Adakalanya cinta datang menjenguk
sebongkah hati yang kosong. Mengisi ruangan-ruangan hampa, dengan segala macam
keindahan yang sudah pernah terbayangkan sebelumnya. Cinta hanyalah sebuah
benda abstrak, tetapi bisa dirasakannya dalam situasi dan kondisi tertentu.
Cinta dapat mendongkrak segala macam bentuk kegalauan, membuat seorang yang
tidak memiliki tujuan menjadi memiliki tujuan, menjadikan sang pemiliknya
bahagia walau pun sedang sengsara. Cinta dapat menumbuhkan bunga-bunga sosial.
Cinta bisa membuat seorang bisa berpikir lebih dewasa. Cinta selalu didambakan
setiap orang akan kedatangannya. Namun cinta, cinta..... apa itu cinta? Apakah
benar seperti itu adanya?
“hati-hati menjaga hati, taruhlah hati dengan hati-hati,
pilihlah hati sesui kata hati, dan ingatlah selalu pemilik hati diatas rasa
sukamu kepada hati-hati yang lain” kata seorang kakek tua berambut pank.
Rupanya kakek itu adalah seorang mantan pank yang sudah bertaubat.
Anak yang sedang jatuh hati itu mengangguk paham. Dia tahu
bahwa belum saatnya hati untuk meluapkan rasa kepada seorang di seberang sana. Mulutnya
lebih memilih bungkam, dari berbagai perasaan yang bisa saja terlontar keluar
dari dalam kerongkongannya.
“itu mungkin pilihan yang paling baik” gumamnya dalam hati.
Beberapa hari berlalu. Serasa ada
suatu hal yang amat sangat menekan dalam relung hati yang paling dalam. rasa
itu bagaikan panah yang hampir terlepas dari busur, jika lama tidak
ditembakkan, bisa membuat tangan terasa keju. Begitulah yang dia rasakan.
Hatinya keju, pikirannya kalut, segala aktivitasnya diisi dengan bayangan orang
yang disukainya. Sangat mengganggu, bagi orang awam yang baru merasakan gejolak
cinta selama hidupnya.
“ada apa denganku....” kini rasa itu semakin tidak bisa
tahan. Saat itulah dia bertekad untuk mengungkapkan segala isi hati kepada si
Dia. Tapi, apalah arti indahnya sebuah mawar, jika takut untuk mengambilnya
disebabkan duri yang ada di tangkainya.
“kenapa aku sangat takut!” kini nyalinya menciut. Padahal
orang yang di nanti sudah berada di sebuah bangku kosong di siang bolong.
Kakinya gemetar tak berani lagi mendekat. Seakan ada sekat yang memisahkan
antara dirinya dan seorang yang ada di sebelah sana.
“bukannya kamu memendam rasa padanya” sesekali dirinya
menyemangati diri. Namun apa daya jika keringat dingin masih saja mengalir, terukir
turun menghiasi ketiak yang mulai basah, menimbulkan bau tak sedap dikarenakan
pagi tadi dia lupa untuk sabunan.
“dengan bau badan ini, tak mungkin aku berani untuk
mendekatinya” kini dia lebih memilih untuk mengurungkan niat. Entah kenapa
perasaan lega mulai merayap menetralkan degup jantung yang semenjak tadi
bergejolak dengan brutal.
Sebulan
setelah dirinya jatuh hati kepada seorang perempuan, kini tanpa di duga sang
perempuan sudah jadian dengan laki-laki yang lain. Setelah memastikan bahwa
info itu benar, matanya mulai berkaca dan timbulah rasa penyesalan yang amat mendalam.
Pilu dan amarah bercampur aduk. Hatinya terguncang bagai gempa yang meluluh
lantakkan bangunan perasaan yang selama sebulan ini telah dia bangun dengan
sangat kokoh.
Batinnya
menjerit, dadaya terasa sesak, seluruh tubuhnya menggigil ketika melihat si Dia
sedang makan bareng bersama pasangannya di warteg terdekat. Dia tak tahan
melihat orang lain merenggut pujaan hatinya. Namun semua sudah terlanjur
terjadi, kini dia menyalahkan diri disebabkan dulu tidak berani mengungkapkan
isi hati. Lalu dia menangis. Merasa frustasi dengan segala hal yang sudah terukir.
Sekarang dia lebih memilih untuk mengurung diri dalam kamar, menunggu hatinya
pulih dari derita yang telah membuatnya menderita.
