Makin lama, makin banyak pula
makanan yang Sarjo dapatkan dari tempat sampah. Dia bingung. Seharusnya para
pembuang makanan itu sadar betapa berharganya sebutir nasi itu. Kalau mereka
tidak suka, bukankah lebih baik memberikannya dengan cara baik-baik kepada para
kere yang kurang makan. Bukan malah langsung di buang ke tempat sampah!
“seharusnya
mereka bisakan memberikan makanan itu ke kita dengan cara baik-baik. Bukan
malah dibuang semena-mena di tempat yang tidak seharusnya. Apa mereka tidak
pernah merasakan betapa susahnya mencari makanan!?” Protes Sarjo kepada
istrinya.
“namanya
juga orang berlebih, mas. Biasa kali, mereka membuang kelebihan harta yang di
miliki”
“kan
sayang bu... ketimbang di buang kayak gitu, mendingan kan dikasihkan ke kita.
Wong itu juga nggak merugikan mereka toh”
”mungkin
mereka tidak sadar pak”
“lho,
kok bisa nggak sadar?”
“karena
dilakukan setiap hari. Jadinya mereka menganggap membuang makanan yang tak
habis itu sebagai hal yang wajar”
“Kurangajur!
Kita aja mau makan susah. Mereka seenak udelnya sendiri membuang-buang
makanan!”
“sudahlah,
mas. Yang diatas memang akan selalu memandang kecil apa-apa yang di bawahnya”
“tumben
kamu jadi bijak begini”
“hehe.
Aku dapat kata-kata barusan dari acara TV yang nggak sengaja aku tonton di
warung mbok darni, mas”
“kesukaanmu
sekarang pergi ke warung itu to”
“soalnya
Cuma warung itu yang masih menyediakan bon untuk kita, mas”
“oh,
bagus kalau begitu”
Keesokan harinya, Sarjo kembali berkeliling
untuk bekerja. Benar sekali. Pekerjaannya adalah mendulang sampah. Dengan kata
yang lebih simpel, pemulung. Dia memulung sambil mencari makanan seperti biasa.
Tapi kesepertibiasaannya itu tidak terjadi pada hari ini. Kini Sarjo mulai
sedikit lebih berani untuk mencari makanan. Dahulu dia hanya berani mengoreknya
di tempat sampah. Sekarang dia ganti dengan menanti di sebuah warung makan. Sarjo
berdiri sambil menantikan sesuatu. Tak berselang lama, muncul orang yang hendak
membuang makanan ke tempat sampah.
“BERHENTI!”
teriak Sarjo. Sontak pria itu kaget karena merasa diteriaki. Saat ditatap siapa
gerangan orang yang meneriakinya. Dia terperanjat ketika tahu bahwa dia adalah
seorang pemulung lusuh berbaju keruh. Bajunya dipenuhi tambalan wadah ciki,
rambutnya dekil, kulitnya begitu kentara belang hitam dan putih. Setelah
ditelaah, ternyata panu.
“Masukin
sini!” kata Sarjo sambil menengadahkan kantong kreseknya “makanan kok di
buang-buang! Sayang!” katanya sambil memaki.
Pria
penjual itu hanya menatap Sarjo dengan muka muak. Sambil memasukkan sisa makanan
itu ke kantong kreseknya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi sepotong
kalimat.
“risih
tau nggak”
Sarjo tak peduli dan kembali
berjalan ke tempat lain. Dia memulung sambil matanya sibuk mengintai di
berbagai tempat di sekitarnya. Logatnya seperti seorang detektif yang mencari
buronan. Berusaha mencari orang-orang yang ketahuan olehnya hendak membuang
makanan sembarangan.
Ketika didapatinya orang yang
membuang makanan. Sarjo langsung melabrak tanpa kenal bini.
“SETOP!”
“WOI
BOCAH. ITU MAKANAN! KENAPA DI BUANG-BUANG”
“SEMPRUL.
SINI MASUKIN MAKANNYA KESINI!”
“MAKANYA
KALAU MAKAN SECUKUPNYA AJA!”
“MENTANG-MENTANG
BANYAK MAKANAN TERUS BERBUAT SEENAKNYA SAMA MAKANAN”
“KALAU
KAMU YANG DIBUANG MAKANAN APA MAU HAHH!”
“GUA
AJA MAKAN SAMPAH SAMPAI HABIS NGGAK BERSISA! KAMU MAKAN YANG ENAK MALAH
SEENAKNYA DI BUANG. ANJ***!”
Sarjo
terus mencerocos, mencaci, memaki, dan mencerca orang-orang yang ketahuan oleh
mata di kepalanya sendiri, jika hendak membuang makanan itu di sembarangan
tempat.
Karena sikapnya itu yang begitu berani. hari itu pula Sarjo
mendapatkan makanan sekantong kresek penuh. Lalu sarjo pulang dengan ekspresi
wajah gembira ke keluarganya. Anak-anak yang tahu ayahnya sudah pulang segera
mengerubunginya bagai ayam di kasih dedak.
