Minggu, 06 November 2016

kumpulan cerpen; Hujan



Hujan turun amat deras. Langit hitam tertutup mendung. Petir menyambar disusul suara guntur. Gelegarnya amat keras sampai membuat orang memilih bersedekap dalam selimut. Saat itu, kubik air sudah mulai merendam beberapa petak sawah warga. Membuat para pemilik sawah menangis karena tidak bisa memanen biji padi yang sebenarya sudah menguning.

Hujan begitu lebat. Banyak orang yang memilih untuk tidak keluar dari rumah. Sudah banyak jalan-jalan yang tergenang. Karena proses irigasi selokan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

            Udara semakin dingin. Angin kencang berhembus merontokkan dahan dan ranting. Daun-daun kering terjatuh. Terhampar di sepanjang jalanan yang berlubang, dan hanyut oleh arus air yang mengalir. Arus air itu sudah mulai meluap memenuhi ruas jalan. Itu adalah saat paling berbahaya bagi para pengendara. Bukan cuma kendaraan mereka yang mogok. Tapi mereka juga bisa terjerembab dalam lubang-lubang di sepanjang jalanan yang tergenang oleh air.

            Sudah tiga hari, dan hujan tidak kunjung berhenti. Banyak orang yang merasa sedih karena belum bisa menjemur pakaian. Terutama bagi orang yang membuka jasa laundry. Mereka sampai memilih mengosok pakaian yang masih basah. Kalau tidak, mereka akan meng-kipas angini pakaian itu. Suasana terlihat sama seperti sore walau saat siang hari sekalipun. Lalu, berbagai macam penyakit mulai banyak menyerang manusia yang sistem imunnya kurang. Sehingga banyak dari para pelajar yang izin ke sekolah karena sakit.

Kenapa hujan bisa turun selama ini? hal ini bisa menimbulkan banjir yang amat tinggi. namun kini aku menemukan si Kuldi. belum lama ini, dirinya mendapati bisa berbicara. tapi bukan bicara biasa. Dia mengeklaim bisa berbicara dengan alam. Kini dia sedang termenung. Hujan telah membuatnya jadi basah kuyup. Sepertinya sekarang dia sedang berinteraksi dengan alam. Kulihat tubuh Kuldi sudah menggigil. Kulitnya putih pucat dengan kerutan-kerutan di ujung jemarinya. Tapi dia tidak pedulikan itu. saat ini dia sedang konsentrasi mendengarkan perkataan alam. Apakah itu? aku juga tidak tahu. tapi aku melihatnya begitu khusyu’. Entah sejak kapan dirinya berada disitu?. Tapi aku melihatnya berdiri disini sejak kemarin. Sudah barang tentu. Bisa jadi dia sudah berada disana sebelum hujan deras ini bermulai. Akhirnya aku memilih untuk mendekat. Aku tak berniat mengganggu. Tapi apalah dikira jika memang penyebab hujan ini itu dia. Pasti akan aku hentikan sekarang ini juga.

“Permisi” kataku sambil berdiri di depannya. Matanya sedang terpejam. Bibirnya sudah membiru. Menandakan jika panas tubuhnya sudah banyak yang hilang berganti dingin. Tapi. rupanya Dia masih bakoh juga.
“Hei, Kuldi....” sahutku kembali. Dengan suara yang lebih keras dari yang tadi.
“Kuldi!?” sahutku kembali. Tapi Kuldi tidak merespon. Akhirnya aku memilih jalan terakhir.
‘PLAAK!’ aku menampar pipinya. Kuldi akhirnya tersadar.
“uh, ah, oh... pak... pak RT?”
“kamu itu ngapain to hujan-hujanan disini. Emang sudah berapa lama kamu disini?”
“baru tiga hari kok pak”
“tiga hari kok baru. Nanti kalau kamu mati, saya juga kan yang repot. Apalagi utangmu yang 50.000 belum kamu lunasi. Kalau mau mati, lunasi dulu utangmu”
“siap pak RT” dia cengar cengir sambil memamerkan gigi yang tak pernah digosok.
“sudah, kamu pulang dan berbenah diri sana”
“ya, pak. Tapi ijinkan saya untuk menyampaikan salam perpisahan sama hujan ini”
“terserahlah. Lagian saya juga nggak ngerti apa yang kamu lakukan. Kamu gila atau waras saja masih fifty-fifty”
Dia hanya cengengesan
“ya sudah. Saya mau nganterin popok anak saya dulu”
“ya pak”
Lalu aku melangkah pergi. Meninggalkan Kuldi yang masih termenung. Dan tak berapa lama, hujanpun berhenti.
***

            Langit kembali cerah. Banjir sudah berangsur turun. Sudah serasa amat lama aku tidak melihat matahari terbit dari ufuk timur. Jadi kangen. Mungkin akibat hujan yang melibas daerah ini sampai tiga hari lamanya. Dan untuk merayakan kehadiran matahari ini. aku berniat untuk berolahraga di pagi hari ini. sekalian jalan santai untuk memutari dusun ini. lagian, hal ini juga berfungsi untuk meregangkan otot-otot badanku yang kini mulai kaku bak paku.   
        
