softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Minggu, 22 Desember 2019

Kumpulan Cerpen; Kapasitas




Siapa yang bisa mengukur usaha dari masing-masing individu yang telah berjuang? Manusia? Tidak. Diri sendiri? Tidak, karena diri juga tergolong manusia. Lalu siapa? Jawabnya ada di ujung langit. Kita kesana dengan seorang anak. Anak yang sekarang tengah berkelana dari pulau satu ke pulau lain untuk mencari rezeki.

            Kapal telah berlabuh ke tepian dermaga. Kerumunan orang mulai berduyun turun dari kapal kayu itu. Enam jam sudah berlalu semenjak Rais berangkat dari pulau sebelah. Berbekal seperangkat nasi bungkus dan beberapa uang, dirinya berusaha agar bisa menjalani hidup yang lebih baik dengan mencari kerja di pulau ini.

“nak, kamu sudah bisa turun” sahut sang nahkoda yang saat itu membuyarkan lamunan Rais.
“baik pak” Rais turun. Penumpang baru mulai berduyun mengisi kapal yang kosong. menunggu terisi penuh untuk kembali berlabuh menuju pulau tempat tinggalnya dahulu.

            Laut selalu biru. Matahari berwarna kuning cerah, terkadang berubah oranye, atau berubah menjadi hitam ketika gerhana. Daun berwarna hijau, ada yang kuning, ada yang berwarna coklat karena meranggas. Semua benda yang Rais lihat pasti memiliki warna pada setiap bentuknya. semua memiliki ciri khas tersendiri untuk di manfaatkan oleh manusia.
***

“Pak, saya ingin melamar kerja di pabrik ini. Kemarin saya sudah kirim email ke perusahaan ini” kata Rais kepada seorang satpam yang tengah menjaga pintu masuk pabrik.
“baik tunggu sebentar ya” sang satpam menelpon bagian RnD untuk mengabarkan calon pekerja baru. “mohon untuk menunggu di ruang pelayanan terlebih dahulu, nanti lurus, belok kanan jalan terus kira-kira sepuluh meter, lalu balik kanan, maju lagi sepuluh meter, nanti kamu sudah sampai di tempat itu”
Rais berpikir sejenak “bukannya saya bakal balik lagi ke tempat awal pak?”
“hwahahaha, maf-maaf saya tadi bercanda, ruangan tepat berada di depan, kamu bisa tunggu dulu disitu” kata pak satpam sambil mempersilakan Rais untuk masuk ke ruang pelayanan.

            Lama menunggu hingga pengeras suara memanggilnya menuju ke pintu RnD. Ruangan itu ber AC dan tampak elegan. Tidak seperti pemandangan di luar pabrik yang penuh dengan tumbuhan dan bau tembakau kering.

Rais duduk di bangku panas tersebut. Meski udara sekitar ruangan begitu dingin, entah mengapa kursi yang di dudukinya terasa panas.

“Jelaskan profil diri anda secara singkat dan lengkap” kata mas-mas bermata tajam itu. Dia tak serta merta memperkenalkan diri, namun langsung mengorek info pribadi Rais.
“Nama Rais Alam, tinggal di pulau Ulu-ulu seberang sana, umur 17 tahun, pengalaman bekerja di ladang bapak, tidak tamat SMP, pernah menjuarai lomba balap karung antar RT, pernah juga menjuarai lomba bertumbuk antar kelas waktu SD, tidak ada yang bisa saya banggakan selain tubuh lengkap yang siap melakukan pekerjaan apapun di pabrik ini”
“apa alasan nak Rais ingin bekerja di pabrik ini?”
“saya ingin berguna di pabrik rokok ini. Melancarkan usahanya supaya rokok-rokok yang terjual bisa bermanfaat bagi mereka yang ingin cepat mati di luar sana”
“hahaha, alasan yang menarik. Anda perokok?”
“tidak, tapi saya suka ngemut puntung rokoknya, karena ada manis-manisnya”
“okey, saya sudah menerima infonya. Saya akan kabari lagi lewat Email yang akan dikirim tiga hari lagi”
“baik pak terimakasih”
Mereka berdua bersalaman, Rais berlalu pergi untuk menemukan masjid tempat dia tinggal selama tiga hari.
***

            Setelah mengecek email di warnet, ternyata Rais di terima dan bisa bekerja mulai besok, dirinya berada di bagian mengurusi pengangkatan rokok menuju ke tempat pengemasan. Sift kerjanya malam hari dari jam 5 sore sampai jam 9 malam.

