Sabtu, 11 Maret 2017

Kumpulan cerpen; Bolpoin, Tipe-X, dan Dompet



            Sebuah bolpoin terjatuh dari salah satu meja seorang siswa. Siswa lain yang berada di sebelahnya, setelah tahu ada sebuah bolpoin jatuh, dengan cekatan mengambil bolpoin itu. mungkin ini adalah hari keberuntungannya, mengingat dirinya pada hari itu lupa membawa bolpoin.

“Ssst... kamu lihat tidak, bolpenku yang jatuh barusan?” Tanya sang pemilik bolpoin kepada orang yang mengambil bolpoin.
“Pulpen jatuh?” Berlagak tidak tahu sambil tangannya mengendap-endap sedang memasukkan bolpoin itu ke dalam saku celananya. “maaf, aku tidak tahu” katanya menahan bohong.
Yang punya bolpoin pun akhirnya sibuk sendiri mencari bolpoin di sekitar mejanya. Sampai dia juga harus jongkok untuk mengecek jikalau bolpennya itu terselip pada sela-sela meja dan kursinya. Dia mencarinya dengan telaten, mengingat bahwa bolpoin itu adalah alat tulis satu-satunya yang dia bawa. Apalagi bolpoin itu dia beli baru tadi pagi.

“AKH.... kenapa sih tiap beli bolpoin ilang terus!” gerutunya sambil terus mencari. Sang guru yang menerangkan membiarkan saja, karena kejadian itu sudah dianggap lumrah dan wajar terjadi. Sedangkan orang yang telah mengambil bolpoinnya sudah pindah ke sudut lain sambil menulis materi yang ada di papan tulis dengan tenang.

            Di sebuah kelas yang berada di lantai dua. Sebuah tipe-X mengudara di dalam kelas. Sudah lebih dari 10 kali kiranya tipe-X itu melakukan take off. Terhitung delapan kali mendarat dengan sempurna, dan dua kali mengenai titis di kepala. Guru yang saat itu sedang menerangkan pelajaran tidak menegur. karena kejadian itu sudah dianggap lumrah dan wajar terjadi.
“butuh tipe-X woi!”
sopo seng nggowo tipe-x ke?”
“dibawa Panjul!”
Ndi?”
“Nyoo!”
Tipe-X pun mengudara kembali. Tapi penerbangan yang satu ini sangatlah disayangkan. Karena terlalu grusa-grusu saat melakukan take off, menimbulkan sebuah kesalahan fatal karena daya lontar yang terlalu berlebihan. Alhasil, tipe-X melesat di udara dengan cepat, begitu cepat hingga akhirnya tipe-X itu mencelat keluar dari jendela, dan terjatuh ke lantai satu.

“YAAHHH.....” seisi kelas serentak bersuara. Mereka semua merasa sangat kehilangan sambil berduka cita atas kepergian tipe-X tersebut. Sedangkan yang punya tipe-X tak henti-hentinya menyalahkan Panjul yang telah membuat tipe-Xnya terjatuh ke lantai satu.

            Sebuah guru. Atau lebih tepatnya seorang guru, dia sedang tergesa-gesa oleh sebuah masalah yang mengganjal neuron otaknya. Langkahnya begitu cepat menuju parkiran motor. Disaat yang bersamaan, langkahnya terhenti setelah mengetahui ada sebongkah tipe-X yang jatuh dari langit. Lekas diambilnya tipe-X itu, setelah di cek ternyata isinya tinggal sedikit. Sehingga dia memilih untuk membuangnya di tempat sampah. Guru itu pun melanjutkan langkahnya kembali menuju ke tempat parkiran.

            Sebuah tempat sampah yang sudah terisi penuh. Isinya sudah membeludak dan sebagian isinya telah berhamburan keluar. Tak berselang lama, munculah petugas Operasional sampah. Dia memasukkan sampah di tempat sampah ke dalam gerobaknya. kemudian Tangannya begitu cekatan membersihkan sampah-sampah yang masih tercecer, memasukkannya ke dalam gerobak sampah, dan mengangkutnya menuju ke tempat pembuangan sampah.

