softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Sabtu, 11 Maret 2017

Kumpulan cerpen; Bolpoin, Tipe-X, dan Dompet



            Sebuah bolpoin terjatuh dari salah satu meja seorang siswa. Siswa lain yang berada di sebelahnya, setelah tahu ada sebuah bolpoin jatuh, dengan cekatan mengambil bolpoin itu. mungkin ini adalah hari keberuntungannya, mengingat dirinya pada hari itu lupa membawa bolpoin.

“Ssst... kamu lihat tidak, bolpenku yang jatuh barusan?” Tanya sang pemilik bolpoin kepada orang yang mengambil bolpoin.
“Pulpen jatuh?” Berlagak tidak tahu sambil tangannya mengendap-endap sedang memasukkan bolpoin itu ke dalam saku celananya. “maaf, aku tidak tahu” katanya menahan bohong.
Yang punya bolpoin pun akhirnya sibuk sendiri mencari bolpoin di sekitar mejanya. Sampai dia juga harus jongkok untuk mengecek jikalau bolpennya itu terselip pada sela-sela meja dan kursinya. Dia mencarinya dengan telaten, mengingat bahwa bolpoin itu adalah alat tulis satu-satunya yang dia bawa. Apalagi bolpoin itu dia beli baru tadi pagi.

“AKH.... kenapa sih tiap beli bolpoin ilang terus!” gerutunya sambil terus mencari. Sang guru yang menerangkan membiarkan saja, karena kejadian itu sudah dianggap lumrah dan wajar terjadi. Sedangkan orang yang telah mengambil bolpoinnya sudah pindah ke sudut lain sambil menulis materi yang ada di papan tulis dengan tenang.

            Di sebuah kelas yang berada di lantai dua. Sebuah tipe-X mengudara di dalam kelas. Sudah lebih dari 10 kali kiranya tipe-X itu melakukan take off. Terhitung delapan kali mendarat dengan sempurna, dan dua kali mengenai titis di kepala. Guru yang saat itu sedang menerangkan pelajaran tidak menegur. karena kejadian itu sudah dianggap lumrah dan wajar terjadi.
“butuh tipe-X woi!”
sopo seng nggowo tipe-x ke?”
“dibawa Panjul!”
Ndi?”
“Nyoo!”
Tipe-X pun mengudara kembali. Tapi penerbangan yang satu ini sangatlah disayangkan. Karena terlalu grusa-grusu saat melakukan take off, menimbulkan sebuah kesalahan fatal karena daya lontar yang terlalu berlebihan. Alhasil, tipe-X melesat di udara dengan cepat, begitu cepat hingga akhirnya tipe-X itu mencelat keluar dari jendela, dan terjatuh ke lantai satu.

“YAAHHH.....” seisi kelas serentak bersuara. Mereka semua merasa sangat kehilangan sambil berduka cita atas kepergian tipe-X tersebut. Sedangkan yang punya tipe-X tak henti-hentinya menyalahkan Panjul yang telah membuat tipe-Xnya terjatuh ke lantai satu.

            Sebuah guru. Atau lebih tepatnya seorang guru, dia sedang tergesa-gesa oleh sebuah masalah yang mengganjal neuron otaknya. Langkahnya begitu cepat menuju parkiran motor. Disaat yang bersamaan, langkahnya terhenti setelah mengetahui ada sebongkah tipe-X yang jatuh dari langit. Lekas diambilnya tipe-X itu, setelah di cek ternyata isinya tinggal sedikit. Sehingga dia memilih untuk membuangnya di tempat sampah. Guru itu pun melanjutkan langkahnya kembali menuju ke tempat parkiran.

            Sebuah tempat sampah yang sudah terisi penuh. Isinya sudah membeludak dan sebagian isinya telah berhamburan keluar. Tak berselang lama, munculah petugas Operasional sampah. Dia memasukkan sampah di tempat sampah ke dalam gerobaknya. kemudian Tangannya begitu cekatan membersihkan sampah-sampah yang masih tercecer, memasukkannya ke dalam gerobak sampah, dan mengangkutnya menuju ke tempat pembuangan sampah.

