Masih
ingat dalam kenangan, lantunan lagu yang menggetarkan
badan. Rasa yang begitu enak memancar dalam tubuh. Bagai bius yang mengalir
lincah ke urat syaraf tubuh. Susah dan sulit, ketika mencoba untuk kembali
seperti dulu. Sekiranya apa yang mungkin bisa aku lakukan ketika badan susah
untuk di gerakkan. Mencoba merangkai tujuan, namun selalu kandas di tengah
jalan. Derai air masih terdengar syahdu. Sepertinya hujan akan segera turun.
Kembali tanganku membelai rambut. Menjambaknya dan memuntalnya tanpa ada tujuan
yang jelas.
“ah, aku lupa bawa
helm lagi”
“kirain lo
sengaja”
“gila. Ini kota
bro. Ketauan polisi, ilang dah dua ratus ribu”
“hujannya makin
deres nih. Nepi dulu yuk. Lo pasti juga lupa bawa mantol” kata sahabatku
“tau juga lo”
“biasanya kan helm
sama mantol sepaket di otak lo. Kalau yang satu ketinggalan, yang satunya pasti
jugalah”
Akhirnya kami menepi menghindari
hujan yang nampaknya akan segera berkecamuk.
“Besok hari senin”
kataku yang kini sedang duduk di samping sahabatku. Sambil menepi di emperan
toko yang tutup. Motor kami parkirkan
di dekat sini. Hujan deras mengguyur dengan gilanya. Jikalau tadi kami tidak
lupa membawa mantol, mungkin kami akan sampai ke rumah lebih cepat.
“ya, aku tahu,
biasa ajalah. Apasih yang harus di takutkan waktu hari senin”
“upacaranya lah
bro. Malem ini sudah pasti aku sibuk nyari perlengkapan buat upacara nanti.
Kalau nggak, bisa kena hukum deh nanti”
“iya sih, memang
merepotkan. Tapi, upacara bendera itu juga untuk menghormati jasa pahlawan kita yang telah memperjuangkan negara ini.
Sudah sewajarnya kita berterimakasih dan melakukan hal ini. toh juga tidak
lama. Cuma satu sampai dua jam dalam seminggu. Sedangkan para pahlawan kita
sudah berkorban ratusan tahun untuk negeri ini”
“yaelah tong,
ceramah kayak bapak-bapak aja lu”
“gue kan memang
udah jadi bapak, Jo”
Aku tertawa
mendengarnya. “iya deh, udah punya pacar, sekarang panggilannya ayah bunda...”
Temanku hanya
tersenyum malu tanpa harus menyangkalnya. Btw dia baru jadian kemarin.
Hujan masih mengguyur. Dan temanku
yang satu ini tak henti-hentinya membicarakan “moba kok analog” yang saat ini
tengah viral. Aku hanya duduk manis mendengarkan celotehnya yang acapkali
mangkel saat bertemu dengan rekan tim yang afk.
“eh, lo liat ngga
itu?” kataku sambil menuding ke arah depan.
“apaan sih.
Pohon?”
“bukan. pojok
kanan atas...”
“ouh, itu”
“kok Cuma ouh
sih?”
“masak aku harus
bilang wow?”
“yah kamu nih jadi
pemuda kok ngga peka. Efek dari pacaran tampaknya sudah mulai aktif”
“yaelah Jo, apa
hubungannya coba”
“itu kan ada
bapak-bapak lagi butuh bantuan, motornya mogok, kita harus bantu” kataku,
menjelaskan. Nampak dia segera paham akan situasi dengan isyarat anggukan
kepala.
“wah, bener juga
lo. Kuy kesana”
“jangan!”
“kok jangan?
Gimana sih. Katanya mau nolongin. Plin plan amat sih...”
“kita kan ngga
bawa mantol. Sedangkan bapaknya bawa mantol. Kita suruh bapaknya kesini
sekalian biar bisa menepi. Selanjutnya kita juga bisa bantu bapaknya mereparasi
motornya”
“pinter juga lu.
Meski telatan, tampaknya kau telaten juga. Btw emang kita tukang bengkel pakek
reparasi motor segala”
“wkwkwk”
“kwkwkw”
Kami tertawa
berderai bersama.
Lekas kami serempak memanggil bapak
itu agar segera kesini. Setelah menjerit beberapa kali. sang bapak yang sadar
akhirnya mendorong motornya menuju kemari.
“ada apa nak kok
neriakin saya. Saya bukan maling” kata sang bapak dengan melasnya.
“hehe, bukan gitu
maksud kami pak”
“betul. Kami liat
bapak sedang kesusahan, jadi kami berniat membantu bapak”
“oh, kalian
anak-anak yang baik. Jarang sekali saya bertemu anak muda yang peka akan kodisi
sosial”
“yah. Anu...
yah... anu” kami berdua jadi tersipu malu.
