Sampai
saat ini Kiraimin baru menyadari suatu hal penting. Suatu hal yang amat sepele
dan sering di pandang remeh kebanyakan orang. Suatu hal yang acapkali tidak
dipedulikan, tak di gubris, terkacangi, bahkan sama sekali tidak diminati oleh
mereka-mereka yang berilmu tinggi. Padahal kenyataannya suatu hal itu sangatlah
penting untuk dikaji, bahkan sangat recommended pula jika digunakan untuk bahan
kajian skripsi.
“…asal mula”
“apa-apaan itu, Kiraimin” tanya
Sukimin, tak paham dengan segala macam rentetan pemikiran tak mutu yang Kiraimin
paparkan barusan.
“halah, gitu aja kok ngga mudeng,
purcuma kamu punya IPK 4 kalau masalah sepele bin remeh ini ngga bisa kamu
pahami” jelas Kiraimin. Meneguk segelas kopi berharga lima puluh ribuan.
“lha kamu neranginnya belibet
kayak orang keselek permen”
“simplenya gini deh, kamu tahu
kopi?”
“iya, ini kopi” sambil mengangkat
gelas kopi di meja.
“dari mana itu berasal?”
“biji kopi”
“dari mana biji kopi?”
“dari pohon kopi”
“dari mana pohon kopi?”
“dari biji kopi”
“dari mana biji kopi?”
“Dari pohon kopi”
“kok muter-muter sih?”
“ya ga tau, anda bertanya saya menjawab”
“kenapa ini bisa di namakan
kopi?”
“tanya aja sama penemunya”
“mengapa kok dinamakan kopi, Bukannya
teh? kenapa di inggris sebutannya coffe, sedangkan disini kopi, di arab
torabika dan di rusia kopi susu?”
“perbedaan sudut pandang budaya
dan Bahasa?” jawab Sukimin.
“intinya adalah, semua itu ada
dasarnya, kopi inipun memiliki proses yang cukup rumit sebelum tersedia di
hadapan kita. Dia memiliki sejarah, dia memiliki khasiat, kandungan gizi
tertentu, dan tentu memiliki sebuah tujuan dimana awalnya biji kopi ini
bergelantungan di pohon menjadi ter-server di meja kita”
“lalu?”
“Tak semua yang kita ketahui itu
dipelajari sampai ke inti. Kita tak pernah paham asal mula, tapi kita selalu
asal pake. Contoh kopi ini, kita minum kopi asal beli, asal minum, nikmat,
kenyang, udah selesai. Tujuan hanya sebagai teman berbincang, milih di tempat
mahal agar bisa dibuat ajang selfi dan di pamerkan ke medsos. Tak ada esensi,
tak ada urgensi, tak ada efisiensi bahkan tak ada alasan statemik untuk
menjelaskan mengapa kita memilih tempat berbincang di kedai ini. Itulah yang
membuat para pelaku ekonom mengetahui selera konsumen secara praktis dan
membikin mereka makin kaya dan membikin kita menjadi babu kerja”
“bukankah kalau kita pikir ulang
kita bisa memilih tongkrongan di hik? Meski kita kaya namun bukan berarti kita
risih dengan tempat itu. justru kita tanamkan modal kepada rakyat kecil itu.
memperindah warungnya, harga kopinya lebih mahal sedikit paling Cuma lima
ribuan. Kita bisa hemat, uang kita manfaat, membantu masyarakat kecil,
sekaligus memajukan ekonomi kerakyatan. Mereka ga sampe mikir kek gitu? Lha
wong katanya mau pemerataan ekonomi untuk bangsa dianya sendiri suka nongki di
restoran bergaya jepang dan makan-makanan khas korea. Mikir, itulah pentingnya
telisik asal mula, berpikir sampe kedalam” Kiraimin kembali memaparkan jalan
pikirannya.
“masalahnya adalah, kita merasa tidak
membutuhkan itu, tak ada gunanya memikirkan itu, proses lah, dampaklah, yang
penting mereka enak semua nyaman”
“itu masalahnya”
Kiraimin
berada dikelas memandang dosennya lekat-lekat. Sang dosen merasa tak nyaman
hingga akhirnya memanggilnya.
“Ada apa Kiraimin? Apakah anda
memiliki dendam dengan saya?”