            Para pemulung yang mengorak-arik sampah-sampah. Mereka hidup dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Kerasnya hidup mereka lalui dengan perasaan legawa yang sangat besar. Tak terkira besarnya sehingga tidak bisa diuraikan, ataupun dituliskan dengan kata-kata yang besar sekalipun. karena memang seperti itulah, hidup begitu sederhana, dan kebutuhan hidup hanya bertopang pada tumpukan sampah yang setiap hari harus mereka pungut untuk bisa menyambung kehidupan mereka. Supardi yang melihat mereka bekerja dari kejauahan saja sudah sangat mengerti akan hal ini. Dia kembali memperdekat jaraknya ke tempat TPS itu. motornya ia parkirkan di dekat tembok besar yang membendung segunungan sampah buangan dari masyarakat sekota itu. Bau busuk segera menyergap hidung Supardi. Padahal yang dia tahu, sekarang dia sedang pilek, tak disangka, ternyata baunya bisa menembus molekul-molekul pilek yang bercokol di hidungnya. Supardi sampai tak habis pikir dengan hidung para pemulung di seberang sana yang betah sekali berhadapan dengan sampah setiap hari. Mungkin saja hidung mereka sudah kebal dan menganggap hal itu sebagai bau kentut biasa. Padahal bau busuknya lebih dari itu! mungkin setara dengan ribuan kentut yang dipadukan menjadi satu.

“ada perlu apa mas datang kemari?” di sebelah Supardi sudah terdapat bapak-bapak yang mengenakan seragam khas Operasional sampah.
“ah, bukan apa-apa pak. Saya hanya mau mencari dompet saya” jelas Supardi.
“Dompet!!” bapak itu terkaget-kaget “Kenapa bisa sampai sini mas?” tanyanya.
“ceritanya begini pak. Tadi pagi saya kan sedang beres-beres rumah. Taunya, mungkin saat itu saya menggeletakkan dompet saya di sembarang tempat, sehingga ikut kesapu atau terselip dalam tumpukan sampah yang saya buang ke tempat sampah. Saat itu saya belum sadar dan saya taruh saja sampah-sampah saya ke gerobak sampah dekat kapling saya. Saya baru sadar sekitar lima belas menit yang lalu. Karena saya tau jika sampah-sampah di gerobak dekat kapling saya sudah di buang ke sini, maka saya lekas cepat-cepat datang ke sini untuk mencari dompet saya”
“waduh mas, kalau sudah sampai sini, pasti bakalan susah nyarinya” kata bapak Operasional sampah itu sambil cengar-cengir.
“yah, saya tahu kok pak”
“lalu, bagaimana cara mas bisa nyari dompetnya?”
“paling nanti, jika saya melihat salah satu dari beberapa pemulung ini yang kaget dan melongo setelah menemukan sesuatu, maka saya akan langsung menghampirinya”
“oh....” bapak Operasional sampah itu manggut-manggut, lalu izin untuk beranjak pergi
“semoga cepat ketumu mas, dompetnya”
“aamiin...”
Petugas Operasional sampah itu berlalu.

            Lama Supardi berada di tempat itu. sampai saat ini belum ada satupun pemulung yang bereaksi seperti yang diharapkannya. Karena lelah, supardi memilih mengistirahatkan matanya yang sudah jemu memandangi tumpukan sampah. Hidungnya juga sudah keteteran dengan bau makanan busuk yang banyak di buang disitu, sehingga dia harus melakukan (refleksi) dengan menggunakan mulut. Kini yang sedang di tujunya adalah gerobak bakso. Tak jauh dari TPS, terdapat seorang penjual bakso dan beberapa pedangang lain yang menjajakan dagangannya.
“Bakso satu bang!”
“satu butir pak?” canda sang tukang bakso
“satu gerobak!”
“wah... beneran bang...!?” tukang bakso nampak senang.
“ya enggaklah! Gimana sih. Cepetan. Bakso satu mangkok! Keburu saya emosi nanti” kata Supardi dengan nada berfrekuensi tinggi.
“waduh. Nih abang lagi naik darah to?”
“serah dah. Cepet!”
“oke-oke bang. Sabar, ane segera buatin” pedagang bakso itu lekas membuatkan pesanan Supardi dengan ketakutan.

