Rutinitas. Hal yang
selalu berulang dalam hidup kita. Suatu sistem yang memaksa kita untuk masuk ke
dalamnya. Sistem yang memiliki berbagai aturan yang tak boleh dilanggar. Dan
jika di langgar. Akan membuat seseorang sulit mengikuti sistem yang lainnya. Bahkan,
sistem yang dilanggar itu sendiri.
Seorang
anak SMP. Adalah seorang anak yang sudah terikat dengan sebuah sistem. Sistem
keluarga, sistem pendidikan, sistem agama, sistem pencernaan, sistem
pernapasan, dan masih banyak sistem lainnya yang telah dia dapat semenjak lahir
ke dunia. Sistem adalah suatu yang terikat. Namun andaikan sebuah sistem itu
salah. Tentu output yang akan dihasilkan juga salah. Seperti, jika sistem
pernapasan salah, dan dia bernapas dengan menggunakan lambung, maka dia akan innalillahi.
Wallahu’alam bishowab.
Dunia
tersusun dari berbagai sistem yang cukup rumit. Dimana tiap sistem saling
berhubungan satu dengan yang lain. udara. Sistem udara selalu berputar setiap
waktu. Kadang menjadi 02
,
kadang menjadi CO2.
Anak SMP itu merasakan hembusan nafas yang terserap dari hidungnya, mengalir
menuju paru-paru, dan keluar menjadi udara jenis lain. dia berfikir, berarti
sistem pernafasannya masih stabil dan berjalan dengan baik. Setelah beberapa
menit mengecek sistem pernafasannya. Anak SMP itu berjalan kembali, dengan
menggunakan seragam putih osis, celana biru tua, serta topi dan dasi yang
selalu diwajibkan pada seluruh siswa pada hari senin.
Sistem
adalah sesuatu yang mengikat. Siapa saja yang tidak membawa seragam lengkap
saat upacara. Maka hukuman akan jatuh padanya. Seorang anak SMP topinya
ketinggalan. Guru yang melihat langsung memergokinya dan menyuruhnya maju
kedepan sambil menanti upacara selesai. Dan saat itulah, hukuman akan
menimpanya. Sebuah ranting kering jatuh dari atas pohon. Jatuhnya tepat diatas
kepala seorang anak SMP yang tadi mengecek sistem pernafasannya. Kepalanya tak
begitu sakit terkena ranting kering itu. lagian, saat itu dia sedang mengenakan
topi. Jadi, beban yang diterima dari gaya jatuh ranting itu tak ber-efek sama
sekali. Saat upacara selesai, dia melihat temannya yang tak beratribut lengkap
itu dihukum push up 50 kali. dia berfikir sejenak. Merenungkan apa
sedang yang dilihatnya.
“kalau caranya begini. Mungkin di
hari-hari selanjutnya, dia akan jera dan selalu mengingat hukuman ini.
Boleh-boleh” kata anak SMP itu dalam batinnya.
Selama hidupnya. Dia selalu mengamati
segala sistem yang ada, mempelajarinya, memahaminya, berusaha mengerti fungsi
dan peran sebuah sistem yang bekerja. Dan yang terakhir, memetik manfaat sebuah
sistem yang telah dipelajarinya. Saat dia mengamati temannya yang dihukum,
karena tidak beratribut lengkap. Dia jadi sadar. Bahwa ketertiban akan membawa
pada keselamatan.
Kegiatan belajar dan mengajar sudah dimulai. Bu guru menerangkan pelajaran matematika di depan. beberapa rumus sudah
tertulis di papan tulis. Dan seluruh murid di kelas itu disajikan sebuah soal
dan disuruh mengerjakannya. Anak SMP yang tadi mengecek sistem pernafasannya
kembali berfikir. Dia berfikir sambil mengerjakan soal dari bu guru. Karena,
jika tidak berfikir, dia tidak akan bisa mengerjakan soal itu (you don’t say
!). tapi bukan itu. Dia tidak hanya berfikir tentang soal yang saat ini ada di hadapannya.
Namun, ada sepercik rasa gundah yang tiba-tiba terasa dalam syarafnya. Apakah
itu? rasa sesalkah? Atau rasa kesal? Rasa linglung bercampur rasa alpukat? Anak
itu mulai bingung. Dia sama sekali tak mengerti maksud dari pikirannya sendiri.
dahinya mulai mengkrenyit. Soal matematikanya sudah terselesaikan. Tapi masih
ada satu masalah lain yang belum terselesaikan. “Apa itu?” dia terus berfikir.
Berusaha menemukan apa yang dia cari. Menerjemahkan sesuatu tentang apa yang
sebenarnya dia fikirkan. Karena acapkali, disaat dia berada di sebuah sekolah,
di saat dia bertemu dengan berbagai mapel yang diajarkan disana. Selalu saja
kepalanya terasa sangat pusing. Dia pusing bukan karena pelajaran yang sulit.
Bahkan dia mendapat peringkat ketiga di kelasnya. Yang membuatnya pusing adalah
bisikan-bisikan yang selalu saja mengganggunya disaat dia duduk manis, di saat
jam pelajaran. Bisikan dari dalam hatinya yang menyuruhnya untuk keluar.
