Sambil tertatih pria krempeng itu
tetap berjalan lurus sambil meminggul karung goni. Pakaiannya lusuh berbau semerbak
apek. Banyak orang sekitar menjauh karena tidak ingin terkontaminasi. Memilih
menutup hidung atau berjalan bagai menghindari mantan. Tapi suasana akhir-akhir
ini berbeda. Seakan semua menghilang di depan matanya. Suasana sepi kesana
kemari. Yang ada hanyalah kicauan burung yang mulai berani bertengger di
pucuk-pucuk pohon tanpa rasa takut terkena senapan. Jalanan lengang bahkan jika
pria itu ingin tidur nggeletak disanapun ga akan tertabrak – saking jarangnya
kendaraan melintas. Semua sudah mengurung driiri dalam rumah masing-masing
akibat pandemic.
Lelaki itu tahu bahwa banyak
larangan untuk keluar rumah tersebar di berbagau media. Mulai dari koran bekas,
televisi warung yang tak sengaja dia lihat, hingga obrolan para warga yang
melintas. Semua membicarakan tentang penyakit itu, dan semua sadar dan takut
jika tertular penyakit itu. membela diri dengan menutup diri di rumah,
pemerintah menyarankan untuk work at home, stay at home, productive at home dan
berbagai semboyan yang memaksa masyarakat untuk tidak keluar. Supaya penyebarkan
virus tidak semakin mewabah. Gelandangan itu tahu, gelandangan itu juga paham.
Tapi apa daya, mengurung diri dirumah sama saja bunuh diri, meski toh tidak
terkena penyakit juga bakalan mati kelaparan karena tidak mendapat asupan nasi.
Pria itu masih berjalan lurus,
mengumpulkan tiap bongkahan sampah yang ada disekitarnya. Peluh dan bau sudah
tidak digubris. Virus apapun sudah di abaikan. Asalkan bisa hidup dengan
berjuang itu lebih baik ketimbang berdiam diri.
“woi,
jangan masuk area ini, kami sedang melakukan Lockdown di desa kami!” bentak
warga kapling.
Tidak
hanya disini, banyak teriakan juga didapat di berbagai kapling yang ingin pria
krempeng itu masuki. Tapi tak masalah, masih banyak tempat lain yang
menyediakan sampah untuknya.
Aku
menghembuskan nafas berat…
Melihatnya saja sudah merasa kasihan
– Tiap hari menatap dari dalam jendela kamar – pemulung itu lekas berlalu
meninggalkan tempat. Berlabuh ke tempat lain untuk mengais sampah.
“le,
jangan lupa kalo ada tugas atau kuliah”
“iya
buk” sahutku dari dalam kamar.
Kembali
menatap layer smartphone, sebentar lagi waktunya kuliah online. Aku sama sekali
tidak memperhatikan berapa kali absen yang sudah terlewat. Tak peduli lagi
berapa nilai IP semester yang akan di dapat sekarang. Asalkan semua matkul
lulus, itu sudah lebih dari cukup. Lagian aku belum bisa maksimal melakukan
metode ini. Mesti terlihat mudah namun ternyata menyesuaikan perkuliahan ini
lebih sulit dari yang dikira. Mulai dari jadwal yang tidak teratur hingga
kadang ketiduran saat kelas berlangsung.
Apalagi niat di dalam diri juga
belum terbangun menambah kemalasan Ketika melakukan apapun. Entah itu tugas,
organisasi, maupun kegiatan rumahan. Semua dilakukan melalui rebahan. Sambil
sekali menatap keluar jendela melihati mereka yang masih pontang-panitng
bertahan hidup di luar sana. Melakukan cara apapun untuk bisa mengisi perut
mereka.
“bro,
nanti kalau sudah selesai bagi tugas ya”
WhoApp
Kembali berdering. Temanku ini memang selalu mencari jawaban di berbagai tempat
termasuk aku. Yah aku memang tergolong cepat Ketika melakukan sesuatu. Hal
itulah yang bisa membuatku malas sampai mendekati deadline.
“ya,
kalo beres, ga janji” timpalku seadanya.
Kehidupan
yang dimulai dirumah, aku hanya bisa merasakan betapa sepinya karena tiap hari
harus mendekam disini. Tidak merasakan susahnya mereka yang masih berkeliaran
di luar untuk mencari pundi rezeki.
Melihat berita isinya hanya tentan
covid. Yang trending-trending juga berbagai macam hal konyol, tidak mendidik,
dan tidak penting. Tidak ada sesuatu yang menggugahku. Tak ada siaran piala
Euro yang mungkin bisa kami sekeluarga nikmati selama puasa andai wabah tidak
terjadi. Bisa melihat anime launching tepat waktu, bisa nongkrong bareng temen.
Para pekerja harian juga dapat asupan gizi, dan PHK besar-besaran tidak akan
terjadi.
“tapi
aku percaya segala hal pasti ada hikmahnya” balas seseorang Ketika melihat
status galau ku di whoapp.
“hee,
memang apa hikmahnya?”
“do’a-do’a
mereka yang suka rebahan terkabul”
“montoon
bercanda”
“haha,
dari dulu lu juga sama kan pasti berharap bisa libur Panjang dikala kesibukan
kuliah”
“iya
sih pernah”
“nah
itu salah satu hikmahnya, kita dibuat merasakan libur panjang”
“tapi
tetep aja nyesek kalo tugasnya bejibun kek gini. Pamadatan kuliah dll”
“haha,
nikmati aja boss. Mungkin juga hikmah supaya lebih dekat dan bisa
sharing-sharing bareng keluarga. Udah lama kan lu ga di rumah”
Aku
hanya bisa membalas emoticon senyum. Sudah terlalu lama aku tidak tinggal
dirumah hingga melupakan nama beberapa orang di sekitar tetangga rumah.
Apa yang bisa dilakukan dirumah
selain menganggur seharian. Bertingkah seolah produktif tapi nyatanya selalu
mencuri waktu untuk bermain dan membuang waktu. Masa yang begitu mencekam
dimana hampir segala sesuatu tidak bisa dilakukan. Hanya berbekal jaringan, mau
tidak mau banyak orang mulai berpikir dan harus berubah demi mengarungi
kehidupan secara maksimal.
“dimasa
peralihan seperti ini aku tidak bisa betah dirumah. Tugas menggunung bahkan
sampai tidak bisa mengikuti proses belajar perkuliahan”
“meski
ada saja orang yang masih betah dan berusaha keras mengikuti kelas”
“aku
bahkan sampai lupa rasanya hari minggu, karena kesannya semua hari itu seperti libur”
“gila
aku ketinggalan banyak tugas”
“ya
ampun kenapa ga ada yang pc aku siang tadi, aku ketiduran ga ikut kelas!”
Grub
Whoapp mulai ramai.
Beberapa
orang merasa tidak terima Ketika diwisuda online, beberapa juga harus
melewatkan momen penting kelulusan SMA dengan wisuda online. Rapat online,
organisasi online, kajian online. Tapi itulah yang terbaik yang bisa dilakukan
sekarang.
“apa
yang harus kamu lakukan sekarang?”
“adaptasi”
Jepara,
30 April 2020
MHA