Di pagi hari ini. Semilir udara
dingin terasa membangunkan bulu halus di kulit. Matahari sudah nampak setengah
sisi, dan aku sudah bersiap untuk makan pagi. Ibu menyiapkan makanan di meja.
Sedangkan ayah menyusun piring untuk santap kami bertiga. Seperti biasa kami
sarapan pagi bersama di meja makan sambil berbicara satu sama lain.
“kok
matamu dari hari ke hari makin bertambah kantungnya Thof?” tanya ayah
penasaran.
“mungkin
kantung mataku berbanding lurus dengan semakin dekatnya ujian sekolah semester satu
ini yah” jelasku sambil tetap fokus melahap makananku.
“belajar
itu bagus, tapi jangan sampai kelewatan. Hal baik terkadang juga ada batas nya”
“iya
yah”
“kamu
disana nggak dibully kan” tanya ibu. Entah karena maksud apa ibuku menanyakan
perihal tersebut.
“ibu
ini kok nanya kaya gitu. Siapa juga yang berani negbully anak kita” kata ayah.
“kan
dia jarang olahraga, takutnya orang tau kelemahannya”
“jangan
khawatir bu. Murid-murid disana pada baik kok” kataku.
“tapi
misalnya kamu melihat ada temanmu yang di bully. Kamu harus berani membelanya”
kata ayah
“oke
yah”
Setelah menghabiskan sarapan pagiku.
Aku bersiap menyiapkan peralatan yang akan dibutuhkan ke sekolah. Tak lupa aku
pamit kepada kedua orang tuaku. Mencium kedua tangan mereka. Lalu beranjak
pergi menuju sekolah.
Udara jalanan pagi selalu sejuk.
Jalanan beraspal halus. Sedikit orang-orang yang berlalu lalang di pagi hari.
Kebanyakan mereka masih berada di rumah. Entah masih ngorok atau masih bersiap
untuk melakukan aktivitas hari ini. Aku berjalan agak cepat. Jarak antara
rumahku dan sekolah berkisar antara satu kilometer. Aku berjalan karena tidak
memiliki sepeda.
Di pertengahan jalan antara
sekolahku dan rumah. Aku menemui seorang anak laki-laki kecil sedang menangis.
Dari pandanganku. Kira-kira usianya sekitar empat tahunan. Mengenakan kaos biru
kusam seperti pel yang tidak pernah dicuci. Aku pikir dia hanyalah anak yang
kesasar atau seorang gelandangan yang kurang makan. Aku tak tega ketika seluruh
orang yang ada di sekitar sini membiarkannya begitu saja.
(dasar
orang-orang. Apa mereka semua sudah tidak punya hati) kataku dalam hati. Lekas
aku menghampiri anak kecil itu dan menanyakan tentang keadaannya.
“kenapa
kamu menangis dek?” tanyaku, aku tidak terbiasa mengurusi anak-anak. Bisa
dibilang, aku tak begitu paham cara menangani mereka.
“hiks....hiks”
dia masih saja menangis.
“cup-cup.
Oh iya tunggu disini sebentar ya” kataku, segera aku berlari menuju minimarket
di dekat situ. Lalu kembali lagi membawa sebuah eskrim di tangan kanan. Tentu
saja aku membelinya dengan uang sangu yang diberikan ibuku tadi pagi, tapi tak
apalah.
“ini
dek. Mas belikan es krim. Tapi dengan syarat. Kamu harus berhenti nangis ya”
Aku
berikan es itu. Dia menyahutnya. Membuka segelnya. Dan memakannya dengan lahap.
Aku tersenyum. Lantas itulah saat yang tepat untuk menanyakan masalahnya.
“adek
kenapa nangis?” dia tidak mendengar dan masih mengelamuti es krim yang aku
beri. Aku tunggu saja dia menghabiskan es itu. Setelah habis aku kembali
mengulang pertanyaanku.
“adek
kenapa nangis?”