            Setelah menunggu beberapa menit, sampailah pesanan baksonya itu di hadapannya.
“i-ini bang. Laa tardhob walakal jannah” kata tukang bakso itu sembari menasehati.
“iyaa.... saya tau.....” kata supardi dengan kejudesan. Perasaannya masih kacau dengan menghilangnya dompet miliknya. Dia sangat mencemaskan isi dari dompet itu. bukan uangnya. Uang baginya tidak masalah, karena bisa dicara lagi nanti. Tapi, yang jadi masalahnya sekarang adalah sebuah foto yang tersimpan di dalam dompetnya. Itu adalah foto almarhum kedua orang tuanya dulu. Foto itu tidak memiliki salinan sehingga dia merawat dan menjaga foto itu dengan sangat hati-hati untuk bisa selalu mengingat kedua orang tuanya. Dan sekarang dia sangat menyesali akan kecerobohannya tidak menjaga dengan benar dompetnya itu. bukankah seharusnya dia menaruh foto itu di tempat lain yang lebih aman, mungkin di bawah kasur, di atas lemari, atau di tempat lain yang aman, namun presentase kehilangannya sangat kecil.

            Setelah selesai menyantap semangkuk bakso, sekarang waktunya kembali lagi ke area TPS.
“mas, belum bayar?” tanya sang penjual bakso
“Ntar, nunggu dompet saya ketemu” ketusnya sambil berjalan menjauh. Melihat Supardi saat itu suasana hatinya sedang carut-marut, pedagang bakso pun memilih mengikhlaskan semangkok baksonya saja.
            Kembalilah supardi di area TPS. Sengatan bau sampah tidak membuatnya kendur. Matanya sekarang jeli menatap kawanan pemulung yang tak bosan-bosannya mengorek-orek sampah.

Oh my god!” teriak salah seorang pemulung. Entah kenapa dia bisa bahasa inggris. Mungkin karena terlalu keseringan menonton film inggris di TV salah satu warung dekat rumah gubuknya.
Supardi yang melihat reaksi dan mendengar suara dari pemulung tadi, langsung menghampirinya dengan berlari.

“buk. Ibuk. Apa yang barusan ibu temukan!?” tanya Supardi penuh selidik.
“bapak kok kepo banget sih!” sahut sang pemulung. Salah satu tangannya di selempitkan ke belakang punggungnya.
“apa yang ibu pegang itu semacam dompet? Jika iya, tolong kembalikan kepada saya. Ibuk boleh mengambil semua uang yang ada di sana. Tapi tolong, kembalikan lagi dompet itu kepada saya” Supardi memohon dengan amat sangat.
Pemulung itu tampak berfikir. Lekas dia berbalik arah sambil tangannya dengan cepat memasukkan kertas-kertas yang tak lain adalah uang ke dalam saku bolongnya. Karena bolong, beberapa uang itu jatuh ke tanah. Namun ibuk itu cepat-cepat mengambilnya kembali dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya yang tidak bolong.
“nih” pemulung itu mengembalikan dompet itu ke Supardi.
Ekspresi wajah Supardi yang muram berubah ceria “Terimakasih buk!?”
“sama-sama, tidak masalah, ini mudah” katanya dengan muka tak berdosa.

            Supardi menuju ke motornya yang terparkir di dekat tembok besar. Di perjalanan, dia mengecek dompet itu. berusaha mencari foto yang di makud. Namun yang didapatnya hanyalah beberapa cek bertuliskan nominal 100.000.000 dan kertas-kertas penting lain yang nilainya tidak bisa terpikirkan dengan jeli oleh Supardi yang saat itu sedang stress memikirkan foto orang tuanya.

“ini bukan dompetku!” lekas ia membuang dompet itu dengan segala isinya ke tumpukan sampah lagi. Dengan pasrah, dia kembali pulang kerumah sambil menahan kesedihan karena tidak berhasil menemukan foto kedua orang tuanya.

            Siang itu, sebuah mobil limosin hitam berplat merah datang ke area TPS itu. Ah, rupanya dia adalah seorang politisi terkenal yang namanya sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat.
“a-ada apa pak Jiwo sampai merelakan diri datang kemari?” tanya sang petugas Operasional sampah yang saat itu tak menyangka akan kedatangannya.
“saya mau mencari dompet saya yang hilang. Mungkin saya akan memberikan mobil yang saya tumpangi ini bagi mereka yang bisa menemukan dompet saya, plus uang tunai yang ada di dalamnya” jelasnya tanpa basa-basi.
“apa mungkin yang ini pak?” petugas Operasional sampah itu mengeluarkan sebuah dompet dari saku celananya.
“HAHAHAHA......” politisi itu tertawa terbahak-bahak “Bukan, dompet saya volumenya lebih tebal dan mulus. Dompet bulug nan tipis ini mah, dompet rakyat!” katanya sambil melangkah pergi menuju ke gerbang TPS.

10-3-17

MHA

0 komentar:

Posting Komentar