            Para pemulung yang mengorak-arik sampah-sampah. Mereka hidup dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Kerasnya hidup mereka lalui dengan perasaan legawa yang sangat besar. Tak terkira besarnya sehingga tidak bisa diuraikan, ataupun dituliskan dengan kata-kata yang besar sekalipun. karena memang seperti itulah, hidup begitu sederhana, dan kebutuhan hidup hanya bertopang pada tumpukan sampah yang setiap hari harus mereka pungut untuk bisa menyambung kehidupan mereka. Supardi yang melihat mereka bekerja dari kejauahan saja sudah sangat mengerti akan hal ini. Dia kembali memperdekat jaraknya ke tempat TPS itu. motornya ia parkirkan di dekat tembok besar yang membendung segunungan sampah buangan dari masyarakat sekota itu. Bau busuk segera menyergap hidung Supardi. Padahal yang dia tahu, sekarang dia sedang pilek, tak disangka, ternyata baunya bisa menembus molekul-molekul pilek yang bercokol di hidungnya. Supardi sampai tak habis pikir dengan hidung para pemulung di seberang sana yang betah sekali berhadapan dengan sampah setiap hari. Mungkin saja hidung mereka sudah kebal dan menganggap hal itu sebagai bau kentut biasa. Padahal bau busuknya lebih dari itu! mungkin setara dengan ribuan kentut yang dipadukan menjadi satu.

“ada perlu apa mas datang kemari?” di sebelah Supardi sudah terdapat bapak-bapak yang mengenakan seragam khas Operasional sampah.
“ah, bukan apa-apa pak. Saya hanya mau mencari dompet saya” jelas Supardi.
“Dompet!!” bapak itu terkaget-kaget “Kenapa bisa sampai sini mas?” tanyanya.
“ceritanya begini pak. Tadi pagi saya kan sedang beres-beres rumah. Taunya, mungkin saat itu saya menggeletakkan dompet saya di sembarang tempat, sehingga ikut kesapu atau terselip dalam tumpukan sampah yang saya buang ke tempat sampah. Saat itu saya belum sadar dan saya taruh saja sampah-sampah saya ke gerobak sampah dekat kapling saya. Saya baru sadar sekitar lima belas menit yang lalu. Karena saya tau jika sampah-sampah di gerobak dekat kapling saya sudah di buang ke sini, maka saya lekas cepat-cepat datang ke sini untuk mencari dompet saya”
“waduh mas, kalau sudah sampai sini, pasti bakalan susah nyarinya” kata bapak Operasional sampah itu sambil cengar-cengir.
“yah, saya tahu kok pak”
“lalu, bagaimana cara mas bisa nyari dompetnya?”
“paling nanti, jika saya melihat salah satu dari beberapa pemulung ini yang kaget dan melongo setelah menemukan sesuatu, maka saya akan langsung menghampirinya”
“oh....” bapak Operasional sampah itu manggut-manggut, lalu izin untuk beranjak pergi
“semoga cepat ketumu mas, dompetnya”
“aamiin...”
Petugas Operasional sampah itu berlalu.

            Lama Supardi berada di tempat itu. sampai saat ini belum ada satupun pemulung yang bereaksi seperti yang diharapkannya. Karena lelah, supardi memilih mengistirahatkan matanya yang sudah jemu memandangi tumpukan sampah. Hidungnya juga sudah keteteran dengan bau makanan busuk yang banyak di buang disitu, sehingga dia harus melakukan (refleksi) dengan menggunakan mulut. Kini yang sedang di tujunya adalah gerobak bakso. Tak jauh dari TPS, terdapat seorang penjual bakso dan beberapa pedangang lain yang menjajakan dagangannya.
“Bakso satu bang!”
“satu butir pak?” canda sang tukang bakso
“satu gerobak!”
“wah... beneran bang...!?” tukang bakso nampak senang.
“ya enggaklah! Gimana sih. Cepetan. Bakso satu mangkok! Keburu saya emosi nanti” kata Supardi dengan nada berfrekuensi tinggi.
“waduh. Nih abang lagi naik darah to?”
“serah dah. Cepet!”
“oke-oke bang. Sabar, ane segera buatin” pedagang bakso itu lekas membuatkan pesanan Supardi dengan ketakutan.

