Sampai
sekarang aku tidak tahu faktor apa yang mengganggu hidupku. Mungkin lebih
tepatnya tidak mengerti masalah yang harus di selesaikan saat ini. Semua itu
terasa aneh bagai makhluk astral yang sekarang sering dilempari gas LPG di
yutub-yutub. Atau rasanya seperti sedang berada di daerah terpencil tanpa bisa
menggunakan google maps. Rasanya panas, seperti kuah soto sebelum di celup es
batu, atau bisa diibaratkan panasnya seperti ketika kaki terkena knalpot. Kemungkinan
hal ini terjadi akibat dari efek berpikir keras.
“pesanan satu sudah
datang” seorang pelayan cantik ber make up tebal datang menghampiri meja
pesananku.
“ah terimakasih banyak”
kataku dengan senyuman ramah, walaupun aku tahu di balik tebalnya make up itu,
tersimpan lusinan jerawat yang sering dia plitesin.
Semangkuk kare sudah
terhidang di hadapan. Uap panas dan harum membuat perut ini tak sabar untuk
segera menyuruh mulut melahapnya. Dengan hati-hati sambil menghindari panas
kuah, aku menyantapnya dengan khidmat. Sebuah kesempatan yang tak terkira bisa
kembali memakan masakan enak ini lagi.
Tit tit tit tit….
Suara handphone kembali
berderit. Kurasa aku mendapat panggilan lagi semenjak mengabaikan pesan selama dua
hari belakangan. Perasaan jenuh bercampur aduk dikala beban selalu menindih
dikala aku tidak siap menerimanya.
(tolong beri aku waktu
untuk rehat sejenak)
Aku
sama sekali tidak menggubrisnya. Mengabaikannya mungkin akan mendatangkan
masalah baru. Masa bodoh, saat ini aku butuh ketenangan untuk dapat merasakan
kehidupan kembali dikala sudah lama merasakan kematian dalam menjiwai peran
kehidupan lain.
Telpon mati, sudah kelima
kalinya dan aku tak peduli, kembali memakan masakan yang enak ini dengan penuh
kekhidmatan.
Beberapa hari ini tidak banyak yang terjadi, hanya
mencoba mengasing sambil terus berpikir tanpa henti. Tak ada bedanya seperti
orang mati, menghilang dalam jalan yang sudah kutempuh beberapa tahun ini.
Apakah ini pilihan yang tepat? Siapa yang tahu. Aku merasakan kinerjaku selama
ini belum sepenuhnya maksimal, atau kurasa sudah maksimal hanya saja beberapa
faktor eksternal menghalangiku untuk dapat membuktikan kinerja maksimal yang
dilakukan. Tak ada harapan atau penghargaan, walau itu bukan hal yang aku
harapkan. Aku hanya ingin beberapa orang mengerti akan hasil kinerja yang
selama ini terbangun, perubahan yang harus dilakukan, agenda yang harus di
efektifkan, jalan pemikiran dan alur proses yang harus di perbaiki yang selama
ini aku pelajari di bangku perkuliahan tapi…
“ti tung”
Aku kembali mengecek
smartphone, sudah terdapat seratus enam belas pesan yang belum kubaca, Aku
hanya membalas pesan ibu ku yang besok akan mengirim sari kurma karena
mengetahui kondisi badanku yang tidak sehat. Memang benar, saat ini badanku tak
sehat, mentalku rapuh dan ruh ku terasa kosong.
Dahulu aku bisa bangkit begitu cepat, ketika menemui
problem hanya butuh beberapa hari untuk segera mengatasinya. Pahitnya untuk
bangkit dari posisi sekarang terasa sulit seperti melompati tembok setinggi
lima meter. Suatu yang mustahil kecuali jika ada alat atau orang yang membantu.
Dan aku belum menemukan alat atau orang yang dapat membantuku untuk melompati
tembok setinggi lima meter itu.
“umik sudah kirim ya mas Sapto,
sari kurma sama hebattusauda, diminum dua kali sehari”
“iya mik”
“jangan lupa makan tidur
teratur, mandi yang bersih, baju di laundry saja kalau hujan, kalau uang jajan
kurang bisa minta ke umi lagi”
“iya mik, makasih”
“ya udah, semoga cepat
sehat. Kalau ada apa-apa kabari umik lagi”
“iya mik”
“assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Telfon dimatikan. Sampai
sekarang aku masih bingung bagaimana cara membalas jasa kedua orang tuaku yang
terus saja berjuang merawatku sampai sekarang. Padahal umurku sudah segede ini.
Aku jadi merasa malu dengan Muhammad al faith yang sudah berjasa menjadi
panglima perang yang padahal usianya lebih muda dariku.
Guruku pernah berpesan banyak di kala SMA, dimana cerita
yang dipaparkan terkait anak muda yang berprestasi, pantang menyerah, seperti
Muhammad Al Fatih, Ali, Usamah bin Zain, Zaid bin Tsabit, dan berbagai macam
pendahulu yang kisahnya masih bergaung hingga sekarang. Sebuah cerita
menginspirasi yang membuatku bisa masuk ke universitas ini meski presentasenya teramat
kecil.
