Sabtu, 03 Juni 2017

Kumpulan Cerpen; Word World



            Sudah delapan belas tahun lebih aku ada di dunia ini. tak terasa memang. Ternyata perumpamaan “mampir ngombe” itu ada benarnya juga. Aku teringat perumpamaan itu saat aku sedang minum. Setelah minumku habis, aku lanjutkan langkahku menuju rumah.

Orang-orang berlalu lalang mencari rezeki. Bus-bus angkutan telah berangkat meniti jalanan aspal untuk mencari para penumpang. Anak-anak semangat berangkat ke sekolah karena telah mendapat pacar baru. Burung kutilang bertengger di pucuk dahan, sampai akhirnya burung itu terbedil oleh seorang maniak burung. Miris. Tapi inilah dunia yang sedang kupijak. Agamaku telah mengajarkan jika dunia ini berisi dengan cobaan dan kesenangan. Alhasil statement tersebut juga memberitahuku bahwa aku harus berhati-hati dalam menjalani dan menyikapi kehidupan.

“Mas, bisa kita bicara sebentar?”
Aku menoleh ke arah orang itu, ternyata dia adalah seorang perempuan yang umurnya sebaya denganku. “ada apa?” tanyaku bingung.
“apa mas nggak merasa bersalah sudah membuat hatiku hancur!”
“ngomong apaan sih?” aku semakin tak mengerti.
“KAMU TELAH MENGHANCURKAN HATIKU!” jeritnya. Kontan para pejalan kaki di sekitar sini pada melihat kesini. Aku sama sekali tidak mengerti. Perempuan itu mulai menangis. Aku jadi merasa aneh. Sampai akhirnya dua orang berpakaian serba putih menghampiri kami.
“itu dia disini!” sahut salah satu perawat disusul anggukan perawat satunya. “ayo kita tangkap!”
Singkat cerita. Perempuan di depanku ini di belenggu dan di ikat kaki dan tangannya oleh dua perawat itu.
“maaf ya mas, saya mau mengembalikan dia ke karantina”
“orang gila ya mbak” kataku sambil menunjuknya. Meski sudah di pasung, perempuan itu masih saja terus meronta-ronta.
“iya dek” katanya sambil tertawa kecil. Aku juga ikut tersenyum aneh. Tak kusangka kejadian ini telah membuat pandangan semua orang mengarah ke arah kami. Membuat aku jadi merasa kikuk sendiri.
“mbak?” aku ingin menanyakan sesuatu sebelum dia pergi.
“ya ada apa?”
“saya mau tanya”
“dia gila karena apa?” tebaknya.
“bukan”
“terus?”
“kenapa dia gila?” perkataanku itu membuat perawat itu sedikit tersulut emosinya. Tapi karena menatap kepolosan wajahku. Perawat itupun Cuma membuang nafas berat, dan lebih memilih untuk menjawab pertanyaanku.
“dia dulu sudah pacaran selama lima tahun, mas. Trus dia melihat pacarnya sedang selingkuh dengan perempuan lain. karena merasa frustasi dia maki pacarnya. Akhirnya dia diputusin pacarnya dan menjadi gila”
“gilak!”
“benar-benar gilak mas. Jaman sekarang memang ada-ada saja yang bikin orang jadi gila. Dari dulu juga kita sudah masuk ke dalam jaman edan. Tapi sekarang jaman edan itu sudah tidak digemborkan lagi semasif dulu. mungkin karena sudah banyak orang yang edan, alhasil mereka tidak mau menyebut diri mereka edan karena memang sudah edan. Mana ada orang edan menyebut dirinya edan. Benar nggak mas” jelasnya panjang lebar. Padahal aku tidak mengharapkan penjelasan tersebut. Tapi aku iyakan saja agar permasalahan cepat selesai.

            Jarak rumahku tinggal beberapa ratus meter lagi. Mataku menjadi lebih waspada mengamati di sekitar area ini. Langkahku sudah kubuat sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara gesekan. Aku takut hal yang tidak diinginkan terjadi berulang kembali. Sudah tidak terhitung lagi sudah berapa kali aku mengalami masalah ini. kejadian-kejadian sebelumnya telah memberikanku pengalaman yang berarti. Sekarang aku sudah mengerti beberapa tips dan trik untuk menghindari hal yang akan terjadi.

            Namun sayang seribu dayang. Dia tetap mendengarku dan mengejarku dengan kecepatan tinggi!
“GUK.....GUK......GUK....... AUUUUNGG......” dari belakang sudah terlihat seonggong anjing berbadan besar. Ingin rasanya aku menyumpahi sang pemilik yang tidak merantai binatang berbahayanya ini. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Sekarang aku harus mencari tempat sembunyi atau mencari tempat yang tinggi. Berhubung sebentar lagi aku akan terkejar.

            Nafasku memburu. Jantung berdetak hebat. Panas mulai menjalar mengelilingi tubuh. Perasaan trauma saat digigit anjing kala itu masih membekas didalam lekukan otakku. Gawat. Disaat-saat genting seperti ini masih sempatnya perutku kepelintir. Aku tetap paksakan diri untuk berlari. Berhubung tempat relokasiku sudah dekat dari sini. Relokasi adalah nama tempat perpindahanku.

            Sampailah aku di tempat relokasi. Aku membuang kresek yang semenjak tadi aku bawa ke sebalik tembok ini. Dan dengan cekatan aku memanjat tembok itu, lalu terjun ke bagian sebaliknya. Anjing itu tak bisa melakukannya dan hanya bisa menggonggo dari sudut lain. Aku tersenyum puas. Sambil tanganku menyusap peluh yang ada di dahi.

“sepertinya anjing itu masih menyimpan dendam padaku” kataku di luar hati. Aku teringat pertemuan pertamaku dengan anjing itu. Awalnya dia baik, ramah, santun, penurut, dan tidak pernah mengejarku saat aku melewati pekarangan rumah itu. Tapi entah mengapa segalanya berubah semenjak aku tak sengaja menginjak buntutnya dulu. Kini anjing itu mulai mengejar-ngejarku terus.

            Aku menganggap kejadian ini sebagai sebuah ujian. Tak perlu aku pikirkan matang-matang. Toh aku bersyukur tidak tergigit oleh anjing itu. Setidaknya aku masih tetap berpikir positif. Kejadian barusan aku anggap sebagai sebuah olahraga pagi. Karena seingatku, akhir-akhir ini aku jarang berolahraga. Mungkin kejadian ini bisa menjadi media pengingat agar aku lebih rajin lagi berolahraga.

“berhenti” kata seorang yang memanggilku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata.... oh tidak...
“kamu harus membayarnya!” katanya sambil menahan letupan emosi yang sudah siap di ledakkan kapanpun. Dia adalah teman seperkuliahanku.
“kan pas disekolah sudah aku kasih uang seribu”
“KURANG!!!”
“memang harga mainanmu berapa sih”
“ITU BUKAN MAINAN BEGO! ITU ACTION FIGURNYA UENO!”
“ah iya, maksudku si Waifumu itu ya... hahahaha...” aku mencoba meredakan suasana dengan tertawa. Tapi nampaknya tidak berhasil. “memang berapa harganya sih?” tanyaku dengan nada sesantai mungkin.
“SATU JUTA!” katanya dengan luapan emosi.
“oh... tak cicil bolehkan. Sehari seribu. Kan lama-lama bisa lunas”
“KELAMAAN BEGO!”
“yah, kalau begitu dua ribu”
“JANGAN MAIN-MAIN!!! MINIMAL 100.000 SEMINGGU! Kalau nggak mau. Kek!” katanya mengancam sambil tangannya di gorokkan ke lehernya.

            Aku hanya bisa menelan ludah. Tapi memang aku harus bertanggung jawab menggantinya mainan yang tidak ingin disebut mainan olehnya. Apalagi mainan itu adalah mainan kesayangan temanku. Berhubung dia seorang otaku tulen.

“baiklah” kataku. Dia pun mengerti dan berjalan pergi. Sepertinya dia datang di dekat rumahku hanya untuk membicarakan masalah ini. Lagian aku juga salah karena membayar uang DP cuma seribu.

            Namun saat itu, entah karena pikirannya sedang kalut atau karena melamun. Dia tak sadar ada seonggok anjing yang mendekat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Aku yang sadar segera berlari untuk menyelamatkannya.

“AWAAS!!!” kataku mendorongnya keras. Mencoba menghindarkannya dari gigitan anjing ini. tak kusangka. Anjing ini masih saja berniat mengejarku sampai ke sini. Sepertinya bau daging yang kubawa telah menjadi alat pelacak bagi penciumannya  yang tajam.
“Farly! Kamu — ” kata temanku itu yang tercekat ketika tahu aku sedang tercokot.
“tidak apa-apa. Cepatlah lari!” anjing itu masih mengigiti kakiku. Rasanya begitu sakit. Anjing itu tak mau melepas gigitannya walaupun sudah aku jewer kupingnya.
“ta-tapi kamu. Kamu —” dia menangis karena merasakan penderitaanku.
“tidak masalah. Aku bisa mengatasinya karena sudah sering. Kamu cepat larilah. Apa kamu mau digigit juga!”
“nggak mau!”
“makanya lari! Cepat!”
“baiklah” lalu dia lari tergopoh-gopoh menjauh. Tapi sebelum dia meninggalkanku yang sedang bergelut dengan anjing ini. dia berbalik badan dan mengatakan sesuatu.
“terimakasih Farly karena telah membantuku. Tak usahlah kamu mengganti itu untukku. Aku ikhlas” lalu dia kembali lagi berlari meninggalkan kami. Mendengar pernyataannya seketika membuatku bengong. Padahal situasiku saat itu begitu genting.

            Tiba-tiba saja aku merasakan energi yang amat besar. Mungkin perkataan temanku itu telah membangkitkan ulti yang terpendam dalam diriku. Kini aku mulai menghajar anjing itu sambil memukul kepalanya. singkat cerita aku berkelahi dengan anjing dan akupun menang.

            Akhirnya sampai juga aku di depan rumah. Aku membuka pintu rumah dan memberikan salam kepada penghuninya. Ibuku lekas menjawab salam dan menghampiriku.
“kok lama banget belanjanya?” setelah memandangku dan melihat kondisiku sesaat,  beliau akhirnya merasa miris dibuatnya. “kenapa kamu bisa sampai seperti ini nak!???”
Aku hanya tersenyum hangat sambil memberikan kresek belanjaan ini kepada beliau.
“tadi ada beberapa cobaan. Tapi alhamdulillah saya masih bisa selamat sampai ke rumah” kataku sambil tetap tersenyum. Karena senyum adalah sedekah.

Jepara, 3 Juni 2017

            MHA

0 komentar:

Posting Komentar