Senin, 19 Juni 2017

Novel; Arthof's Journey (Hal 4-7)

            Di pagi hari ini. Semilir udara dingin terasa membangunkan bulu halus di kulit. Matahari sudah nampak setengah sisi, dan aku sudah bersiap untuk makan pagi. Ibu menyiapkan makanan di meja. Sedangkan ayah menyusun piring untuk santap kami bertiga. Seperti biasa kami sarapan pagi bersama di meja makan sambil berbicara satu sama lain.

“kok matamu dari hari ke hari makin bertambah kantungnya Thof?” tanya ayah penasaran.
“mungkin kantung mataku berbanding lurus dengan semakin dekatnya ujian sekolah semester satu ini yah” jelasku sambil tetap fokus melahap makananku.
“belajar itu bagus, tapi jangan sampai kelewatan. Hal baik terkadang juga ada batas nya”
“iya yah”
“kamu disana nggak dibully kan” tanya ibu. Entah karena maksud apa ibuku menanyakan perihal tersebut.
“ibu ini kok nanya kaya gitu. Siapa juga yang berani negbully anak kita” kata ayah.
“kan dia jarang olahraga, takutnya orang tau kelemahannya”
“jangan khawatir bu. Murid-murid disana pada baik kok” kataku.
“tapi misalnya kamu melihat ada temanmu yang di bully. Kamu harus berani membelanya” kata ayah
“oke yah”

            Setelah menghabiskan sarapan pagiku. Aku bersiap menyiapkan peralatan yang akan dibutuhkan ke sekolah. Tak lupa aku pamit kepada kedua orang tuaku. Mencium kedua tangan mereka. Lalu beranjak pergi menuju sekolah.

            Udara jalanan pagi selalu sejuk. Jalanan beraspal halus. Sedikit orang-orang yang berlalu lalang di pagi hari. Kebanyakan mereka masih berada di rumah. Entah masih ngorok atau masih bersiap untuk melakukan aktivitas hari ini. Aku berjalan agak cepat. Jarak antara rumahku dan sekolah berkisar antara satu kilometer. Aku berjalan karena tidak memiliki sepeda.

            Di pertengahan jalan antara sekolahku dan rumah. Aku menemui seorang anak laki-laki kecil sedang menangis. Dari pandanganku. Kira-kira usianya sekitar empat tahunan. Mengenakan kaos biru kusam seperti pel yang tidak pernah dicuci. Aku pikir dia hanyalah anak yang kesasar atau seorang gelandangan yang kurang makan. Aku tak tega ketika seluruh orang yang ada di sekitar sini membiarkannya begitu saja.
(dasar orang-orang. Apa mereka semua sudah tidak punya hati) kataku dalam hati. Lekas aku menghampiri anak kecil itu dan menanyakan tentang keadaannya.

“kenapa kamu menangis dek?” tanyaku, aku tidak terbiasa mengurusi anak-anak. Bisa dibilang, aku tak begitu paham cara menangani mereka.
“hiks....hiks” dia masih saja menangis.
“cup-cup. Oh iya tunggu disini sebentar ya” kataku, segera aku berlari menuju minimarket di dekat situ. Lalu kembali lagi membawa sebuah eskrim di tangan kanan. Tentu saja aku membelinya dengan uang sangu yang diberikan ibuku tadi pagi, tapi tak apalah.
“ini dek. Mas belikan es krim. Tapi dengan syarat. Kamu harus berhenti nangis ya”
Aku berikan es itu. Dia menyahutnya. Membuka segelnya. Dan memakannya dengan lahap. Aku tersenyum. Lantas itulah saat yang tepat untuk menanyakan masalahnya.
“adek kenapa nangis?” dia tidak mendengar dan masih mengelamuti es krim yang aku beri. Aku tunggu saja dia menghabiskan es itu. Setelah habis aku kembali mengulang pertanyaanku.
“adek kenapa nangis?”
“itu ada ufo” dia menudingkan jari telunjuknya kelangit. Kaget dengan pernyataannya, seketika kepalaku menoleh kelangit mencari ufo yang disebutnya. Karena kaget aku sampai tak habis pikir kalau sudah digobloki oleh anak kecil. Sudah jelas pagi bolong begini mana ada ufo yang bakalan keleweran! Sambil menahan geram karena sudah ditipu, aku kembali menoleh kearah anak kecil itu. kali ini aku kembali dikagetkan. Dia sudah tidak berada di sini. Keberadaannya entah mengapa lenyap ditelan dinginnya pagi.

