Hujan turun amat deras. Langit hitam tertutup mendung. Petir
menyambar disusul suara guntur. Gelegarnya amat keras sampai membuat orang
memilih bersedekap dalam selimut. Saat itu, kubik air sudah mulai merendam
beberapa petak sawah warga. Membuat para pemilik sawah menangis karena tidak
bisa memanen biji padi yang sebenarya sudah menguning.
Hujan begitu lebat. Banyak orang yang memilih untuk tidak keluar
dari rumah. Sudah banyak jalan-jalan yang tergenang. Karena proses irigasi
selokan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Udara semakin dingin. Angin kencang
berhembus merontokkan dahan dan ranting. Daun-daun kering terjatuh. Terhampar
di sepanjang jalanan yang berlubang, dan hanyut oleh arus air yang mengalir.
Arus air itu sudah mulai meluap memenuhi ruas jalan. Itu adalah saat paling
berbahaya bagi para pengendara. Bukan cuma kendaraan mereka yang mogok. Tapi
mereka juga bisa terjerembab dalam lubang-lubang di sepanjang jalanan yang
tergenang oleh air.
Sudah tiga hari, dan hujan tidak kunjung
berhenti. Banyak orang yang merasa sedih karena belum bisa menjemur pakaian. Terutama
bagi orang yang membuka jasa laundry. Mereka sampai memilih mengosok pakaian
yang masih basah. Kalau tidak, mereka akan meng-kipas angini pakaian itu. Suasana
terlihat sama seperti sore walau saat siang hari sekalipun. Lalu, berbagai
macam penyakit mulai banyak menyerang manusia yang sistem imunnya kurang. Sehingga
banyak dari para pelajar yang izin ke sekolah karena sakit.
Kenapa hujan bisa turun selama ini? hal ini bisa menimbulkan banjir
yang amat tinggi. namun kini aku menemukan si Kuldi. belum lama ini, dirinya
mendapati bisa berbicara. tapi bukan bicara biasa. Dia mengeklaim bisa
berbicara dengan alam. Kini dia sedang termenung. Hujan telah membuatnya jadi
basah kuyup. Sepertinya sekarang dia sedang berinteraksi dengan alam. Kulihat
tubuh Kuldi sudah menggigil. Kulitnya putih pucat dengan kerutan-kerutan di
ujung jemarinya. Tapi dia tidak pedulikan itu. saat ini dia sedang konsentrasi
mendengarkan perkataan alam. Apakah itu? aku juga tidak tahu. tapi aku
melihatnya begitu khusyu’. Entah sejak kapan dirinya berada disitu?. Tapi aku
melihatnya berdiri disini sejak kemarin. Sudah barang tentu. Bisa jadi dia
sudah berada disana sebelum hujan deras ini bermulai. Akhirnya aku memilih
untuk mendekat. Aku tak berniat mengganggu. Tapi apalah dikira jika memang
penyebab hujan ini itu dia. Pasti akan aku hentikan sekarang ini juga.
“Permisi”
kataku sambil berdiri di depannya. Matanya sedang terpejam. Bibirnya sudah
membiru. Menandakan jika panas tubuhnya sudah banyak yang hilang berganti
dingin. Tapi. rupanya Dia masih bakoh juga.
“Hei,
Kuldi....” sahutku kembali. Dengan suara yang lebih keras dari yang tadi.
“Kuldi!?”
sahutku kembali. Tapi Kuldi tidak merespon. Akhirnya aku memilih jalan
terakhir.
‘PLAAK!’
aku menampar pipinya. Kuldi akhirnya tersadar.
“uh,
ah, oh... pak... pak RT?”
“kamu
itu ngapain to hujan-hujanan disini. Emang sudah berapa lama kamu disini?”
“baru
tiga hari kok pak”
“tiga
hari kok baru. Nanti kalau kamu mati, saya juga kan yang repot. Apalagi utangmu
yang 50.000 belum kamu lunasi. Kalau mau mati, lunasi dulu utangmu”
“siap
pak RT” dia cengar cengir sambil memamerkan gigi yang tak pernah digosok.
“sudah,
kamu pulang dan berbenah diri sana”
“ya,
pak. Tapi ijinkan saya untuk menyampaikan salam perpisahan sama hujan ini”
“terserahlah.
Lagian saya juga nggak ngerti apa yang kamu lakukan. Kamu gila atau waras saja
masih fifty-fifty”
Dia
hanya cengengesan
“ya
sudah. Saya mau nganterin popok anak saya dulu”
“ya
pak”
Lalu
aku melangkah pergi. Meninggalkan Kuldi yang masih termenung. Dan tak berapa
lama, hujanpun berhenti.
