Sebuah bolpoin terjatuh dari salah
satu meja seorang siswa. Siswa lain yang berada di sebelahnya, setelah tahu ada
sebuah bolpoin jatuh, dengan cekatan mengambil bolpoin itu. mungkin ini adalah
hari keberuntungannya, mengingat dirinya pada hari itu lupa membawa bolpoin.
“Ssst...
kamu lihat tidak, bolpenku yang jatuh barusan?” Tanya sang pemilik bolpoin
kepada orang yang mengambil bolpoin.
“Pulpen
jatuh?” Berlagak tidak tahu sambil tangannya mengendap-endap sedang memasukkan
bolpoin itu ke dalam saku celananya. “maaf, aku tidak tahu” katanya menahan
bohong.
Yang
punya bolpoin pun akhirnya sibuk sendiri mencari bolpoin di sekitar mejanya.
Sampai dia juga harus jongkok untuk mengecek jikalau bolpennya itu terselip
pada sela-sela meja dan kursinya. Dia mencarinya dengan telaten, mengingat
bahwa bolpoin itu adalah alat tulis satu-satunya yang dia bawa. Apalagi bolpoin
itu dia beli baru tadi pagi.
“AKH....
kenapa sih tiap beli bolpoin ilang terus!” gerutunya sambil terus mencari. Sang
guru yang menerangkan membiarkan saja, karena kejadian itu sudah dianggap lumrah
dan wajar terjadi. Sedangkan orang yang telah mengambil bolpoinnya sudah pindah
ke sudut lain sambil menulis materi yang ada di papan tulis dengan tenang.
Di sebuah kelas yang berada di
lantai dua. Sebuah tipe-X mengudara di dalam kelas. Sudah lebih dari 10 kali
kiranya tipe-X itu melakukan take off. Terhitung delapan kali mendarat
dengan sempurna, dan dua kali mengenai titis di kepala. Guru yang saat itu
sedang menerangkan pelajaran tidak menegur. karena kejadian itu sudah dianggap
lumrah dan wajar terjadi.
“butuh
tipe-X woi!”
“sopo
seng nggowo tipe-x ke?”
“dibawa
Panjul!”
“Ndi?”
“Nyoo!”
Tipe-X
pun mengudara kembali. Tapi penerbangan yang satu ini sangatlah disayangkan.
Karena terlalu grusa-grusu saat melakukan take off, menimbulkan
sebuah kesalahan fatal karena daya lontar yang terlalu berlebihan. Alhasil,
tipe-X melesat di udara dengan cepat, begitu cepat hingga akhirnya tipe-X itu mencelat
keluar dari jendela, dan terjatuh ke lantai satu.
“YAAHHH.....”
seisi kelas serentak bersuara. Mereka semua merasa sangat kehilangan sambil
berduka cita atas kepergian tipe-X tersebut. Sedangkan yang punya tipe-X tak
henti-hentinya menyalahkan Panjul yang telah membuat tipe-Xnya terjatuh ke
lantai satu.
Sebuah guru. Atau lebih tepatnya
seorang guru, dia sedang tergesa-gesa oleh sebuah masalah yang mengganjal
neuron otaknya. Langkahnya begitu cepat menuju parkiran motor. Disaat yang
bersamaan, langkahnya terhenti setelah mengetahui ada sebongkah tipe-X yang
jatuh dari langit. Lekas diambilnya tipe-X itu, setelah di cek ternyata isinya
tinggal sedikit. Sehingga dia memilih untuk membuangnya di tempat sampah. Guru
itu pun melanjutkan langkahnya kembali menuju ke tempat parkiran.
Sebuah tempat sampah yang sudah
terisi penuh. Isinya sudah membeludak dan sebagian isinya telah berhamburan
keluar. Tak berselang lama, munculah petugas Operasional sampah. Dia memasukkan
sampah di tempat sampah ke dalam gerobaknya. kemudian Tangannya begitu cekatan
membersihkan sampah-sampah yang masih tercecer, memasukkannya ke dalam gerobak
sampah, dan mengangkutnya menuju ke tempat pembuangan sampah.
