softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Rabu, 27 November 2019

Kumpulan Cerpen; Datar



            “Apa yang membedakan hari ini dengan hari lalu?” Tanya Budiawan.
“kemarin hari rabu, sekarang hari kamis?” Jawabku.
“ya, tapi bukan Cuma itu cuy?” dia Nampak girang, ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan semenjam satu jam yang lalu. Setidaknya aku sudah menebak isi kepalanya.
“kemarin cintaku di terima! Gila ga sih? Padahal aku Cuma keceplosan!”
Aku mencoba ikut berbahagia, memberikan setidaknya senyum renyah sebagai bentuk apresiasi atas capaian yang dia dapat. Inilah yang menjadi jawaban mengapa dia mentraktirku mie ayam siang ini.
“Dan ternyata selama ini dia juga memendam rasa sama aku! Aduh, jika saja aku lebih cepat menyatakan cintaku…”
well, lalu apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
“nanti hari sabtu cuy, aku ada first date bareng dia, bakal aku baca berbagai tutorial kencan agar kesan pertamaku baik ke dia”
“semoga sukses, tapi jangan sampe kelewat batas ya”
“tenang saja bor, pacaranku lebih mengarah untuk menjaga dia, kencan kami ini bakalan syar’i kok”
***

“mas, ingin cendol dawet?”
“yah, saya beli satu”
Dengan ekpresi senang pedagang itu membuatkan ku satu gelas cendol yang kupesan. Membuatnya dengan lincah, menandakan pengalamannya dalam membuat minuman cendol dawet. Segelas cendol dawet tersaji di hadapanku.
“terimakasih”
“siap mas”

Mungkin dia sudah menjalani pekerjaan ini dengan sangat baik. Sambil memakan cendol aku masih kepikiran tentang apa yang aku hadapi saat ini. Tak ada rasa, tak berasa, hambar, bahkan cendol dawet ini saja tak bisa kurasakan setengah mati, padahal lidahku ini normal. Tak ada rasa, bagaik meminum air putih.

“ada apa mas, apa rasanya kurang enak?” rupanya bapak itu melihat raut mukaku yang masam
“tidak kok, rasanya enak” aku harus menipunya untuk mengenmabalikan senyumnya yang hilang lima detik yang lalu.

            Melihat orang yang sedang tersandung. Melihat seorang yang menangis, anak-anak yang nakal dan membully seorang anak yang lain. semua itu terkesan biasa di mataku. Semua seakan tidak ada artinya, tidak ada hablumnya. Bahkan ketika diriku sedang bergurau dengan orang lain. aku tidak menemukan sensasi tawa yang ada dalam setiap jokes nya. Sama sekali tidak.

“tadi sepertinya kamu memaksakan tawamu, apakah guyonan kami tadi segaring itu?” tanya rasya, dia sangat teliti sampai bisa merasakan ekspresi yang telah kusembunyikan
“tidak. Guyonan kalian sangat lucu, mengalahkn juara 1 stand up comedy”
“tapi, kenapa kamu tidak tertawa seperti biasanya? Apakah kamu memiliki masalah yang ingin kamu sharing denganku disini” pintanya sekali lagi. Dia memang orang yang sangat bisa membaca orang lain.
“tidak ada, aku tidak memiliki masalah, ataupun beban yang harus dipikirkan hingga otakku stress, tapi…”
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku
“aku mungkin sudah tidak bisa disebut manusia lagi”
Rasya memiringkan kepalanya, kebingungan menjabarkan kata-kataku.

            Seekor kucing yang kehilangan buntutnya, kulitnya mengelupas dan bulunya mulai rontok, seorang yang kecipratan genangan  air saat berjalan di trotoar, seorang yang kesandung, seorang yang sedang mengupil, seorang yang sedang membasuh keringat ketek, seorang yang sedang menggaruk-garuk Joni kemudian di cium, seorang yang sedang tertimpuk baseball, seorang yang sedang terkena hantaman bola di kepala. Semua tertawa, semua bisa merasakan sakitnya, malunya, lucunya, keindahannya. Namun aku lain. mengapa sekarang aku tidak merasakan hal itu?