***
Langit kembali cerah. Banjir sudah
berangsur turun. Sudah serasa amat lama aku tidak melihat matahari terbit dari
ufuk timur. Jadi kangen. Mungkin akibat hujan yang melibas daerah ini sampai
tiga hari lamanya. Dan untuk merayakan kehadiran matahari ini. aku berniat
untuk berolahraga di pagi hari ini. sekalian jalan santai untuk memutari dusun
ini. lagian, hal ini juga berfungsi untuk meregangkan otot-otot badanku yang
kini mulai kaku bak paku.
Kini aku mulai berjalan. Ternyata, para warga juga banyak yang
bahagia dan keluar dari rumahnya. Sepertinya mereka merasa bosan sudah
mengurung diri lama di rumah. Dan ini adalah hari minggu. Hari yang cocok bagi
mereka yang ingin bersantai sambil merasakan hangatnya matahari pagi.
Dijalanan, aku tak mengira akan ada
banyak sekali warga yang menyapa.
“jalan-jalan
nih pak RT” kata salah satu mpok-mpok yang sedang menyiram tanaman di depan
rumahnya.
“iya
buk” sahutku
“eh
pak RT, istrinya nggak di bawa sekalian?” kata sesepuh kampung ini
“baru
sibuk masak di rumah pak Haji” sahutku
“ya
ampuun. Pak RT rajin banget” kata anak perempuan se-usia remaja. Mereka sedang
berkerumpul membentuk sebuah kelompok. Rupanya mereka mau jalan-jalan.
“kalau nggak rajin nggak jadi RT dek” sahutku.
Seadanya.
Lelah juga rasanya kaki ini. mungkin
ini sudah setengah putaran dari dusun sebelum sampai ke rumahku. Mungkin karena
akhir-akhir ini aku jarang berolahraga. Sehingga membuat badanku kaku semua.
Peluh juga sudah membasahai kaos putih yang aku kenakan. Panas matahari sudah
mulai terik. Aku tekadkan lagi berjalan agar cepat selesai. Tapi tiba-tiba aku
melihat seseorang di depanku. berlari penuh ketergesaan. Aku menatapnya
lekat-lekat. Oh, aku kenal dia. Dia Pak Srimo. Salah satu sekretariat di
kampung ini. Dan sampailah dia di
hadapanku dengan nafasnya yang masih memburu.
“Pak
RT.... anu...... pak.... dia..... Pak RT.... anu....... ”
“stop..stop..stop....
tenang dulu. tarik nafas dalam-dalam”
Dia
memeragakan seperti apa yang aku katakan
“lalu
hembuskan perlahan”
Dia
kembali memeragakannya. Itu dia lakukan sampai tiga kali. setelah merasa
tenang. akhirnya aku mengijinkannya untuk berbicara kembali.
“ada
masalah apa to sampai buru-buru mencari saya”
“ini
GAWAT pak RT” katanya setengah melotot
“gawat
gimana?” aku mulai khawatir
“itu
pak. Istri bapak!”
“ada
apa dengan istri saya!!” suaraku lekas meninggi mengetahui ada sesuatu dengan
istriku
“eh,
maksudnya Putri bapak!”
“mana
yang bener. Istri apa putri!?” aku melihatnya masih terlihat linglung
“Putri”
katanya mantap
“ya.
Ada apa dengan putri saya?”
“eh.
Putri bapak apa istri bapak ya?” dia menggaruk kepala. Berusaha mencari ingatan
dari garukan yang ia lakukan
“AAH.....
kamu membuat kemarahanku meletup-letup. Istri saya atau Putri saya!!!” aku
mulai geram melihat tingkah Pak Srimo yang bikin geregetan.
Karena
dia masih befikir amat lama. Akhirnya aku memilih meninggalkannya di tempat dan
lekas berkunjung ke rumah untuk memastikan istri dan putriku. Aku takut.
Jangan-jangan ada masalah dengan ke dua-duanya.
Tanganku segera membuka pintu rumah. Aku lekas berlari menuju dapur tempat istriku memasak. Aku mendapati
dia tak ada di sana. Aku melihat kamar putriku namun dia juga tidak ada di
sana.
“kemana
mereka-mereka ini” kepalaku jadi pusing tujuh keliling. Aku sama sekali tidak
tahu apa yang sedang terjadi. akhirnya aku memilih untuk bertanya pada
tetangga.
“Pak
Jarmo. Apa bapak tahu istri dan anak saya?”
“emhh...
saya tadi di dalam rumah terus pak. Nggak tahu istri dan anak jenengan.
Memangnya ada apa pak RT?”
“itu.
waktu saya tinggal olahraga. Tiba-tiba mereka hilang begitu saja dari rumah.