            Rais menjalani hari-harinya bekerja di pabrik rokok dengan perasaan yang Bahagia, mengirim uang hasil jerih payahnya selama ini kepada kedua orang tua, bahkan hasil rokok bonus yang selalu di terimanya perbulan Rais berikan kepada ayahnya yang memang seorang pecandu rokok.

            Karena hasil kerja yang memuaskan, dalam kurun waktu satu tahun Rais di angkat menjadi kepala divisi pengangkutan barang. Semangatnya sangat di contoh para pekerja lain di pabrik itu. Rais ingin agar rokok-rokok ini bisa terdistribusi dengan baik. Supaya para penikmat rokok tidak pada sakau karena kehabisan stok. Dia menjamin rokok-rokok ini akan sampai kepada mereka yang menginginkannya.

            Semua berjalan lancar, keuntungan perusahaan meningkat pesat. Tak ada yang membantah bahkan mendukung ketika di tahun kedua Rais menjadi manajer di perusahaan itu. Rais pun tanpa sadar juga tak membayangkan posisinya saat ini. Dia hanya berkerja tak kenal Lelah dan dengan senang hati menerima tugas tanpa beban. Hingga sang bos saat itu ingin membuka pabrik cabang baru. Dan menginginkan Rais lah yang memegang kendali di perusahaan tersebut.

“hai, halo” sapa sang bos kala itu.
“ah pak bos, ada yang bisa saya bantu?” jawab Rais sopan.
“begini, berhubung saya akan membuka cabang baru di daerah pulau tempat tinggal nak Rais, saya ingin menembusi kamu untuk menjadi manajer utama di perusahaan tersebut. Bagaimana?”
Rais berpikir sejenak, tidak terlihat kaget dengan tawaran sang bos kala itu, bahkan kemungkinan Rais sudah menebak bahwa dialah yang pastinya akan terpilih “gimana ya bos…”
“lha gimana, apa kamu ragu untuk menjadi pemimpin di sana?”

Rais menangguk sambil tersenyum masam “saya merasa tidak pantas menjabat disana, saya rasa kemampuan saya tidak akan cocok berada disitu, toh masih banyak orang lain yang lebih berkompeten. Bukan seperti saya yang hanya seorang lulusan SMP”

“mengapa? Bukankah hasil kerjamu sangat baik selama dua tahun terakhir?”
“Tidak ada yang baik ketika saya tidak bisa membuat yang lain merasa nyaman. Mereka bisa lebih bersatu dan berbuat lebih baik ketika saya tidak ada. Justru karena adanya saya melah menjadi penghalang bagi perusahaan untuk bisa lebih maju”
“mengapa nak Rais bisa berpikir seperti itu?”
“Dari pengamatan selama ini. Saya merasa tidak sefrekuensi. Jika memang hasil kinerjaku bagus, itu toh juga karena mereka. Pada akhirnya saya tidak bisa berbuat apa-apa, tak mampu melakukan apa-apa. Hanya berujung kegagalan yang nantinya akan memberatkan perusahaan ini”
“nak Rais pingin resign?”
“ya”




Surakarta, 22 Desember 2019

M         H         A

Sabtu, 21 Desember 2019

Hakikat manajemen strategis



           Pada dasarnya manajemen strategis adalah kepintaran dalam penempatkan posisi yang ideal, memperhitungkan gerak pesaing, kemudian menentukan langkah taktis agar bisa unggul dari pesaing. Simpelnya adalah, cara agar posisi kita bisa lebih unggul dari pesaing. Kenapa bisa di sebut strategis? Karena peranan tersebut menentukan tata tempat yang tepat untuk menghasilkan nilai maksimal dari hasil usaha yang di kembangkan.

            Hal lain yang harus di perhatikan adalah dimana seorang manajer dalam mengintegrasikan sesuatu. Terutama pemanfaatan peluang sekecil apapun secara maksimal. Mengelola weakness dan threat secara seksama, serta mengintegrasikan segala macam strength dan Opportunity untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.

