Sabtu, 06 Mei 2017

Kumpulan Cerpen; Sebuah Cerita Singkat



            Masa lalu, kini, dan nanti. Hari ini, baru, dan lalu. Waktu itu, ini, dan sekarang. Dedauanan, mendesau jatuh ke tanah. Adakalanya langit berwarna abu-abu kehitaman. Terkadang berwarna biru muda. Bisa jadi sekarang mendung. Dan nantinya semakin gelap dan hujan pun turun. Seperti sekarang. Hujan sudah turun. Langit sedari tadi mendung. Banyak orang-orang mulai berteduh. Menghindarkan tubuh mereka agar tidak basah kuyup.

            Dulu tempat ini adalah hutan belantara. Setelah manusia singgah, hutan ini diubah menjadi area persawahan. Lama waktu berlalu, dan sekarang tanah-tanah sawah itu mulai tergerus. Tergerus oleh bangunan-bangunan paprik yang menyemburkan asap kotor ke langit. Dahulu, air disini sangatlah jernih. Tak perlu dimasak sudah boleh langsung diminum. Gratis, tanpa harus membayar sepeser pun. Tapi entah kenapa sekarang menjadi keruh. Sehingga, sekarang banyak air minum yang di wadahi, kemudian dijual beli.

            Harapan adalah sebuah keinginan yang ingin kita wujudkan. Terkadang, keinginan bisa lebih besar dari pada kesanggupan. Bisa jadi kita tak berusaha. Dan hanya menginginkan harapan, yang akhirnya hanya bisa menjadi sebuah angan-angan.

Sebuah warung hik di pinggir jalan. Disana terdapat dua orang pemuda yang masih muda. Namanya juga anak muda. Sudah pasti mereka muda. Jika tidak, maka tidak akan disebut sebagai pemuda.

“kapan kamu mau berubah?” tanyanya. Matanya masih menatapku tanpa bergeming. Dilihat dari reaksinya. Mungkin dia sudah tidak sabar lagi menungguku untuk keluar dari lingkaranku sendiri.
“besok, lusa, atau mungkin minggu depan” jawabku sekenanya. Kualihkan pandangan ke arah lain. Tak kuat aku lama-lama menatap matanya yang tajam.
“jangan hanya berkata besok, besok, dan besok. Kalau bisa sekarang, kenapa kamu tunda terus” Nada suaranya agak sedikit di tekan.  Kulihat wajahnya begitu serius ketika mengatakannya.
“ya, aku tahu”
“kalau kamu tahu. kenapa tidak segera berubah!?”
“tidak semudah itu. kau kira perubahan bisa datang dalam sekejap mata”
Temanku itu terdiam.
“bahkan sebuah mobil saja harus melalui sebuah proses untuk bisa menjadi mobil. Mana ada mobil yang jadi dengan sendirinya“ tambahku.
“aku bahkan tidak melihat proses perubahanmu sama sekali. Ingat, kamu sudah lulus SMA. Sudah sepantasnya kamu memiliki sebuah orientasi yang jelas. Harus sudah memiliki sebuah jati diri yang mantap. Apa lagi kamu ini seorang laki-laki. Maka dari itu. kita dituntut untuk menjadi lebih baik agar kehidupan kita tidak diisi dengan penyesalan dan penyesalan”
Setelah berkata seperti itu, dia segera menenggak minuman es teh pesanannya. Kesempatan break itu juga aku manfaatkan untuk meminum es jerukku yang esnya sudah mulai mencair.

            Kehidupan bisa terasa hambar. Namun kehidupan bisa terasa sangat berwarna dan mencerahkan. Kehidupan sangat sulit. Kehidupan juga sangat menyenangkan. Tergantung ditatap dari sudut pandang yang mana. Setiap hari aku tak bosan-bosannya melihat matahari terbit dan terbenam. Angin tak henti-hentinya berhembus berkelana ke berbagai arah. Ombak laut, tetumbuhan yang tumbuh, cahaya yang menyinari, kegelapan yang membayangi, suara yang memberi warna, hujan yang menghidupkan, panas yang mengeringkan. Bukan berarti kehidupan bisa disalahkan. Karena pada dasarnya dirinya salah memaknai hidup dengan sebaik-baiknya.

