Rabu, 28 Desember 2016

Kumpulan cerpen; Ci(n)ta - ci(n)ta





Adakalanya cinta datang menjenguk sebongkah hati yang kosong. Mengisi ruangan-ruangan hampa, dengan segala macam keindahan yang sudah pernah terbayangkan sebelumnya. Cinta hanyalah sebuah benda abstrak, tetapi bisa dirasakannya dalam situasi dan kondisi tertentu. Cinta dapat mendongkrak segala macam bentuk kegalauan, membuat seorang yang tidak memiliki tujuan menjadi memiliki tujuan, menjadikan sang pemiliknya bahagia walau pun sedang sengsara. Cinta dapat menumbuhkan bunga-bunga sosial. Cinta bisa membuat seorang bisa berpikir lebih dewasa. Cinta selalu didambakan setiap orang akan kedatangannya. Namun cinta, cinta..... apa itu cinta? Apakah benar seperti itu adanya?

“hati-hati menjaga hati, taruhlah hati dengan hati-hati, pilihlah hati sesui kata hati, dan ingatlah selalu pemilik hati diatas rasa sukamu kepada hati-hati yang lain” kata seorang kakek tua berambut pank. Rupanya kakek itu adalah seorang mantan pank yang sudah bertaubat.

Anak yang sedang jatuh hati itu mengangguk paham. Dia tahu bahwa belum saatnya hati untuk meluapkan rasa kepada seorang di seberang sana. Mulutnya lebih memilih bungkam, dari berbagai perasaan yang bisa saja terlontar keluar dari dalam kerongkongannya.

“itu mungkin pilihan yang paling baik” gumamnya dalam hati.

Beberapa hari berlalu. Serasa ada suatu hal yang amat sangat menekan dalam relung hati yang paling dalam. rasa itu bagaikan panah yang hampir terlepas dari busur, jika lama tidak ditembakkan, bisa membuat tangan terasa keju. Begitulah yang dia rasakan. Hatinya keju, pikirannya kalut, segala aktivitasnya diisi dengan bayangan orang yang disukainya. Sangat mengganggu, bagi orang awam yang baru merasakan gejolak cinta selama hidupnya.

“ada apa denganku....” kini rasa itu semakin tidak bisa tahan. Saat itulah dia bertekad untuk mengungkapkan segala isi hati kepada si Dia. Tapi, apalah arti indahnya sebuah mawar, jika takut untuk mengambilnya disebabkan duri yang ada di tangkainya.

“kenapa aku sangat takut!” kini nyalinya menciut. Padahal orang yang di nanti sudah berada di sebuah bangku kosong di siang bolong. Kakinya gemetar tak berani lagi mendekat. Seakan ada sekat yang memisahkan antara dirinya dan seorang yang ada di sebelah sana.

“bukannya kamu memendam rasa padanya” sesekali dirinya menyemangati diri. Namun apa daya jika keringat dingin masih saja mengalir, terukir turun menghiasi ketiak yang mulai basah, menimbulkan bau tak sedap dikarenakan pagi tadi dia lupa untuk sabunan.

“dengan bau badan ini, tak mungkin aku berani untuk mendekatinya” kini dia lebih memilih untuk mengurungkan niat. Entah kenapa perasaan lega mulai merayap menetralkan degup jantung yang semenjak tadi bergejolak dengan brutal.

            Sebulan setelah dirinya jatuh hati kepada seorang perempuan, kini tanpa di duga sang perempuan sudah jadian dengan laki-laki yang lain. Setelah memastikan bahwa info itu benar, matanya mulai berkaca dan timbulah rasa penyesalan yang amat mendalam. Pilu dan amarah bercampur aduk. Hatinya terguncang bagai gempa yang meluluh lantakkan bangunan perasaan yang selama sebulan ini telah dia bangun dengan sangat kokoh.

            Batinnya menjerit, dadaya terasa sesak, seluruh tubuhnya menggigil ketika melihat si Dia sedang makan bareng bersama pasangannya di warteg terdekat. Dia tak tahan melihat orang lain merenggut pujaan hatinya. Namun semua sudah terlanjur terjadi, kini dia menyalahkan diri disebabkan dulu tidak berani mengungkapkan isi hati. Lalu dia menangis. Merasa frustasi dengan segala hal yang sudah terukir. Sekarang dia lebih memilih untuk mengurung diri dalam kamar, menunggu hatinya pulih dari derita yang telah membuatnya menderita.