“aneh” pikirku, seandainya ini diriku yang dulu, sudah barang tentu aku akan merasa kasihan, atau mungkin tertawa terbahak, atau menolong, atau mungkin setidaknya ikut berbela sungkawa
“ada apa denganku?”
Perasaan yang hilang, rasa empati yang sirna, semua terhempas entah kemana. Dimana aku harus mencari? Rasa yang sungguh datar, berbeda dengan diriku dulu. Waktu kecil bahkan aku bisa membedakan pola warna dari tiap agenda yang biasa kujalani, penuh warna dan mudah untuk di ingat. Apakah ini karena pola hidup? Tekanan hidup yang menekan sehingga lantas membuatku masa bodoh dan kehilangan tekanan itu? tekanan yang menyesakkan hati. Sebuah intens yang kadangkala membuatku khawatir sampai tidak bisa tidur pada malam hari. Namun sekarang segala tekanan itu serasa biasa, segala keadaan itu serasa ampas. Tak penting.

“kenapa kamu tidak mau membantunya? Apakah kamu hanya mau diam disana dan melihat” tanya seorang ibu-ibu ketika di hadapanku terjadi kecelakaan beruntun.
Lamunanku terbuyar. Orang-orang banyak berhamburan ke lokasi kejadian. Membantu mereka yang terjepit, mengevakuasi para korban yang luka-luka. Mengkondisikan lokasi yang kacau balau. Mengatur jalan raya agar tidak macet parah.

“ketika ada kejadian seperti itu, kamu masih bisa-bisanya diam?”
Aku mengangguk
“Dimana hati nuranimu? Dimana empatimu? Dimana sisi kemanusiaanmu!?”
“sudah hilang, dan yang menghilangkannya tak lain manusia itu sendiri”


Surakarta, 28 November 2019

M         H         A

Rabu, 06 November 2019

Kumpulan Cerpen ; 21



Waktu semakin menipis, Raga semakin tergerus. Tak terasa, tak berasa, tak kuasa, merasa asa ini tak bisa lagi di perjuangkan. Menyalakan lentera, mengusir kegelapan yang seketika lenyap tersapu cahaya kuning kemerahan. Jalan yang ditempuh tak selamanya benar, yang ada hanyalah arah yang sebenarnya sudah di rancang. Namun sulit untuk bisa berjalan pada sebongkah aspal kecil yang tertera di depan, apakah ini jalan yang benar? karena jalan yang benar bukan berarti itu selalu sempit, kadang luas, hanya saja kita belum menemukannya.

“gimana? Motor lu bisa lewat ga?”
“mustahil, kalaupun bisa, itupun pasti esoknya motorku harus di servis karena jalanan yang begitu terjal”
“gapapa, ketimbang ga sampek tujuan, lagian lo harus kuliah besok. Masalah servis motor paling Cuma nunggu ngga ada tiga jam, kalo ga rame” Jelas Sudirjo.

Aku mengangguk setuju. Besok ada kuliah, dan aku harus menghadiri sesi itu untuk partisipasi kehadiran 75 persen. Ngga masuk sekali maka pupus sudah, mau tak mau harus mengulang lagi di semester selanjutnya.

            Aku beranikan diri melawati jalan itu, sebuah jalan yang harusnya tengah di perbaiki. Tak ada jalan lain selain jalan itu. padahal kedua orang tuaku sudah menyuruh untuk izin saja dan menghendaki agar berangkat kuliah pekan depan.

“tidak bisa, aku ingin menggali ilmu di kuliah, aku yakin itu masih worth it, dan masih diperlukan di dunia ini, tinggal bagaimana cara kita mengembangkan dan mempraktekkan ilmu itu di kehidupan nyata” jawabku seketika membantah mereka yang bilang kuliah itu buang-buang waktu, meski pada dasarnya memang iya. Karena alasan terselubungku adalah agar tidak alpha untuk yang ke empat kalinya.

            Hari berganti. Motorku benar-benar K.O. dan harus menjalani masa rehabilitasi selama empat jam di bengkel. Akhirnya memesan ojek online, sampai di kelas tepat waktu. Menyapa beberapa teman kemudian menikmati perkuliahan dengan seksama.

“ada yang janggal. Tak biasanya kamu kesini tepat waktu”
“biasanya kamu ke kunci di luar kelas kan. hebat banget bisa datang paling pagi di kelas?”
mereka tersenyum sinis, berusaha mengejek denga kata-kata santuy yang menghujam tajam ke dalam jiwa.
***


            Kelas selesai. Semua kembali seperti semula. Tersisa waktu setengah jam sampai motorku selesai di reparasi.