“DIAAM!!” jerit anak itu. kali ini
dia tak tahan lagi dengan bisikan yang sudah 11 tahun mengganggu hidupnya.
“a..ada apa nak Einten. Apa soalnya
terlalu sulit buat kamu?” kata bu guru, anak yang tadi mengecek pernafasannya
yang ternyata bernama Einten itu menjadi pusat perhatian seluruh murid di kelas.
Apa yang sudah dilakukannya membuat suasana disana menjadi tegang. Bahkan teman
yang duduk di samping Einten hampir pingsan karena ketakutan. rupanya,
celananya sudah basah. Dan saat itulah Einten yang sudah menenangkan diri mulai
angkat bicara
“bu, boleh saya menghirup udara segar
di luar. Sebentar saja kok”
“ya, tidak papa. Kalau kamu nggak
enak badan. Nak Einten bisa istirahat di UKS saja” bu guru merasa kasihan. Dia khawatir akan keadaan Einten yang tak
seperti biasanya.
Einten tersenyum “saya nggak sakit bu
guru. Saya mau cari udara segar sebentar saja” lalu Einten beranjak dari kelas.
Dia keluar dari kelas itu. dan saat itu pula, otaknya yang terbebani fikiran
aneh tiba-tiba lenyap.
“Apa maksudnya ini?” dia kembali
meneliti apa yang sudah dia rasakan tadi
“apa kelas sudah membuat otakku tidak
nyaman.... kenapa setelah aku keluar dari kelas. Segala sesuatu yang sudah
mengusikku tiba-tiba hilang?”
Derap langkah seseorang terdengar di
belakang Einten. Saat itu Einten sedang termenung di pagar lantai dua gedung
sekolah. sambil melihati gumpalan awan yang terus bergerak. Tangan seseorang
memegang pundaknya.
“Kamu sepertinya punya masalah” kata
seseorang itu.
Einten menoleh kearah orang yang
memegang pundaknya. Ternyata pak Afik
“sepertinya begitu pak”
“apa bapak boleh tahu masalahmu saat
ini?”
Einten terdiam. Sepertinya pak Afik
tahu apa yang sudah dilakukannya di kelas tadi
“pak afik”
“ya”
“saya mempunyai cita-cita sebagai
seorang pemain sepakbola”
“wah itu cita-cita yang bagus. kalau
kamu giat berlatih, tak mustahil kamu bisa menjadi gabungan antara messi dan
ronaldo kelak” setelah itu pak Afik tertawa cekaka'an.
Einten tersenyum mendengar ucapan pak
Afik
“jika begitu....” Einten memutus
omongannya. Sementara pak afik masih menyimak kata yang nantinya akan keluar
dari mulut Einten.
“kenapa ya pak. Pelajaran olahraga
hanya ada dua jam dalam seminggu. Itupun olahraganya ganti-ganti. Tidak mesti
sepakbola. Padahal saya sangat ingin menjadi pemain bola yang handal. Seperti
yang bapak katakan sebelumnya. Tapi kenapa? Aku lebih banyak mendapat pelajaran
yang bermacam-macam dan sama sekali tak penting buatku di masa mendatang” kata
Einten
Pak afik tertegun. Dia melihat anak
didiknya itu menatapnya dengan tatapan ingin tahu yang teramat sangat. Seperti,
hal ini sangatlah penting untuk membuka suatu rahasia yang selama ini dia
pendam dalam benaknya.
“hah... begini nak Einten. Saya tau
maksutmu itu. namun kamu harus ingat. kita sebagai manusia harus tahu segala
hal. Bukan hanya tahu satu ilmu saja. Agama kan juga mengajarkan kita menuntut
ilmu sampai keliang lahat. Nah, sekolah ini bertujuan untuk itu. membuatmu
lebih tahu dari pada orang-orang yang saat ini tidak bersekolah. Derajatmu juga
akan lebih tinggi dengan berbagai macam ilmu yang kau pelajari disini”
Penjelasan pak Afik membuat Einten
berfikir kembali. Sinar matahari yang panas membuat tubuh Einten yang berada di
dekat pagar kepanasan. Dengan reflek, Einten berpindah dari pagar menuju tempat
yang teduh dari sinar matahari yang menyengat. Begitu juga pak Afik yang
melakukan hal yang sama. lalu mereka duduk di situ karena capek berdiri dari
tadi.
“gimana. Apa hatimu sudah merasa
plong sekarang” kata pak Afik
“saya tak tahu dengan pasti pak.
Pikiran saya entah mengapa terus bergejolak”
“ya udah, paling kamu stress karena
kebanyakan mikir. Coba kamu sejenak refreshing untuk mengistirahatkan processor
otakmu itu supaya tidak konslet”
“baik pak”
Lalu Einten diijinkan libur satu
hari.
