Sudah delapan belas tahun lebih aku
ada di dunia ini. tak terasa memang. Ternyata perumpamaan “mampir ngombe”
itu ada benarnya juga. Aku teringat perumpamaan itu saat aku sedang minum.
Setelah minumku habis, aku lanjutkan langkahku menuju rumah.
Orang-orang berlalu lalang mencari rezeki. Bus-bus angkutan telah
berangkat meniti jalanan aspal untuk mencari para penumpang. Anak-anak semangat
berangkat ke sekolah karena telah mendapat pacar baru. Burung kutilang
bertengger di pucuk dahan, sampai akhirnya burung itu terbedil oleh
seorang maniak burung. Miris. Tapi inilah dunia yang sedang kupijak. Agamaku
telah mengajarkan jika dunia ini berisi dengan cobaan dan kesenangan. Alhasil
statement tersebut juga memberitahuku bahwa aku harus berhati-hati dalam
menjalani dan menyikapi kehidupan.
“Mas,
bisa kita bicara sebentar?”
Aku
menoleh ke arah orang itu, ternyata dia adalah seorang perempuan yang umurnya
sebaya denganku. “ada apa?” tanyaku bingung.
“apa
mas nggak merasa bersalah sudah membuat hatiku hancur!”
“ngomong
apaan sih?” aku semakin tak mengerti.
“KAMU
TELAH MENGHANCURKAN HATIKU!” jeritnya. Kontan para pejalan kaki di sekitar sini
pada melihat kesini. Aku sama sekali tidak mengerti. Perempuan itu mulai
menangis. Aku jadi merasa aneh. Sampai akhirnya dua orang berpakaian serba
putih menghampiri kami.
“itu
dia disini!” sahut salah satu perawat disusul anggukan perawat satunya. “ayo
kita tangkap!”
Singkat
cerita. Perempuan di depanku ini di belenggu dan di ikat kaki dan tangannya
oleh dua perawat itu.
“maaf
ya mas, saya mau mengembalikan dia ke karantina”
“orang
gila ya mbak” kataku sambil menunjuknya. Meski sudah di pasung, perempuan itu
masih saja terus meronta-ronta.
“iya
dek” katanya sambil tertawa kecil. Aku juga ikut tersenyum aneh. Tak kusangka
kejadian ini telah membuat pandangan semua orang mengarah ke arah kami. Membuat
aku jadi merasa kikuk sendiri.
“mbak?”
aku ingin menanyakan sesuatu sebelum dia pergi.
“ya
ada apa?”
“saya
mau tanya”
“dia
gila karena apa?” tebaknya.
“bukan”
“terus?”
“kenapa
dia gila?” perkataanku itu membuat perawat itu sedikit tersulut emosinya. Tapi
karena menatap kepolosan wajahku. Perawat itupun Cuma membuang nafas berat, dan
lebih memilih untuk menjawab pertanyaanku.
“dia
dulu sudah pacaran selama lima tahun, mas. Trus dia melihat pacarnya sedang
selingkuh dengan perempuan lain. karena merasa frustasi dia maki pacarnya.
Akhirnya dia diputusin pacarnya dan menjadi gila”
“gilak!”
“benar-benar
gilak mas. Jaman sekarang memang ada-ada saja yang bikin orang jadi gila. Dari
dulu juga kita sudah masuk ke dalam jaman edan. Tapi sekarang jaman edan itu
sudah tidak digemborkan lagi semasif dulu. mungkin karena sudah banyak orang
yang edan, alhasil mereka tidak mau menyebut diri mereka edan karena memang
sudah edan. Mana ada orang edan menyebut dirinya edan. Benar nggak mas”
jelasnya panjang lebar. Padahal aku tidak mengharapkan penjelasan tersebut.
Tapi aku iyakan saja agar permasalahan cepat selesai.
Jarak rumahku tinggal beberapa ratus
meter lagi. Mataku menjadi lebih waspada mengamati di sekitar area ini.
Langkahku sudah kubuat sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara gesekan.
Aku takut hal yang tidak diinginkan terjadi berulang kembali. Sudah tidak
terhitung lagi sudah berapa kali aku mengalami masalah ini. kejadian-kejadian
sebelumnya telah memberikanku pengalaman yang berarti. Sekarang aku sudah
mengerti beberapa tips dan trik untuk menghindari hal yang akan terjadi.
Namun sayang seribu dayang. Dia
tetap mendengarku dan mengejarku dengan kecepatan tinggi!
“GUK.....GUK......GUK.......
AUUUUNGG......” dari belakang sudah terlihat seonggong anjing berbadan besar.
Ingin rasanya aku menyumpahi sang pemilik yang tidak merantai binatang
berbahayanya ini. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Sekarang aku
harus mencari tempat sembunyi atau mencari tempat yang tinggi. Berhubung sebentar
lagi aku akan terkejar.
Nafasku memburu. Jantung berdetak
hebat. Panas mulai menjalar mengelilingi tubuh. Perasaan trauma saat digigit
anjing kala itu masih membekas didalam lekukan otakku. Gawat. Disaat-saat
genting seperti ini masih sempatnya perutku kepelintir. Aku tetap paksakan diri
untuk berlari. Berhubung tempat relokasiku sudah dekat dari sini. Relokasi
adalah nama tempat perpindahanku.
Sampailah aku di tempat relokasi. Aku
membuang kresek yang semenjak tadi aku bawa ke sebalik tembok ini. Dan dengan
cekatan aku memanjat tembok itu, lalu terjun ke bagian sebaliknya. Anjing itu
tak bisa melakukannya dan hanya bisa menggonggo dari sudut lain. Aku tersenyum
puas. Sambil tanganku menyusap peluh yang ada di dahi.