Padahal jika ingin pergikan harusnya izin dulu sama suami. Tapi ini malah sudah
kelewatan. Pergi nggak bilang-bilang”
Lalu
aku berpamitan untuk mencari informasi dari yang lainnya. Aku mulai mengunjungi
tetangga yang lain. Namun suasana pagi ini lekas berubah. Angin berhembus
kencang. Langit yang tadinya cerah kini mulai tertutup awan hitam. Apakah hujan
akan turun lagi? dan benar. tanpa ada gerimis. Hujan lebat lekas mengguyur
dengan deras. Petir bergeliat susul menyusul membuahkan guntur yang dahsyat.
Para ibu-ibu dengan cekatan mengentasi jemurannya yang baru saja di jemur
kurang dari tiga jam. Aku lekas mencari tempat menepi. Namun aku berubah
pikiran dan memilih untuk berlari menuju rumah. Disana aku mengambil payung
yang biasa aku pakai untuk menangkal tetesan hujan. Kini aku kembali keluar.
Pintu ku sibak. Tamparan air dan angin langsung menyapaku dari pintu. Lekas aku
berjalan kembali ke tetangga-tetangga menanyakan keberadaan istriku.
‘tok...tok...tok...’
“Assalamualaikum
pak Maicel” sahutku keras. Bersaing dengan suara guntur yang ada
“waalaikumussalam”
pintu dibukanya “ada apa pak LT. Datang ke lumah saya waktu hujan-hujan
begini?” katanya. Dia memang seorang yang cedal.
“Pak
Maicel tahu istri dan anak saya nggak. Mereka tiba-tiba saja menghilang dari
rumah”
“ya
ampun pak. Itu masalah selius. Kalau memang begitu, lebih baik lapol polisi
saja”
“Bapak
beneran nggak tahu”
“saya
balu tahu saat dibilangin bapak sekalang ini. baiklah, Saya akan bantu telpon
polisi”
“makasih
Pak Maicel. Saya akan lanjutkan pencarian keluarga saya”
“selamat
beljuang pak”
Hujan masih saja deras. Air kembali
menguap. Sampah-sampah berserakan mengotori jalanan. Aku tak habis pikir jika
hujan deras akan mengguyur lagi. apa ini hanya fenomena alam belaka. Saat itu
juga aku kembali teringat dengan kuldi. Entah kenapa aku merasa dia ada sangkut
pautnya dengan hujan ini, dan insting RT ku berkata jika ini ada hubungannya
dengan keluargaku yang hilang. Lekas aku berjalan menuju tempat yang biasa
digunakan untuk Kuldi berinteraksi dengan alam.
Disana, lebih tepatnya aku sangat
tercengang. Bagaimana tidak. Ingin bertemu dengan Kuldi. Namun aku malah
mendapati Istri dan putriku berada disana dan melakukan apa yang biasanya Kuldi
lakukan.
“Hei.
Apa yang kalian sebenarnya kalian lakukan disini!” aku membentaki mereka. Dan
mereka akhirnya sadar jika aku sedang berada di situ.
“lho,
ayah. Selamat datang” kata istriku dengan lemah lembut
“ayah
mau ikut juga?” anakku menarik bajuku
“kalian
ini kerasukan apa sih. Kok tiba-tiba jadi gendeng begini. apa kalian ketularan
sama si Kuldi!?” kataku dengan nada memarahi
“ayah
ngomong apa sih. Mama nggak paham”
“iya
nih ayah. Masak keluarga sendiri dibilang gendeng”
“ahh...
sudah-sudah.... saya tambah stress jika melihat kalian seperti ini. ayo cepat
pulang. Nanti kalian sakit ayah juga yang susah. Ayo balik!”
“nggak
mau. Mama masih mau disini”
“aku
juga. Aku nggak mau pulang” tambah anakku
“ya
Allah. Kenapa keluargaku jadi begini” aku hampir menangis melihat mereka
kembali melongo dan melakukan hal yang dilakukan Kuldi. Sedangkan badan mereka
sudah basah kuyup.
“hei
cukup. Kalian ini sebenarnya ngapain sih!!!”
“jangan
ganggu konsentrasi papa. Mama lagi berinteraksi dengan alam”
Aku
lekas berlari memanggil bala bantuan. Hujan semakin deras saja dan sebagian
daerah sudah banyak tergenang banjir. Dan saat itu pula aku bertemu dengan
salah satu warga. Aku segera kesana untuk aku mintai bantuan.
“pak-pak
tolongin saya. Keluarga saya. Tolongin. Mereka tiba-tiba jadi gila!” dia masih
terdiam. Dan akhirnya aku sadar. Bahwa dia melakukan hal yang sama seperti apa
yang dilakukan Kuldi. Hal itu membuatku merasa lebih frustasi. kini yang bisa
aku lakukan hanyalah memaksa keluargaku untuk pulang.
