Celotehan para murid membuat seisi kelas menjadi bising. Gebrakan meja dan suara kekehan tawa terdengar bergantian. Jam pelajaran kosong memang menjadi kesenangan tersendiri bagi para murid. Mereka seakan terbebas dari tekanan. Suasana stress yang semenjak pagi mereka rasakan, buyar seketika.
Saat
ini, pak guru yang sedang mengajar tidak masuk sekolah. tugas juga tidak ada.
Jadi murid-murid pada lari kesana kemari untuk mengutarakan kebebasan mereka.
Gojekan, bercanda, jagongan, mem-bully. Semua mereka lakukan dengan
riang dan gembira. Aku perhatikan mereka semua dengan penuh seksama. Disaat
pandanganku telah mengedar ke setiap sudut ruangan. Aku mendapati seorang yang
masih terduduk manis di kursinya. Dia sedang membaca sebuah buku. Entah itu
buku apa. Dari jauh kulihat semacam buku tebal yang isinya mungkin sangat berat
dipahami, berbanding lurus dengan berat buku tersebut. Tapi baginya, hal itu
sudah menjadi kebiasan bagi Filhard.
Bagiku dia seorang yang selalu menyendiri. Konsentrasinya saat membaca
buku teramat tinggi. Tak sekalipun dia terusik oleh ancaman lemparan bolpen
yang bisa saja mencelatu kepalanya. “dia memang selalu saja seperti itu”.
Seekor
berudu sudah menjadi katak. Waktunya keluar dari air got yang biasa di tinggalinya.
Namun sayang. Di saat menyebrang jalan. Ban mobil sudah membawanya menuju
kehadirat-Nya. “kasian” kataku dalam hati. Bukannya aku tak berasalan melihati
anakan kodok yang lagi kegencet. Tapi saat ini aku sedang menunggu Filhard.
Seorang anak yang selalu menyendiri di kelas. Sudah setengah jam aku menunggu
di gerbang sekolah. Rencananya, aku akan mengajaknya pulang bareng. Awalnya dia
menolak, karena ingin tinggal di sekolah sebentar. Tapi karena aku memaksa,
akhirnya dia menyetujui tawaranku. “fuuh...” aku mulai tak sabar. Sepertinya
dia sedang meratap di atap sekolah lagi.
“Apakah dia masih menyendiri?”
“kenapa dia selalu sendiri?”
“apa yang membuatnya selalu Sendirian?”
“bukankah dia merasa sangat
kesepian?” berbagai pertanyaan telah membanjiri pikiranku saat ini. Aku merasa
tak satupun orang di kelas yang memperdulikannya. Itulah yang membuatku kasian
melihatnya. Dia seperti tak diharapkan, terkucilkan, salalu saja sendirian
dimanapun dia berada. Di saat kerja kelompok, di saat makan, di saat olahraga,
di saat duduk, di saat istirahat, di saat masuk WC. Haduh, aku malah kelewatan.
Yang jelas, dia selalu saja sendirian. Sampai saat ini, setelah 2 tahun bersama
dalam satu sekolahan. Aku tak sekalipun tau jalan pikirannya. Dia sangat
tertutup, tidak pernah mencurahkan isi hatinya kepada siapapun.
“maaf ya. Aku agak lama” suara itu
mengagetkan lamunanku.
“”eh, filhard. Haduh... kamu ngapain
aja sih di kelas” gerutu ku
“dari awal aku kan sudah bilang, kita
nggak usah pulang bareng”
“nggak papa, sekali–sekali kamu aku
temenin pulang”
Lalu kami berjalan beriringan. Kebetulan arah rumah
kami memang searah. Kaki kami terus menapaki jalan trotoar. Sebuah daun jatuh
dari tangkainya. Langit sudah berselimut jingga, dan matahari hampir terbenam
di ufuk barat. Kami masih berjalan pulang. Aku berfikir, tidak ada enaknya
menjadi orang yang menyendiri. Rasa kesepian bagiku sangat menyakitkan. Jika
aku sudah merasa kesepian. Otomatis, pasti aku akan mendekat kearah temanku dan
gojekan bersama untuk menghilangkan rasa sepi. Namun ketika aku melihat
Filhard, dia sangat berbeda. Aku mencoba meliriknya sekilas. Terlihat bibirnya
terbesitkan senyuman. Aku jadi kaget. Apa dia senang mempunyai teman yang
menemaninya pulang bersama? Apa dia tak pernah merasakan memiliki teman? Atau
malahan.... lebih parah... dia seorang homo!? Ah... lupakan pemikiran terakhir.