“mas, ini motormu sering kamu ajak trill2an to?” tanya bang Tubeless
“ndak mas. Cuma kemarin aja agak kurang beruntung harus lewatin jalan jelek”
“soalnya ini motor tua mas. Kalau ndak di rawat baik-baik bakal mati kayak kentut”
“iya mas saya tau”
Mulai saat itu aku paham bahwa benda harus di rawat dengan sebaik baiknya.
***


            Manusia. Begitulah kata orang-orang. mereka selalu mengingat hidup tanpa mengingat mati. Selalu merasa nikmat kadang merasa sakit. Membayangkan jika segala rasa sakit yang di dapat lebih perih dari orang lain. Tanpa peduli rasa sakit orang lain. dan begitu abai dengan nikmat yang selalu di terima setiap hari. Kesadaran itu berdampak pada tindakan, yang di olah dalam persepsi bawah sadar. Itu menjadi pokok dasar tolak ukur orang itu sukses atau tidak.

            Seseorang nongkrong di kolong jembatan. Para kere itu, mengapa mereka bisa menetap disana? Para politikus, para insinyur, para anggota dewan yang memiliki berbagai macam kekayaan. Mereka juga berposisi dan nongkrong di Gedung-gedung mewah. Orang-orang pintar, orang-orang goblok, orang terpelajar, maupun yang kurang ajar. Mereka semua nongkrong di tempat masing-masing. Di tempat-tempat yang telah di tentukan. Di sesuaikan dengan adil menurut dengan kapasitasnya. Namun banyak orang menganggap nya tidak adil. Lantas kenapa?

Mereka yang miskin membelot dan gusar. Merasa marah atas keadaan mereka yang serba kekurangan. Mereka yang kurang ajar frustasi. Merasa tersakiti dan hidup serasa seperti amplas kopling. Para terpelajar sambat, merasa hidupnya monoton, taka da gairah, dan ujung-ujungnya hanya bisa jadi pesuruh kerja. Para politikus, mereka nyaman, Cuma segala macam rasa khawatir selalu hinggap di dada mereka akibat tekanan-tekanan dari para invisible hand.

            Serasa tidak ada sama sekali nikmat. Seakan nikmat begitu mahal dirasakan di kehidupan sehari-hari. Seakan nikmat itu barang langka yang jarang di dapat semua orang. padahal mereka bisa saja merasakan nikmat itu di sekitar. Jika mereka sadar bahwa hanya dengan menghirup dan menghembuskan nafas saja itu merupakan salah satu nikmat. Hanya saja mereka tidak menyadarinya.

            Mereka hanya terlambat menyadari. Ketika mereka sadar mereka baru tahu kalau itu sudah terlambat. Terlambat akan satu hal yang membuat mereka berpaling dari kenyataan. Menuju dalam kesemuan yang mereka anggap itu nyata. Sesuatu yang melalaikan, bahkan membuat diri tak kuasa berpaling darinya.

“akan kuberi tahu apa yang Namanya penderitaan”
“aku sudah sering mengalaminya”
“seberapa sakit itu?”
“tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Tapi aku yakin setiap orang pasti memiliki deritanya masing-masing. Itulah cobaan, itulah pembelajaran. Yang kutahu itu membuatku semakin dewasa dan tegar menjalani hidup”
“mungkinkah begitu? Apa kau bisa merasakan mereka yang dilibas oleh berbagai penderitaan tiada akhir”
“aku bisa membayangkannya. Aku juga banyak melihatnya, mendengar ceritanya, mendengar jeritannya, rintihannya, melihat peluhnya, sakitnya, semua”

Melihat realitas sekarang begitu pelik. Tak semua kebaikan masuk hanya dengan di sampaikan. Tampilan ternyata sangat berpengaruh. Kalian bisa membuktikan itu melalui perbuatan. Tapi perbuatan itu tak melulu bisa dilakukan setiap waktu.

Ini kesekian kalinya aku menemukan diri berbalut amarah. Ingin rasanya melampiaskan tapi diri berusaha agar tetap sabar. Segala tanggungan yang luar biasa. Terus menderu bagai peluru yang menyasar ke berbagai tempat.

Beberapa hari menjelang. Memang seperti tidak ada penyelesaian yang berarti. Sebenarnya aku tahu mengapa masalah ini bisa terjadi. Bahkan aku tahu cara penangan yang sekiranya tepat untuk mengatasi segala macam problem yang menderu. Hanya saja tubuh ini tak sepakat dengan apa yang ada dalam pikiranku, walhasil dampak dan perbuatan berbeda dari apa yang di hasilkan oleh pikiran