            Sejaman dengan waktu yang terus berputar. Banyak sekali manusia yang tidak menerima akan keadaannya. Tidak. Kebanyakan malah memaki kondisinya. Apa hanya semacam firasat? Tidak. Itu bisa dikatakan kenyataannya.

“Aku dengar dahulu kamu pernah menghadiri seminar motivasi?” dia kembali memulai pembicaraan.
“ya. Itu hanya memotivasiku sampai tiga hari saja”
“bentar banget”
“karena motivator yang paling tahan lama itu dari diri sendiri”
Temanku menatap keluar jendela. Awan sudah menutupi sebagian besar langit yang ada.
“sekarang sudah mau hujan lho. Aku juga nggak bawa mantol”
“kamu mau pulang sekarang?”
Dia mengangguk.
“ya udah, hati-hati ya”
“hei?”
“hmm?”
“bukannya kamu mbonceng aku” katanya dengan muka jutek.
“ahahaha... iya, aku lupa. Ayo kita pulang” kami berdua segera beranjak dari kedai itu. temanku menyalakan motornya. Aku membonceng di belakangnya. Kami mengenakan helm masing-masing. Setelah membayar uang parkir, lekas dia mengegas motornya menuju jalan raya.

            Gerimis mulai turun. Temanku melajukan motornya semakin kencang. Menerabas kendaraan, membelah angin kencang. Dingin menggerayangi tubuh. Rintikan hujan terasa seperti butiran-butiran pasir yang berkecamuk menerpa wajahku.

            Dunia ini terasa carut marut. Apa hanya perasaanku? segalanya telah rusak, segalanya telah diputar balikkan. Sulit mencari kebenaran disaat kebatilan menduduki segalanya. Mana orang yang ingin mengubah? Kulihat mereka sebagian besar berada di dasar.

Sangat sulit melangkahkan kaki untuk bisa mencapai puncak kehidupan. Apakah sesulit itu? kurasa tidak. Pikirankulah yang mempersulit itu. Seharusnya itu bisa terjadi jika aku benar-benar ingin. Mengubah semua yang salah. Apakah itu mungkin? Membenahi segala kerusakan. Bukankah itu Cuma mimpi?

Semua bergerak dalam porosnya sendiri-sendiri. Selagi energi masih ada, saat itulah roda dunia masih terus bergerak. Segalanya bergerak. Ada yang lamban, adapula yang cepat. Ada yang segera meraih tujuan, ada yang lama dan bahkan berhenti sebelum sempat meraihnya.

Aku teringat masa kecil, pikiranku belum dipenuhi oleh berbagai hal rumit. Sekarang terasa sulit. Karena banyak hal menuntutku untuk segera memperbaiki. Saat ini, semua terpampang jelas di pelupuk mata. fikiranku mulai terbiasa memilah berbagai hal yang benar dan salah. Mungkinkah saat ini aku harus meninggalkan putaran di lingkaran ku sendiri? Dan mencoba beranjak untuk berhijrah ke berbagai poros untuk mempoles segala hal yang kurasa salah? Tapi, apakah pemikiranku dengan yang lain akan sama? karena belum tentu yang aku anggap salah itu salah di mata orang lain.

“kurasa kita harus berkomitmen terlebih dahulu”
“apa?” dia tidak mendengar apa yang aku ucap. Hembusan udara yang menyelimuti kami membuat suaraku terdengar samar.
“Kita harus memantapkan komitmen dulu!” kataku dengan nada lebih keras.
“akhirnya kamu sadar juga!”
“tapi itu akan sangat sulit!”
“ya, kita lakukan bersama supaya tidak terasa begitu sulit!”
“Ya!”
Jum’at, 5 Mei 2017

MHA

0 komentar:

Posting Komentar