Selasa, 28 Januari 2020

Berani tidak Disukai




Ada dua makna kata yang tertangkap dari judul buku yang sedang saya baca akhir-akhir ini. Awalnya saya pikir ‘berani tidak disukai’ adalah salah satu deklarasi seorang yang berani mengambil keputusan penting dan bijak walau banyak orang nantinya tidak akan menyukainya. Sebuah bentuk keberanian yang tidak takut dengan cara pandang orang lain terhadap dirinya. karena sejatinya hal itu dilakukan untuk kebenaran dan keadilan. Namun sepertinya saya salah kaprah. Meski pada hakikatnya pemikiran awal saya masih koheren dengan topik bahasan dalam buku ini.

Namun setelah saya selesai membaca buku ini. Saya baru tersadar dengan makna lain yang tersembunyi dalam judulnya ‘Berani tidak disukai’ yang berarti “sikap berani itu tidak lah disukai kebanyakan manusia” berani tidak disukai’ yang dijabarkan adalah sikap mental manusia yang selalu menghindari perubahan karena takut akan perubahan tersebut. Takut akan bekerja lebih keras, takut dengan lingkungan baru, takut dengan pandangan orang-orang ketika berlatih maju di depan panggung, takut salah ketika mengerjakan sesuatu. Dan berbagai macam ketakutan lain yang membuat seorang manusia lebih memilih untuk masuk ke zona nyaman tanpa sama sekali ingin berubah.

            Penulis memaparkan sudut pandang yang berbeda dengan menitikberatkan pada diri selaku pemilik jasad, dia yang bertanggung jawab atas segala keputusan dan pilihan yang hadir dalam dirinya. Mulai dari dirinya yang penakut, pemberani, suka membenci, suka bergaul, nakal, baik hati. Keseluruhan hal tersebut terbangung sebagian besar atas piliihannya sendiri dari penafsiran subjektif yang dia lihat di sekelilingnya.

            Opening yang terdapat dalam pendahuluan buku ini langsung memikat saya dengan pecakapan dua orang antara Filsuf dan pemuda (mereka terus berbincang dari awal hingga akhir buku ini). Pada mulanya sang pemuda bertanya pada Filsuf.

“apakah kau percaya bahwa dunia ini, dalam segala cara, adalah tempat yang sederhana?”
“ya, dunia ini sangatlah sederhana, begitu juga kehidupan” jawab sang filsuf
“jadi menurutmu segala persoalan yang ada dalam hidup ini juga sederhana?”
“ya, tentu saja”

Sang pemuda tidak terima dengan pernyataan sang Filsuf, karena pemuda itu telah merasakan perih dan sakitnya dunia ketika dirinya beranjak dewasa, mulai dari bekerja, membayar pajak, hubungan rumit keluarga dan teman, deskriminasi, pembantaian. Dan segala macam kegelapan dunia yang dilihat dalam hidupnya.

            Tapi sang filsuf tetap kokoh dengan pernyataannya yang mengganggap kehidupan itu tidak sekompleks itu, sangat sederhana. Mau tidak mau konflik pun terjadi. Perdebatan Panjang antara anak muda dan filsuf berjalan alot hingga memenuhi dua ratus halaman lebih buku ini.

Terdapat banyak intrik yang menarik, pandangan dari sudut pandang baru dari berbagai persoalan, hingga pengetahuan akan unsur diri terbahas dengan sangat jelas disini. Pembaca seperti digiring untuk lebih berpikir terkait dampak terbesar yang mempengaruhi hidup bukan karena orang lain. Tapi dari diri kita sendiri. Penulis menyiratkan agar seorang berhenti membuat alasan setiap kelakuan dan jalan yang dia pilih karena orang lain, dirinya menjadi nakal karena orang lain, dirinya menyimpang karena orang lain, dirinya menjadi penyendiri karena orang lain. sang penulis membantah dan menjabarkan Panjang lebar kalau itu semua adalah hasil keputusan dan tujuan dari diri itu sendiri.

Sebuah buku yang menarik yang dikemas cukup apik, percakapan antara seoarang dengan pemuda ini tak bosan-bosan dibaca dari awal hingga akhir meski kata-kata dan Bahasa yang dijabarkan begitu berat dan perlu proses ekstra untuk memahami maksud perkataannya.



Surakarta 29 January 2020

MHA

2 komentar: