Senin, 19 Juni 2017

Novel; Arthof's Journey (Hal 1-4)



Chapter 1

            Apa arti hidup di dunia ini? Itu adalah salah satu pertanyaan yang sering aku ajukan untuk diriku sendiri. Kesenangan? Itulah kata sebagian orang yang menafsirkan kehidupan. Mereka hidup untuk senang. Bersenang-senang dengan segala yang ada di dunia ini. Tapi apa benar seperti itu. Entahlah, yang jelas aku tidak sependapat dengan pemahaman itu. bagiku kehidupan mempunyai makna yang lebih besar dari bayangan setiap orang. Dia dekat tapi tidak terlihat. Dia ada tapi tidak terjamah. Walau seribu kali lebih selama hidupku selalu memikirkannya. Aku tak menemukan makna apapun dari hidup yang akan kujalani kelak. aku sendiripun masih bingung tentang jalan hidupku yang harus kutapaki di masa mendatang. Gelap. Mungkin kata itu yang bisa terlukiskan saat aku membayangkan hidupku dimasa yang akan datang.

“hei Fi, kau tau apa itu arti kehidupan” tanyaku pada luthfi, teman satu kelas yang kebetulan satu meja denganku
“lha kamu sekarang lagi apa? Hidupkan. Nah, itu kehidupan” katanya cuek.
“kamu ngejawabnya nggak niat bener sih” gerutuku padanya.
“pertanyaanmu itu yang terlalu ambigu”
“hmm.... terserah deh” aku menolehkan muka dengan cuek ke arah lain.

Aku kembali melamun. Mataku menatap keluar jendela. Langit biru membentang diangkasa. Tak bosan-bosannya aku selalu menatapnya sambil melihati gumpalan awan putih yang berlabuh melayari langit biru bagai kapal yang berlayar dilautan. Dulu, tak jarang aku menerka, menebak bentuk-bentuk mereka dengan benda-benda lain. sangat mengasyikkan. Tapi kini aku tak akan sempat melakukannya. karena banyak sekali waktu luangku yang tersita oleh kesibukan.

“Arthof!” seseorang memanggil namaku. Aku segera tersadar dari lamunan.
“coba kamu maju kedepan untuk mengerjakan soal di papan tulis” kata pak guru. Wajah beliau menunjukkan rasa tidak senang. Mungkin karena aku tidak begitu memperhatikan pelajarannya.
“baik pak” aku segera mengangkat badan dan beranjak dari bangku.

Lalu aku maju kedepan. Mengerjakan soal matematika dengan cepat dan cermat. Padahal materi ini belum diajarkan di kelas. Jadi para murid yang berada di kelas tertegun. Mereka menatapku dengan kagum. Aku biasa saja. Hal itu sudah sering aku dapatkan. Tentunya itu membuatku senang dan bangga. Tapi, itu tak membuatku merasakan kehidupan yang sesungguhnya. Apa gunanya hal tersebut. Lagian, itu tidak akan bisa menambah umurku.

“wah bagus, hebat kamu Thof!” kata pak guru sepersekian detik saat tanganku selesai menulis jawaban dari pertanyaan itu. kontan tepuk tangan para murid berderai memeriahkan ruangan yang semenjak tadi bisu.

            Itulah aku. Seorang yang tahun lalu menyabet rinking 1 paralel di kelas 2 smp Arhuza. Tak ada murid yang tidak mengenaliku. Dengan rambut hitam terjungkat rapi ke atas, wajah yang menawan. Kulitku yang kuning dan hidungku yang proporsional, dengan tinggi 170 cm. Aku termasuk golongan cowok ideal yang dikejar-kejar para wanita. Ini terbukti dari banyaknya surat pernyataan cinta mereka yang sering aku dapatkan di loker mejaku. Pernah ada juga yang bicara terang-terangan di depanku. Tapi dengan tulus aku menolak. Bukannya aku tak mau. Siapa juga yang nggak mau jika ada seorang wanita cantik yang menembakmu. Hanya, selama itu tidak memiliki manfaat apapun, maka aku tak akan mau berbuat hal itu. itulah yang sering diajarkan oleh kedua orang tuaku semenjak kecil. Menghindari hal yang tidak bermanfaat pada diri sendiri.

“hebatnya. Kapan-kapan ajari aku supaya pintar kaya kamu ya Thof” kata luthfi.
 Aku duduk kembali di kursiku “tapi sebelum itu, kamu harus bisa memenuhi beberapa syarat”
“memang apa syaratnya?”
“minimal belajar 3 jam sehari”
“banyak bener!” Ekpresinya yang optimis mendadak berubah sendu.
“kamu kira aku tidak belajar untuk mengerjakan soal itu” jelasku
“hah,... males deh”
“itu sih udah sifatmu dari dulu”
***


            Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Gerbang sekolah sudah memuntahkan ratusan murid yang telah menopang tas untuk pulang ke rumah masing-masing. Ada dari mereka yang bercanda dengan teman yang lain, ada yang sibuk memelototi gadgetnya, sebagian kecil ada yang membaca buku, dan ada pula yang menyendiri di balik kerumunan itu, yak itu aku. di keramaian ini. Aku memilih untuk menyendiri. Bukan berarti aku ini anti sosial. Hanya saja, dari kesibukanku belajar dan belajar. Ada saatnya aku ingin merenung walau untuk sekedar melepas beban.

“puk” seseorang memegang pundakku. Aku tidak menoleh karena sudah tau siapa orang itu.
“Oi Thof! sore-sore kok masih sempet ngelamun. Biar kutebak. Mmm...... pasti kamu lagi mikirin Nina kan? Hayo ngaku...” Candanya. Orang ini tiap hari memang selalu begitu.