            Setelah menunggu beberapa menit, sampailah pesanan baksonya itu di hadapannya.
“i-ini bang. Laa tardhob walakal jannah” kata tukang bakso itu sembari menasehati.
“iyaa.... saya tau.....” kata supardi dengan kejudesan. Perasaannya masih kacau dengan menghilangnya dompet miliknya. Dia sangat mencemaskan isi dari dompet itu. bukan uangnya. Uang baginya tidak masalah, karena bisa dicara lagi nanti. Tapi, yang jadi masalahnya sekarang adalah sebuah foto yang tersimpan di dalam dompetnya. Itu adalah foto almarhum kedua orang tuanya dulu. Foto itu tidak memiliki salinan sehingga dia merawat dan menjaga foto itu dengan sangat hati-hati untuk bisa selalu mengingat kedua orang tuanya. Dan sekarang dia sangat menyesali akan kecerobohannya tidak menjaga dengan benar dompetnya itu. bukankah seharusnya dia menaruh foto itu di tempat lain yang lebih aman, mungkin di bawah kasur, di atas lemari, atau di tempat lain yang aman, namun presentase kehilangannya sangat kecil.

            Setelah selesai menyantap semangkuk bakso, sekarang waktunya kembali lagi ke area TPS.
“mas, belum bayar?” tanya sang penjual bakso
“Ntar, nunggu dompet saya ketemu” ketusnya sambil berjalan menjauh. Melihat Supardi saat itu suasana hatinya sedang carut-marut, pedagang bakso pun memilih mengikhlaskan semangkok baksonya saja.
            Kembalilah supardi di area TPS. Sengatan bau sampah tidak membuatnya kendur. Matanya sekarang jeli menatap kawanan pemulung yang tak bosan-bosannya mengorek-orek sampah.

Oh my god!” teriak salah seorang pemulung. Entah kenapa dia bisa bahasa inggris. Mungkin karena terlalu keseringan menonton film inggris di TV salah satu warung dekat rumah gubuknya.
Supardi yang melihat reaksi dan mendengar suara dari pemulung tadi, langsung menghampirinya dengan berlari.

“buk. Ibuk. Apa yang barusan ibu temukan!?” tanya Supardi penuh selidik.
“bapak kok kepo banget sih!” sahut sang pemulung. Salah satu tangannya di selempitkan ke belakang punggungnya.
“apa yang ibu pegang itu semacam dompet? Jika iya, tolong kembalikan kepada saya. Ibuk boleh mengambil semua uang yang ada di sana. Tapi tolong, kembalikan lagi dompet itu kepada saya” Supardi memohon dengan amat sangat.
Pemulung itu tampak berfikir. Lekas dia berbalik arah sambil tangannya dengan cepat memasukkan kertas-kertas yang tak lain adalah uang ke dalam saku bolongnya. Karena bolong, beberapa uang itu jatuh ke tanah. Namun ibuk itu cepat-cepat mengambilnya kembali dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya yang tidak bolong.
“nih” pemulung itu mengembalikan dompet itu ke Supardi.
Ekspresi wajah Supardi yang muram berubah ceria “Terimakasih buk!?”
“sama-sama, tidak masalah, ini mudah” katanya dengan muka tak berdosa.

            Supardi menuju ke motornya yang terparkir di dekat tembok besar. Di perjalanan, dia mengecek dompet itu. berusaha mencari foto yang di makud. Namun yang didapatnya hanyalah beberapa cek bertuliskan nominal 100.000.000 dan kertas-kertas penting lain yang nilainya tidak bisa terpikirkan dengan jeli oleh Supardi yang saat itu sedang stress memikirkan foto orang tuanya.

“ini bukan dompetku!” lekas ia membuang dompet itu dengan segala isinya ke tumpukan sampah lagi. Dengan pasrah, dia kembali pulang kerumah sambil menahan kesedihan karena tidak berhasil menemukan foto kedua orang tuanya.

