Minggu, 25 November 2018

Kumpulan Cerpen ; Kondisi Dewasa Ini



Masih ingat dalam kenangan, lantunan lagu yang menggetarkan badan. Rasa yang begitu enak memancar dalam tubuh. Bagai bius yang mengalir lincah ke urat syaraf tubuh. Susah dan sulit, ketika mencoba untuk kembali seperti dulu. Sekiranya apa yang mungkin bisa aku lakukan ketika badan susah untuk di gerakkan. Mencoba merangkai tujuan, namun selalu kandas di tengah jalan. Derai air masih terdengar syahdu. Sepertinya hujan akan segera turun. Kembali tanganku membelai rambut. Menjambaknya dan memuntalnya tanpa ada tujuan yang jelas.

“ah, aku lupa bawa helm lagi”
“kirain lo sengaja”
“gila. Ini kota bro. Ketauan polisi, ilang dah dua ratus ribu”
“hujannya makin deres nih. Nepi dulu yuk. Lo pasti juga lupa bawa mantol” kata sahabatku
“tau juga lo”
“biasanya kan helm sama mantol sepaket di otak lo. Kalau yang satu ketinggalan, yang satunya pasti jugalah”

            Akhirnya kami menepi menghindari hujan yang nampaknya akan segera berkecamuk.
“Besok hari senin” kataku yang kini sedang duduk di samping sahabatku. Sambil menepi di emperan toko yang tutup. Motor kami parkirkan di dekat sini. Hujan deras mengguyur dengan gilanya. Jikalau tadi kami tidak lupa membawa mantol, mungkin kami akan sampai ke rumah lebih cepat.
“ya, aku tahu, biasa ajalah. Apasih yang harus di takutkan waktu hari senin”
“upacaranya lah bro. Malem ini sudah pasti aku sibuk nyari perlengkapan buat upacara nanti. Kalau nggak, bisa kena hukum deh nanti”
“iya sih, memang merepotkan. Tapi, upacara bendera itu juga untuk menghormati jasa pahlawan kita yang telah memperjuangkan negara ini. Sudah sewajarnya kita berterimakasih dan melakukan hal ini. toh juga tidak lama. Cuma satu sampai dua jam dalam seminggu. Sedangkan para pahlawan kita sudah berkorban ratusan tahun untuk negeri ini”
“yaelah tong, ceramah kayak bapak-bapak aja lu”
“gue kan memang udah jadi bapak, Jo”
Aku tertawa mendengarnya. “iya deh, udah punya pacar, sekarang panggilannya ayah bunda...”
Temanku hanya tersenyum malu tanpa harus menyangkalnya. Btw dia baru jadian kemarin.

            Hujan masih mengguyur. Dan temanku yang satu ini tak henti-hentinya membicarakan “moba kok analog” yang saat ini tengah viral. Aku hanya duduk manis mendengarkan celotehnya yang acapkali mangkel saat bertemu dengan rekan tim yang afk.

“eh, lo liat ngga itu?” kataku sambil menuding ke arah depan.
“apaan sih. Pohon?”
“bukan. pojok kanan atas...”
“ouh, itu”
“kok Cuma ouh sih?”
“masak aku harus bilang wow?”
“yah kamu nih jadi pemuda kok ngga peka. Efek dari pacaran tampaknya sudah mulai aktif”
“yaelah Jo, apa hubungannya coba”
“itu kan ada bapak-bapak lagi butuh bantuan, motornya mogok, kita harus bantu” kataku, menjelaskan. Nampak dia segera paham akan situasi dengan isyarat anggukan kepala.
“wah, bener juga lo. Kuy kesana”
“jangan!”
“kok jangan? Gimana sih. Katanya mau nolongin. Plin plan amat sih...”
“kita kan ngga bawa mantol. Sedangkan bapaknya bawa mantol. Kita suruh bapaknya kesini sekalian biar bisa menepi. Selanjutnya kita juga bisa bantu bapaknya mereparasi motornya”
“pinter juga lu. Meski telatan, tampaknya kau telaten juga. Btw emang kita tukang bengkel pakek reparasi motor segala”
“wkwkwk”
“kwkwkw”
Kami tertawa berderai bersama.