Sesuai dugaanku, ternyata si Hashril. Nina adalah seorang bunga sekolah yang dikejar-kejar banyak pria. Namun sayang dengan sadis mereka ditolak mentah-mentah ketika mengutarakan perasaan mereka kepada Nina. Meski begitu, masih saja banyak laki-laki yang diam-diam memendam rasa padanya. Dan kalau mau tau, dialah yang dulu menembakku dan aku menolaknya. Tapi itu tak akan pernah kuceritakan kepada siapapun karena takut mengganggu reputasinya.

“atau lebih parah! Kamu lagi mikirin hal mesum!” tangan kanannya menutup mulutnya. Dia tertegun dengan pernyataannya sendiri.
“jangan samakan aku denganmu Shrul!” Ketusku.

Mendengar celotehan tak bermakna darinya sudah sering kudengarkan saat aku pulang sekolah. Sering kami berjalan bersama menuju rumah ataupun saat berangkat sekolah karena rumah kami juga searah.

“oi Hashrul”
“apa?”
“menurutmu. Apa arti kehidupan itu?” 
dia menoleh kearahku “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Tanyanya balik.
”entah mengapa aku selalu memikirkannya. Mungkin karena aku terlalu banyak berpikir” Jelasku.
Dia memegang dagunya “hmm... ini memang pertanyaan yang sulit. Tapi jujur aku tak begitu serius memikirkan hal itu”
“kenapa?”
“karena, kalau aku hidup ya hidup. Selagi aku diberi kehidupan, maka aku akan melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan. Biasanya aku melakukan sesuatu dengan spontan sih. Dan adakalanya juga aku sering menemui situasi sulit dalam menjalani hidup. Emmh... seperti halnya saat nggak bawa alat tulis saat ulangan, atau pada saat aku mandi sabunnya habis, teruss... ketika beli belanjaan ibu pas dijalan dikejar anjing. Yah begitulah. Tapi itulah yang memberikan tantangan dalam hidup ini sehingga membuatnya menjadi berwarna. Jadi, hidup itu tantangan sob! Kalau datar-datar aja pasti bakal membosankan ya nggak!?” Katanya penuh dengan semangat.

Aku tersenyum simpul. Bukannya aku setuju dengan pendapatnya. Hanya sekedar menghargai apa yang sedang diutarakannya. Kalau dipikir-pikir Dia orangnya memang seperti itu. Meski begitu, dia adalah orang yang enerjik dan mudah diajak bergaul. Susah diam dan sering membuat masalah. Hashrul juga memiliki daya imajinasi yang amat kuat. Pintar menggambar dan bercerita. Dia memiliki bakat yang tidak kupunya. Dia pernah bercerita di depan orang banyak bila suatu saat dia bercita-cita menjadi seorang arsitek. Mungkin itu akan menjadi hal yang mudah baginya. Tidak sepertiku yang masih bingung mencari arti hidup. 

          Orang lain seenaknya menggapku berbakat karena aku pintar dalam semua mata pelajaran. Itu omong kosong. Mereka tak tau seberapa kerasnya aku belajar untuk mendapatkan nilai hampir sempurna di setiap mata pelajaran. Itupun kulakukan tanpa alasan apapun atau niat apapun. Mungkin karena tekanan dari semuanya yang menganggapku seorang yang jenius. Sehingga mau tidak mau aku harus menjaga nama itu dan belajar peng-pengan untuk mempertahankan gelar itu dari teman-teman. Sungguh memberatkan. Karena jika nilaiku jelek. Apa kata mereka nantinya?

“lalu, bagaimana menurutmu?” Hashrul bertanya balik.
“entahlah, aku masih belum berani menyimpulkan” kataku sambil tertunduk.
“kamu kebanyakan mikir sih. Kan jadi loro pikir. Lebih dari pada itu, bukannya lebih enak kalau kamu mikirin pasangan hidupmu di masa depan. kayaknya enak deh kalau udah punya pendamping hidup” mukanya berubah merah. Aku sudah bisa menebak didalam otaknya pasti sedang memikirkan hal-hal liar. Aku diamkan saja Hashrul tenggelam dalam lamunannya.

Mataku terpejam. Banyak sekali orang-orang yang berbeda menafsirkan arti hidup mereka. Setiap orang berbeda pula cara menyikapi pola hidupnya. Apa hanya aku disini yang tak tau arti dari hidupku sendiri. Mungkin aku memang terlalu banyak berpikir. Jika terlalu banyak pilihan. Sudah barang tentu akan sangat sulit untuk memilih dari sekian banyak opsi yang ada.

            Sudah lama kami berjalan. Dan Hashrul masih termabukkan angan-angan.
“hashrul!. Hei shrul!” jeritanku membuatnya tersadar dari lamunannya.
“ah..eh... apa?”
“udah selesai ngelamunnya?”
”hahhh.. Kau ini mengganggu puncak khayalanku saja” dia cemberut, aku hanya menahan senyum.
“paling puncaknya Cuma ngereskan. Ituloh rumahmu udah kelewatan 100 meter”
“buadalah!” dia kaget. Lekas memutar badan dan berlari kecil kembali menuju rumahnya “sampai jumpa. Hati-hati sama tai ayam yang berceceran!” katanya sambil melambaikan tangan dengan tinggi.
“yaa.....!” kataku membalas lambaiannya setengah bahu meski dia tidak menoleh kearahku.
(dasar hiperaktif) batinku.
***
Bersambung...

             MHA 

0 komentar:

Posting Komentar