Cinta itu
indah, jika sudah dimiliki. Cinta itu sakit, jika terlepas dari diri. Cinta itu
untuk pemuas diri, bagi orang yang tidak tahu diri. Cinta itu tak kekal, karena
suatu hari, kita pun juga akan berpisah dengannya. Namun, jarang seorang
mencari cinta yang kekal. Jika berdalih sudah menemui, mengapa masih belum
sadar dengan panggilan dari-Nya setiap lima kali dalam sehari. Kalau toh datang
ke tempat-Nya, kebanyakan datang tepat waktu masbuk atau disaat panggilan
terakhir.
“sudah dua hari semenjak Gading bolos sekolah. Apa sekarang
dia masih galau gara-gara si Doi di embat sama orang yang paling populer
se-saentro sekolah kita?” kata salah seorang teman gading yang sedang
berdiskusi perihal Gading.
“mungkin saja. Tapi menurut pendapat saya, jika di sepadankan
dengan laki-laki itu, si gading memang kalah telak” sahut salah seorang lagi
temannya, memberikan sebuah kesimpulan yang begitu mak jleb.
“ada-ada saja si Gading ini, secinta apa sih dia sampai nggak
masuk sekolah selama dua hari. Gara-gara itu, aku nggak bisa dapat hutangan
lagi” Sujuki terlihat amat kesal karena tidak bisa jajan.
Di rumah
orang tuanya Gading. Orang tua gading merajuk karena sudah empat hari si Gading
mengurung diri dalam kamar. Dia keluar kamar hanya untuk mengambil makan, lalu
masuk lagi dalam kamar sampai batas waktu makan berikutnya. Kepala sekolah
sudah berkali-kali menelpon bapaknya Gading, menanyakan alasan anaknya tidak
masuk sekolah beberapa hari ini. Dan kini kesabaran sang ibu sudah tidak bisa
di bendung. Pintu yang memisahkan antara kamar Gading dan dunia luar di tendang
sekencang-kencangnya oleh sang ibu. Menimbulkan suara keras yang membuat pintu
itu jebol untuk selama pintu itu belum di perbaiki. Gading saat itu sedang
tergeletak tak berdaya di lantai. Matanya memerah karena masih meratapi
keperihan hati yang selama ini dia rasakan.
“NGAPAIN KAMU NGGAK SEKOLAH HAH!!!” bentak sang ibu,
menumpahkan segala emosi yang ada, disebabkan rasa sayang yang masih ada, yang
ada pada hatinya yang sudah ada. “jika kamu malas sekolah, waktu besar kamu mau
jadi apa!” tambah beliau. Badan Gading
di seret sampai kamar mandi, badannya disiram beberapa kali agar dia mau
berangkat ke sekolah lagi.
Setelah di
kebiri beberapa saat, Gading pun akhirnya mau berangkat ke sekolah. Dengan muka
memelas, kakinya dengan sangat berat melangkah menuju sekolah. Satu jam
kemudian, akhirnya dirinya sampai juga di sekolah dengan telat. Ketika memasuki
pintu kelas, teman-temannya beserta guru sangat kaget melihat Gading yang
terlihat seperti mayat berjalan.
“Masya Allah Gading... saya kira kamu sudah mati kemarin”
kata sang guru. Seketika seisi kelas terpaksa tertawa. Karena jika tidak
tertawa, mereka akan mendapati nilai rapor mereka berisi nilai nol besar.
“ayo cepat duduk di mejamu! Jika tidak, celanamu bisa bolong”
sang guru kembali melucu. Membuat para murid kembali tertawa dengan nelangsa.
Gading pun duduk di mejanya. Tidak dibangku, karena saat ini bangkunya sedang
digunakan untuk menyangga papan tulis. Alhasil dirinya duduk di meja, hal ini
sama sekali tidak di pedulikan oleh sang guru, disebabkan sang guru sangat
membutuhkan kursi itu.
Melihat
Gading yang masih bermuram durja, membuat teman sebelahnya, Sujuki tergerak
hatinya.
“Hei Ding. Apa kamu belum bisa melupakan si Dia yang telah di
embat si Dia?” Sujuki bertanya dengan perasaan kasihan.
Gading hanya menggeleng tak berdaya. Sambil mulutnya
komat-kamit, bukannya berdzikir, tetapi malah menyebut nama si Doi.
“galau terus begini tidak baik untuk kesehatan jiwa lho Ding.