            Perencanaan sangat penting, tindakan tanpa rencana adalah sebuah kesia-siaan. Rencana strategis di buat untuk meminimalkan kerugian demi memaksimalkan keuntungan. Memilih positioning yang tepat agar perusahaan bisa lebih unggul dari perusahaan lainnya.

Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap: perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.

Perumusan strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih strategi tertentu untuk dikejar.

Implementasi strategi membutuhkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, menyusun kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang dirumuskan dapat dijalankan.

Evaluasi strategi adalah tahap terakhir dalam manajemen strategis. Manajer sangat perlu tahu kapan strategi tertentu tidak berfungsi dengan baik; evaluasi strategi adalah cara utama untuk mendapatkan informasi ini. Semua strategi dapat dimodifikasi di masa depan karena faktor eksternal dan internal terus berubah. Tiga kegiatan evaluasi strategi mendasar adalah (1) meninjau faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar untuk strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan (3) mengambil tindakan korektif.

            Dalam menerapkan manajemen strategis, tidak hanya dibutuhkan peramalan, analisis, supply information dan penghitungan akurat. Perlu adanya intuisi dan pengalaman lapangan untuk memaksimalkan hasil yang diinginkan. Seorang manajer dan pemimpin hebat memiliki intuisi yang tajam untuk menilai keadaan dimana mereka harus memilih di antara banyak alternative pilihan. Mereka dapat meminimalkan resiko serta sangat akurat dalam menetapkan tujuan. Semua kehebatan intuisi itu didasarkan atas berbagai pengalaman kerja di lapangan. Tidak serta merta hanya sebatas teoritis saja.

            mengapa intuisi sangat berperan disini? Karena manajemen tidaklah murni ilmu eksak 100%, terdapat seni dalam menjalankan manajerial selain analisis teori yang sering tertera di buku-buku pelajaran sekolah. karena disini terdapat banyak ketidak pastian dari berbagai peristiwa random yang akan dihadapi oleh para manajer perusahaan. Berbagai angka, grafik, serta peramalan strategis di buat untuk membantu lebih menguraikan kerumitan dan ke random-an itu untuk menjadi lebih mudah dalam proses pengambilan keputusan.

            Salah satu cara agar perusahaan tetap berada dalam posisi yang strategis adalah selalu berani mengambil langkah dalam tiap perubahan yang ada, entah itu harus belok, tetap lurus, bahkan ada saatnya mengerem dan tancap gas. Semua itu manajer yang memutuskan. Untuk itu, perlu adanya perencanaan serta manajemen strategis untuk membuat pilihan dari dalam maupun dari luar perusahaan.

Kumpulan Cerpen; Manusia


       Manusia adalah makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang diberikan anugrah kesempur-naan akal dan Nurani. Sanggup berpikir logis serta berkembang sesuai dengan pola pikir yang herarkis. Manusia adalah makhluk yang ditugaskan untuk memimpin bumi. Manusia pula yang bertugas untuk menjaga, mengayomi, saling berkasih sayang, rukun, serta saling menolong dalam menjalani kehidupan. Manusia pada hakikatnya baik, tidak sombong, dan rajin menabung. Tapi…

“Manusia adalah sampah!” Bentak Firnas.
“Hei jaga bicaramu. Kamu itu juga manusia bang***!”
“aku mengakui diriku ini sampah! Aku bicara begini karena pada kenyataannya manusia adalah makhluk egois yang mengedepankan hawa nafsu, suka memakan sesama, serta sering menindas tanpa pandang upil!”
Aku terhenyak, tak kusangka pikiran temanku tiba-tiba menjadi seliar ini. Apa karena semalam habis nonton film ‘Boker’?
“dengar baik-baik Firnas, tak semua manusia itu memiliki sifat yang kamu sebutkan tadi. Ada manusia baik, ada manusia yang cinta pada sesama, suka menolong, dan welas asih ing tataning jagad
“bodo amat, pada kenyataannya setiap manusia yang aku temui hatinya sudah tidak murni, mereka penuh keserakahan serta suka merusak”
Firnas berlalu dengan perasaan jengkel. Setiap manusia yang bertemu pandang dengannya langsung di pelototi tanpa ampun.

