sok keminter dan cuek dengan
pelajaran-pelajaran yang lainnya. Itu bisa menjadi penghambatmu untuk maju.
Ingat! Mencari ilmu itu dari pangkuan sampai ke liang lahat! Mengerti! kamu itu
Buka jimmy neutron! Jadi jangan berlagak pintar!”
Amarah pak guru begitu menggelora. Sampai murid-murid kelas
sebelah pada lari tunggang-langgeng, mengintip di luar jendela kelas
Syamsuri untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Syamsuri mengelus-elus pipinya yang masih terasa sakit . dia
mengambil nafas panjang dan dihembuskan lewat mulut. Mulutnya mulai terbuka.
Syamsuri lalu berbicara.
“pak guru. Saya ini memang hanya manusia. Dan sebagai manusia
biasa, saya juga memiliki keterbatasan. Tidak semua ilmu bisa saya serap. Tidak
semua yang ada di dunia ini bisa saya pahami. Saya memilih dan melakukan
sesuatu berdasarkan apa yang saya kuasai. saya melakukan sesuatu sesuai dengan
yang bisa saya lakukan untuk saya lakukan di masa mendatang nanti. Dan saya
juga mencoba meninggalkan sesuatu yang menurut saya itu bukan tempatku. Jadi
biarlah orang lain yang menempati. Sebagai seorang manusia biasa. Setiap orang
pasti memiliki kelebihannya di bidang masing-masing. Berarti itu tandanya bapak
tidak bisa memaksakan kelebihan yang bapak miliki kepada saya karena saya bukan
manusia super yang bisa mempelajari segalanya. Jadi mohon pengertian bapak.
Saya menghormati bapak dan tetap mengikuti pelajaran bapak. Namun dengan
hormat, saya tidak tertarik dengan pelajaran bapak. Maka dari itu disini saya
hanya ikut untuk mengejar nilai saya agar tidak dibawah KKM dan untuk
menggenapi nilai rapor saya agar tuntas”
Para murid di kelas tersebut serasa tak bisa bergerak. Tak
ada yang menyangka bila ada murid yang berani berkata seperti itu, apalagi
kepada guru killernya.
“jika memang anda tidak berniat untuk mengikuti pelajaran
saya. Kalau begitu silakan anda keluar dari kelas ini. Dan selamanya anda tidak
usah mengikuti pelajaran dari saya!”
“saya tidak bilang kalu saya tidak berniat. Saya sudah
memiliki niat belajar pelajaran bapak namun hanya sebatas mencukupi nilai
raport saya”
“kalau begitu nilai anda akan saya tulis KKM. Jadi kamu tidak
perlu risau. Jadi cepat pergi!”
“tapi itu perbuatan yang tidak jujur. Lebih baik saya masih
berjuang menggarap soal yang bapak berikan”
“lha maumu gimana. Sebelum saya suruh kamu tri-up 100 kali!”
“saya nggak masalah jika keluar dari kelas atau terkena
hukuman bapak. Saya juga ikhlas ditampar bapak tadi. Namun di waktu pelajaran
bapak yang akan datang mohon biarkan saya tidur jika memang itu membosankan.
Dan saya pastinya juga akan mendengarkan jika saya merasa tertarik. Jadi mohon
pengertiannya. Saya sekarang pamit keluar dulu”
Lalu Syamsuri melangkah keluar. Konflik sudah mereda. Para
murid yang melihat dari luar jendela lama kelamaan mulai bubar dan pada balik
ke kelas mereka masing-masing. Suasana kelas mulai terasa hening. Detikan jarum
jam terdengar disela-sela hembusan angin yang dihembuskan kipas angin. Panas sudah
tidak terasa, yang ada hanyalah ketegangan. Sang guru masih terdiam dan
pikirannya kacau oleh seorang murid. Sedangkan murid lain masih bungkam dan tak
ingin memikirkan kejadian ini lagi. Mereka menguburnya pada benak
masing-masing.