Mana mungkin dia orang seperti itu. kalau beneran!? Ah... lupakan. Dia bukan
orang seperti itu. mungkin aku merasa sedikit bingung. Memang tidak hanya pada
saat ini saja aku melihatnya tersenyum. Namun di lain waktu, saat dia
sendirian, aku juga sering melihat Filhard tersenyum. Jadi...
“Had. Ngapain kamu senyam-senyum begitu” kataku.
Sedangkan dia melengok dan berkata
“emmhhh.... mungkin sudah kebiasaan”
“jiwamu belum terganggu kan?” kataku sedikit berani.
Aku menanyakan hal ini hanya untuk memastikan saja, sedangkan dia sedikit
menahan tawa ketika mendengar pertanyaanku.
“aku masih waras kok. Kenapa kau bertanya seperti
itu?”
Hening sesaat, aku menunggu momen yang tepat untuk
menanyakan masalah inti yang selama ini aku pendam.
“apa kamu merasa sendirian?” kataku
“sendirian” dia mulai berbicara. Selama ini, aku ingin
sekali mengerti alasannya kenapa dia selalu menutup diri dari teman-teman.
Serta guru-guru di sekolah “jadi itu yang selama ini kau lihat dariku” katanya.
“hah.. udah.. langsung jawab intinya aja, kenapa kamu
itu selalu sendiri. nggak usah terlalu bertele-tele” sahutku. Aku mengatakannya
karena kami hampir sampai di rumah Filhard. Sedangkan dia pasti akan mengeles
kesana kemari sebelum masuk ke permasalahan intinya.
“haha... oke deh. Sebenarnya......... aku tidak pernah
merasa sendiri sih”
Kata-kata filhard membuatku kaget bukan kebalang. Aku
hampir-hampir tak mengerti maksud perkataanya itu sama sekali, yang berbanding
terbalik dengan kehidupan yang selama ini di alaminya. Namun, sebelum aku ingin
menyanggah, dia meneruskan kata-katanya.
“dunia ini kan memang seperti ini. Selama ada orang
yang jahat, disitu pasti ada orang baik. Disaat ada orang yang cerewet, pasti
ada pula orang yang pendiam. Dan, selama ada orang yang terkenal dan mencuri
banyak perhatian. Disitu pulalah seorang penyendiri akan ada. Seperti aku ini.
Aku sadar aku memang sendirian di dunia ini. Dari segi fisik dan sifatku yang
membosankan, aku memang tak begitu menarik dilihat oleh orang lain. tapi....”
“tapi...” ulangku
“disaat aku sendirian seperti itu. sebenarnya aku tak
benar-benar sedang sendirian””
”kenapa kau bisa berpikir seperti itu???”
“karena ketika aku sendiri. disaat tidak ada orang
yang memperhatikanku. Namun aku masih mencoba untuk tetap tersenyum. Karena
saat itu, bersamaan dengan itu....., masih ada setan, malaikat,
serangga-serangga yang tak terlihat, mikroba, dan Allah yang selalu melihatku
dimanapun aku berada. jadi karena itulah, meskipun aku sendirian. Aku tidak
pernah merasa sendiri”
Lalu sampailah kami di depan rumah
Filhard. Dia masuk kedalam rumah, dan aku masih tertegun akan ucapannya. Lalu,
Dia memberikan salam, dan akupun menjawab salamnya.
20 Mei 2016
M Habib Amrullah
0 komentar:
Posting Komentar