            Dari kemarin Firnas tidak menampakkan batang hidungnya di kelas. hari ini juga dia tidak masuk. Banyak yang bertanya, mengapa anak serajin Firnas. Yang dari kelas satu sampai dua tidak pernah bolos, bahkan absennya 100 persen lengkap. Rela datang walau sedang malaria. Semangatnya untuk bersekolah dibilang paling top se-saentro jawa tengah. Namun sekarang karena tanpa alasan yang jelas, Firnas alpha untuk menghadiri kelas. Padahal hari ini ada kuis penting yang akan menjadi penambah nilai UAS nanti.

“kamu tau firnas dimana Mul?” tanya Sinti.
“aku ngga tau” jawabku “Mungkin sekarang dia sedang merenung dengan pikirannya”
“apa maksudmu?”
“Firnas sedang mengalami masa-masa kedewasaan. Santai saja, semoga hari-hari selanjutnya dia bisa kembali normal”
Sinti mengangguk senang.

            Seminggu berlalu, tak banyak perubahan yang terjadi pada hidup. Yang ada hanya keluhan karena UAS sebentar lagi akan hadir. Semua bersiap untuk belajar. Ada juga yang sans dan menganggap hal ini sepele, karena pada akhirnya mereka toh juga nyontek. Ada yang putus asa dan memilih ngegame.

“aku khawatir, Firnas seminggu ini tidak ada kabar” kata Michael.
“aku juga” aku takut Firnas terlalu berat memikirkan hakikat manusia. Karena aku juga manusia, terkadang bertanya tentang apa artinya menjadi manusia yang sesungguhnya. Mengapa aku menjadi manusia? dan apa fungsi ketika aku menjadi manusia? Apakah sudah sinkron dengan pernyataan yang selama ini sering kudengar selama hidup. Ataukan selama ini tanpa sadar aku sedang berpaling dari difinisi manusia yang selama ini ku ketahui.
“bu guru bilang Firnas mengalami panas demam tinggi. Beberapa orang berkunjung ke rumahnya tapi Firnas tidak mau ditemui”
“habis pulang sekolah, sore ini aku akan ke rumahnya”

            Seperti biasa sang ibu berkata jika Firnas tidak mau menemuiku, padahal aku terhitung sahabat dekat Firnas.

“apakah Firnas benar-benar sakit bu? Apakah selama seminggu ini sudah di periksa ke dokter?”
“sudah nak Mul, tapi nak Firnas tidak mau dirawat di rumah sakit, hanya mau di rawat di rumah”
“bolehkah saya masuk meski tidak diijinkan Firnas? saya sebagai teman dekatnya merasa khawatir dengan kondisinya”
Sang ibu berpikir sejenak, lalu mempersilakan aku masuk. Membukakan kamar Firnas, saat itu Dia masih rebahan di Kasur, dengan memegang sebuah buku. Firnas memang seorang yang suka membaca buku, entah sudah berapa banyak buku yang telah dibacanya.
“Firnas” sapaku padanya. Dia melirikku sekilas. Kemudian matanya kembali terlarut dalam buku bacaan.
“silakan masuk, saya siapkan teh anget dulu ya”
“ah ngga usah repot-repot bu” tolakku dengan halus
“ngga papa, anggap saja rumah sendiri” sang ibu lekas ke dapur untuk menyiapkan minumanku
Aku duduk di samping Firnas yang terbaring di Kasur.

“maaf karena memaksa masuk”
“ya” jawabnya singkat.
“apakah sakitmu sudah mendingan?”
“masih sama seperti sebelumnya”
“meski sudah diminumi obat?”
“aku ngga suka obat”
Dia masih membaca buku itu, aku melihat kover bukunya berjudul ‘icha-icha paradise vol 2, limited edition
“kamu suka banget buku itu ya?” aku sebenarnya ingin tertawa, hanya saja melihat kondisi dan mental Firnas membuatku tidak jadi melontarkan tawaku.
“yap”
Ibu Firnas datang kembali untuk mengantarkan teh anget padaku
“terimakasih”
Sang ibu tersenyum kemudian meninggalkan kami berdua kembali.
“apa kamu masih memikirkan tentang manusia?”
Firnas diam sejenak. Menutup bukunya kemudian bangkit mengambil posisi duduk. Dia agak kesulitan, aku membantunya agar bisa tegap duduk.
“aku selalu memikirkannya, tentang manusia, dan itu tidak ada habisnya”
“mengapa berpikir tentang manusia sangat penting bagimu? Bahkan diluar sana mereka bodo amat, yang penting bisa menjalani hidup dengan fun and happy
“aku takut ketika aku tidak mengerti akan menjadi manusia, kedepannya aku tidak akan menjadi manusia” katanya.
“maksudmu?”
“meski tubuhku ini manusia, aku takut perilakuku tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya”

Aku terdiam sejenak. Selama ini aku tidak pernah berpikir menjadi manusia memiliki beban yang begitu berat. Bahkan hanya untuk menjabarkan dan menelaah definisinya saja membuat temanku Firnas sampai vakum sekolah selama seminggu disertai demam tinggi.