Kini aku mulai berjalan. Ternyata, para warga juga banyak yang bahagia dan keluar dari rumahnya. Sepertinya mereka merasa bosan sudah mengurung diri lama di rumah. Dan ini adalah hari minggu. Hari yang cocok bagi mereka yang ingin bersantai sambil merasakan hangatnya matahari pagi.

            Dijalanan, aku tak mengira akan ada banyak sekali warga yang menyapa.
“jalan-jalan nih pak RT” kata salah satu mpok-mpok yang sedang menyiram tanaman di depan rumahnya.
“iya buk” sahutku
“eh pak RT, istrinya nggak di bawa sekalian?” kata sesepuh kampung ini
“baru sibuk masak di rumah pak Haji” sahutku
“ya ampuun. Pak RT rajin banget” kata anak perempuan se-usia remaja. Mereka sedang berkerumpul membentuk sebuah kelompok. Rupanya mereka mau jalan-jalan.
 “kalau nggak rajin nggak jadi RT dek” sahutku. Seadanya.

            Lelah juga rasanya kaki ini. mungkin ini sudah setengah putaran dari dusun sebelum sampai ke rumahku. Mungkin karena akhir-akhir ini aku jarang berolahraga. Sehingga membuat badanku kaku semua. Peluh juga sudah membasahai kaos putih yang aku kenakan. Panas matahari sudah mulai terik. Aku tekadkan lagi berjalan agar cepat selesai. Tapi tiba-tiba aku melihat seseorang di depanku. berlari penuh ketergesaan. Aku menatapnya lekat-lekat. Oh, aku kenal dia. Dia Pak Srimo. Salah satu sekretariat di kampung ini.  Dan sampailah dia di hadapanku dengan nafasnya yang masih memburu.

“Pak RT.... anu...... pak.... dia..... Pak RT.... anu....... ”
“stop..stop..stop.... tenang dulu. tarik nafas dalam-dalam”
Dia memeragakan seperti apa yang aku katakan
“lalu hembuskan perlahan”
Dia kembali memeragakannya. Itu dia lakukan sampai tiga kali. setelah merasa tenang. akhirnya aku mengijinkannya untuk berbicara kembali.
“ada masalah apa to sampai buru-buru mencari saya”
“ini GAWAT pak RT” katanya setengah melotot
“gawat gimana?” aku mulai khawatir
“itu pak. Istri bapak!”
“ada apa dengan istri saya!!” suaraku lekas meninggi mengetahui ada sesuatu dengan istriku
“eh, maksudnya Putri bapak!”
“mana yang bener. Istri apa putri!?” aku melihatnya masih terlihat linglung
“Putri” katanya mantap
“ya. Ada apa dengan putri saya?”
“eh. Putri bapak apa istri bapak ya?” dia menggaruk kepala. Berusaha mencari ingatan dari garukan yang ia lakukan
“AAH..... kamu membuat kemarahanku meletup-letup. Istri saya atau Putri saya!!!” aku mulai geram melihat tingkah Pak Srimo yang bikin geregetan.
Karena dia masih befikir amat lama. Akhirnya aku memilih meninggalkannya di tempat dan lekas berkunjung ke rumah untuk memastikan istri dan putriku. Aku takut. Jangan-jangan ada masalah dengan ke dua-duanya.

