Apa arti hidup di dunia ini? Itu
adalah salah satu pertanyaan yang sering aku ajukan untuk diriku sendiri. Kesenangan?
Itulah kata sebagian orang yang menafsirkan kehidupan. Mereka hidup untuk
senang. Bersenang-senang dengan segala yang ada di dunia ini. Tapi apa benar
seperti itu. Entahlah, yang jelas aku tidak sependapat dengan pemahaman itu.
bagiku kehidupan mempunyai makna yang lebih besar dari bayangan setiap orang.
Dia dekat tapi tidak terlihat. Dia ada tapi tidak terjamah. Walau seribu kali
lebih selama hidupku selalu memikirkannya. Aku tak menemukan makna apapun dari
hidup yang akan kujalani kelak. aku sendiripun masih bingung tentang jalan
hidupku yang harus kutapaki di masa mendatang. Gelap. Mungkin kata itu yang
bisa terlukiskan saat aku membayangkan hidupku dimasa yang akan datang.
“hei
Fi, kau tau apa itu arti kehidupan” tanyaku pada luthfi, teman satu kelas yang
kebetulan satu meja denganku
“lha
kamu sekarang lagi apa? Hidupkan. Nah, itu kehidupan” katanya cuek.
“kamu
ngejawabnya nggak niat bener sih” gerutuku padanya.
“pertanyaanmu
itu yang terlalu ambigu”
“hmm....
terserah deh” aku menolehkan muka dengan cuek ke arah lain.
Aku
kembali melamun. Mataku menatap keluar jendela. Langit biru membentang
diangkasa. Tak bosan-bosannya aku selalu menatapnya sambil melihati gumpalan
awan putih yang berlabuh melayari langit biru bagai kapal yang berlayar
dilautan. Dulu, tak jarang aku menerka, menebak bentuk-bentuk mereka dengan
benda-benda lain. sangat mengasyikkan. Tapi kini aku tak akan sempat
melakukannya. karena banyak sekali waktu luangku yang tersita oleh kesibukan.
“Arthof!”
seseorang memanggil namaku. Aku segera tersadar dari lamunan.
“coba
kamu maju kedepan untuk mengerjakan soal di papan tulis” kata pak guru. Wajah
beliau menunjukkan rasa tidak senang. Mungkin karena aku tidak begitu
memperhatikan pelajarannya.
“baik
pak” aku segera mengangkat badan dan beranjak dari bangku.
Lalu
aku maju kedepan. Mengerjakan soal matematika dengan cepat dan cermat. Padahal
materi ini belum diajarkan di kelas. Jadi para murid yang berada di kelas
tertegun. Mereka menatapku dengan kagum. Aku biasa saja. Hal itu sudah sering
aku dapatkan. Tentunya itu membuatku senang dan bangga. Tapi, itu tak membuatku
merasakan kehidupan yang sesungguhnya. Apa gunanya hal tersebut. Lagian, itu
tidak akan bisa menambah umurku.
“wah
bagus, hebat kamu Thof!” kata pak guru sepersekian detik saat tanganku selesai
menulis jawaban dari pertanyaan itu. kontan tepuk tangan para murid berderai
memeriahkan ruangan yang semenjak tadi bisu.
Itulah aku. Seorang yang tahun lalu
menyabet rinking 1 paralel di kelas 2 smp Arhuza. Tak ada murid yang tidak
mengenaliku. Dengan rambut hitam terjungkat rapi ke atas, wajah yang menawan.
Kulitku yang kuning dan hidungku yang proporsional, dengan tinggi 170 cm. Aku
termasuk golongan cowok ideal yang dikejar-kejar para wanita. Ini terbukti dari
banyaknya surat pernyataan cinta mereka yang sering aku dapatkan di loker mejaku.
Pernah ada juga yang bicara terang-terangan di depanku. Tapi dengan tulus aku
menolak. Bukannya aku tak mau. Siapa juga yang nggak mau jika ada seorang
wanita cantik yang menembakmu. Hanya, selama itu tidak memiliki manfaat apapun,
maka aku tak akan mau berbuat hal itu. itulah yang sering diajarkan oleh kedua
orang tuaku semenjak kecil. Menghindari hal yang tidak bermanfaat pada diri
sendiri.