            Lekas kami serempak memanggil bapak itu agar segera kesini. Setelah menjerit beberapa kali. sang bapak yang sadar akhirnya mendorong motornya menuju kemari.
“ada apa nak kok neriakin saya. Saya bukan maling” kata sang bapak dengan melasnya.
“hehe, bukan gitu maksud kami pak”
“betul. Kami liat bapak sedang kesusahan, jadi kami berniat membantu bapak”
“oh, kalian anak-anak yang baik. Jarang sekali saya bertemu anak muda yang peka akan kodisi sosial”
“yah. Anu... yah... anu” kami berdua jadi tersipu malu.
“sudah-sudah jangan malu. sebenarnya motor saya ngga bisa jalan gara-gara bensinnya habis” jelas sang bapak.
“hmm. Kalau ngga salah ingat. Pom bensin terdekat masih lima ratus kilo meter lagi” kata temanku.
“meter kali bang” kataku, mengkoreksi.
“nah itu”
“saya juga tau nak. Wong di bahu jalan sudah ada gambar pom bensin yang bertuliskan lima ratus kilo meter lagi, eh meter. kwkwkw”
“wkwkwk. Tahu juga bapak kalo saya habis liat papan itu” kata temanku berusaha melawak. Sedangkan aku tak henti-hentinya terpingkal.
“ya sudah, begini saja pak. Bensin motor saya masih banyak nih. Saya pinjem mantolnya buat beliin bensin disana. Nanti saya balik lagi kesini” kataku
“lah. Lo nanti nampung bensinnya pakai apa? Tangan?”
“tadi aku sempet beli small cola isi satu liter. Pakek itulah”
“kan isinya masih setengah?”
“biarin aja. Itung-itung mereduksi risiko diabetes. Kan gula di minuman ringan itu banyak banget sob”
“iya iya. Udah tau bahayanya masih lo beli aja tadi”
“Hehe. Sekali-sekali”
Setelah membuang isi dari small cola dan memakai mantol, Aku segera mengegas motorku menuju pom bensin terdekat.
***

            Esokpun tiba, Terlihat betapa macetnya jalanan yang penuh sesak dengan kendaraan. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana jadinya jalan raya sepuluh tahun mendatang? Mungkin jalanan sama sekali tidak bercelah karena saking banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.
“kiri pak” kataku pada supir angkot. Dia lekas menginjak pedal rem tanpa harus banyak kompromi.

Sampailah aku di sekolah. Sekolah yang tercinta, dimana terdapat beberapa kenangan spesial di dalamnya. Yah mungkin sebagian orang berpikir jika sekolah itu membosankan. Ada pula yang berpikir jika sekolah itu tempat untuk bermain dan mencari musuh buat di ajak tawuran. Padahal sejatinya sekolah adalah sebuah ladang untuk memanen ilmu yang diberikan oleh guru-guru kita.

“assalamualaikum pak” sapaku pada satpam yang sedang berjaga di gerbang. Jam menunjuk pukul tujuh kurang dua puluh. Lima menit lagi sebelum upacara bendera di mulai.
“waalaikumussalam. Tumben kamu nggak telat lagi” sahut beliau.
“masak harus telat terus pak. Kan bosen” gurauku. Ternyata cukup garing.
“hahaha” tapi satpam itu masih bisa tertawa. Mungkin tawa yang dipaksakan.

      Aku segera melangkah menuju kelas. Disana para murid teladan sudah bersiap untuk melaksanakan upacara. Aku meletakkan tasku di bangku. Seorang menghampiriku dengan senyum yang tak pernah kulupa. Yah, si dia. Sayang aku belum bisa mendapatkan hatinya. Mungkin di lain waktu. Saat aku merasa sudah pantas. Pantas untuk meminangnya.

“makasih ya” kata yang merdu meluncur dari bibir indahnya.
Aku hanya memicingkan mata. Bingung atas ucapan terimakasihnya kepadaku. Padahal yang aku tahu aku tidak pernah berbuat sesuatu yang layak mendapat ucapan terimakasihnya tadi.
“kemarin kamu bantu motor ayahku yang mogok di jalan”
“ouh” aku berhasil mengingat ingatan itu “ya ya, nggak masalah, no problem. Sans. Hehe” kataku
Lekas dia berlalu menuju teman sejawatnya dengan senyuman yang masih menghiasi wajah. aku terpana beberapa saat oleh lamunan yang menyesatkan. Sampai akhirnya aku tersadar bila upacara akan segera di mulai.
“bagi siswa-siswi yang masih berada di kelas mohon segera keluar menuju ke lapangan upacara” 

          terdengar suara kepala sekolah melalui mikrofon. Tampak seluruh persiapan upacara sudah lengkap. Para murid segera meluncur dan berbaris rapi. Komando upacara dan para staffnya segera merapikan barisan karena upacara akan segera di mulai. Para murid yang terlambat tidak di perkenankan masuk dan harus berbaris di luar gerbang. Mereka tampak memelas dan pucat karena tahu bila hukuman akan segera menanti. Dan tak lama berselang, Upacara bendera pada hari senin telah di mulai.

22 Januari 2018

M H A

0 komentar:

Posting Komentar