“sepertinya
anjing itu masih menyimpan dendam padaku” kataku di luar hati. Aku teringat pertemuan
pertamaku dengan anjing itu. Awalnya dia baik, ramah, santun, penurut, dan
tidak pernah mengejarku saat aku melewati pekarangan rumah itu. Tapi entah
mengapa segalanya berubah semenjak aku tak sengaja menginjak buntutnya dulu. Kini
anjing itu mulai mengejar-ngejarku terus.
Aku menganggap kejadian ini sebagai
sebuah ujian. Tak perlu aku pikirkan matang-matang. Toh aku bersyukur tidak
tergigit oleh anjing itu. Setidaknya aku masih tetap berpikir positif. Kejadian
barusan aku anggap sebagai sebuah olahraga pagi. Karena seingatku, akhir-akhir
ini aku jarang berolahraga. Mungkin kejadian ini bisa menjadi media pengingat
agar aku lebih rajin lagi berolahraga.
“berhenti”
kata seorang yang memanggilku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata.... oh
tidak...
“kamu
harus membayarnya!” katanya sambil menahan letupan emosi yang sudah siap di
ledakkan kapanpun. Dia adalah teman seperkuliahanku.
“kan
pas disekolah sudah aku kasih uang seribu”
“KURANG!!!”
“memang
harga mainanmu berapa sih”
“ITU
BUKAN MAINAN BEGO! ITU ACTION FIGURNYA UENO!”
“ah
iya, maksudku si Waifumu itu ya... hahahaha...” aku mencoba meredakan
suasana dengan tertawa. Tapi nampaknya tidak berhasil. “memang berapa harganya
sih?” tanyaku dengan nada sesantai mungkin.
“SATU
JUTA!” katanya dengan luapan emosi.
“oh...
tak cicil bolehkan. Sehari seribu. Kan lama-lama bisa lunas”
“KELAMAAN
BEGO!”
“yah,
kalau begitu dua ribu”
“JANGAN
MAIN-MAIN!!! MINIMAL 100.000 SEMINGGU! Kalau nggak mau. Kek!” katanya mengancam
sambil tangannya di gorokkan ke lehernya.
Aku hanya bisa menelan ludah. Tapi
memang aku harus bertanggung jawab menggantinya mainan yang tidak ingin disebut
mainan olehnya. Apalagi mainan itu adalah mainan kesayangan temanku. Berhubung
dia seorang otaku tulen.
“baiklah”
kataku. Dia pun mengerti dan berjalan pergi. Sepertinya dia datang di dekat
rumahku hanya untuk membicarakan masalah ini. Lagian aku juga salah karena
membayar uang DP cuma seribu.
Namun saat itu, entah karena pikirannya sedang kalut atau karena melamun. Dia tak sadar ada seonggok anjing yang mendekat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Aku yang sadar segera berlari untuk menyelamatkannya.
“AWAAS!!!”
kataku mendorongnya keras. Mencoba menghindarkannya dari gigitan anjing ini.
tak kusangka. Anjing ini masih saja berniat mengejarku sampai ke sini.
Sepertinya bau daging yang kubawa telah menjadi alat pelacak bagi penciumannya yang tajam.
“Farly!
Kamu — ” kata temanku itu yang tercekat ketika tahu aku sedang tercokot.
“tidak
apa-apa. Cepatlah lari!” anjing itu masih mengigiti kakiku. Rasanya begitu
sakit. Anjing itu tak mau melepas gigitannya walaupun sudah aku jewer
kupingnya.
“ta-tapi
kamu. Kamu —” dia menangis karena merasakan penderitaanku.
“tidak
masalah. Aku bisa mengatasinya karena sudah sering. Kamu cepat larilah. Apa
kamu mau digigit juga!”
“nggak
mau!”
“makanya
lari! Cepat!”
“baiklah”
lalu dia lari tergopoh-gopoh menjauh. Tapi sebelum dia meninggalkanku yang
sedang bergelut dengan anjing ini. dia berbalik badan dan mengatakan sesuatu.
“terimakasih
Farly karena telah membantuku. Tak usahlah kamu mengganti itu untukku. Aku ikhlas” lalu dia kembali lagi berlari
meninggalkan kami. Mendengar pernyataannya seketika membuatku bengong. Padahal
situasiku saat itu begitu genting.
Tiba-tiba saja aku merasakan energi
yang amat besar. Mungkin perkataan temanku itu telah membangkitkan ulti yang
terpendam dalam diriku. Kini aku mulai menghajar anjing itu sambil memukul
kepalanya. singkat cerita aku berkelahi dengan anjing dan akupun menang.
Akhirnya sampai juga aku di depan
rumah. Aku membuka pintu rumah dan memberikan salam kepada penghuninya. Ibuku
lekas menjawab salam dan menghampiriku.
“kok
lama banget belanjanya?” setelah memandangku dan melihat kondisiku sesaat, beliau akhirnya merasa miris dibuatnya.
“kenapa kamu bisa sampai seperti ini nak!???”
Aku
hanya tersenyum hangat sambil memberikan kresek belanjaan ini kepada beliau.
“tadi
ada beberapa cobaan. Tapi alhamdulillah saya masih bisa selamat sampai ke rumah”
kataku sambil tetap tersenyum. Karena senyum adalah sedekah.
Jepara,
3 Juni 2017
MHA
0 komentar:
Posting Komentar