“bukan seperti itu pak”
“terus?”
“saya merasa kosong pak. Tak
mengerti dasar dari apa yang bapak paparkan”
“anda tidak bisa mengikuti
pelajaran saya?”
“bahkan saya tidak tau mengapa
saya ingin sarjana. Keinginan saya adalah bisa membuat lapangan kerja
secepatnya”
“untuk itu anda memerlukan ini
untuk menunjang kemampuan anda”
“dulu guru biologi juga bilang kayak
gitu, nyatanya sekarang sama sekali tak dibutuhkan bagi saya. Saya menyesal
lima jam waktu efektif saya perminggu terbuang dengan pelajaran biologi itu.
saya tak ingin mengulang penyesalan yang sama” Sahut Kiraimin.
Saat itu juga dosen menyuruhnya
untuk pulang dan menenangkan diri. Memberikan secarik uang dua puluh ribuan
untuk digunakan beli susu supaya pikirannya jernih kembali.
Selepas
di kos, Kiraimin bertanya dengan teman sebelah kamarnya.
“Buat apa kamu kuliah”
“menambah ilmu”
“terus?”
“membahagiakan orang tua dengan
IPK cumlaude”
“terus”
“Cari kerja”
“terus”
“udah”
“kalo mau cari Ilmu situ perpus
daerah banyak merangkum Ilmu. Pengen IPK cumlaude tinggal bayar makelar,
ngapain kuliah mahal-mahal ngabisin waktu dan daya upaya kalo akhirnya Cuma mau
cumlaude, kalo mau cari kerja ya sekarang kan bisa. Ngapain nunggu lulus!”
“lah kok ngegas” dia tak mengerti mengapa
Kiraimin berubah menjadi se rasionalis ini.
“lah, segala sesuatu itu harus
dipikir dulu. Baru bertindak. Bertindak tanpa dipikir bakal menyebabkan kasus
seperti bocil kena bucin. Kalau dipikir pasti mereka bakal mikirin dampak
jangka pendek dan Panjang. Nyatanya mereka Cuma mikir enaknya karena tak paham
akan esensi dan urgensi pacaran, tak paham akan konsep serta konsekuensi dari
apa yang dilakukan. Orang kuliahpun sekarang tujuannya Cuma dangkal. IPK,
Kerja, Biar ga malu dengan kebanyakan anak-anak sepantaran yang kuliah, tanpa
tau maksud dan apa tujuan mereka kuliah. Miris!”
***
Kiraimin
Nampak gusar dan gundah. Semua yang dia lihat hanya sebatas kekosongan akan perilaku
dan tindak tunduk keseharian. Seakan segala bentuk kegiatan tak memiliki jati
dirinya lagi. Bergerak tanpa arti, melaju tanpa inti. Tak mengerti dasar
mengapa mereka melakukan semua itu. Menjadi awal mula kehancuran dan kehampaan
dunia. Mereka bak memori yang menyimpan berbagai macam file, tanpa tahu makna
isi dari semua file yang ada didalamnya.
Semua
sudah tak bertuju, padahal mereka harusnya tahu aka nasal mula, akan dasar dari
berbagai macam situasi yang ada di sekitar mereka. Bagai mengerti asal mula
manusia sebagai adam dan hawa. Dari kegusaran itulah Kiraimin mampir untuk
bersilaturahmi menuju ke rumah guru SMA nya dulu.
“Saya merasa gregetan karena
banyak manusia hidup tak memiliki tujuan. Sok idealis dan pinteris dengan
argument yang tak jelas dan statement ngawur. Bertindak bak rasionalis tanpa
mengerti pekem akan ilmu yang digeluti maupun yang di pelajari”
“kalau kamu sadar, sudah menjadi
tugasmu untuk membenahi itu semua”
“tapi susah guru, mereka keras
kepala!”
“Asal bacot memang kadang ga
mempan. Untuk itu perlunya memberikan pemahaman dengan tindakan. Tunjukkan
urgensi dan implementasikan itu tepat di depan matanya. Kalau dapat hidayah,
pasti dia akan paham dan mengerti, jika tidak? Maka kembali untukmu pemahamanmu
dan untukku pemahamanku”
Monday, 9 June 2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar