Sabtu, 03 Juni 2017

Kumpulan Cerpen; Makanan sisa



            Makin lama, makin banyak pula makanan yang Sarjo dapatkan dari tempat sampah. Dia bingung. Seharusnya para pembuang makanan itu sadar betapa berharganya sebutir nasi itu. Kalau mereka tidak suka, bukankah lebih baik memberikannya dengan cara baik-baik kepada para kere yang kurang makan. Bukan malah langsung di buang ke tempat sampah!

“seharusnya mereka bisakan memberikan makanan itu ke kita dengan cara baik-baik. Bukan malah dibuang semena-mena di tempat yang tidak seharusnya. Apa mereka tidak pernah merasakan betapa susahnya mencari makanan!?” Protes Sarjo kepada istrinya.
“namanya juga orang berlebih, mas. Biasa kali, mereka membuang kelebihan harta yang di miliki”
“kan sayang bu... ketimbang di buang kayak gitu, mendingan kan dikasihkan ke kita. Wong itu juga nggak merugikan mereka toh”
”mungkin mereka tidak sadar pak”
“lho, kok bisa nggak sadar?”
“karena dilakukan setiap hari. Jadinya mereka menganggap membuang makanan yang tak habis itu sebagai hal yang wajar”
“Kurangajur! Kita aja mau makan susah. Mereka seenak udelnya sendiri membuang-buang makanan!”
“sudahlah, mas. Yang diatas memang akan selalu memandang kecil apa-apa yang di bawahnya”
“tumben kamu jadi bijak begini”
“hehe. Aku dapat kata-kata barusan dari acara TV yang nggak sengaja aku tonton di warung mbok darni, mas”
“kesukaanmu sekarang pergi ke warung itu to”
“soalnya Cuma warung itu yang masih menyediakan bon untuk kita, mas”
“oh, bagus kalau begitu”

            Keesokan harinya, Sarjo kembali berkeliling untuk bekerja. Benar sekali. Pekerjaannya adalah mendulang sampah. Dengan kata yang lebih simpel, pemulung. Dia memulung sambil mencari makanan seperti biasa. Tapi kesepertibiasaannya itu tidak terjadi pada hari ini. Kini Sarjo mulai sedikit lebih berani untuk mencari makanan. Dahulu dia hanya berani mengoreknya di tempat sampah. Sekarang dia ganti dengan menanti di sebuah warung makan. Sarjo berdiri sambil menantikan sesuatu. Tak berselang lama, muncul orang yang hendak membuang makanan ke tempat sampah.

“BERHENTI!” teriak Sarjo. Sontak pria itu kaget karena merasa diteriaki. Saat ditatap siapa gerangan orang yang meneriakinya. Dia terperanjat ketika tahu bahwa dia adalah seorang pemulung lusuh berbaju keruh. Bajunya dipenuhi tambalan wadah ciki, rambutnya dekil, kulitnya begitu kentara belang hitam dan putih. Setelah ditelaah, ternyata panu.
“Masukin sini!” kata Sarjo sambil menengadahkan kantong kreseknya “makanan kok di buang-buang! Sayang!” katanya sambil memaki.
Pria penjual itu hanya menatap Sarjo dengan muka muak. Sambil memasukkan sisa makanan itu ke kantong kreseknya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi sepotong kalimat.
“risih tau nggak”

            Sarjo tak peduli dan kembali berjalan ke tempat lain. Dia memulung sambil matanya sibuk mengintai di berbagai tempat di sekitarnya. Logatnya seperti seorang detektif yang mencari buronan. Berusaha mencari orang-orang yang ketahuan olehnya hendak membuang makanan sembarangan.

            Ketika didapatinya orang yang membuang makanan. Sarjo langsung melabrak tanpa kenal bini.

“SETOP!”
“WOI BOCAH. ITU MAKANAN! KENAPA DI BUANG-BUANG”
“SEMPRUL. SINI MASUKIN MAKANNYA KESINI!”
“MAKANYA KALAU MAKAN SECUKUPNYA AJA!”
“MENTANG-MENTANG BANYAK MAKANAN TERUS BERBUAT SEENAKNYA SAMA MAKANAN”
“KALAU KAMU YANG DIBUANG MAKANAN APA MAU HAHH!”
“GUA AJA MAKAN SAMPAH SAMPAI HABIS NGGAK BERSISA! KAMU MAKAN YANG ENAK MALAH SEENAKNYA DI BUANG. ANJ***!”
Sarjo terus mencerocos, mencaci, memaki, dan mencerca orang-orang yang ketahuan oleh mata di kepalanya sendiri, jika hendak membuang makanan itu di sembarangan tempat.

Karena sikapnya itu yang begitu berani. hari itu pula Sarjo mendapatkan makanan sekantong kresek penuh. Lalu sarjo pulang dengan ekspresi wajah gembira ke keluarganya. Anak-anak yang tahu ayahnya sudah pulang segera mengerubunginya bagai ayam di kasih dedak.