“itu membuatku frustasi. Pantas saja katingku dulu sampai keluar. Padahal kutahu dia sedang mendapatkan tempat yang nyaman. Menghilang seperti di telan bumi”
“yah, aku juga tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan sesuatu yang sebisa mungkin itu akan menghasilkan dampak yang besar”
“kau pikir apa yang membuat sebuah organisasi, komunitas atau kumpulan itu bubar dan tak membekas”
“karena mereka tak menghasilkan output. Kalaupun ada itu tak seberapa. Atau mungkin itu adalah output yang dipaksakan”
“hmm, seseorang yang tidak melihat hasil apapun disitu. Namun disitu aku melihat hasil yang banyak. Hanya saja disitu juga terjadi banyak penyimpangan. Kenapa?”
“bukankah dirimu juga? Tidak bisa menjaga yang harusnya kau jaga?”
“memang benar. aku tidak bisa mengelaknya lagi. Itu sudah terjadi di depan mataku dan aku tahu itu semua bermula dari diri ini”
“lantas apa yang membuatmu marah ketika itu salahmu sendiri?”
“aku marah pada diriku sendiri”



Surakarta, 6 November 2019

M         H         A

Selasa, 05 November 2019

Kumpulan Cerpen ; SADTO



            Terlihat ambigu, berbagai hal buruk mulai berdatangan satu demi satu. Tak hanya berdampak dari diri Sadto sendiri, namun juga berdampak buruk bagi orang lain. Apakah karena manusia itu makhluk sosial? Sehingga dampak buruk itu bisa terbagi, menyatu, berpadu, dan berkesinambungan bagai domino.

            Sadto terlihat lesu, lemas, dan lelah dengan apa yang terjadi. Sudah berapa banyak orang yang dikecewakan. Awalnya Sadto berpikir jika kesialan itu akan mengena pada diri sendiri, nyatanya hal itu berdampak juga pada orang-orang yang ada di sekililingnya. Sadto tidak ingin hal ini terus berlanjut. Membiarkan orang tak bersalah terkena imbas atas tingkah laku Sadto.
“Mengapa kami saling terhubung? Apa yang membuat segala tindakanku berefek pula pada orang lain?” Sadto tak habis pikir. Dia pandang anak-anak sedang berlari mengejar layangan putus. Entah apa yang merasuki jiwa anak-anak itu sehingga membuat mereka lari tunggang langgang hanya untuk mendapatkan layangan putus seharga seribu rupiah.

            Tak heran Sadto saat ini tengah di jauhi banyak orang. Menghindari kesialan yang kerap kali didapatkan ketika berada di dekat Sadto. Sadto bukannya marah justru malah senang, karena korban kesialannya akan berkurang. Menerima kondisi ini merupakan pilihan bijak. Tidak melibatkan orang lain dalam masalah adalah pilihan terbaik yang bisa Sadto lakukan.
“Sadto kurang ajar, lain kali aku ngga mau sekelompok sama kamu”
Sadto hanya bisa menunduk tak berdaya, pasrah menerima lontaran kata pedas atas ketidak bertanggungjawabannya. Cacian dan cibiran memang layak untuk Sadto dapatkan.
“Gara-gara kamu nilai kami jadi jelek tau nggak, kalau mau males-malesan jangan sampe yang lain kena imbasnya dong. Simpan masalahmu sendiri”
Lalu mereka berdua pergi meninggalkan Sadto yang masih terduduk kaku disitu. Termenung menatap layar smartphone untuk mendapatkan sinyal wifi. Beberapa rekannya yang lain juga Nampak tak ingin mendekati Sadto.
***

            Sampailah Sato di tempat yang sepi.

“rasanya aku ingin sekali menghindari orang-orang. Menentramkan diri dalam kesendirian batin, ditemani dentuman music mellow, bagai seorang ampas yang telah kehilangan sari-sari kehidupannya”

Pepohonan rimbun kala itu membawa beberapa nyamuk yang kemudian menggigit Sadto. Sadto tak peduli lekas mempersilakan mereka meminum darahnya. Dia tak ingin mencari gara-gara dengan kerumunan nyamuk itu, apalagi untuk fokus menamplek para nyamuk itu gara mati berdarah-darah di telapak tangan. Sadto hanya pasrah saja sambil menyesali perbuatannya.

            Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Sadto masih berada disitu. Data Ponsel ia matikan untuk menghilangkan keberadaannya dari orang-orang. Dia tidak ingin diganggu pada saat ini. Meskipun masih ada banyak tugas yang menanti.

Lantas beberapa ada yang mencoba menelfonnya dengan menggunakan panggilan pulsa. Dahi Sato berkerut. Mengapa dia tidak dibiarkan untuk sendiri untuk beberapa saat.

What?

Dia membiarkan Smartphonenya berdering sendiri untuk beberapa lama. menunggu sang penelpon bosan dengan panggilannya. Setelah lima kali barulah panggilan itu berhenti. Suasana tenang kembali di dapatkan oleh Sato.

