Minggu, 26 Januari 2020

Kumpulan Cerpen : Bimbang




Sampai sekarang aku tidak tahu faktor apa yang mengganggu hidupku. Mungkin lebih tepatnya tidak mengerti masalah yang harus di selesaikan saat ini. Semua itu terasa aneh bagai makhluk astral yang sekarang sering dilempari gas LPG di yutub-yutub. Atau rasanya seperti sedang berada di daerah terpencil tanpa bisa menggunakan google maps. Rasanya panas, seperti kuah soto sebelum di celup es batu, atau bisa diibaratkan panasnya seperti ketika kaki terkena knalpot. Kemungkinan hal ini terjadi akibat dari efek berpikir keras.

“pesanan satu sudah datang” seorang pelayan cantik ber make up tebal datang menghampiri meja pesananku.
“ah terimakasih banyak” kataku dengan senyuman ramah, walaupun aku tahu di balik tebalnya make up itu, tersimpan lusinan jerawat yang sering dia plitesin.
Semangkuk kare sudah terhidang di hadapan. Uap panas dan harum membuat perut ini tak sabar untuk segera menyuruh mulut melahapnya. Dengan hati-hati sambil menghindari panas kuah, aku menyantapnya dengan khidmat. Sebuah kesempatan yang tak terkira bisa kembali memakan masakan enak ini lagi.

Tit tit tit tit….

Suara handphone kembali berderit. Kurasa aku mendapat panggilan lagi semenjak mengabaikan pesan selama dua hari belakangan. Perasaan jenuh bercampur aduk dikala beban selalu menindih dikala aku tidak siap menerimanya.
(tolong beri aku waktu untuk rehat sejenak)

Aku sama sekali tidak menggubrisnya. Mengabaikannya mungkin akan mendatangkan masalah baru. Masa bodoh, saat ini aku butuh ketenangan untuk dapat merasakan kehidupan kembali dikala sudah lama merasakan kematian dalam menjiwai peran kehidupan lain.
Telpon mati, sudah kelima kalinya dan aku tak peduli, kembali memakan masakan yang enak ini dengan penuh kekhidmatan.

            Beberapa hari ini tidak banyak yang terjadi, hanya mencoba mengasing sambil terus berpikir tanpa henti. Tak ada bedanya seperti orang mati, menghilang dalam jalan yang sudah kutempuh beberapa tahun ini. Apakah ini pilihan yang tepat? Siapa yang tahu. Aku merasakan kinerjaku selama ini belum sepenuhnya maksimal, atau kurasa sudah maksimal hanya saja beberapa faktor eksternal menghalangiku untuk dapat membuktikan kinerja maksimal yang dilakukan. Tak ada harapan atau penghargaan, walau itu bukan hal yang aku harapkan. Aku hanya ingin beberapa orang mengerti akan hasil kinerja yang selama ini terbangun, perubahan yang harus dilakukan, agenda yang harus di efektifkan, jalan pemikiran dan alur proses yang harus di perbaiki yang selama ini aku pelajari di bangku perkuliahan tapi…

“ti tung”

Aku kembali mengecek smartphone, sudah terdapat seratus enam belas pesan yang belum kubaca, Aku hanya membalas pesan ibu ku yang besok akan mengirim sari kurma karena mengetahui kondisi badanku yang tidak sehat. Memang benar, saat ini badanku tak sehat, mentalku rapuh dan ruh ku terasa kosong.

            Dahulu aku bisa bangkit begitu cepat, ketika menemui problem hanya butuh beberapa hari untuk segera mengatasinya. Pahitnya untuk bangkit dari posisi sekarang terasa sulit seperti melompati tembok setinggi lima meter. Suatu yang mustahil kecuali jika ada alat atau orang yang membantu. Dan aku belum menemukan alat atau orang yang dapat membantuku untuk melompati tembok setinggi lima meter itu.

“umik sudah kirim ya mas Sapto, sari kurma sama hebattusauda, diminum dua kali sehari”
“iya mik”
“jangan lupa makan tidur teratur, mandi yang bersih, baju di laundry saja kalau hujan, kalau uang jajan kurang bisa minta ke umi lagi”
“iya mik, makasih”
“ya udah, semoga cepat sehat. Kalau ada apa-apa kabari umik lagi”
“iya mik”
“assalamualaikum”
“waalaikumussalam”

Telfon dimatikan. Sampai sekarang aku masih bingung bagaimana cara membalas jasa kedua orang tuaku yang terus saja berjuang merawatku sampai sekarang. Padahal umurku sudah segede ini. Aku jadi merasa malu dengan Muhammad al faith yang sudah berjasa menjadi panglima perang yang padahal usianya lebih muda dariku.

            Guruku pernah berpesan banyak di kala SMA, dimana cerita yang dipaparkan terkait anak muda yang berprestasi, pantang menyerah, seperti Muhammad Al Fatih, Ali, Usamah bin Zain, Zaid bin Tsabit, dan berbagai macam pendahulu yang kisahnya masih bergaung hingga sekarang. Sebuah cerita menginspirasi yang membuatku bisa masuk ke universitas ini meski presentasenya teramat kecil.