            Cinta itu indah, jika sudah dimiliki. Cinta itu sakit, jika terlepas dari diri. Cinta itu untuk pemuas diri, bagi orang yang tidak tahu diri. Cinta itu tak kekal, karena suatu hari, kita pun juga akan berpisah dengannya. Namun, jarang seorang mencari cinta yang kekal. Jika berdalih sudah menemui, mengapa masih belum sadar dengan panggilan dari-Nya setiap lima kali dalam sehari. Kalau toh datang ke tempat-Nya, kebanyakan datang tepat waktu masbuk atau disaat panggilan terakhir.

“sudah dua hari semenjak Gading bolos sekolah. Apa sekarang dia masih galau gara-gara si Doi di embat sama orang yang paling populer se-saentro sekolah kita?” kata salah seorang teman gading yang sedang berdiskusi perihal Gading.

“mungkin saja. Tapi menurut pendapat saya, jika di sepadankan dengan laki-laki itu, si gading memang kalah telak” sahut salah seorang lagi temannya, memberikan sebuah kesimpulan yang begitu mak jleb.

“ada-ada saja si Gading ini, secinta apa sih dia sampai nggak masuk sekolah selama dua hari. Gara-gara itu, aku nggak bisa dapat hutangan lagi” Sujuki terlihat amat kesal karena tidak bisa jajan.

            Di rumah orang tuanya Gading. Orang tua gading merajuk karena sudah empat hari si Gading mengurung diri dalam kamar. Dia keluar kamar hanya untuk mengambil makan, lalu masuk lagi dalam kamar sampai batas waktu makan berikutnya. Kepala sekolah sudah berkali-kali menelpon bapaknya Gading, menanyakan alasan anaknya tidak masuk sekolah beberapa hari ini. Dan kini kesabaran sang ibu sudah tidak bisa di bendung. Pintu yang memisahkan antara kamar Gading dan dunia luar di tendang sekencang-kencangnya oleh sang ibu. Menimbulkan suara keras yang membuat pintu itu jebol untuk selama pintu itu belum di perbaiki. Gading saat itu sedang tergeletak tak berdaya di lantai. Matanya memerah karena masih meratapi keperihan hati yang selama ini dia rasakan.

“NGAPAIN KAMU NGGAK SEKOLAH HAH!!!” bentak sang ibu, menumpahkan segala emosi yang ada, disebabkan rasa sayang yang masih ada, yang ada pada hatinya yang sudah ada. “jika kamu malas sekolah, waktu besar kamu mau jadi apa!”  tambah beliau. Badan Gading di seret sampai kamar mandi, badannya disiram beberapa kali agar dia mau berangkat ke sekolah lagi.

            Setelah di kebiri beberapa saat, Gading pun akhirnya mau berangkat ke sekolah. Dengan muka memelas, kakinya dengan sangat berat melangkah menuju sekolah. Satu jam kemudian, akhirnya dirinya sampai juga di sekolah dengan telat. Ketika memasuki pintu kelas, teman-temannya beserta guru sangat kaget melihat Gading yang terlihat seperti mayat berjalan.

“Masya Allah Gading... saya kira kamu sudah mati kemarin” kata sang guru. Seketika seisi kelas terpaksa tertawa. Karena jika tidak tertawa, mereka akan mendapati nilai rapor mereka berisi nilai nol besar.

“ayo cepat duduk di mejamu! Jika tidak, celanamu bisa bolong” sang guru kembali melucu. Membuat para murid kembali tertawa dengan nelangsa. Gading pun duduk di mejanya. Tidak dibangku, karena saat ini bangkunya sedang digunakan untuk menyangga papan tulis. Alhasil dirinya duduk di meja, hal ini sama sekali tidak di pedulikan oleh sang guru, disebabkan sang guru sangat membutuhkan kursi itu.

            Melihat Gading yang masih bermuram durja, membuat teman sebelahnya, Sujuki tergerak hatinya.

“Hei Ding. Apa kamu belum bisa melupakan si Dia yang telah di embat si Dia?” Sujuki bertanya dengan perasaan kasihan.

Gading hanya menggeleng tak berdaya. Sambil mulutnya komat-kamit, bukannya berdzikir, tetapi malah menyebut nama  si Doi.