Para pemulung yang mengorak-arik
sampah-sampah. Mereka hidup dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Kerasnya
hidup mereka lalui dengan perasaan legawa yang sangat besar. Tak terkira
besarnya sehingga tidak bisa diuraikan, ataupun dituliskan dengan kata-kata
yang besar sekalipun. karena memang seperti itulah, hidup begitu sederhana, dan
kebutuhan hidup hanya bertopang pada tumpukan sampah yang setiap hari harus
mereka pungut untuk bisa menyambung kehidupan mereka. Supardi yang melihat
mereka bekerja dari kejauahan saja sudah sangat mengerti akan hal ini. Dia
kembali memperdekat jaraknya ke tempat TPS itu. motornya ia parkirkan di dekat
tembok besar yang membendung segunungan sampah buangan dari masyarakat sekota
itu. Bau busuk segera menyergap hidung Supardi. Padahal yang dia tahu, sekarang
dia sedang pilek, tak disangka, ternyata baunya bisa menembus molekul-molekul
pilek yang bercokol di hidungnya. Supardi sampai tak habis pikir dengan hidung
para pemulung di seberang sana yang betah sekali berhadapan dengan sampah
setiap hari. Mungkin saja hidung mereka sudah kebal dan menganggap hal itu
sebagai bau kentut biasa. Padahal bau busuknya lebih dari itu! mungkin setara
dengan ribuan kentut yang dipadukan menjadi satu.
“ada
perlu apa mas datang kemari?” di sebelah Supardi sudah terdapat bapak-bapak
yang mengenakan seragam khas Operasional sampah.
“ah,
bukan apa-apa pak. Saya hanya mau mencari dompet saya” jelas Supardi.
“Dompet!!”
bapak itu terkaget-kaget “Kenapa bisa sampai sini mas?” tanyanya.
“ceritanya
begini pak. Tadi pagi saya kan sedang beres-beres rumah. Taunya, mungkin saat
itu saya menggeletakkan dompet saya di sembarang tempat, sehingga ikut kesapu
atau terselip dalam tumpukan sampah yang saya buang ke tempat sampah. Saat itu
saya belum sadar dan saya taruh saja sampah-sampah saya ke gerobak sampah dekat
kapling saya. Saya baru sadar sekitar lima belas menit yang lalu. Karena saya
tau jika sampah-sampah di gerobak dekat kapling saya sudah di buang ke sini,
maka saya lekas cepat-cepat datang ke sini untuk mencari dompet saya”
“waduh
mas, kalau sudah sampai sini, pasti bakalan susah nyarinya” kata bapak Operasional
sampah itu sambil cengar-cengir.
“yah,
saya tahu kok pak”
“lalu,
bagaimana cara mas bisa nyari dompetnya?”
“paling
nanti, jika saya melihat salah satu dari beberapa pemulung ini yang kaget dan
melongo setelah menemukan sesuatu, maka saya akan langsung menghampirinya”
“oh....”
bapak Operasional sampah itu manggut-manggut, lalu izin untuk beranjak pergi
“semoga
cepat ketumu mas, dompetnya”
“aamiin...”
Petugas
Operasional sampah itu berlalu.
Lama Supardi berada di tempat itu.
sampai saat ini belum ada satupun pemulung yang bereaksi seperti yang
diharapkannya. Karena lelah, supardi memilih mengistirahatkan matanya yang
sudah jemu memandangi tumpukan sampah. Hidungnya juga sudah keteteran dengan
bau makanan busuk yang banyak di buang disitu, sehingga dia harus melakukan
(refleksi) dengan menggunakan mulut. Kini yang sedang di tujunya adalah gerobak
bakso. Tak jauh dari TPS, terdapat seorang penjual bakso dan beberapa pedangang
lain yang menjajakan dagangannya.
“Bakso
satu bang!”
“satu
butir pak?” canda sang tukang bakso
“satu
gerobak!”
“wah...
beneran bang...!?” tukang bakso nampak senang.
“ya
enggaklah! Gimana sih. Cepetan. Bakso satu mangkok! Keburu saya emosi nanti”
kata Supardi dengan nada berfrekuensi tinggi.
“waduh.
Nih abang lagi naik darah to?”
“serah
dah. Cepet!”
“oke-oke
bang. Sabar, ane segera buatin” pedagang bakso itu lekas membuatkan pesanan
Supardi dengan ketakutan.
Setelah menunggu beberapa menit,
sampailah pesanan baksonya itu di hadapannya.
“i-ini
bang. Laa tardhob walakal jannah” kata tukang bakso itu sembari
menasehati.
“iyaa....
saya tau.....” kata supardi dengan kejudesan. Perasaannya masih kacau dengan
menghilangnya dompet miliknya. Dia sangat mencemaskan isi dari dompet itu.
bukan uangnya. Uang baginya tidak masalah, karena bisa dicara lagi nanti. Tapi,
yang jadi masalahnya sekarang adalah sebuah foto yang tersimpan di dalam dompetnya.