            Siang itu, sebuah mobil limosin hitam berplat merah datang ke area TPS itu. Ah, rupanya dia adalah seorang politisi terkenal yang namanya sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat.
“a-ada apa pak Jiwo sampai merelakan diri datang kemari?” tanya sang petugas Operasional sampah yang saat itu tak menyangka akan kedatangannya.
“saya mau mencari dompet saya yang hilang. Mungkin saya akan memberikan mobil yang saya tumpangi ini bagi mereka yang bisa menemukan dompet saya, plus uang tunai yang ada di dalamnya” jelasnya tanpa basa-basi.
“apa mungkin yang ini pak?” petugas Operasional sampah itu mengeluarkan sebuah dompet dari saku celananya.
“HAHAHAHA......” politisi itu tertawa terbahak-bahak “Bukan, dompet saya volumenya lebih tebal dan mulus. Dompet bulug nan tipis ini mah, dompet rakyat!” katanya sambil melangkah pergi menuju ke gerbang TPS.

10-3-17

MHA

Sabtu, 04 Maret 2017

Kumpulan Cerpen; Dunia Paralel






Dia tersenyum. Sejauh mata memandang. Dia disuguhi pemandangan bunga beraneka warna. Bunga-bunga tumbuh dengan indahnya. Pantulan cahaya matahari membuatnya seakan mengeluarkan secercah kilauan cantik yang terpantul dari kelopaknya.

“indahnya....” sergahnya. Tiada terkira dia bisa mendapatkan pemandangan secantik ini dalam hidupnya. Seperti mimpi saja. Karena berandai jikalau ini hanya sebuah mimpi, maka dia coba tepuk-tepuk pipinya. Belum bangun juga. Kemudian dia jawil pipinya. Belum bangun juga. Dan terakhir, dia menjotosi pipi-pipinya. Dan setelah melakukan semua itu, akhirnya dirinya bisa menyimpulkan.
“ternyata bukan mimpi toh”
Kemudian  dia berkeliling menyusuri padang bunga. Bunga-bunga yang harum, beraneka warna, dan juga sangat terawat. Siapa yang merawatnya? Mungkin tidak ada. Bunga-bunga disini sepertinya tumbuh alami secara sendirinya.

            Di sebuah sungai yang deras airnya, dia menepi disana untuk melepaskan dahaga. Melihat airnya yang begitu jernih membuat dirinya tidak ragu untuk meminumnya secara langsung tanpa harus di godog.

“WOW!” dia sangat takjub seketika itu “ini sungguh air jernih yang sangat jernih. Lebih jernih dari air terjehnih yang pernah jernih di dunia. Bahkan rasanya tak kalah dengan pure it” setelah selesai memuaskan dahaga, kemudian dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat yang lain.