“galau terus begini tidak baik untuk kesehatan jiwa lho Ding. Jika kamu gila, nanti aku nggak punya tempat untuk ngutang lagi. Jadi kamu harus segera move on dan melupakannya”

“tapi aku sangat mencintainya” katanya dengan perasaan yang amat dalam

“ayolah, masih banyak perempuan yang lebih baik”

“tapi Dia sudah lebih baik”

“makanya, cari yang lebih baik. Kamunya yang tidak mau mencari, sehingga kamu beranggapan jika dia masih yang terbaik, padahal masih banyak perempuan lain yang baik”

“tapi rasaku padanya bagai lem alteko, sangat rekat dan sulit untuk di lepas”

“tapi apalah dikata jika dia sudah ada yang punya. Dalam masalah cinta tak kekal, menang kalah itu biasa, maka dari itu lupakan sajalah dia”

“Tidak bisa!!!” Gading menjerit. Membuat seisi kelas tergerak untuk memandangnya. Karena merasa diperhatikan oleh banyak orang, Gading akhirnya memilih untuk keluar dari kelas. Mencari tempat yang sepi, untuk menjauhi segala keramaian yang semakin memperkeruh pemikirannya.

“Gading! Mau pergi kemana kamu! Kamu lupa untuk membawa sabun” kata Pak guru. Seisi kelas kembali diisi dengan gelak tawa. Gelak tawa beneran. Bukan disebabkan ucapan sang guru, namun mereka tertawa gara-gara Gading terbentur pintu kelas. Yah, dia lupa untuk membuka pintu itu. Dan langsung saja dengan kecepatan tinggi menabrak pintu itu. Pikiran itu membuatnya begitu, sampai dirinya tidak berpikir sebelum keluar untuk membuka pintu terlebih dulu.

Gading sudah tersadar dari ketidak sadaran. Kepalanya masih terasa sakit. Tangannya ia gunakan untuk mengurut keningnya yang benjol. Sebotol isotonik telah tersedia di meja dekat kasurnya berada. Matanya berputar-putar menerawang ruangan yang sekarang sedang di tempatinya.

“UKS....” kini Gading masih terbaring. Badannya tak kuat hanya untuk sekedar duduk. Jadi dia memilih untuk tetap terbaring di kasur. Bau iler para murid terdahulu masih tercium pada bantal yang saat ini dia gunakan. Namun masa bodoh memikirkan hal itu disaat sekarang ia sangat membutuhkan bantal tersebut.

            Bel pulang sekolah berbunyi. Gading masih berada disana, terbaring dengan lamunan yang tercipta dari imajinasinya. Dahinya sudah diberi semacam balsem, sehingga tinggal menunggu beberapa waktu sampai benjolan itu mengempis. Gading kebelet pipis. Dengan tenaga yang tersisa, badannya digerakkan menuju kamar mandi yang tidak jauh dari ruangan uks. Setelah selesai melakukan hal yang harus dilakukan, kini saatnya Gading kembali pulang dengan perasaan murung, sama seperti ketika dia datang ke sekolah.

“kan sudah embah bilangin Ding agar hati-hati menjaga hati” sahut salah seorang tua yang membuat Gading menghentikan langkahnya menuju rumah.

Wajahnya ditolehkan ke arah kanan. Dilihatnya seorang kakek berambut pank,

“Simbah” kata gading dengan lirih. Simbah itu mengisyaratkan agar gading mendekat untuk duduk bersamanya.

“ayo kemarilah” lekas Gading ikut duduk bersama dengan simbah itu.

            Beberapa jam berlalu sambil simbah itu terus memberikan wejangan kepada anak muda itu. Wajahnya yang semula tertunduk lama-kelamaan terangkat. Hatinya yang durja perlahan-lahan baikan. Segala rasa yang selama ini membelenggu seperti rantai kemudian terlepas dari setiap sendi lahiriahnya. Kepercayaan diri mulai muncul dengan cahaya yang mulai bersinar dari dalam mata Gading. Kata-kata dari si simbah rupanya membuat Gading akhirnya tau akan hakikat cinta yang sebenarnya.

Mawar itu merah, violet itu biru. Kecintaan adalah sebuah unsur yang melebihi rasa suka sekalipun. dawai yang bergetar lama kelamaan akan terhenti. Suatu yang berawal pasti akan memiliki akhir. Namun, cinta haruslah tertuju pada suatu maksud yang abadi. Oleh karena itu, hendaknya tidak mencintai hati lain melebihi dari sang pemilik hati.

“mungkin kamu bisa mengerti maksud saya ini” sahut simbah, mengakhiri perbincangannya.

28 Desember 2016

M         H          A

0 komentar:

Posting Komentar