Minggu, 25 November 2018

Kumpulan Cerpen ; Kesuraman di dunia yang begitu indah



Begitu kelam, nuansa yang terjadi di dalam dunia yang indah ini. Begitu absurd dan suram walaupun bunga bermekaran, berwarna-warni memenuhi ladang. Inikah yang dirasakan kebanyakan orang, padahal sekiranya mereka tahu betapa indahnya alam yang sedang mereka pijak. Seberapa beratkah himpitan hidup yang dirasa sampai mereka tak merasa, betapa megahnya matahari yang terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.

            Namanya adalah Sinardin. Pria paruh baya yang tidak berdaya menangani keadaan di sekitarnya. Kesehariannya hanya mengemis dengan kerja sampingan sebagai pengamen. Hal yang sangat di benci olehnya adalah para manusia rakus. Entah itu mereka yang rakusnya kecil maupun yang rakusnya besar. Entah itu yang suka makan sogokan, ataupun yang memberi sogokan. Berkat itulah negerinya tidak berkembang sampai sebagaimana sekarang.

“apa yang sekiranya bisa kuperbuat sebagai rakyat jelata? Apa yang mungkin bisa aku pikirkan mengetahui kondisiku yang sangat mengenaskan ini?” pikirnya dalam suatu waktu. Dia sampirkan gitarnya di sebelahnya. Sambil merebahkan badan di emperan toko yang tutup. Suasana gelap telah menutupi daerah tersebut. Lampu-lampu  jalan dan rerumahan menyala menyedot pemakaian listrik yang dihasilkan batu bara yang mengotori langit.

“Harusnya aku bisa bercanda ria di luar sana, harusnya tempat ini bagaikan surga kedua setelah surga di Akhirat. Namun rasanya seperti tinggal di neraka saja. Para biadab itu apakah belum puas dengan limpahan harta yang memenuhi lambung dan usus mereka?”

            Serentak gerimis turun, berangsur-angsur membasahi tempat itu. Sinardin agak menepi supaya tidak terkena rintikan hujan yang semakin deras. Tak lama, sesosok pria yang dikenal datang menuju ke tempat rehat Sinardin.

“Gimana kabarnya bro?” sapanya akrab.
“seperti biasa, laper” sahut Sinardin. Matanya yang sayu memperlihatkan kalau dia belum makan dari kemarin.
“perasaan lo kan udah ngamen dari tadi pagi. Masak sama sekali ngga dapet Rp?”
“dapet sih dapet Jien. Cuma ya tadi….”
“tadi kenapa Din?” tanya Yujien.
“ada orang yang sekarat belum makan selama seminggu. Akhirnya aku kasihin semuanya deh”
Yujien Nampak tertegun sesaat akan sikap respek Sinardin. Namun setelahnya ia menggeleng gelengkan kepala.
“Din……. Din….. lo tau nggak? Lo itu dalam posisi orang yang susah, ngapain juga malah nolongin orang yang susah. Justru para mereka yang di beri kelonggaran dompetlah yang harusnya ngebantu tu orang sekarat, bukannya LO. Ah kau ini” gerutu Yujien.
“gini-gini aku juga punya rasa kemanusiaan Jien, mungkin mereka yang beruang pada sibuk mengisi kantong dompetnya, atau mungkin karena orang sekarat itu luput dari perhatian orang yang beruang”
“emang kurang ajar tuh mereka. Main timbun uang seenaknya. Nih duit buat makan lo malam ini” kata Yujien sambil menyodorkan uang 5000. Ngga tega gue liat lo mati besok.
Dengan senyuman, Sinardin mengambil uang tersebut dari tangan Yujien.

            Manusia berulah dan bersikap atas asas dan ideologi yang di anut. Jalan hidup sudah mereka pilih dan seakan tidak bisa diganggu gugat oleh apapun. Kecuali bagi mereka yang berpikir luas dan melihat dari banyak sudut pandang yang beredar.

            Lama-lama hal ini menjadi sangat serius. Sinardin kala itu terserang penyakit aneh yang membuat kedua kakinya lumpuh. Kini dia tak bisa mencari duit lagi, dan hanya bisa terbaring di gubug reotnya. Mulutnya yang penuh dengan sariawan itu terengah-engah menahan rasa sakit yang kadang dirasakan oleh kakinya.

            Mungkin tidak ada orang yang peduli. Justru kebanyakan orang akan merasa diuntungkan karena menganggap salah satu sampah telah pergi dan mati. Tapi Yujien nampaknya masih berbelas kasih. Dia merelakan untuk menyisihkan waktu ngamennya untuk merawat si Sinardin.

“apa aku kata kemarin Diin…. Kerja itu juga ada batasnya, nolongin orang itu juga ada batasnya. Apalagi lo itu orang kere, jangan sok-sok an memberikan upah minimum itu ke orang lain. Itu sudah menjadi tugas orang yang lebih mampu. Dan sekarang inilah yang kau dapat dari akibat perbuatanmu” kata Yujien sambil menyuapi Sinardin yang terduduk di kasurnya.
“kau tau kan, aku disini peduli karena dulu kau sering ngebantu aku. Jadi mau tak mau aku ngga bakalan bisa membiarkanmu mati disini. Memang payah nih orang-orang sekitar, seperti ngga peka saja kalau ada orang yang membutuhkan. Apa karena jumlah kere sekarang itu terlalu banyak sampai mereka kewalahan untuk menyantuni para kere itu”
Sinardin hanya tersenyum mendengar celotehan dari Yujien.
“Aku belum bisa menangkap makna keadilan disini. Aku juga masih tak mengerti apa yang dipikirkan para penguasa ketika diberi jabatan untuk memimpin negeri ini. Negeri yang seharusnya makmur, aman Sentosa, dengan masyarakat yang santun dan punya budi pekerti luhur. Sekarang mulai berubah, tergerus, menjadi miskin, padahal kita semua tahu begitu banyak kekayaan alam yang seharusnya bisa mensejahterakan rakyat kecil seperti kita”
“Din. Aku memang merasa akhir-akhir ini banyak berpikir hal macam ini. Padahal sebelumnya aku jarang sekali mikirin nasib orang lain. Mikirin nasib sendiri untuk menyiapkan uang makan keluarga besok aja masih keteteran, apalagi mau ngurusi orang lain”
Yujien masih saja berbicara sambil menyuapi Sinardin. Sinardin mengunyah perlahan makanan sederhana yang di berikan oleh Yujien.



Muhammad Habib Amrullah

15 Mei 2018

0 komentar:

Posting Komentar