“papa
pulang! Papa pulang!” Sahut si sulung.
“yayy...
bisa makan sampah lagi..” sahut si bungsu.
“hus
jangan ngomong gitu. Bilangnya makanan sampah. Jangan Cuma sampah tok” sahut si
pertengahan. Sarjo adalah seorang bapak yang mempunyai empat anak. Sekarang
tinggal tiga. nama anaknya pun dia rahasiakan agar tidak diketahui publik.
Biarlah namanya saja yang diketahui, asalkan keluarganya yang lain tetap terjaga
identitasnya.
“tenang-tenang.
Sekarang ayah nggak akan ngasih ke kalian makanan sampah lagi, apalagi sampah.
Ini adalah makanan prasampah. huahahahaha” kata Sarjo enteng. Dia tahu
prasampah adalah sebelum sampah. Itu adalah pelajaran waktu SD yang masih dia
ingat sampai sekarang.
“bapak
dapetinnya sebelum makanannya nyemplung di tempat sampah. Jadi aman dari
berbagai bakteri yang ada. huahahahaha.....” kata Sarjo amat girang.
“tapi
kan pak. Kreseknya kan dari kresek bekas habis mulung bapak” sahut anak sulung
yang sedikit pintar menilik kondisi saat itu.
“huahahaha...
padahal kamu nggak sekolah tapi masih bisa mikir juga huahahaha...”
“huss...
ayah. Jangan ngomong kayak gitu ke anak kita” kata sang istri, agak marah.
Karena dia juga tak bisa menyangkal akan kebenaran omongan Sang Sarjo.
“iya
iya. Tenang. besok bapak akan pakai kardus dari toko biar agak steril”
“horeee...”
sahut anak-anaknya kegirangan. Lalu Sarjo menuangkan makanan campur aduk itu ke
dalam sebuah piring besar yang juga dia pungut dari tempat sampah. Lalu mereka
makan dengan lahapnya. Rasanya sudah lebih mendingan. Karena makanan ini belum
menyentuh tempat sampah.
Esok harinya seperti biasa. Sarjo
mengumpulkan makan sisa dari berbagai tempat dan menaruhnya ke dalam kardus
yang sudah dia siapkan. Sarjo mengumpulkannya sampai kardus itu tidak kuat lagi
untuk menampung. Padahal masih banyak orang-orang yang dia temui membuang
makananya. Namun karena sudah banyaknya makanan sisa yang dia kumpulkan. Dia
pun hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berlalu menuju rumah.
Lama-lama Sarjo semakin gregetan
dibuatnya. Dia tahu dia miskin. Tapi dia merasa terhina karena banyaknya
orang-orang yang membuang makanan tanpa segan, tanpa gentar, tanpa khawatir, tanpa
grogi, dan tanpa merasa bersalah. Sarjo marah. Dia kesal. Dia memberongsang.
Mukanya merah padam tiap kali melihat orang yang sengaja membuang makanan tepat
di depannya saat dia mulung. Alhasil tujuannya sekarang bukanlah menjadi
pengepul makanan sisa. Tapi lebih berani lagi. dia kini menjadi seperti seorang
polisi keamanan makanan. Karena selalu menceramahi tiap orang yang ketahuan
olehnya sedang membuang makanan.
“PERASAAN
KAMU ITU SEKOLAH! APA DISANA NGGAK DI AJARI CARA MEMPERLAKUKAN MAKANAN A*U” maki
Sarjo. Kepada seorang ibu-ibu gembul yang sedang membuang sisa makanan yang
sudah di bungkus kresek putih ke tumpukan sampah depan rumahnya. Sarjo
mengamatinya dan langsung mengetahuinya. Karena naluri pencari makanannya sudah
sangat peka dengan permasalahan yang menyangkut hal ini.
orang
yang diledeknya membantah dan terpancing emosinya.
“KURANGTAJIR!
TERSERAH SAYA DONG. MAKAN-MAKANAN SAYA. KENAPA SANA YANG SEWOT!”
“OOH....
JADI KAYAK GINI TOH DIDIKAN ANAK BERPENDIDIKAN ITU. MEMANG MATERI KAMU LEBIH
DARI KAMI. TAPI SOAL ROHANI KAMI LEBIH
MANUSIAWI. DASAR MANUSIA SETAN!”
“APA
LO BILANG!!!”
“SETAN
SUKA MENGHAMBUR-HAMBURKAN MAKANAN. SAYA YANG NGGAK TAMAT SD AJA TAU!”
Lalu
ibu-ibu itu semakin marah dan meneriakinya sebagai orang gila. Dan di
panggillah sang suami untuk menghadapnya. Seorang yang berotot keluar dengan
rupa sangar. Sarjo yang sudah sering merasakan aura kehancuran segera cabut
dari situ dengan berlari kencang. Mungkin kecepatannya setara dengan kecepatan
Bolt. Ya, mungkin tidak.
Sumber gambar:
Jepara,
2 Juni 2017
MHA
0 komentar:
Posting Komentar