            Tanganku segera membuka pintu rumah. Aku lekas berlari menuju dapur tempat istriku memasak. Aku mendapati dia tak ada di sana. Aku melihat kamar putriku namun dia juga tidak ada di sana.
“kemana mereka-mereka ini” kepalaku jadi pusing tujuh keliling. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. akhirnya aku memilih untuk bertanya pada tetangga.
“Pak Jarmo. Apa bapak tahu istri dan anak saya?”
“emhh... saya tadi di dalam rumah terus pak. Nggak tahu istri dan anak jenengan. Memangnya ada apa pak RT?”
“itu. waktu saya tinggal olahraga. Tiba-tiba mereka hilang begitu saja dari rumah. Padahal jika ingin pergikan harusnya izin dulu sama suami. Tapi ini malah sudah kelewatan. Pergi nggak bilang-bilang”
Lalu aku berpamitan untuk mencari informasi dari yang lainnya. Aku mulai mengunjungi tetangga yang lain. Namun suasana pagi ini lekas berubah. Angin berhembus kencang. Langit yang tadinya cerah kini mulai tertutup awan hitam. Apakah hujan akan turun lagi? dan benar. tanpa ada gerimis. Hujan lebat lekas mengguyur dengan deras. Petir bergeliat susul menyusul membuahkan guntur yang dahsyat. Para ibu-ibu dengan cekatan mengentasi jemurannya yang baru saja di jemur kurang dari tiga jam. Aku lekas mencari tempat menepi. Namun aku berubah pikiran dan memilih untuk berlari menuju rumah. Disana aku mengambil payung yang biasa aku pakai untuk menangkal tetesan hujan. Kini aku kembali keluar. Pintu ku sibak. Tamparan air dan angin langsung menyapaku dari pintu. Lekas aku berjalan kembali ke tetangga-tetangga menanyakan keberadaan istriku.
‘tok...tok...tok...’
“Assalamualaikum pak Maicel” sahutku keras. Bersaing dengan suara guntur yang ada
“waalaikumussalam” pintu dibukanya “ada apa pak LT. Datang ke lumah saya waktu hujan-hujan begini?” katanya. Dia memang seorang yang cedal.
“Pak Maicel tahu istri dan anak saya nggak. Mereka tiba-tiba saja menghilang dari rumah”
“ya ampun pak. Itu masalah selius. Kalau memang begitu, lebih baik lapol polisi saja”
“Bapak beneran nggak tahu”
“saya balu tahu saat dibilangin bapak sekalang ini. baiklah, Saya akan bantu telpon polisi”
“makasih Pak Maicel. Saya akan lanjutkan pencarian keluarga saya”
“selamat beljuang pak”

            Hujan masih saja deras. Air kembali menguap. Sampah-sampah berserakan mengotori jalanan. Aku tak habis pikir jika hujan deras akan mengguyur lagi. apa ini hanya fenomena alam belaka. Saat itu juga aku kembali teringat dengan kuldi. Entah kenapa aku merasa dia ada sangkut pautnya dengan hujan ini, dan insting RT ku berkata jika ini ada hubungannya dengan keluargaku yang hilang. Lekas aku berjalan menuju tempat yang biasa digunakan untuk Kuldi berinteraksi dengan alam.

            Disana, lebih tepatnya aku sangat tercengang. Bagaimana tidak. Ingin bertemu dengan Kuldi. Namun aku malah mendapati Istri dan putriku berada disana dan melakukan apa yang biasanya Kuldi lakukan.
“Hei. Apa yang kalian sebenarnya kalian lakukan disini!” aku membentaki mereka. Dan mereka akhirnya sadar jika aku sedang berada di situ.
“lho, ayah. Selamat datang” kata istriku dengan lemah lembut
“ayah mau ikut juga?” anakku menarik bajuku
“kalian ini kerasukan apa sih. Kok tiba-tiba jadi gendeng begini. apa kalian ketularan sama si Kuldi!?” kataku dengan nada memarahi
“ayah ngomong apa sih. Mama nggak paham”
“iya nih ayah. Masak keluarga sendiri dibilang gendeng”
“ahh... sudah-sudah.... saya tambah stress jika melihat kalian seperti ini. ayo cepat pulang. Nanti kalian sakit ayah juga yang susah. Ayo balik!”
“nggak mau. Mama masih mau disini”
“aku juga. Aku nggak mau pulang” tambah anakku
“ya Allah. Kenapa keluargaku jadi begini” aku hampir menangis melihat mereka kembali melongo dan melakukan hal yang dilakukan Kuldi. Sedangkan badan mereka sudah basah kuyup.
“hei cukup. Kalian ini sebenarnya ngapain sih!!!”
“jangan ganggu konsentrasi papa. Mama lagi berinteraksi dengan alam”
Aku lekas berlari memanggil bala bantuan. Hujan semakin deras saja dan sebagian daerah sudah banyak tergenang banjir. Dan saat itu pula aku bertemu dengan salah satu warga. Aku segera kesana untuk aku mintai bantuan.
“pak-pak tolongin saya. Keluarga saya. Tolongin. Mereka tiba-tiba jadi gila!” dia masih terdiam. Dan akhirnya aku sadar. Bahwa dia melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Kuldi. Hal itu membuatku merasa lebih frustasi. kini yang bisa aku lakukan hanyalah memaksa keluargaku untuk pulang.
“ayo pulang!” aku menarik mereka sekuat tenaga untuk pulang kerumah. Payung aku lepas. Alhasil kami berjalan kerumah sambil hujan-hujanan. Kamipun sampai di rumah. Pintu aku kunci agar mereka tidak nekat lagi keluar. Tapi aku malah mendapati mereka menangis meronta-ronta sambil marah-marah.
“Papa jahat. Kejam. Tidak berperi kemanusiaan”
“iya. Kalau begini caranya aku nggak mau sekolah. Ayah membuat mereka tidak bisa balik ke kampung halamannya”
Aku geleng-geleng kepala sendiri. melihat mereka seolah sedang kerasukan wewegombel.
“uwes to yo yo.... kok malah membuat papa kehilangan akal sehat begini to. memangnya ada manfaat apa kalian hujan-hujanan di sana”
“kami bisa berbicara dengan alam Yah!!!”
“ngapain juga bicara sama alam. Jika mau berbicara. berbicara dengan papa kan juga bisa”
“nggak mau. Aku pengennya bericara dengan alam, mereka sedang kesusahan yah... ini gara-gara ayah!!” bentak istriku. Mereka semakin menangis keras. Aku hanya mengabaikan mereka dan lekas membersihkan diri.

