Ada
dua makna kata yang tertangkap dari judul buku yang sedang saya baca
akhir-akhir ini. Awalnya saya pikir ‘berani tidak disukai’ adalah salah satu
deklarasi seorang yang berani mengambil keputusan penting dan bijak walau banyak
orang nantinya tidak akan menyukainya. Sebuah bentuk keberanian yang tidak
takut dengan cara pandang orang lain terhadap dirinya. karena sejatinya hal itu
dilakukan untuk kebenaran dan keadilan. Namun sepertinya saya salah kaprah.
Meski pada hakikatnya pemikiran awal saya masih koheren dengan topik bahasan
dalam buku ini.
Namun setelah saya
selesai membaca buku ini. Saya baru tersadar dengan makna lain yang tersembunyi
dalam judulnya ‘Berani tidak disukai’ yang berarti “sikap berani itu tidak lah
disukai kebanyakan manusia” berani tidak disukai’ yang dijabarkan adalah sikap
mental manusia yang selalu menghindari perubahan karena takut akan perubahan
tersebut. Takut akan bekerja lebih keras, takut dengan lingkungan baru, takut
dengan pandangan orang-orang ketika berlatih maju di depan panggung, takut
salah ketika mengerjakan sesuatu. Dan berbagai macam ketakutan lain yang
membuat seorang manusia lebih memilih untuk masuk ke zona nyaman tanpa sama
sekali ingin berubah.
Penulis memaparkan sudut pandang yang berbeda dengan
menitikberatkan pada diri selaku pemilik jasad, dia yang bertanggung jawab atas
segala keputusan dan pilihan yang hadir dalam dirinya. Mulai dari dirinya yang
penakut, pemberani, suka membenci, suka bergaul, nakal, baik hati. Keseluruhan hal
tersebut terbangung sebagian besar atas piliihannya sendiri dari penafsiran
subjektif yang dia lihat di sekelilingnya.
Opening yang terdapat dalam pendahuluan buku ini langsung
memikat saya dengan pecakapan dua orang antara Filsuf dan pemuda (mereka terus
berbincang dari awal hingga akhir buku ini). Pada mulanya sang pemuda bertanya
pada Filsuf.
“apakah kau percaya bahwa
dunia ini, dalam segala cara, adalah tempat yang sederhana?”
“ya, dunia ini sangatlah
sederhana, begitu juga kehidupan” jawab sang filsuf
“jadi menurutmu segala
persoalan yang ada dalam hidup ini juga sederhana?”
“ya, tentu saja”
Sang
pemuda tidak terima dengan pernyataan sang Filsuf, karena pemuda itu telah merasakan
perih dan sakitnya dunia ketika dirinya beranjak dewasa, mulai dari bekerja,
membayar pajak, hubungan rumit keluarga dan teman, deskriminasi, pembantaian. Dan
segala macam kegelapan dunia yang dilihat dalam hidupnya.
Tapi sang filsuf tetap kokoh dengan pernyataannya yang
mengganggap kehidupan itu tidak sekompleks itu, sangat sederhana. Mau tidak mau
konflik pun terjadi. Perdebatan Panjang antara anak muda dan filsuf berjalan alot
hingga memenuhi dua ratus halaman lebih buku ini.
Terdapat
banyak intrik yang menarik, pandangan dari sudut pandang baru dari berbagai
persoalan, hingga pengetahuan akan unsur diri terbahas dengan sangat jelas
disini. Pembaca seperti digiring untuk lebih berpikir terkait dampak terbesar
yang mempengaruhi hidup bukan karena orang lain. Tapi dari diri kita sendiri.
Penulis menyiratkan agar seorang berhenti membuat alasan setiap kelakuan dan
jalan yang dia pilih karena orang lain, dirinya menjadi nakal karena orang
lain, dirinya menyimpang karena orang lain, dirinya menjadi penyendiri karena
orang lain. sang penulis membantah dan menjabarkan Panjang lebar kalau itu
semua adalah hasil keputusan dan tujuan dari diri itu sendiri.
Sebuah
buku yang menarik yang dikemas cukup apik, percakapan antara seoarang dengan
pemuda ini tak bosan-bosan dibaca dari awal hingga akhir meski kata-kata dan Bahasa
yang dijabarkan begitu berat dan perlu proses ekstra untuk memahami maksud
perkataannya.
Surakarta 29 January 2020
MHA
Amaze!!!
BalasHapusGood boy,
BalasHapus