Jika kamu gila, nanti aku nggak punya tempat untuk ngutang lagi. Jadi kamu
harus segera move on dan melupakannya”
“tapi aku sangat mencintainya” katanya dengan perasaan yang
amat dalam
“ayolah, masih banyak perempuan yang lebih baik”
“tapi Dia sudah lebih baik”
“makanya, cari yang lebih baik. Kamunya yang tidak mau
mencari, sehingga kamu beranggapan jika dia masih yang terbaik, padahal masih
banyak perempuan lain yang baik”
“tapi rasaku padanya bagai lem alteko, sangat rekat dan sulit
untuk di lepas”
“tapi apalah dikata jika dia sudah ada yang punya. Dalam
masalah cinta tak kekal, menang kalah itu biasa, maka dari itu lupakan sajalah
dia”
“Tidak bisa!!!” Gading menjerit. Membuat seisi kelas tergerak
untuk memandangnya. Karena merasa diperhatikan oleh banyak orang, Gading
akhirnya memilih untuk keluar dari kelas. Mencari tempat yang sepi, untuk
menjauhi segala keramaian yang semakin memperkeruh pemikirannya.
“Gading! Mau pergi kemana kamu! Kamu lupa untuk membawa
sabun” kata Pak guru. Seisi kelas kembali diisi dengan gelak tawa. Gelak tawa
beneran. Bukan disebabkan ucapan sang guru, namun mereka tertawa gara-gara
Gading terbentur pintu kelas. Yah, dia lupa untuk membuka pintu itu. Dan
langsung saja dengan kecepatan tinggi menabrak pintu itu. Pikiran itu
membuatnya begitu, sampai dirinya tidak berpikir sebelum keluar untuk membuka
pintu terlebih dulu.
Gading sudah tersadar dari ketidak
sadaran. Kepalanya masih terasa sakit. Tangannya ia gunakan untuk mengurut
keningnya yang benjol. Sebotol isotonik telah tersedia di meja dekat kasurnya
berada. Matanya berputar-putar menerawang ruangan yang sekarang sedang di
tempatinya.
“UKS....” kini Gading masih terbaring. Badannya tak kuat
hanya untuk sekedar duduk. Jadi dia memilih untuk tetap terbaring di kasur. Bau
iler para murid terdahulu masih tercium pada bantal yang saat ini dia gunakan.
Namun masa bodoh memikirkan hal itu disaat sekarang ia sangat membutuhkan
bantal tersebut.
Bel pulang
sekolah berbunyi. Gading masih berada disana, terbaring dengan lamunan yang
tercipta dari imajinasinya. Dahinya sudah diberi semacam balsem, sehingga
tinggal menunggu beberapa waktu sampai benjolan itu mengempis. Gading kebelet
pipis. Dengan tenaga yang tersisa, badannya digerakkan menuju kamar mandi yang
tidak jauh dari ruangan uks. Setelah selesai melakukan hal yang harus
dilakukan, kini saatnya Gading kembali pulang dengan perasaan murung, sama
seperti ketika dia datang ke sekolah.
“kan sudah embah bilangin Ding agar hati-hati menjaga hati”
sahut salah seorang tua yang membuat Gading menghentikan langkahnya menuju
rumah.
Wajahnya ditolehkan ke arah kanan. Dilihatnya seorang kakek
berambut pank,
“Simbah” kata gading dengan lirih. Simbah itu mengisyaratkan
agar gading mendekat untuk duduk bersamanya.
“ayo kemarilah” lekas Gading ikut duduk bersama dengan simbah
itu.
Beberapa jam
berlalu sambil simbah itu terus memberikan wejangan kepada anak muda itu.
Wajahnya yang semula tertunduk lama-kelamaan terangkat. Hatinya yang durja
perlahan-lahan baikan. Segala rasa yang selama ini membelenggu seperti rantai
kemudian terlepas dari setiap sendi lahiriahnya. Kepercayaan diri mulai muncul
dengan cahaya yang mulai bersinar dari dalam mata Gading. Kata-kata dari si
simbah rupanya membuat Gading akhirnya tau akan hakikat cinta yang sebenarnya.
Mawar itu merah, violet itu biru. Kecintaan
adalah sebuah unsur yang melebihi rasa suka sekalipun. dawai yang bergetar lama
kelamaan akan terhenti. Suatu yang berawal pasti akan memiliki akhir. Namun, cinta
haruslah tertuju pada suatu maksud yang abadi. Oleh karena itu, hendaknya tidak
mencintai hati lain melebihi dari sang pemilik hati.
“mungkin kamu bisa mengerti maksud saya ini” sahut simbah, mengakhiri
perbincangannya.
28 Desember 2016
M H A
0 komentar:
Posting Komentar