Hutan Anjel terletak di sebuah
tempat di negara Tinho. Sampai sekarang pun aku belum bisa percaya telah berada
di negara yang berbeda. Pada awalnya kukira ini masih di negara asalku, Honin.
Aku digiring oleh mbah tua ini menuju
sebuah rumah joglo disamping gubuk rumahnya. Setelah masuk ke dalam ruangan
itu, kulihat sesuatu hal yang tidak ingin kulihat berada di depanku.
“Anda
ingin membunuhku!” kataku kaget setelah melihat berbagai rintangan penyiksaan
yang mengerikan.
“hohohoho...
tenang saja, kamu tidak akan mati jika berhasil melewatinya”
“Jika
berhasil! Kalau tidak !?” kataku setengah tercengang.
“ya...
mati saja... hohohoho...” katanya melepas tawa.
Aku
tak habis pikir bila kata barusan adalah sebuah candaan.
“kamu
harus bisa melewati ini bila ingin melewati hutan itu” susulnya ringan.
“mana
ada hutan yang ada kayak beginiannya!”
“kau
salah, justru perlengkapan ini aku ambil dari hutan”
“apa!?”
“apa
kamu lupa. Aku tahu jika kau ini orang yang cukup pandai”
Setelah
dipikir aku baru ingat. Memang hutan ini terkenal mematikan. Tidak seperti
hutan saban yang punya hewan-hewan buas. Aku pernah membaca dari buku di
perpustakaan sekolah, di hutan ini terkenal dengan tumbuhannya yang mematikan.
Jadi seperti ini tetumbuhan yang tumbuh di hutan itu.
“jadi
silakan dimulai”
“Anda
bercanda! Tidak akan!” lekas aku berlari menjauh dari tempat brutal itu.
Serasa sudah cukup aman dan
menenangkan diriku di halaman belakang. Seketika mbah tua itu kembali
menghampiri. Dan kini duduk di sebelahku.
“sayang
sekali. Katanya kamu kepingin lekas sampai rumahmu”
“aku
benar-benar sangat ingin. Tapi bisakah kita mengambil cara lain yang lebih
aman? Yang tidak sampai membuat badanku tercabik-cabik”
“maaf.
Tapi pilihannya Cuma itu”
“tidak.
Kalau aku pikir-pikir. Mungkin Anda bisa mengantarkanku sampai ke seberang
hutan ini kan? Bukti bahwa aku sampai kesini adalah pasti karena ada orang yang
ada di sini membawaku kemari”
“memang
benar Akulah orangnya. Tapi sayang. Jika kau ingin keluar dari sini Aku tidak
bisa membantumu. Begitu juga dengan Gael dan Harumi”
“kenapa?”
“emmhh....
alasannya begitu rumit” dia menyentuhkan jari telunjuknya ke janggutnya.
“apakah
serumit itu hanya untuk mengantarkanku ke seberang hutan ini. Padahal aku
sangat yakin kalian pasti orang-orang yang hebat dan baik sampai mau merawat
dan menyelamatkanku dari kematian. Tapi, kenapa kalian tidak ingin membantuku
hanya untuk keluar dari hutan ini saja?”
“yah...
Coba kamu pikirkanlah sendiri nak. Kamu tahukan Gael sudah di buat babak belur
oleh seorang yang saat ini tengah mengincarmu”
“lalu?”
“meski
kami membawamu kembali ke rumah. bukannya kamu malah akan diincar lagi”
“—
!??” aku baru tersadar. Benar apa yang diucapkan oleh kakek ini. Tapi apakah
mungkin alasannya...
“jadi
anda ingin melatihku disini agar bisa melawan orang yang mengincarku itu. dan
alasan untuk melewati hutan ini hanyalah sebuah alasan lain?”
“yah...
Mungkin kira-kira begitu. Melihat betapa lemahnya kamu sekarang. Kamu bisa saja
mati dihadapannya kapan saja. Jadi bersyukurlah kamu diberi kesempatan berlatih
disini”
“tapi...
kenapa? Apa alasan mbah jiwo sampai mau melatihku segala? Kenapa anda begitu
peduli?”
“karena
aku kagum saja padamu”
“kagum?”
“ya”
“kagum
karena apa?” aku semakin bengung. Tapi kakek itu hanya tersenyum renyah dan
tidak berkata apapun.
“apa
mungkin karena akulah satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian sekolah
itu?”
Kakek
itu hanya mengangguk sambil tetap tersenyum renyah. Aku jadi bingung sendiri.
Tak ada jawaban pasti dari anggukan itu.
Tapi dari berbagai kejadian yang
ada. Sekarang ini kepalaku benar-benar di penuhi berbagai pertanyaan. Tentang
pria yang mengincarku itu, tentang orang-orang di sekolahku yang tiba-tiba di
bantai secara bengis dan sadis, dan tentang keberadaan orang tua ini yang entah
mengapa mencoba melindungiku disaat aku tidak memintanya.
“kamu
akan keburikan kesempatan untuk bertanya jika telah berhasil melewati dua
tahap”
“kalau
boleh tahu? berapa tahap yang akan anda ajukan padaku?”
“sudah
kubilangkan. Akan aku berikan kesempatan bertanya lebih banyak saat kamu sampai
di tahap dua”
Aku
menghela nafas panjang. Kakek ini benar-benar telaten sekali menjaga bicara dan
rahasianya. Sulit membongkar informasi untuk saat ini. Mau tak mau aku memang
harus ikut dengannya.