“sudah-sudah
jangan malu. sebenarnya motor saya ngga bisa jalan gara-gara bensinnya habis”
jelas sang bapak.
“hmm. Kalau ngga
salah ingat. Pom bensin terdekat masih lima ratus kilo meter lagi” kata
temanku.
“meter kali bang”
kataku, mengkoreksi.
“nah itu”
“saya juga tau
nak. Wong di bahu jalan sudah ada gambar pom bensin yang bertuliskan lima ratus
kilo meter lagi, eh meter. kwkwkw”
“wkwkwk. Tahu juga
bapak kalo saya habis liat papan itu” kata temanku berusaha melawak. Sedangkan
aku tak henti-hentinya terpingkal.
“ya sudah, begini
saja pak. Bensin motor saya masih banyak nih. Saya pinjem mantolnya buat beliin
bensin disana. Nanti saya balik lagi kesini” kataku
“lah. Lo nanti
nampung bensinnya pakai apa? Tangan?”
“tadi aku sempet
beli small cola isi satu liter. Pakek itulah”
“kan isinya masih
setengah?”
“biarin aja. Itung-itung
mereduksi risiko diabetes. Kan gula di minuman ringan itu banyak banget sob”
“iya iya. Udah tau
bahayanya masih lo beli aja tadi”
“Hehe.
Sekali-sekali”
Setelah membuang
isi dari small cola dan memakai mantol, Aku segera mengegas motorku
menuju pom bensin terdekat.
***
Esokpun tiba, Terlihat betapa
macetnya jalanan yang penuh sesak dengan kendaraan. Beberapa kali aku berpikir,
bagaimana jadinya jalan raya sepuluh tahun mendatang? Mungkin jalanan sama
sekali tidak bercelah karena saking banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.
“kiri pak” kataku
pada supir angkot. Dia lekas menginjak pedal rem tanpa harus banyak kompromi.
Sampailah
aku di sekolah. Sekolah yang tercinta, dimana terdapat beberapa kenangan
spesial di dalamnya. Yah mungkin sebagian orang berpikir jika sekolah itu
membosankan. Ada pula yang berpikir jika sekolah itu tempat untuk bermain dan
mencari musuh buat di ajak tawuran. Padahal sejatinya sekolah adalah sebuah
ladang untuk memanen ilmu yang diberikan oleh guru-guru kita.
“assalamualaikum
pak” sapaku pada satpam yang sedang berjaga di gerbang. Jam menunjuk pukul
tujuh kurang dua puluh. Lima menit lagi sebelum upacara bendera di mulai.
“waalaikumussalam.
Tumben kamu nggak telat lagi” sahut beliau.
“masak harus telat
terus pak. Kan bosen” gurauku. Ternyata cukup garing.
“hahaha” tapi
satpam itu masih bisa tertawa. Mungkin tawa yang dipaksakan.
Aku segera melangkah menuju kelas.
Disana para murid teladan sudah bersiap untuk melaksanakan upacara. Aku
meletakkan tasku di bangku. Seorang menghampiriku dengan senyum yang tak pernah
kulupa. Yah, si dia. Sayang aku belum bisa mendapatkan hatinya. Mungkin di lain
waktu. Saat aku merasa sudah pantas. Pantas untuk meminangnya.
“makasih ya” kata
yang merdu meluncur dari bibir indahnya.
Aku hanya
memicingkan mata. Bingung atas ucapan terimakasihnya kepadaku. Padahal yang aku
tahu aku tidak pernah berbuat sesuatu yang layak mendapat ucapan terimakasihnya
tadi.
“kemarin kamu
bantu motor ayahku yang mogok di jalan”
“ouh” aku berhasil
mengingat ingatan itu “ya ya, nggak masalah, no problem. Sans. Hehe” kataku
Lekas dia berlalu
menuju teman sejawatnya dengan senyuman yang masih menghiasi wajah. aku terpana
beberapa saat oleh lamunan yang menyesatkan. Sampai akhirnya aku tersadar bila
upacara akan segera di mulai.
“bagi siswa-siswi
yang masih berada di kelas mohon segera keluar menuju ke lapangan upacara”
terdengar
suara kepala sekolah melalui mikrofon. Tampak seluruh persiapan upacara sudah
lengkap. Para murid segera meluncur dan berbaris rapi. Komando upacara dan para
staffnya segera merapikan barisan karena upacara akan segera di mulai. Para
murid yang terlambat tidak di perkenankan masuk dan harus berbaris di luar
gerbang. Mereka tampak memelas dan pucat karena tahu bila hukuman akan segera menanti.
Dan tak lama berselang, Upacara bendera pada hari senin telah di mulai.
22 Januari 2018
M H A