Kamis, 06 Februari 2020

Kumpulan Cerpen ; Ataraxia




            Surejan hanya bisa pasrah menerima gempuran problem yang berkecamuk di dalam otaknya. Tak siap dengan masa depan dan kedewasaan yang sebentar lagi datang menghampar. Sinar harapan di matanya lenyap, begitu juga hati dan jiwa tak sanggup lagi menerima kenyataan hidup yang kian menusuk urat nadi di lehernya.

            Namun semua itu berubah ketika Surejan secara kebetulan melihat seekor kodok. Tadinya Surejan sangat takut dengan hewan berlendir menjijikkan itu. tapi entah kenapa sekarang hewan berlendir itu menjadi pusat perhatian Surejan. Katak itu berdiam dalam genangan air, sambil sesekali bernyanyi saling menyahut dengan kodok – kodok lain. Surejan tidak tahu menahu mengapa sangat menikmati para kodok itu bernyanyi riang di antara rintikan hujan. Serangga-seangga lain saling menyahut. Menyambut dan meramaikan hujan deras yang sebentar lagi mengguyur kota itu.

“Kodok itu…”  (batin Surejan)

Dia memperhatikan senyuman yang menerkah pada kodok itu. begitu juga dengan kodok-kodok lain yang nangkring di genangan lain. Hujan lebat dan badai petir tak membuat nyali kodok ciut, justru mereka semakin lantang bernyanyi.

Kang kung kang growk kung kang kung growk ~
kung kang kung growk kung kang kung growk ~

hingga tak sadar satu jam telah berlalu dan Surejan masih saja menatap kodok-kodok itu.

“Aku kira lu takut sama kodok Sure. Mau makan Swike?” tanya Nopejan yang sudah berada disampingnya sambil memainkan game keluaran terbaru.
“Kau bercanda! melihatnya saja sudah membuatku muntah” Kata Surejan dengan ekspresi jijik
“Lantas kenapa sekarang kamu ga muntah-muntah? Padahal dari tadi kamu liatin kodok itu” sambil menunjuk kodok hijau besar yang ada di depan kosan.
“Yang kulihat sekarang bukanlah kodok yang menjijikkan…”
“Nani?...”
“Kodok yang sekarang ada didepanku ini sangat special. Dia mengajarkanku bagaimana cara menjalani kehidupan ini dengan lebih terbuka dan sederhana”
“Heh, plis jangan halu. Aku tahu sekarang kerjaanmu makin banyak tapi jangan sampai hal itu membuatmu menjadi sinting!” Nopejan mulai ketakutan dan menghindar beberapa meter dari Surejan.
“Gua masih waras cuy. Kalau lu ga ada kerjaan, ayo bareng nonton orchestra kodok yang ada di depan kita” ajak Surejan
“Ogah ah! mending gue main WODN buat dapat CP gede. Bye. Nikmatin kesintingan lu” Nopejan berlalu menuju ke kamarnya.

Surejan tidak terusik dan tetap melanjutkan menatap kodok-kodok itu, dia mulai mendapatkan sebuah inspirasi dari seekor kodok yang bernyanyi di tengah guyuran hujan lebat.

“Aku ingin menjadi seekor kodok” (batin Surejan) “bernyanyi penuh riang bersama teman-teman yang lain. Badai diluar tak mengusiknya, bahkan kodok-kodok itu makin lantang bernyanyi. Padahal kodok-kodok itu tahu di luar sana petir bisa saja membuatnya menjadi Swike goreng”
“Lantas mengapa aku malah selalu merasa terbebani? Mengapa aku selalu berpikiran dangkal dan selalu protes dengan beban yang ada di sekeliling. Merasa takut dengan tanggung jawab yang akan didapatkan nanti, bahkan mencoba menghindari berbagai macam masalah dengan melarikan diri? Ya, aku harus menghadapi kehidupan. Seperti para kodok yang menikmati hidupnya di atas guyuran hujan”

Surejan membuka kamarnya lebar-lebar. Semua keluh kesah hilang saat itu juga. Semangat yang sudah luntur berbulan-bulan kini kembali bagai ditransfer oleh fiber optic berpaket 100/mbps.

“Akan kubuat hidup ini tidak ada penyesalan, jika ada sesuatu yang disesalkan, penyesalan itulah yang membuat kita kesal” (batin Surejan)

Tanpa banyak bacot, Surejan mulai menganalisis problem apa saja yang membuat tidak semangat, apa yang membuat tetap semangat, apa yang sekiranya mengganggu, apa yang membuat bisa berjuang, apa yang menghalangi untuk bisa tersenyum, apa yang membuat pikiran frustasi, apa yang bisa membuat tertawa, apa yang bisa membuat menangis, dan apa-apa lain yang berhubungan dengan kehidupannya sehari-hari.

“dahulu aku terlalu banyak berpikir ruwet. Sampai lupa betapa sederhananya mendapatkan kebahagiaan itu. dahulu aku terlalu ambil pusing dengan beban hidup serta rutinitas yang membelenggu. Sampai aku lupa betapa sederhana hidup ini seperti yang pernah aku rasakan ketika kecil” kata Surejan penuh dengan senyuman, sesekali dia menirukan suara kodok yang menginspirasinya di dalam kamar.