“hebatnya.
Kapan-kapan ajari aku supaya pintar kaya kamu ya Thof” kata luthfi.
Aku duduk kembali di kursiku “tapi sebelum
itu, kamu harus bisa memenuhi beberapa syarat”
“memang
apa syaratnya?”
“minimal
belajar 3 jam sehari”
“banyak
bener!” Ekpresinya yang optimis mendadak berubah sendu.
“kamu
kira aku tidak belajar untuk mengerjakan soal itu” jelasku
“hah,...
males deh”
“itu
sih udah sifatmu dari dulu”
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Gerbang sekolah sudah memuntahkan ratusan murid yang telah menopang tas untuk
pulang ke rumah masing-masing. Ada dari mereka yang bercanda dengan teman yang
lain, ada yang sibuk memelototi gadgetnya, sebagian kecil ada yang membaca
buku, dan ada pula yang menyendiri di balik kerumunan itu, yak itu aku. di
keramaian ini. Aku memilih untuk menyendiri. Bukan berarti aku ini anti sosial.
Hanya saja, dari kesibukanku belajar dan belajar. Ada saatnya aku ingin
merenung walau untuk sekedar melepas beban.
“puk”
seseorang memegang pundakku. Aku tidak menoleh karena sudah tau siapa orang itu.
“Oi
Thof! sore-sore kok masih sempet ngelamun. Biar kutebak. Mmm...... pasti kamu
lagi mikirin Nina kan? Hayo ngaku...” Candanya. Orang ini tiap hari memang selalu
begitu.
Sesuai
dugaanku, ternyata si Hashril. Nina adalah seorang bunga sekolah yang
dikejar-kejar banyak pria. Namun sayang dengan sadis mereka ditolak
mentah-mentah ketika mengutarakan perasaan mereka kepada Nina. Meski begitu,
masih saja banyak laki-laki yang diam-diam memendam rasa padanya. Dan kalau mau
tau, dialah yang dulu menembakku dan aku menolaknya. Tapi itu tak akan pernah
kuceritakan kepada siapapun karena takut mengganggu reputasinya.
“atau
lebih parah! Kamu lagi mikirin hal mesum!” tangan kanannya menutup mulutnya.
Dia tertegun dengan pernyataannya sendiri.
“jangan
samakan aku denganmu Shrul!” Ketusku.
Mendengar
celotehan tak bermakna darinya sudah sering kudengarkan saat aku pulang
sekolah. Sering kami berjalan bersama menuju rumah ataupun saat berangkat
sekolah karena rumah kami juga searah.
“oi
Hashrul”
“apa?”
“menurutmu.
Apa arti kehidupan itu?”
dia menoleh kearahku “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Tanyanya balik.
dia menoleh kearahku “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Tanyanya balik.
”entah
mengapa aku selalu memikirkannya. Mungkin karena aku terlalu banyak berpikir” Jelasku.
Dia
memegang dagunya “hmm... ini memang pertanyaan yang sulit. Tapi jujur aku tak
begitu serius memikirkan hal itu”
“kenapa?”
“karena,
kalau aku hidup ya hidup. Selagi aku diberi kehidupan, maka aku akan melakukan
hal-hal yang ingin aku lakukan. Biasanya aku melakukan sesuatu dengan spontan
sih. Dan adakalanya juga aku sering menemui situasi sulit dalam menjalani
hidup. Emmh... seperti halnya saat nggak bawa alat tulis saat ulangan, atau
pada saat aku mandi sabunnya habis, teruss... ketika beli belanjaan ibu pas
dijalan dikejar anjing. Yah begitulah. Tapi itulah yang memberikan tantangan
dalam hidup ini sehingga membuatnya menjadi berwarna. Jadi, hidup itu tantangan
sob! Kalau datar-datar aja pasti bakal membosankan ya nggak!?” Katanya penuh
dengan semangat.