            Hujan masih mengguyur. Selokan sudah tak kuasa lagi membendung. Air semakin tinggi sampai rumahku harus tergenang sampai mata kaki. Dan kini waktunya mencari Kuldi. Mungkin dia tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

            Aku tak habis pikir. Seluruh warga kini sedang berinteraksi dengan alam secara berjama’ah. Melihat hal yang tak lazim ini. membuatku hampir menjadi orang setengah gila. Dan aku cepat-cepat menuju ke rumah Kuldi untuk mendapat pencerahan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada kampung ini.

Sampailah aku di depan rumahnya. Sesuai dugaan. Bukan Cuma istriku saja yang tiba-tiba gendeng. Tapi sependuduk kampung juga pada hujan-hujanan sambil bermeditasi. Mereka semua jadi ketularan Kuldi. Dan aku tak mau mereka terus-terusan jadi seperti itu. dan kini wakunya mencari ke sumber akar masalah itu.
“Kuldi. Ini pak RT. Cepat buka pintu!”
“KULDI!!!. Bukain pintunya!”
Lalu pintu terbuka perlahan. Disana ada sepasang mata yang mengintip dari balik celah samping pintu. Karena sudah tak sabar. Aku menendang pintu itu. dan orang yang berada di belakang pintu itu terpental. Dia mengaduh. Sudah jelas. Itu adalah Kuldi.
“ngapain kamu. Sampai ngumpet segala HAH.... Merasa bersalah telah menghipnotis semua orang”
“saya nggak bersalah Pak RT. Sweer deh...”
“swar swer swar swer. Nggak ada. Saya mau minta penjelasan kamu. Kenapa semua warga modelannya jadi kayak begini!?”
“emhh.....”
“jangan Cuma bergumam. Ayo jelaskan!!!”
“jadi begini pak.....” dia berdiam lama
“begini gimana!?” ubun-ubunku meluap-luap
“itu pak. Sebenarnya itu.... gitu.....”
“kalau masih nggak ngasih tahu. aku jotosin kamu sekarang”
“i..iya pak. Jadi begini. sebenarnya. Masalah tentang warga bapak menjadi begitu. mungkin karena ulah bapak sendiri”
“Lho. Kok malah saya yang salah. Memang apa salah saya!!!” aku jadi bingung sendiri.
“waktu saya berinteraksi dengan alam. Mereka bilang. Ada bebepara air yang masih menggenang dan tidak bisa balik kelaut. Akhirnya alam membantu mereka agar bisa sampai menuju laut. Ya, dengan cara hujan lebat ini”
“lalu, apa hubungannya dengan para warga yang kesurupan itu!?”
“mereka. Mungkin merasa kasihan dengan alam. Dan mencoba berinteraksi dengan mereka aga mereka memberi kompensasi. Karena jika hujan tak segera berhenti turun. Maka desa ini bisa jadi lautan Pak RT”
“lalu apa yang harus saya lakukan!” aku berada di ambang antara mengerti dan tidak.
“buat selokan dan saluran irigasi air yang baik” kata Kuldi.


4 November 2016
M H A

0 komentar:

Posting Komentar