            Dan sekarang aku terkapar. Kisah semangat juang yang sering dibaca tetap belum bisa menstarter semangat juang. Aku takut kehilangan arah dan berakhir mengenaskan. Seperti cerita-cerita kakak tingkat yang dulu berkeribadian baik, taat, dan soleh, kini menjadi bejat, no life, dan fuckboy.

beberapa cara sudah aku lakukan baik itu dengan pendekatan rohani maupun jasad. Semua sia-sia. Kinerja mesin ini sudah tidak berfungsi dengan baik. Aku benar-benar merasa dalam masa terburuk. Terlalu sering berpikir dan berpikir, meski itu pikiran yang tak penting untuk dipikirkan. Tak ada ruginya jika tak dipikir, tapi malah merugikan ketika dipikir. Tapi masih saja aku berpikir.

“seriusan kamu mau ngambil organisasi lagi To?”
“apa boleh buat, aku di desak terus dan tak ada yang bisa menggantikan posisi itu”
“sudah semester tua lho”
“ya benar, tapi yang menjadi problem utamanya bukan itu”
“lalu?”
“aku tak pantas saja, lagian, harusnya masih banyak di luar sana yang lebih baik. Hanya saja mereka malas saja mencari tahu”

“walhasil kamu menjadi korban”
“aku tidak merasa menjadi korban, hanya merasa sebagai seorang yang tak bisa mengerjakan sesuatu dengan baik. Atau mungkin sebenarnya sudah baik, tapi belum ada backup yang pas, kau tahu, jalan pikiranku sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Hal itu sering menjadi crash ketika sedang berdebat atau menyelesaikan konflik, dan itu lumayan mengangguku”
“kau tidak bisa mengutarakan gagasanmu?”
“saat itu aku bersusah payah mengkulturasikan agar kita bisa sejalan. Cuma mungkin karena aku terlalu nyeleneh juga. Jadi terkadang pikiranku sulit di terima. Aku tak ingin membuat hal itu terjadi lagi, merepotkan dan juga menyebalkan. Kurasa hanya beberapa orang yang bisa aku ajak diskusi dengan baik”
“aku tahu perasaanmu, tapi bukankah hal itu sering terjadi di organisasi”
“jika dasarnya pas aku masih terima, aku selalu menggunakan dasar atas semua argumenku. Namun disini kadang dasarnya ngawur, hanya mengikut sistem dan terbatasi dengan cara pikir lama. itu yang membuatku lumayan bad mood
“mungkin caramu yang salah dalam menyikapi mereka yang tak sejalan denganmu. Bukankah para pendahulumu dulu lebih sulit memperjuangkan perkara agama kita di tengah kemrumunan orang-orang yang tak percaya”
“kau benar, aku memang terlalu lembek, untuk itu aku setidaknya tidak cocok untuk menjabat posisi se strategis itu”

“tapi sebenarnya kamu bisa kan melakukan itu, anggap saja ini kesempatan terakhirmu membenahi kesalahanmu dahulu”
“yah, aku menerimanya juga karena itu, Cuma luka dulu belum tersembuhkan sama sekali, semenjak itu aku mulai menjauh dan tak pernah kesana entah apapun caranya”
“ingat To, jangan sampai hal sekecil ini justru malah membikinmu babak belur, masih ada babak selanjutnya yang tak kalah garang dan tanpa ampun menggerusmu di waktu yang bersamaan. Ingatlah semakin tinggi pohon angin akan semakin kencang menerpa. Jangan pedulikan sesuatu yang sebenarnya tak pantas kau pikirkan. Muhasabah itu penting, namun jangan sampai gerak langkahmu terhenti. Kamu masih terhitung muda, masih ada berjuta kesempatan untuk mengubah di masa datang”
Aku tertawa kecil, temanku itu memoles kepalaku karena mengira celotehnya malah aku tertawakan.
“apa maksudmu malah menertawakan nasehatku. Lo yang minta dikasih nasehat kan tadi”
”aku hanya merasa senang saja”
“senang?”
“ya, senang sekaligus prihatin”
“prihatin? Kenapa?”
“aku senang kamu bisa menasehatiku sampai masuk ke dalam-dalamnya, namun aku juga prihatin karena orang yang melakukannya justru malah teman lamaku, bukan teman terdekatku yang selama ini aku habiskan waktu Bersama dengan mereka tiga tahun belakangan ini”
“oh begitu”

“meski kami dekat, tapi sebenarnya kita tidaklah dekat, justru ketika aku bertemu denganmu, sesuatu yang jauh namun terasa dekat. Padahal kita hanya bersua selama satu jam ini, tapi entah kenapa kamu selalu bisa melihatku sampai kedalamnya”
“hahahah, sudahlah ga usah baper, lagian kamu juga tak bisa menyalahkan mereka, mungkin mereka masih belum begitu tahu tipikalmu, karena dulu aku melihatmu juga sangat misterius”
“hahaha, namun pada akhirnya kau selalu saja bisa menebak apa yang kulakukan dan kubutuhkan”
“yah, kamu juga sama”
“setidaknya aku ingin mencari beberapa rekan yang bisa saling mengerti dan memahami seperti ini, hanya saja belum aku temukan sama sekali”
“santai bro, yakinlah masih banyak orang-orang di sekeleiling kita yang seperti itu, Cuma kita belum saling bertemu”


Surakarta, 27 Januari 2020

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar