Begitu
kelam, nuansa yang terjadi di dalam dunia yang indah ini. Begitu absurd dan
suram walaupun bunga bermekaran, berwarna-warni memenuhi ladang. Inikah yang
dirasakan kebanyakan orang, padahal sekiranya mereka tahu betapa indahnya alam
yang sedang mereka pijak. Seberapa beratkah himpitan hidup yang dirasa sampai
mereka tak merasa, betapa megahnya matahari yang terbit dari ufuk timur dan
tenggelam di ufuk barat.
Namanya adalah Sinardin. Pria paruh baya yang tidak
berdaya menangani keadaan di sekitarnya. Kesehariannya hanya mengemis dengan
kerja sampingan sebagai pengamen. Hal yang sangat di benci olehnya adalah para
manusia rakus. Entah itu mereka yang rakusnya kecil maupun yang rakusnya besar.
Entah itu yang suka makan sogokan, ataupun yang memberi sogokan. Berkat itulah
negerinya tidak berkembang sampai sebagaimana sekarang.
“apa yang sekiranya bisa
kuperbuat sebagai rakyat jelata? Apa yang mungkin bisa aku pikirkan mengetahui
kondisiku yang sangat mengenaskan ini?” pikirnya dalam suatu waktu. Dia
sampirkan gitarnya di sebelahnya. Sambil merebahkan badan di emperan toko yang
tutup. Suasana gelap telah menutupi daerah tersebut. Lampu-lampu jalan dan rerumahan menyala menyedot
pemakaian listrik yang dihasilkan batu bara yang mengotori langit.
“Harusnya aku bisa
bercanda ria di luar sana, harusnya tempat ini bagaikan surga kedua setelah
surga di Akhirat. Namun rasanya seperti tinggal di neraka saja. Para biadab itu
apakah belum puas dengan limpahan harta yang memenuhi lambung dan usus mereka?”
Serentak gerimis turun, berangsur-angsur membasahi tempat
itu. Sinardin agak menepi supaya tidak terkena rintikan hujan yang semakin
deras. Tak lama, sesosok pria yang dikenal datang menuju ke tempat rehat
Sinardin.
“Gimana kabarnya bro?”
sapanya akrab.
“seperti biasa, laper”
sahut Sinardin. Matanya yang sayu memperlihatkan kalau dia belum makan dari
kemarin.
“perasaan lo kan udah
ngamen dari tadi pagi. Masak sama sekali ngga dapet Rp?”
“dapet sih dapet Jien.
Cuma ya tadi….”
“tadi kenapa Din?” tanya
Yujien.
“ada orang yang sekarat
belum makan selama seminggu. Akhirnya aku kasihin semuanya deh”
Yujien Nampak tertegun
sesaat akan sikap respek Sinardin. Namun setelahnya ia menggeleng gelengkan
kepala.
“Din……. Din….. lo tau
nggak? Lo itu dalam posisi orang yang susah, ngapain juga malah nolongin orang
yang susah. Justru para mereka yang di beri kelonggaran dompetlah yang harusnya
ngebantu tu orang sekarat, bukannya LO. Ah kau ini” gerutu Yujien.
“gini-gini aku juga punya
rasa kemanusiaan Jien, mungkin mereka yang beruang pada sibuk mengisi kantong
dompetnya, atau mungkin karena orang sekarat itu luput dari perhatian orang
yang beruang”
“emang kurang ajar tuh
mereka. Main timbun uang seenaknya. Nih duit buat makan lo malam ini” kata
Yujien sambil menyodorkan uang 5000. Ngga tega gue liat lo mati besok.
Dengan senyuman, Sinardin
mengambil uang tersebut dari tangan Yujien.
Manusia berulah dan bersikap atas asas dan ideologi yang
di anut. Jalan hidup sudah mereka pilih dan seakan tidak bisa diganggu gugat
oleh apapun. Kecuali bagi mereka yang berpikir luas dan melihat dari banyak
sudut pandang yang beredar.
Lama-lama hal ini menjadi sangat serius. Sinardin kala
itu terserang penyakit aneh yang membuat kedua kakinya lumpuh. Kini dia tak
bisa mencari duit lagi, dan hanya bisa terbaring di gubug reotnya. Mulutnya
yang penuh dengan sariawan itu terengah-engah menahan rasa sakit yang kadang
dirasakan oleh kakinya.
Mungkin tidak ada orang yang peduli. Justru kebanyakan
orang akan merasa diuntungkan karena menganggap salah satu sampah telah pergi
dan mati. Tapi Yujien nampaknya masih berbelas kasih. Dia merelakan untuk
menyisihkan waktu ngamennya untuk merawat si Sinardin.
“apa aku kata kemarin
Diin…. Kerja itu juga ada batasnya, nolongin orang itu juga ada batasnya.
Apalagi lo itu orang kere, jangan sok-sok an memberikan upah minimum itu ke
orang lain. Itu sudah menjadi tugas orang yang lebih mampu. Dan sekarang inilah
yang kau dapat dari akibat perbuatanmu” kata Yujien sambil menyuapi Sinardin
yang terduduk di kasurnya.
“kau tau kan, aku disini
peduli karena dulu kau sering ngebantu aku. Jadi mau tak mau aku ngga bakalan
bisa membiarkanmu mati disini. Memang payah nih orang-orang sekitar, seperti
ngga peka saja kalau ada orang yang membutuhkan. Apa karena jumlah kere
sekarang itu terlalu banyak sampai mereka kewalahan untuk menyantuni para kere
itu”
Sinardin hanya tersenyum
mendengar celotehan dari Yujien.
“Aku belum bisa menangkap
makna keadilan disini. Aku juga masih tak mengerti apa yang dipikirkan para penguasa
ketika diberi jabatan untuk memimpin negeri ini. Negeri yang seharusnya makmur,
aman Sentosa, dengan masyarakat yang santun dan punya budi pekerti luhur.
Sekarang mulai berubah, tergerus, menjadi miskin, padahal kita semua tahu
begitu banyak kekayaan alam yang seharusnya bisa mensejahterakan rakyat kecil
seperti kita”
“Din. Aku memang merasa
akhir-akhir ini banyak berpikir hal macam ini. Padahal sebelumnya aku jarang
sekali mikirin nasib orang lain. Mikirin nasib sendiri untuk menyiapkan uang
makan keluarga besok aja masih keteteran, apalagi mau ngurusi orang lain”
Yujien masih saja
berbicara sambil menyuapi Sinardin. Sinardin mengunyah perlahan makanan
sederhana yang di berikan oleh Yujien.
Muhammad Habib Amrullah
15 Mei 2018
0 komentar:
Posting Komentar