“sepertinya aku harus membangun kembali bangunan yang telah runtuh”

Sadto berfikir keras untuk bisa kembali menemukan semangatnya. Menemukan alasan yang mendasari tindakannya. Menemukan cahaya terang, yang selama ini hilang dari dalam hatinya. Dia ingin bangkit, namun tidak tahu untuk apa. Dia ingin berjuang, namun tidak tahu apa dan siapa yang harus di perjuangkan. Setelah melihat realita Sadto mulai paham, sedikit-demi sedikit itu mengikis bangunan yang telah lama di buat. Sadto menjadi luntur, lembek bagai permen karet yang di dudul sekali langsung berubah bentuk. Dia tidak memiliki pegangan yang kuat untuk melanjutkan apa yang selama ini di perjuangkan. Hingga akhirnya dia berkubang dalam lubang nestapa yang cukup dalam, dan pada saat itu orang-orang justru malah menambah bebannya dengan sampah-sampah yang di buang kelubang itu.

“jika dibiarkan maka bangunan yang selama ini kubangun akan runtuh semua, tak berbekas, rata dengan tanah”

Sudah berapa banyak kekecewaan. Dan itu dia dapatkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Namun yang membuatnya bingung adalah beberapa hal yang itu berimbas pada… pada…

“aku tak ingin membahasa itu. setiap orang memiliki penilaian dan tujuannya sendiri. Diri sendiri, eksistensi diri, merupakan tolak ukur nomor satu yang harus wajib terpenuhi. Sifat ke Akuan, ke angkuhan, kedigdayaan. ketika merasa dirugikan jelas diri akan berjuang membela dan mempertahankan diri, melampiaskan ke mereka yang bersalah, menyalahkan mereka yang tidak benar, mengutuk mereka yang menganggu kebebasannya, mengganggu eksistensinya”

“banyak orang berpikir asalkan diri mereka tidak terusik maka semua itu baik. yang jelas patokan utama adalah diri sendiri. Kepentingan diri jauh lebih baik dari pada orang lain. meski secara sadar mereka menolak argument itu, namun alam bawah sadar mereka menindak hal itu ”

Kesimpulan berani yang bisa Sadto kemukakan saat ini. Namun semua itu ada benarnya. Dia masih belum bisa membedakan, sebenarnya bisa, Cuma masih belum berani memastikan itu benar atau tidak. Bagaimana bekerja dengan hati dan bekerja hanya untuk kepentingan diri. Jika itu untuk kepentingan banyak orang mengapa tidak ada rasa keterikatan ketika menyelesaikan suatu masalah? Hanya sebatas menunggu dan membiarkan orang lain bekerja tanpa peduli dengan kondisi yang bekerja?

“itulah yang selama ini menjadi patokanku menilai kinerja mereka atas dasar kebersamaan atau kepentingan diri”

            Paksaan memang jalan terbaik untuk menimbulkan rasa tanggung jawab pada jiwa manusia. Tak ada pilihan lain selain mengikuti atau ter cap sebagai seorang yang tidak kompeten yang nantinya bakal di nyinyir oleh banyak orang.

“apakah hal itu termasuk dari kebersamaan kerja? Apakah itu yang Namanya menjalin hubungan baik antar sesama manusia? Menyalahkan atas dasar tanggung jawab tanpa peduli subjek yang melaksanakan tanggung jawab?  bahkan selama ini dia hanya melihat dari kejauhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mau tahu asalkan kerjaan berjalan dengan baik, baru mau tahu ketika semua sudah terlambat untuk di ubah lagi”
“Statementku barusan tidak lain hanyalah pembelaan belaka. Aku tak bisa memandang secara objektif jika orang yang menjadi objek masalah adalah aku”

Memang fitrah manusia tidak ingin disalahkan. Sadto paham itu. dia tersenyum dan kembali menata pola pikirnya. Melupakan segala bentuk hambatan yang selama ini menerpa. Fokus utama Sadto adalah kembali membangun bangunan yang telah runtuh. Bukan menyalahkan mereka yang menghancurkan bangunan itu.

            Sadto berdiri. Malam sudah terlalu larut. Lampu-lampu jalan menyala semenjak tadi. Nyamuk-nyamuk menghilang karena kekenyangan menyerap darah dari Sadto. Sadto berkemas untuk kembali ke kosan. Tidak ingin berlama-lama melakukan uji nyali disitu ditemani dengan setan-setan alas.





Surakarta, November 5, 2019


M         H         A