            Seekor binatang datang menghampirinya. Seekor yeti? Bukan. Seekor beruang? Juga bukan. hewan itu terlihat sangat abstrak dan tidak bisa terdefinisikan. Dia bingung melihat seeokor binatang yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kepalanya seperti orang utan. Badannya layaknya bison yang kehabisan bulu. Kakinya selayak kaki harimau. Dan matanya bagaikan mata elang yang sedang menukik kecemplung sumur. Hewan yang seperti mutan itu berjalan dengan dua kaki, dengan tinggi kira-kira dua meter. Aneh? Memang aneh. Dia sendiri saja bingung bukan main. Melihat hewan itu membuatnya tidak takut. Justru rasa penasaran semakin memuncak ketika tahu resliting celananya lupa untuk dikatupkan.
“he...hewan macam apa kau...” desisnya pelan. Hingga akhirnya hewan seperti mutan itu sampai juga di hadapannya.
“salam panas....” dirinya kembali dikagetkan. Ternyata hewan itu bisa bicara layaknya manusia.
“What is your name?” kata dia.
“udah, nggak usah sok nginggris, kamu orang indonesia, jadi pakai bahasa indonesia saja”
“oh, kau binatang yang bisa berfikir!, keberadaanmu di dunia bakalan membuat kiamat lebih cepat” Dia tertegun cukup dalam
“kamu ngomongin apa sih?”
“apa kamu sejenis Dabbah?”
“Dabbah your mother is goalkipper.... aku adalah reinkarnasi dari para binatang” jelas hewan itu
“benarkah. Tapi yang aku lihat, bentukanmu lucu sekali”
“jangan coba-coba untuk membuatku marah, karena aku bisa membunuhmu dengan mudah”
“Iya-iya maaf deh, aku hanya bercanda. Lagi pula, kenapa kau sampai datang menghampiriku, apa mungkin karena aku berada di taman bungamu tanpa izin?”
“bukan itu. hanya saja aku bingung, ada semacam bentukan aneh yang aku lihat”
“Hah.... bagaimana sih kau ini. Di duniaku, orang-orang sepertiku ada milyaran tahu....”
“oh, jadi begitu. sepertinya kau dari dunia lain, dan tiba-tiba nyasar di tempat ini”
“yah, itu juga yang aku pikirkan dari awal aku ada di sini. Lalu, apa kau berada di tempat ini seorang diri?”
“kau salah. Sama seperti di duniamu, disini juga ada milyaran Kluthuk yang ada di dunia ini”
“jadi... kau menyebut dirimu Kluthuk?”
“benar. sama seperti dirimu yang menyebut dirimu orang”
“tapi disini sunyi sekali. Aku belum begitu percaya jika seekor Kluthuk sepertimu bisa mendominasi dunia ini”
“ah... kau ini, apa kau tak bisa melihat teman-temanku di sebelah sana?”
“tidak. Aku hanya melihat hamparan bunga sejauh mataku memandang”
“ternyata spesies sepertimu memiliki pandangan yang terbatas sekali. Kau tahu, dari sini aku bisa melihat Kluthuk lain sedang ngupil di arah utara. Dan melihat kawanan Klutuhuk sedang mengadakan pesta di arah tenggara. Lalu kau juga akan menjumpai sebuah kota yang isinya Kluthuk-Kluthuk di barat lebih dua inci kurang seperempat mili”

            Kali ini dia mengerti perbedaan kekuatan yang sangat besar yang terlihat padanya dan Kluthuk itu. Tetapi masih ada rasa yang mengganjalnya semenjak tadi. tentang hewan Kluthuk ini. apa Kluthuk ini adalah alien yang digembar-gemborkan itu. jika benar, maka perawakannya jelas-jelas tidak sama seperti apa yang manusia di dunia gambarkan tentang alien saat ini.
“boleh aku bertanya?”
“selama kau bisa bicara silakan”
“apa kamu...”
“ah... tunggu sebentar. Tidak enak bicara dengan sebutan itu. panggil aku Xnmal”
“(nama macam apa itu...) baik, Xnmal...”
“bukan Xnmal, tapi Xmnal”
“tapi tadi kau bilang Xnmal”
“Xmnal”
“baiklah, Xmnal. Namaku Jarso”
“nama macam apa itu?”
“apa kau tak sadar jika namamu yang aneh”
“apa yang ingin kau tanyakan?”
“apa kau tahu tentang dunia ku?”
“tidak. Tapi terkadang ada cerita jika di belahan galaksi lain ada alien jahat yang akan menyerang planetku”
“(jadi cerita di tiap belahan dunia itu nyaris sama ya..)”
“kenapa kau bertanya seperti itu?”
“tidak, aku hanya memastikan saja”
“apa kau tahu?”
“apa?”
“kakimu mulai memudar”
Jarso melihat kearah bawah. Dan mendapati dirinya melayang tanpa kaki.
“ke...kenapa bisa begini?”
“mungkin ini waktunya kau kembali ke duniamu. Senang bisa bertemu denganmu”
“oh ya. Aku juga senang mendapatkan pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya”

            Kini badan Jarso terus memudar. Dan tinggal bagian kepala saja yang terlihat. Xmnal masih berada di sana menunggu Jarso menghilang. dan setelah beberapa saat Jarso pun lenyap. Xmnal lalu lekas pergi dari sana untuk bergabung dengan koloninya. Dan pada saat itu, Jarso entah ada di mana. Dia sama sekali tidak di temukan di manapun.