Growk growk… Kang kung kang kung ~ Surejan menirukan suara kodok dengan irama yang mengenaskan.

Nopejan yang mendengar suara Surejan lekas cepat-cepat kabur dari kamar. Mencoba menelpon kating untuk membawa Surejan ke RSJ terdekat.
“Ada apa Nope? Gue lagi jalan-jalan sama kucing nih”
“Penting mas. Gara-gara tugas yang dikasih mas Reynhard kemarin, Surejan jadi makin sinting! Kalau ga cepet-cepet aku takut ntar ketularan” Kata Nopejan sambil menangis ketakutan.
***


Setelah menganalisis tiap ‘apa’ saja yang ada dalam kehidupannya, Surejan mulai menanyakan ‘mengapa’ dirinya hidup? Mengapa dirinya berjuang? Mengapa dirinya membenci? Mengapa dirinya mencintai? Mengapa hidupnya sumrawut? Mengapa hidupnya tidak tenang? Mengapa kaos kakinya bolong? Mengapa guntung kuku nya ilang? Dan berbagai problem lain yang selalu menjadi pertanyaan dikala gusar. Sebuah jangkar yang selalu menghalanginya bergerak maju. Masalah-masalah itu bagaikan jangkar yang menghentikan kapal sampai ke tujuan. Jika tidak dihilangkan, yang ada akan membebani kapal untuk sampai ke seberang.

Surejan mulai mengerti sedikit dari arti kehidupan. Mulai memahami arti dari kedewasaan. Mulai belajar dari kesalahan untuk menggapai tujuan. Surejan sadar tidak setiap saat terus mengeluh seperti anak-anak remaja. Mulai tersadarkan dan menghilangkan emosi negative dengan senyuman. Untuk kesekian kalinya, Surejan merasa yakin bisa menghadapi berbagai hal yang ada di depan dengan dada membusung.
***


            Suara serine ambulan terdengar di luar kosan. Surejan mengerti mungkin karena nyanyian kodoknya membuat Nopejan mengira dia telah sinting.

“tak apa Nope, aku tidak akan membencimu karena ini. Kamu bisa mencancel orderan mobil RSJ mu itu” kata Surejan.
“TIDAK!!! Aku gamau sebelahan kamar sama orang sinting kaya kamu!” kata Nope setengah sinting.
“yang ada, jika kamu terus stress begitu, kamulah yang bakal jadi sinting”
“DIAM, aku gamau denger itu dari orang sinting!” suara Nopejan semakin keras hingga terdengar tetangga sebelah.
Dua orang perawat keluar dari mobil ambulan.
“oke, sekarang siapa yang harus kami bawa menuju ke RSJ Setia Burhan?”
“DIA ORANGNYA DOK!” sahut Nopejan. Menunjuk dengan bringas ke arah Surejan.
“apakah benar?” kata sang dokter memastikan.
“jika benar, kalian harus tahu siapa yang harus dibawa ke RSJ” sahut Surejan dengan senyuman hangat. Emosinya jauh terkontrol karena sudah mempelajari arti-arti kehidupan dari sang kodok.
“CEPAT DOK BAWA DIA, KESINTINGANNYA SUDAH LEVEL AKUT! AKHH…” kata Nope sambil memeluk sang dokter berusaha menghindar dari tangan Surejan. Sebenarnya Surejan berniat untuk menenangkannya.

“tolong ya dok, rawat dia dengan baik” sahut Surejan.
“baik mas, saya akan bawa pasiennya ke RSJ sekarang” kedua dokter itu sekuat tenaga menggiring Nopejan ke dalam mobil ambulan berjeruji besi.
“WOI BANG*AT KENAPA GUA YANG MASUK RSJ, WOI, ASW, JANGKR*K” Nopejan tak hentinya misuh-misuh sambil memelototi Surejan.
Surejan tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. “semoga lekas sehat sobat” sahutnya penuh perhatian.
“TIDAAAK BUKAN AKU YANG SINTING. KALIAN SALAH ORANG, B*DEBAAAH!”
Mobil ambulan berlalu dengan suara jeritan dari Nopejan.

“seorang yang tidak mengerti arti dari kesederhanaan hidup akan berakhir dengan mengenaskan. Itulah petuah dari kodok sensei. Kalian tak akan bisa melawannya dengan pikiran kompleks”

Surejan menatap langit biru, banyak hal yang harus dilakukan untuk menikmati kehidupan. Merasakan rasa syukur atas apa yang dimiliki. Mencoba memanfaatkan apa yang dia punya untuk mengerti apa yang menjadi kekurangan. Mencoba memahami diri dan tidak membenci diri adalah hal dasar untuk menikmati dunia. Menyederhanakan pola pikir dan tindakan merupakan hal lumrah untuk melihat kebahagiaan. Menghindari tekanan, amarah, rasa furstasi, sehingga bisa menangkap penuh kesempurnaan yang terpampang jelas dalam matanya…

Sang kodok terlihat tememplek di batang pohon. Surejan berterimakasih telah mengingatkan dirinya dari keterpurukan akan kedewasaan. Mengucapkan syukur kepada tuhan karena telah kembali diingatkan dengan perantara makhluknya. Kemudian kembali masuk ke dalam kosan dengan perasaan tanpa beban.




Surakarta, February 6, 2020

MHA

0 komentar:

Posting Komentar