            Disaat yang sama, entah kenapa. Banyak sekali rintangan yang aku dapati pagi ini saat berangkat ke sekolah. mulai dari nginjek batu empuk (tai), njegur selokan, sampai dikejar anjing. Alhasil, aku terlambat 30 menit. Sesampai di gerbang sekolah aku berdo’a supaya hukumannya tidak terlalu berat. Semoga saja hukumannya tidak dipulangkan. Rasanya sia-sia pengorbanan yang aku berikan di pagi hari ini kalau toh akhirnya aku harus pulang kembali ke rumah dengan tangan hampa.

Sampainya di gerbang sekolah. Kepalaku sudah berisi berbagai alasan yang aku berikan jika ditanya kenapa tadi aku terlambat. Setelah menguatkan mental aku berjalan mendekati gerbang. Tidak ada orang yang menjaga. (mungkin ini hari keberuntunganku) lekas aku berlari menuju gedung utama. Hatiku masih cemas jika ada seorang guru yang menegur dan menangkap basah keterlambatanku.

Dengan hati was-was aku masih saja berjalan mengendap-endap menuju kelasku. Saat itu suasana terlihat berbeda. Sekilas aku merasakan kesunyian di sekolah ini. Entah apa yang kurasakan saat itu. sirup flambozen? Mereka tumpah dimana-mana. Ada sesuatu yang bertebaran. Semua berantakan. Arsip-arsip jatuh. Apa yang terjadi? Melihat kesekeliling rasanya perutku terpelintir. Makanan yang tadi pagi aku makan rasanya ingin sekali aku keluarkan kembali. Mataku menatap tajam kesana sini. Sirup flambozen kah? Bukan! INI BUKAN SIRUP! Kesadaranku yang semakin menipis membuatku membayangkan hal yang tidak wajar. Rasa tak percaya berjampur kaget membuat pandanganku tidak bisa membedakan antara yang nyata dengan ilusi. Aku menggebrakkan kaki berlari menuju kelas. Aku tidak lagi memikirkan masalah ketahuan terlambat atau tidak. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus dipastikan saat itu juga. Hening, hampa, mencekam, adalah suasana yang kurasakan di sekolah pagi itu. Pagi dengan udara dingin, langit yang membiru, matahari yang bersinar terang, bahkan angin masih berhembus pelan menggetarkan ranting. Disaat suasana sebegitu indahnya tanpa sadar aku mendapati kejadian yang memilukan. Teman sekelasku berlumuran sirup. ITU BUKAN SIRUP! kali ini aku sadar. Aku kaget bukan main. Seluruh teman sekelasku terbunuh! Bukan Cuma itu. tapi, seluruh orang yang ada di sekolahan terbunuh. Mulutku menganga tidak bisa berucap. Menjerit juga tak bisa. Apa arti semua ini!

            Aku berlari. Mataku memerah mengeluarkan air mata tanpa henti. Perutku sedari tadi menahan mual yang semakin menjadi-jadi. Bau amis bertebaran dimana-mana menusuk hidung yang kian lama kian mengusik. Aku ingin keluar dari gedung ini secepatnya. Hatiku sedang menahan pilu dan amarah yang tak terbayangkan. Rasa dendam yang amat sangat ketika melihat seluruh temanku tergeletak tak bernyawa.
(SIAPA YANG TEGA MELAKUKAN INI!) aku tak bisa bebuat apapun. Aku juga tidak tau apapun. Sesampai di pintu gerbang sekolah. saat itu juga aku mengeluarkan seluruh isi perutku.


“HOOOEEKHH......!!!”


           MHA

0 komentar:

Posting Komentar