30 Agustus 2016


M         H         A

Kumpulan Cerpen; Nol




Deretan rumah berbanjar memenuhi pinggiran jalan. Langit mendung pertanda hujan akan datang. Terlihat burung yang terbang menuju utara. Mencari tempat yang kering agar terhindar dari terpaan hujan. mentari sudah tak terlihat. Sore itu terasa seperti waktu malam. Angin bergemuruh mengibarkan daun-daun pepohonan perdu. Motor vespa terdengar ngebut. Mungkin sang pengendara tahu jika hujan akan turun, dan saat itu dia lupa bawa mantol. Sehingga dia cepat saja berkendara untuk lekas sampai ke rumah.

            Ayunan yang berayun dengan tiba-tiba. Setelah di fikirkan lebih dalam. Ternyata ayunan itu diterpa angin kencang. Angin yang begitu ribut. Sehingga bisa menggerakkan benda-benda saat itu. pohon bergoyang. Rumput menari. Kabel-kabel listrik bergetar tak karuan. Pertanda jika hujan kali ini akan menjadi badai.

“kau lihat berita hari ini. alam kita seakan sudah mau hancur saja”
“jaga bicaramu. Aku tak mau kiamat datang sebelum aku mati”
“heh, apa kamu setakut itu jika kiamat nanti datang?”
“bayangkan saja. Manusia seakan kapas-kapas yang berterbangan. Bukankah itu penggambaran yang membuktikan, saat itu manusia sangat putus asa dan tidak berdaya melihat kehancuran-kehancuran yang ada”

Riko dan Kiro. Adalah dua sahabat karib yang sedang terjebak dalam hujan badai. Mereka adalah pengendara bermotor yang juga lupa membawa mantol. Akhirnya mereka menepi di sebuah gubuk yang tertutup. Sebuah gubuk tua. Yang ditinggal kan pemiliknya sudah lebih dari seperempat dekade.
“apa susahnya sih bro bilang dua koma lima tahun. Sok gaya banget pake kata seperempat dekade”
“serah gua dong. Situ kok komen. Yang jelas. Di luar sana. Petir menyambar-nyambar dengan gilanya. Bisa parah deh kalau kena”
“bisa-bisa jadi orang bakar kan”
“bodo ah, sekarang kita mau ngapain nih. Sambil nunggu badai berhenti mengamuk?” tanya Kiro. Riko tampak berpikir.
“main apa coba. Mending main game di HP”
“yah, sekarang andalannya Cuma itu sih. tapi apa boleh buat, ketimbang bengong nggak ada tujuan” lalu mereka berdua bemain sendiri-sendiri dengan Hp mereka.