Air menggenang di
berbagai sudut jalan. Dedaunan pepohon basah kuyup akibat hantaman hujan deras
tadi malam. Seorang anak sekolahan yang jahil menggoyangkan pohon itu, lalu dia
lari sambil tertawa cekiki’an. sedangkan temannya yang tak selamat berada di bawah
pohon itu, terkena air bah yang berjatuhan dari dedaunannya. Di hari itu, Einten berjalan diantara
kerumunan orang di tempat umum. Saat itu, dia ingin menguji ilmu yang telah dia
peroleh semenjak TK sampai kelas 2 SMP. Dia mencoba menguji sistem yang sudah
merenggut 11 tahun hidupnya itu. Einten mengecek seberapa bergunanya ilmu yang dia
peroleh untuk kehidupan sosial yang nyata. saat itu, dia mempraktekkan hal-hal yang diingatnya saja. sedangkan ilmu-ilmu lain yang pernah juga dia dapatkan hilang tersapu waktu. lupa, karena jarang di muroja'ah. beberapa saat Einten berjalan, dia
menghampiri seorang tukang becak dan menjelaskan tentang rumus
dan hukum gaya Newton padanya
“kwe ngomong opo to le.... mau mbecak.
Sini, murah murah” katanya. Dia sama sekali tidak mudeng dengan ucapan Einten.
Yang dia tahu tentang becak itu hanyalah menggenjotnya saja
Einten kembali berjalan. Kali ini dia
mendatangi tempat penjualan pembibitan tanaman. Dia mendatangi salah seorang
karyawan di sana dan menjaelaskan soal fotosintesis. Tanah yang baik untuk
tumbuhan, serta cara mekanisme masuknya air dari akar menuju kedaun dengan
menggunakan xilem dan floem.
“oh, kalau itu saya juga tau dek” kata
karyawan itu
“tapi itu tak ada manfaatnya disini.
Kalau kamu kerja di laboratorium mungkin baru akan berguna” katanya lagi. Lalu
Einten malah diajari karyawan itu untuk praktek menanam tanaman dengan baik.
Menentukan kadar pupuk organik yang sesuai, serta mengatur cahaya matahari yang
bisa diserap oleh tumbuhan itu. cara merawat tanaman. Serta proses penjualan
tanaman kepada para pembeli. Hal itu dia ketahui dalam satu hari. Sebuah
praktek yang tak sebanding dengan pelajaran teori fotosintesis yang rumusnya
tertulis di papan tulis. Dan itu dipelajarinya selama satu semester. Dan
fungsinya tak lain hanya untuk menggarap ujian soal kenaikan kelas. Dan dimasa
depan, belum tentu itu akan digunakan disaat mencari pekerjaan.
Einten
mulai tahu. dia telah membuka tabir yang selama ini mengganggu jalan
pikirannya. Selama dia melihat sistem yang salah. Selama itu pula dia akan
terus meronta. Dia tak bisa terima jika sebuah sistem itu hanya membuat dirinya
merasakan penyesalan. Seperti sistem pernafasan yang rusak. Seperti sistem
udara yang rusak oleh pencemaran asap karbon dan cerobong papbrik. Seperti
sistem air yang tercemar oleh limbah dan kotoran BAB. Dia sama sekali tak menginginkan hal itu. 11 tahun yang sudah dia sia-siakan. tak
mungkin dia diam saja. Melihat waktunya habis untuk mempelajari sebuah
pelajaran yang tak lain hanya untuk menggarap soal. Mendapat nilai bagus, dan
naik kelas. Apa artinya sebuah rumus, jika tidak ada praktek yang membuat otak
kita mengerti tentang rumus yang sedang dipelajari. Meski sudah dijelaskan di
buku. Toh sehari, seminggu, sebulan kemudian juga akan lupa. Jadi apa untungnya
hanya sekedar tahu, lalu dilupakan. Einten menjadi geram. Dia berencana keluar
dari sistem yang rusak. Sebuah sistem yang tidak benar. Sebuah sistem yang
sudah jelas-jelas salah. Dia ingin mencari sistem lain yang benar. Jika tidak
ada. Maka dialah yang akan membuat sebuah sistem yang benar. Sistem yang tidak
membuang-buang waktu. Sebuah sistem yang memiliki manfaat bukan hanya untuk
organisasi yang menerapkan sistem itu. tapi juga untuk kehidupan nyata.
Maka, Einten kembali
berjalan. Dia melihat sebuah gedung. Dia tau, hal itu tak memerlukan ilmu
olahraga untuk membuatnya. Dia membaca komik. Dia tau, hal itu tak memerlukan
ilmu geologi yang membahas proses pelapukan. Dia melihat tukang parkir. Dia
tau, hal itu tak memerlukan ilmu matematika dan fisika untuk menentukan
kordinat titik yang tepat untuk parkir tegak lurus sesuai garis yang tersedia
di tempat. Dia berjalan, terus berjalan, dia melihat lalu menyimpulkan ilmu
yang membuatnya. Sampai akhirnya dia berada di rumah, dan menunggu hari esok
agar lekas datang. Tapi, bisakah dia merubah sistem yang salah itu dalam
keadaannya yang sekarang. Lalu dia kembali berfikir. Berfikir tentang masa
depan nanti yang akan diperbuatnya kelak.
Selasa, 31 Mei 2016
M Habib A