Itu adalah foto almarhum kedua orang tuanya dulu. Foto itu tidak memiliki
salinan sehingga dia merawat dan menjaga foto itu dengan sangat hati-hati untuk
bisa selalu mengingat kedua orang tuanya. Dan sekarang dia sangat menyesali
akan kecerobohannya tidak menjaga dengan benar dompetnya itu. bukankah
seharusnya dia menaruh foto itu di tempat lain yang lebih aman, mungkin di
bawah kasur, di atas lemari, atau di tempat lain yang aman, namun presentase
kehilangannya sangat kecil.
Setelah selesai menyantap semangkuk
bakso, sekarang waktunya kembali lagi ke area TPS.
“mas,
belum bayar?” tanya sang penjual bakso
“Ntar,
nunggu dompet saya ketemu” ketusnya sambil berjalan menjauh. Melihat Supardi
saat itu suasana hatinya sedang carut-marut, pedagang bakso pun memilih
mengikhlaskan semangkok baksonya saja.
Kembalilah supardi di area TPS.
Sengatan bau sampah tidak membuatnya kendur. Matanya sekarang jeli menatap
kawanan pemulung yang tak bosan-bosannya mengorek-orek sampah.
“Oh
my god!” teriak salah seorang pemulung. Entah kenapa dia bisa bahasa
inggris. Mungkin karena terlalu keseringan menonton film inggris di TV salah
satu warung dekat rumah gubuknya.
Supardi
yang melihat reaksi dan mendengar suara dari pemulung tadi, langsung
menghampirinya dengan berlari.
“buk.
Ibuk. Apa yang barusan ibu temukan!?” tanya Supardi penuh selidik.
“bapak
kok kepo banget sih!” sahut sang pemulung. Salah satu tangannya di
selempitkan ke belakang punggungnya.
“apa
yang ibu pegang itu semacam dompet? Jika iya, tolong kembalikan kepada saya.
Ibuk boleh mengambil semua uang yang ada di sana. Tapi tolong, kembalikan lagi
dompet itu kepada saya” Supardi memohon dengan amat sangat.
Pemulung
itu tampak berfikir. Lekas dia berbalik arah sambil tangannya dengan cepat
memasukkan kertas-kertas yang tak lain adalah uang ke dalam saku bolongnya.
Karena bolong, beberapa uang itu jatuh ke tanah. Namun ibuk itu cepat-cepat
mengambilnya kembali dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya yang tidak
bolong.
“nih”
pemulung itu mengembalikan dompet itu ke Supardi.
Ekspresi
wajah Supardi yang muram berubah ceria “Terimakasih buk!?”
“sama-sama,
tidak masalah, ini mudah” katanya dengan muka tak berdosa.
Supardi menuju ke motornya yang
terparkir di dekat tembok besar. Di perjalanan, dia mengecek dompet itu.
berusaha mencari foto yang di makud. Namun yang didapatnya hanyalah beberapa
cek bertuliskan nominal 100.000.000 dan kertas-kertas penting lain yang
nilainya tidak bisa terpikirkan dengan jeli oleh Supardi yang saat itu sedang
stress memikirkan foto orang tuanya.
“ini
bukan dompetku!” lekas ia membuang dompet itu dengan segala isinya ke tumpukan
sampah lagi. Dengan pasrah, dia kembali pulang kerumah sambil menahan kesedihan
karena tidak berhasil menemukan foto kedua orang tuanya.
Siang itu, sebuah mobil limosin
hitam berplat merah datang ke area TPS itu. Ah, rupanya dia adalah seorang politisi
terkenal yang namanya sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat.
“a-ada
apa pak Jiwo sampai merelakan diri datang kemari?” tanya sang petugas Operasional
sampah yang saat itu tak menyangka akan kedatangannya.
“saya
mau mencari dompet saya yang hilang. Mungkin saya akan memberikan mobil yang
saya tumpangi ini bagi mereka yang bisa menemukan dompet saya, plus uang tunai
yang ada di dalamnya” jelasnya tanpa basa-basi.
“apa
mungkin yang ini pak?” petugas Operasional sampah itu mengeluarkan sebuah
dompet dari saku celananya.
“HAHAHAHA......”
politisi itu tertawa terbahak-bahak “Bukan, dompet saya volumenya lebih tebal
dan mulus. Dompet bulug nan tipis ini mah, dompet rakyat!” katanya sambil
melangkah pergi menuju ke gerbang TPS.
10-3-17
MHA