            Sudah satu jam berlalu. Dan badai belum kunjung reda. Justru angin semakin ganas melayangkan beberapa atap-atap rumah. Sampai ada juga sebuah pohon agak besar yang tercabut sampai akarnya.
“haduh bro. Hp gue lowbet”
“sama nih. Disini nggak ada ces-cesan lagi. Apalagi badai di luar juga semakin ekstrim. Kalau gubuk kita melayang, bagaimana nasib kita nih?”
“tenang saja. Allah tidak akan menguji hambanya sampai di luar batas kemampuannya. Semoga saja gubuk ini bisa bertahan sampai badai ini reda”
Sesaat kemudian terdengar suara keras mendekat. Riko mengecek suara yang bikin ribut itu. ternyata seorang pengendara Vespa. Sang pengendara dengan cekatan lekas berlari menuju gubuk yang ditinggali Riko dan Kiro. Pengendara vespa tergeletak seketika itu juga. Membuat Riko dan Kiro terpelongo.
“hosh.....hosh....hosh...” nafasnya memburu. Pakaiannya basah kuyub. Tubuhnya menggigil dan kulit tubuhnya sudah memutih bagai mayit yang sudah di kasih kapur barus.
“ya ampun. Bantu dia!” Riko lekas membuka pakaian pengendara itu yang menggigil. Dia berani membuka pakaiannya karena sang pengendara Vespa adalah seorang laki-laki. Lalu Kiro melepaskan jaket miliknya dan mengenakannya pada sang pengendara Vespa. Dan tidak sengaja menginjak tangan si pengendara Vespa.
“kamu tak apa-apa Om!?” riko mulai tampak khawatir melihat ekspresi wajah dari si pengendara Vespa yang berubah-ubah.
“a....aaa......ku....ta.....ng..  a .....nnnhh.... hosh... hosh.....” sang pengendara vespa mengigau tak jelas
“APA?. Saya nggak paham apa yang om omongin!”
“sudahlah Ko. Biarkan dia tidur dulu. mungkin dia juga sama kayak kita. Lupa bawa mantol. Trus selama perjalanan dia nekat agar sampai kerumah. Padahal rumahnya masih sangat jauh”
“kamu kok tahu ro?”
“emh..... nebak aja sih”
“tha.....ang......anhh.....” sang pengendara vespa kembali mengigau
“dia mengigau terus. Gimana nih?” tanya Kiro. Riko kembali berfikir. Setelah dia mengamati dengan cermat. Ternyata dia tahu penyebab dari semua ini.
“OI RO! TANGANNYA KAU INJEK TUH!“
”APA IYA!” iya lekas sadar dan menarik kakinya dari tangan sang pengendara Vespa. “ma...maafin om. Saya nggak sadar”
“untung dia nggak mati duluan gara-gara kesakitan”
“mana ada orang yang mati gara-gara tangannya keinjek”

Hari semakin malam. Derasnya hujan masih mengguyur area tersebut. Petir dan kilat bersahutan-sahutan dengan garangnya. Membuat banjir di beberapa titik dataran rendah. Cahaya bulan tidak terlihat. Awan gelap sudah menutup pintu-pintu langit yang ada. Malam itu amat gelap, karena bertepatan dengan listrik yang sedang mengalami oglangan.
“Riko. Menurutmu sampai kapan hal ini akan berlanjut?”
“entahlah. Tampaknya kita harus menunggu sampai keajaiban datang”
“dan kau lihat pengendara Vespa ini. tampaknya dia sudah ko’ed”
“hush.... jaga bicaramu. Dia hanya mengalami mati”
“yah terserahlah caramu menyebutkannya. Yang jelas. Bagaimana kita akan mengurusinya? Masak mau kita tinggal disini?”
“lha lalu mau kita apakan?”
“di buang”
Riko menepuk jidatnya “kamu sama sekali tidak berperi kemanusiaan ya. Masak pemikiranmu dangkal sekali. Kita kan punya HP. Dia juga punya KTP atau sejenisnya. Jadi kita bisa menghubungi orang terdekatnya”
“tapi kalau mereka tidak terima atas kematiannya. Lalu kita nanti diintrogasi polisi. Trus dijadikan tersangka gimana?”
“kita kan nggak salah. Ngapain takut. Kita kan juga sudah membantu dengan mengenakan jaketmu ke dia. Memang sudah waktunya saja dia mati disini. Kehendak tuhan tidak bisa di pungkiri”
“benar juga sih”

###

            Hari yang cerah. Matahari bersinar seperti biasa. Langit biru tehampar sampai sejauh mata memandang. Embun bergulir dari pucuk tetumbuhan. Anak-anak SD sudah pada ribut untuk segera berangkat ke sekolah. mungkinkah jika ada yang membingungkan. Lebih tepatnya jika meratapi tentang tumbuhan yang bisa menghasilkan beragam jenis pangan hanya dengan menyerap fosfor dan berbagai meneral lain dalam tanah. Namun bukannya malam tadi hujan turun dengan ganasnya. Sampai membuat beberapa rumah rusak dan banyak pohon-pohon yang tumbang.

            Riko dan Kiro terbangun dari tidurnya. Mereka berdua sama-sama menyeka mata. Membersihkan kotoran mata yang biasa di sebut belek agar hilang. dan kini mereka kembali ke awal. Selekas bermimpi hal tersebut. Akhirnya mereka menyiapkan mantol dari rumah masing-masing.

13 Desember 2016

M H A