Dan sekarang aku terkapar. Kisah semangat juang yang sering
dibaca tetap belum bisa menstarter semangat juang. Aku takut kehilangan arah
dan berakhir mengenaskan. Seperti cerita-cerita kakak tingkat yang dulu
berkeribadian baik, taat, dan soleh, kini menjadi bejat, no life, dan fuckboy.
beberapa
cara sudah aku lakukan baik itu dengan pendekatan rohani maupun jasad. Semua sia-sia.
Kinerja mesin ini sudah tidak berfungsi dengan baik. Aku benar-benar merasa
dalam masa terburuk. Terlalu sering berpikir dan berpikir, meski itu pikiran
yang tak penting untuk dipikirkan. Tak ada ruginya jika tak dipikir, tapi malah
merugikan ketika dipikir. Tapi masih saja aku berpikir.
“seriusan kamu mau
ngambil organisasi lagi To?”
“apa boleh buat, aku di
desak terus dan tak ada yang bisa menggantikan posisi itu”
“sudah semester tua lho”
“ya benar, tapi yang
menjadi problem utamanya bukan itu”
“lalu?”
“aku tak pantas saja,
lagian, harusnya masih banyak di luar sana yang lebih baik. Hanya saja mereka
malas saja mencari tahu”
“walhasil kamu menjadi
korban”
“aku tidak merasa menjadi
korban, hanya merasa sebagai seorang yang tak bisa mengerjakan sesuatu dengan
baik. Atau mungkin sebenarnya sudah baik, tapi belum ada backup yang pas, kau
tahu, jalan pikiranku sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Hal itu sering
menjadi crash ketika sedang berdebat atau menyelesaikan konflik, dan itu
lumayan mengangguku”
“kau tidak bisa
mengutarakan gagasanmu?”
“saat itu aku bersusah
payah mengkulturasikan agar kita bisa sejalan. Cuma mungkin karena aku terlalu
nyeleneh juga. Jadi terkadang pikiranku sulit di terima. Aku tak ingin membuat
hal itu terjadi lagi, merepotkan dan juga menyebalkan. Kurasa hanya beberapa
orang yang bisa aku ajak diskusi dengan baik”
“aku tahu perasaanmu,
tapi bukankah hal itu sering terjadi di organisasi”
“jika dasarnya pas aku
masih terima, aku selalu menggunakan dasar atas semua argumenku. Namun disini
kadang dasarnya ngawur, hanya mengikut sistem dan terbatasi dengan cara pikir
lama. itu yang membuatku lumayan bad mood”
“mungkin caramu yang
salah dalam menyikapi mereka yang tak sejalan denganmu. Bukankah para
pendahulumu dulu lebih sulit memperjuangkan perkara agama kita di tengah
kemrumunan orang-orang yang tak percaya”
“kau benar, aku memang
terlalu lembek, untuk itu aku setidaknya tidak cocok untuk menjabat posisi se
strategis itu”
“tapi sebenarnya kamu
bisa kan melakukan itu, anggap saja ini kesempatan terakhirmu membenahi kesalahanmu
dahulu”
“yah, aku menerimanya
juga karena itu, Cuma luka dulu belum tersembuhkan sama sekali, semenjak itu
aku mulai menjauh dan tak pernah kesana entah apapun caranya”
“ingat To, jangan sampai
hal sekecil ini justru malah membikinmu babak belur, masih ada babak
selanjutnya yang tak kalah garang dan tanpa ampun menggerusmu di waktu yang
bersamaan. Ingatlah semakin tinggi pohon angin akan semakin kencang menerpa.
Jangan pedulikan sesuatu yang sebenarnya tak pantas kau pikirkan. Muhasabah itu
penting, namun jangan sampai gerak langkahmu terhenti. Kamu masih terhitung
muda, masih ada berjuta kesempatan untuk mengubah di masa datang”
Aku tertawa kecil,
temanku itu memoles kepalaku karena mengira celotehnya malah aku tertawakan.
“apa maksudmu malah
menertawakan nasehatku. Lo yang minta dikasih nasehat kan tadi”
”aku hanya merasa senang
saja”
“senang?”
“ya, senang sekaligus
prihatin”
“prihatin? Kenapa?”
“aku senang kamu bisa
menasehatiku sampai masuk ke dalam-dalamnya, namun aku juga prihatin karena
orang yang melakukannya justru malah teman lamaku, bukan teman terdekatku yang
selama ini aku habiskan waktu Bersama dengan mereka tiga tahun belakangan ini”
“oh begitu”
“meski kami dekat, tapi
sebenarnya kita tidaklah dekat, justru ketika aku bertemu denganmu, sesuatu
yang jauh namun terasa dekat. Padahal kita hanya bersua selama satu jam ini,
tapi entah kenapa kamu selalu bisa melihatku sampai kedalamnya”
“hahahah, sudahlah ga
usah baper, lagian kamu juga tak bisa menyalahkan mereka, mungkin mereka masih
belum begitu tahu tipikalmu, karena dulu aku melihatmu juga sangat misterius”
“hahaha, namun pada
akhirnya kau selalu saja bisa menebak apa yang kulakukan dan kubutuhkan”
“yah, kamu juga sama”
“setidaknya aku ingin
mencari beberapa rekan yang bisa saling mengerti dan memahami seperti ini,
hanya saja belum aku temukan sama sekali”
“santai bro, yakinlah
masih banyak orang-orang di sekeleiling kita yang seperti itu, Cuma kita belum
saling bertemu”
Surakarta, 27 Januari
2020
M H A