***
Syamsuri
sedang berada di dekat kantin sekolah. Dia menabahkan hati dan menenangkan
pikiran. “aku kena marah deh. Apa begini susahnya jadi orang yang jujur” sistem
yang sudah lama tertanam memang akan sangat susah dicabut. Syamsuri yang sudah
terlanjur berada dimana nilai mapel menjadi segalanya membuat dirinya
terbelenggu dengan sesuatu yang tidak disukainya “apa salahnya jika aku memilih
keinginanku sendiri. Dan belajar yang memang aku ingini. Apakah penjurusan Cuma
ada di kuliahan. Apakah dengan mempelajari semuanya membuat orang tidak dikatai
malas? buaknkah itu malah membuang-buang waktu?” dia masih bergumam dalam
batinnya. Dalam kesendiriannya.
Waktu
semakin berlalu dan Syamsuri masih berada dalam konsistensinya mengejar apa
yang sudah menjadi tujuannya, karena dia tahu, tak semuanya bisa dia miliki.
Dalam hari-hari yang penuh dengan cobaan. Dinginnya air menjadi senjata untuk
penyejuk jiwa. Di dalam ruangan yang tenang membuat Syamsuri melupakan hal-hal
yang memang harus dilupakan.
Langit putih
mendung berbalut dengan awan hitam. Dalam hitungan menit hujan sepertinya
akan segera datang. Ibu-ibu sudah pada
sibuk mengangkati jemuran. Lubang-lubang dijalanan yang menganga seakan sudah
siap kapanpun untuk menampung tetesan air sehingga menimbulkan genangan. Para
pengendara motor yang peka pasti sudah menepi di pinggiran jalan untuk
mengenakan mantelnya. Hari masih pagi menjelang siang. Kira-kira masih sekitar
pukul 10. Diruangan guru, seorang Guru yang berpredikat killer sedang
merasa letih sehabis mengajar dari kelas atas. Dia menyandarkan punggungnya ke
kursi sembari melihat suasana diluar yang sudah mulai gerimis. Seorang guru
lain saat itu juga sedang berada di sampingnya.
“sepertinya bapak kecape’an sekali hari ini. Apa tadi malem
ngelembur lagi?” tanya guru disampingnya sambil menyodorkan secangkir kopi
hitam yang aroma harumnya sudah tercium di hidung guru killer tersebut.
“enggak kok. Saya Cuma kepikiran waktu dapat kejadian tidak
mengenakkan dengan murid saya” sambil menerima kopi dari tangan temannya. Lalu
menyeruputnya pelan-pelan. Rasa panasnya kopi terasa pas disaat hujan lebat
sudah mulai menderu di luar ruangan.
“masalah apa pak?” tanya guru disebelahnya dengan rasa
penasaran
“apa kita harus tidak memaksa para murid untuk memakan materi
yang kita berikan. Dan membuat mereka semua untuk bisa memilih mata pelajaran
apa yang benar-benar mereka inginkan. Lalu menjadikan mereka menjadi beberapa
kelompok belajar. Dengan kata lain. Merubah sistem yang ada?”
“ah bapak ini. Ngapain mikir kayak gitu. Sekarang ini tugas
kita adalah membina para murid untuk mendapat nilai yang baik di rapot mereka.
Untuk membantu mereka memilih jurusan kuliah kedepannya. Dengan nilai nilai
yang cantik untuk perjuangan mereka merengkuh pendidikan yang lebih tinggi. Dan
juga untuk memperbaiki predikat sekolah kita ini. Biarlah sistem berjalan
seperti biasanya. Toh kita juga nggak usah susah-susah nambahin ini ngurangin
itu. yang penting kita masih dapet gaji untuk menafkahi keluarga. Jadi untuk
apa kita memikirin apa yang semestinya tidak usah dipikirin. Ya kan pak?” lalu
dia tertawa agak keras. Sambil menyeruput kopi yang sudah diseruput guru killer
tersebut.
Guru killer itu menganggukkan kepalanya namun dalam hatinya
dia tak terlalu setuju dengan pendapat tersebut. Dalam hatinya dia merasa
bertanggung jawab sebagai seorang guru yang kelak akan menyukseskan
murid-muridnya. Dia sadar jika banyak orang-orang diluar sana sehabis wisuda
menjadi pengangguran disana-sini. Lalu dia memikirkan murid yang berani
menentangnya. Serasa orang tersebut Cuma ada satu dari ribuan yang lain.
“apa mungkin para murid yang lain juga berpikiran hal yang
sama?”
Surkarta, 16 desember 2015
M Habib Amrullah