Aku
tersenyum simpul. Bukannya aku setuju dengan pendapatnya. Hanya sekedar
menghargai apa yang sedang diutarakannya. Kalau dipikir-pikir Dia orangnya
memang seperti itu. Meski begitu, dia adalah orang yang enerjik dan mudah
diajak bergaul. Susah diam dan sering membuat masalah. Hashrul juga memiliki
daya imajinasi yang amat kuat. Pintar menggambar dan bercerita. Dia memiliki
bakat yang tidak kupunya. Dia pernah bercerita di depan orang banyak bila suatu
saat dia bercita-cita menjadi seorang arsitek. Mungkin itu akan menjadi hal
yang mudah baginya. Tidak sepertiku yang masih bingung mencari arti hidup.
Orang lain seenaknya menggapku berbakat karena aku pintar dalam semua mata pelajaran. Itu omong kosong. Mereka tak tau seberapa kerasnya aku belajar untuk mendapatkan nilai hampir sempurna di setiap mata pelajaran. Itupun kulakukan tanpa alasan apapun atau niat apapun. Mungkin karena tekanan dari semuanya yang menganggapku seorang yang jenius. Sehingga mau tidak mau aku harus menjaga nama itu dan belajar peng-pengan untuk mempertahankan gelar itu dari teman-teman. Sungguh memberatkan. Karena jika nilaiku jelek. Apa kata mereka nantinya?
Orang lain seenaknya menggapku berbakat karena aku pintar dalam semua mata pelajaran. Itu omong kosong. Mereka tak tau seberapa kerasnya aku belajar untuk mendapatkan nilai hampir sempurna di setiap mata pelajaran. Itupun kulakukan tanpa alasan apapun atau niat apapun. Mungkin karena tekanan dari semuanya yang menganggapku seorang yang jenius. Sehingga mau tidak mau aku harus menjaga nama itu dan belajar peng-pengan untuk mempertahankan gelar itu dari teman-teman. Sungguh memberatkan. Karena jika nilaiku jelek. Apa kata mereka nantinya?
“lalu,
bagaimana menurutmu?” Hashrul bertanya balik.
“entahlah,
aku masih belum berani menyimpulkan” kataku sambil tertunduk.
“kamu
kebanyakan mikir sih. Kan jadi loro pikir. Lebih dari pada itu, bukannya
lebih enak kalau kamu mikirin pasangan hidupmu di masa depan. kayaknya enak deh
kalau udah punya pendamping hidup” mukanya berubah merah. Aku sudah bisa
menebak didalam otaknya pasti sedang memikirkan hal-hal liar. Aku diamkan saja Hashrul
tenggelam dalam lamunannya.
Mataku terpejam. Banyak sekali orang-orang yang berbeda menafsirkan
arti hidup mereka. Setiap orang berbeda pula cara menyikapi pola hidupnya. Apa
hanya aku disini yang tak tau arti dari hidupku sendiri. Mungkin aku memang
terlalu banyak berpikir. Jika terlalu banyak pilihan. Sudah barang tentu akan
sangat sulit untuk memilih dari sekian banyak opsi yang ada.
Sudah lama kami berjalan. Dan Hashrul
masih termabukkan angan-angan.
“hashrul!.
Hei shrul!” jeritanku membuatnya tersadar dari lamunannya.
“ah..eh...
apa?”
“udah
selesai ngelamunnya?”
”hahhh..
Kau ini mengganggu puncak khayalanku saja” dia cemberut, aku hanya menahan
senyum.
“paling
puncaknya Cuma ngereskan. Ituloh rumahmu udah kelewatan 100 meter”
“buadalah!”
dia kaget. Lekas memutar badan dan berlari kecil kembali menuju rumahnya
“sampai jumpa. Hati-hati sama tai ayam yang berceceran!” katanya sambil
melambaikan tangan dengan tinggi.
“yaa.....!”
kataku membalas lambaiannya setengah bahu meski dia tidak menoleh kearahku.
(dasar
hiperaktif) batinku.
***
Bersambung...
MHA
0 komentar:
Posting Komentar