“itu
ada ufo” dia menudingkan jari telunjuknya kelangit. Kaget dengan pernyataannya,
seketika kepalaku menoleh kelangit mencari ufo yang disebutnya. Karena kaget
aku sampai tak habis pikir kalau sudah digobloki oleh anak kecil. Sudah jelas
pagi bolong begini mana ada ufo yang bakalan keleweran! Sambil menahan geram
karena sudah ditipu, aku kembali menoleh kearah anak kecil itu. kali ini aku
kembali dikagetkan. Dia sudah tidak berada di sini. Keberadaannya entah mengapa
lenyap ditelan dinginnya pagi.
Disaat yang sama, entah kenapa.
Banyak sekali rintangan yang aku dapati pagi ini saat berangkat ke sekolah.
mulai dari nginjek batu empuk (tai), njegur selokan, sampai dikejar anjing.
Alhasil, aku terlambat 30 menit. Sesampai di gerbang sekolah aku berdo’a supaya
hukumannya tidak terlalu berat. Semoga saja hukumannya tidak dipulangkan.
Rasanya sia-sia pengorbanan yang aku berikan di pagi hari ini kalau toh
akhirnya aku harus pulang kembali ke rumah dengan tangan hampa.
Sampainya di gerbang sekolah. Kepalaku sudah berisi berbagai alasan
yang aku berikan jika ditanya kenapa tadi aku terlambat. Setelah menguatkan
mental aku berjalan mendekati gerbang. Tidak ada orang yang menjaga. (mungkin
ini hari keberuntunganku) lekas aku berlari menuju gedung utama. Hatiku masih
cemas jika ada seorang guru yang menegur dan menangkap basah keterlambatanku.
Dengan hati was-was aku masih saja berjalan mengendap-endap menuju
kelasku. Saat itu suasana terlihat berbeda. Sekilas aku merasakan kesunyian di
sekolah ini. Entah apa yang kurasakan saat itu. sirup flambozen? Mereka tumpah
dimana-mana. Ada sesuatu yang bertebaran. Semua berantakan. Arsip-arsip jatuh.
Apa yang terjadi? Melihat kesekeliling rasanya perutku terpelintir. Makanan
yang tadi pagi aku makan rasanya ingin sekali aku keluarkan kembali. Mataku menatap
tajam kesana sini. Sirup flambozen kah? Bukan! INI BUKAN SIRUP! Kesadaranku
yang semakin menipis membuatku membayangkan hal yang tidak wajar. Rasa tak
percaya berjampur kaget membuat pandanganku tidak bisa membedakan antara yang
nyata dengan ilusi. Aku menggebrakkan kaki berlari menuju kelas. Aku tidak lagi
memikirkan masalah ketahuan terlambat atau tidak. Ada sesuatu yang lebih
penting yang harus dipastikan saat itu juga. Hening, hampa, mencekam, adalah
suasana yang kurasakan di sekolah pagi itu. Pagi dengan udara dingin, langit
yang membiru, matahari yang bersinar terang, bahkan angin masih berhembus pelan
menggetarkan ranting. Disaat suasana sebegitu indahnya tanpa sadar aku
mendapati kejadian yang memilukan. Teman sekelasku berlumuran sirup. ITU BUKAN
SIRUP! kali ini aku sadar. Aku kaget bukan main. Seluruh teman sekelasku
terbunuh! Bukan Cuma itu. tapi, seluruh orang yang ada di sekolahan terbunuh.
Mulutku menganga tidak bisa berucap. Menjerit juga tak bisa. Apa arti semua ini!
Aku berlari. Mataku memerah
mengeluarkan air mata tanpa henti. Perutku sedari tadi menahan mual yang
semakin menjadi-jadi. Bau amis bertebaran dimana-mana menusuk hidung yang kian
lama kian mengusik. Aku ingin keluar dari gedung ini secepatnya. Hatiku sedang
menahan pilu dan amarah yang tak terbayangkan. Rasa dendam yang amat sangat
ketika melihat seluruh temanku tergeletak tak bernyawa.
(SIAPA
YANG TEGA MELAKUKAN INI!) aku tak bisa bebuat apapun. Aku juga tidak tau
apapun. Sesampai di pintu gerbang sekolah. saat itu juga aku mengeluarkan
seluruh isi perutku.
“HOOOEEKHH......!!!”
MHA
0 komentar:
Posting Komentar