“baiklah”
kataku setengah bersemangat.
***
Kali ini aku berada di halaman depan
rumahnya. Kulihat Gael sudah berada disana. Beberapa perban masih melilit
badannya.
“oh,
gael” sapaku dengan canggung “apa luka-lukamu sudah sembuh?”
“lukaku
sudah sembilan puluh persen lebih pulih. Adikku merawatku dengan sangat
telaten”
“baguslah”
kataku dengan sebersit senyuman.
“kalau
kamu. Apakah dia juga merawatmu dengan baik?”
“ya
tentu” balasku sambil membayangkan perempuan menyebalkan itu.
“wahh
syukurlah”
“ngomong-ngomong.
Terimakasih ya kamu telah menyelamatkanku waktu itu. Aku tidak tahu apa jadinya
nanti kalau kamu tidak menolongku. Dan maafkan aku juga karena telah
menganggapmu lebih muda dariku” kataku sambil menunduk.
Reaksi
Gael awalnya terlihat begitu kaget mendengar pernyataanku. Namun dia segera
merubah ekpresinya dengan senyuman yang merekah sambil menggaruk-garuk
rambutnya.
“sama-sama.
Bukan kamu saja kok orang pertama yang menganggapku anak kecil. Lagian tubuhku
juga seperti ini sih. Mirip kayak seorang anak berumur delapan tahun”
“baiklah.
Tahap pertama akan segera dimulai” lanjut kakek itu. memutus keakraban perbincangan
kami.
Di
hadapanku sekarang sudah terdapat empat selongsong meriam yang terbuat dari
bambu besar yang melingkariku.
“apa
yang akan kulakukan dengan meriam ini. jangan bilang aku harus ditembaki
dengannya”
“pemikiranmu
cepat juga rupanya. Tapi kali ini kamu harus menghindarinya agar tidak terkena
pelurunya”
“katakanlah
peluru apa yang digunakan dan apa efeknya jika aku terkena pelurunya” kataku
takut-takut.
“pelurunya
Cuma terbuat dari kayu yang di poles bundar kok. Efeknya minimal tulangmu akan
retak, mungkin” kata Gael dengan polosnya seaakan memberitahukannya dengan
sangat enteng.
“Minimal
katamu!!!”
“sudah
jangan banyak bacot” di belakang sudah ada Harumi dengan membawa nampan yang
berisi tiga gelas teh. “lakukan saja apa kata guru. Tak ada gunanya kamu
mengeluh di saat kenyataan telah menghampirimu” dia menaruh teh itu di teras
rumah. Duduk sambil melihat kami dari sana.
(perempuan
ini datang-datang sudah bikin kesal
saja)
“baiklah
akan segera dimulai” lanjut kakek itu lagi.
Aku
mempersiapkan diri sambil tak henti-hentinya mengamati empat buah meriam yang
melingkariku. Setidaknya aku bisa tahu letak tembakannya ketika melihat gael
yang berpijak di salah satu meriam bambu itu.
“oke.
Sekarang kita gunakan ini” kata mbah itu dengan tiba-tiba dia membelit mataku
menggunakan kain.
“apa
Anda gila mbah!! Kalau begini caranya. Itu sama saja kalau aku akan terbunuh
lebih cepat”
“hohoho.....
kamu tidak akan terbunuh lebih cepat jika berhasil menghindar. Jadi jangan
tahan dirimu”
“apa!!?”
“kuncinya
adalah fokus” kini mbah Jiwo membisikkan ke telingaku dengan lirih. “rasakanlah
peluru mana yang akan di tembakkan. Dengarkanlah suara pelurunya. Dengarkanlah
langkah gael yang ingin menyumet sumbunya. Lalu bereaksilah sesuai insting dan
naluri dari informasi yang kau dapatkan dari inderamu yang berfungsi. Ketika
kamu sudah mulai terbiasa. Maka semua akan terasa mudah. Semudah saat kamu
menyerap materi pelajaran ataupun mengerjakan soal ujian”
Aku
menelan ludah. Menyimak semua perkataan mbah Jiwo dengan cermat. Karena ini
adalah masalah pertaruhan antara hidup dan matiku.
“berapa
peluru yang harus aku hindari agar aku lulus tahap satu?”
“emmhh...
mungkin sampai Gael merasa lelah”
“Anda
gila!”
“Buag!!”
kali ini ada yang menendang perutku dengan keras
“sa—sakiit....
ukh...” aku tersungkur di tanah sambil menggeliat kesakitan. Pasti ini ulah...
“kalau
sekali lagi kamu berkata tidak sopan pada ayah. Maka lain kali aku akan
menendang kepalamu dua kali” Kata Harumi sambil mengeluarkan nafas berat yang
penuh kemurkaan.
“ma—maaf”
kataku sambil tetap mengerang kesakitan.
“tuhkan.
Jika kamu berhasil memperoleh skill ini. Maka kamu akan bisa dengan mudah
mengelak tendangan Harumi yang barusan. Bagaimana? Latihan ini benar-benar menguntungkan
bukan” Kata mbah Jiwo sambil disusul gelak tawa. Seakan tidak mempedulikanku
yang saat ini masih terkapar kesakitan di tanah.
***
Bersambung........