“ayo
pulang!” aku menarik mereka sekuat tenaga untuk pulang kerumah. Payung aku
lepas. Alhasil kami berjalan kerumah sambil hujan-hujanan. Kamipun sampai di
rumah. Pintu aku kunci agar mereka tidak nekat lagi keluar. Tapi aku malah
mendapati mereka menangis meronta-ronta sambil marah-marah.
“Papa
jahat. Kejam. Tidak berperi kemanusiaan”
“iya.
Kalau begini caranya aku nggak mau sekolah. Ayah membuat mereka tidak bisa
balik ke kampung halamannya”
Aku
geleng-geleng kepala sendiri. melihat mereka seolah sedang kerasukan
wewegombel.
“uwes
to yo yo.... kok malah membuat papa kehilangan akal sehat begini to. memangnya
ada manfaat apa kalian hujan-hujanan di sana”
“kami
bisa berbicara dengan alam Yah!!!”
“ngapain
juga bicara sama alam. Jika mau berbicara. berbicara dengan papa kan juga bisa”
“nggak
mau. Aku pengennya bericara dengan alam, mereka sedang kesusahan yah... ini
gara-gara ayah!!” bentak istriku. Mereka semakin menangis keras. Aku hanya
mengabaikan mereka dan lekas membersihkan diri.
Hujan masih mengguyur. Selokan sudah
tak kuasa lagi membendung. Air semakin tinggi sampai rumahku harus tergenang
sampai mata kaki. Dan kini waktunya mencari Kuldi. Mungkin dia tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
Aku tak habis pikir. Seluruh warga
kini sedang berinteraksi dengan alam secara berjama’ah. Melihat hal yang tak
lazim ini. membuatku hampir menjadi orang setengah gila. Dan aku cepat-cepat
menuju ke rumah Kuldi untuk mendapat pencerahan apa yang sebenarnya sedang
terjadi pada kampung ini.
Sampailah aku di depan rumahnya. Sesuai dugaan. Bukan Cuma istriku
saja yang tiba-tiba gendeng. Tapi sependuduk kampung juga pada hujan-hujanan
sambil bermeditasi. Mereka semua jadi ketularan Kuldi. Dan aku tak mau mereka
terus-terusan jadi seperti itu. dan kini wakunya mencari ke sumber akar masalah
itu.
“Kuldi.
Ini pak RT. Cepat buka pintu!”
“KULDI!!!.
Bukain pintunya!”
Lalu
pintu terbuka perlahan. Disana ada sepasang mata yang mengintip dari balik
celah samping pintu. Karena sudah tak sabar. Aku menendang pintu itu. dan orang
yang berada di belakang pintu itu terpental. Dia mengaduh. Sudah jelas. Itu
adalah Kuldi.
“ngapain
kamu. Sampai ngumpet segala HAH.... Merasa bersalah telah menghipnotis semua
orang”
“saya
nggak bersalah Pak RT. Sweer deh...”
“swar
swer swar swer. Nggak ada. Saya mau minta penjelasan kamu. Kenapa semua warga
modelannya jadi kayak begini!?”
“emhh.....”
“jangan
Cuma bergumam. Ayo jelaskan!!!”
“jadi
begini pak.....” dia berdiam lama
“begini
gimana!?” ubun-ubunku meluap-luap
“itu
pak. Sebenarnya itu.... gitu.....”
“kalau
masih nggak ngasih tahu. aku jotosin kamu sekarang”
“i..iya
pak. Jadi begini. sebenarnya. Masalah tentang warga bapak menjadi begitu.
mungkin karena ulah bapak sendiri”
“Lho.
Kok malah saya yang salah. Memang apa salah saya!!!” aku jadi bingung sendiri.
“waktu
saya berinteraksi dengan alam. Mereka bilang. Ada bebepara air yang masih
menggenang dan tidak bisa balik kelaut. Akhirnya alam membantu mereka agar bisa
sampai menuju laut. Ya, dengan cara hujan lebat ini”
“lalu,
apa hubungannya dengan para warga yang kesurupan itu!?”
“mereka.
Mungkin merasa kasihan dengan alam. Dan mencoba berinteraksi dengan mereka aga
mereka memberi kompensasi. Karena jika hujan tak segera berhenti turun. Maka
desa ini bisa jadi lautan Pak RT”
“lalu
apa yang harus saya lakukan!” aku berada di ambang antara mengerti dan tidak.
“buat
selokan dan saluran irigasi air yang baik” kata Kuldi.
4
November 2016
M H A