“papa pulang! Papa pulang!” Sahut si sulung.
“yayy... bisa makan sampah lagi..” sahut si bungsu.
“hus jangan ngomong gitu. Bilangnya makanan sampah. Jangan Cuma sampah tok” sahut si pertengahan. Sarjo adalah seorang bapak yang mempunyai empat anak. Sekarang tinggal tiga. nama anaknya pun dia rahasiakan agar tidak diketahui publik. Biarlah namanya saja yang diketahui, asalkan keluarganya yang lain tetap terjaga identitasnya.
“tenang-tenang. Sekarang ayah nggak akan ngasih ke kalian makanan sampah lagi, apalagi sampah. Ini adalah makanan prasampah. huahahahaha” kata Sarjo enteng. Dia tahu prasampah adalah sebelum sampah. Itu adalah pelajaran waktu SD yang masih dia ingat sampai sekarang.
“bapak dapetinnya sebelum makanannya nyemplung di tempat sampah. Jadi aman dari berbagai bakteri yang ada. huahahahaha.....” kata Sarjo amat girang.
“tapi kan pak. Kreseknya kan dari kresek bekas habis mulung bapak” sahut anak sulung yang sedikit pintar menilik kondisi saat itu.
“huahahaha... padahal kamu nggak sekolah tapi masih bisa mikir juga huahahaha...”
“huss... ayah. Jangan ngomong kayak gitu ke anak kita” kata sang istri, agak marah. Karena dia juga tak bisa menyangkal akan kebenaran omongan Sang Sarjo.
“iya iya. Tenang. besok bapak akan pakai kardus dari toko biar agak steril”
“horeee...” sahut anak-anaknya kegirangan. Lalu Sarjo menuangkan makanan campur aduk itu ke dalam sebuah piring besar yang juga dia pungut dari tempat sampah. Lalu mereka makan dengan lahapnya. Rasanya sudah lebih mendingan. Karena makanan ini belum menyentuh tempat sampah.

            Esok harinya seperti biasa. Sarjo mengumpulkan makan sisa dari berbagai tempat dan menaruhnya ke dalam kardus yang sudah dia siapkan. Sarjo mengumpulkannya sampai kardus itu tidak kuat lagi untuk menampung. Padahal masih banyak orang-orang yang dia temui membuang makananya. Namun karena sudah banyaknya makanan sisa yang dia kumpulkan. Dia pun hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berlalu menuju rumah.

            Lama-lama Sarjo semakin gregetan dibuatnya. Dia tahu dia miskin. Tapi dia merasa terhina karena banyaknya orang-orang yang membuang makanan tanpa segan, tanpa gentar, tanpa khawatir, tanpa grogi, dan tanpa merasa bersalah. Sarjo marah. Dia kesal. Dia memberongsang. Mukanya merah padam tiap kali melihat orang yang sengaja membuang makanan tepat di depannya saat dia mulung. Alhasil tujuannya sekarang bukanlah menjadi pengepul makanan sisa. Tapi lebih berani lagi. dia kini menjadi seperti seorang polisi keamanan makanan. Karena selalu menceramahi tiap orang yang ketahuan olehnya sedang membuang makanan.

“PERASAAN KAMU ITU SEKOLAH! APA DISANA NGGAK DI AJARI CARA MEMPERLAKUKAN MAKANAN A*U” maki Sarjo. Kepada seorang ibu-ibu gembul yang sedang membuang sisa makanan yang sudah di bungkus kresek putih ke tumpukan sampah depan rumahnya. Sarjo mengamatinya dan langsung mengetahuinya. Karena naluri pencari makanannya sudah sangat peka dengan permasalahan yang menyangkut hal ini.
orang yang diledeknya membantah dan terpancing emosinya.
“KURANGTAJIR! TERSERAH SAYA DONG. MAKAN-MAKANAN SAYA. KENAPA SANA YANG SEWOT!”
“OOH.... JADI KAYAK GINI TOH DIDIKAN ANAK BERPENDIDIKAN ITU. MEMANG MATERI KAMU LEBIH DARI KAMI. TAPI SOAL ROHANI KAMI  LEBIH MANUSIAWI. DASAR MANUSIA SETAN!”
“APA LO BILANG!!!”
“SETAN SUKA MENGHAMBUR-HAMBURKAN MAKANAN. SAYA YANG NGGAK TAMAT SD AJA TAU!”

Lalu ibu-ibu itu semakin marah dan meneriakinya sebagai orang gila. Dan di panggillah sang suami untuk menghadapnya. Seorang yang berotot keluar dengan rupa sangar. Sarjo yang sudah sering merasakan aura kehancuran segera cabut dari situ dengan berlari kencang. Mungkin kecepatannya setara dengan kecepatan Bolt. Ya, mungkin tidak.

Sumber gambar:

Jepara, 2 Juni 2017

            MHA

0 komentar:

Posting Komentar