“apakah kamu tahu mengapa manusia selalu ingin menang sendiri, ingin berkuasa, merendahkan yang lain serta berbangga pada diri sendiri, seakan dirinya yang terbaik, seakan semua yang berbeda darinya adalah musuh, semua yang mendukungnya adalah teman, semua yang dianggapnya tak enak dipandang harus dihindari, sedangkan yang memanjakan mata selalu di dekati, yang tak berguna di abaikan, sedangkan mereka yang berprestasi akan di banggakan”
“itu sudah sifat dasar manusia”
“manusia memang selalu memilih hal terbaik untuk dirinya, berusaha meminimalkan resiko dengan mendapat keuntungan yang besar, lebih mengharapkan hasil pasti dan cepat walau sedikit, ketimbang hasil berlimpah di masa datang namun samar”
“lalu apa yang kamu permasalahkan?”
“aku hanya tidak ingin menjadi seperti itu”
“bukankah dulu kamu memang tidak seperti itu?”
“yah, tapi lingkungan membuatku menjadi seperti itu. aku sangat frustasi dengan para manusia yang tidak tahu apa saja yang diharapkan ketika menjadi manusia. Itulah yang membuatku semakin lama semakin menjauhi sisi kemanusiaan. Bahkan sekarang masihkah aku menjadi seorang manusia. Ataukah gelar manusia ini hanya sebatas tubuh yang melekat pada jiwa ini”
“manusia ya…”
“sampai sekarang aku tak bisa menemukan solusinya. Karena tak semua orang akan memikirkan hal yang sama, seperti katamu tadi, bahkan ada yang masa bodoh jika dirinya itu sebenarnya manusia”

            Firnas merasa terombang-ambing dengan perasaan yang selama ini dirasakannya. Semakin dewasa manusia dituntut bisa menentukan sikap yang tepat dalam menjalani kehidupan. Jika salah bergerak itu akan menimbulkan banyak penyesalan. Dan waktu tak akan bisa diulang untuk membenarkan kejadian yang telah terjadi. Aku beruntung bisa merasakan dan mendalami hal ini sebelum masa tuaku. Setidaknya, aku bisa mengerti perasaan dari sahabatku yang selama ini tengah galau memikirkan nasib akan eksistensi manusia selama ini. Terutama dirinya dalam menjalani harinya sebagai seorang manusia.

“itu tandanya kamu sudah dewasa Firnas, kamu harus bersyukur karena bisa memikirkan hal ini lebih cepat dari orang lain seumuranmu”
“bersyukur?”
“ya”
“bagaimana caraku untuk bisa bersyukur?”
“jadilah manusia seutuhnya. Manusia yang membantu sesama, suka menolong, welas asih ing tataning jagad



Surakarta, 21 Desember 2019

M         H         A

Rabu, 27 November 2019

Kumpulan Cerpen; Datar



            “Apa yang membedakan hari ini dengan hari lalu?” Tanya Budiawan.
“kemarin hari rabu, sekarang hari kamis?” Jawabku.
“ya, tapi bukan Cuma itu cuy?” dia Nampak girang, ingin mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan semenjam satu jam yang lalu. Setidaknya aku sudah menebak isi kepalanya.
“kemarin cintaku di terima! Gila ga sih? Padahal aku Cuma keceplosan!”
Aku mencoba ikut berbahagia, memberikan setidaknya senyum renyah sebagai bentuk apresiasi atas capaian yang dia dapat. Inilah yang menjadi jawaban mengapa dia mentraktirku mie ayam siang ini.
“Dan ternyata selama ini dia juga memendam rasa sama aku! Aduh, jika saja aku lebih cepat menyatakan cintaku…”
well, lalu apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
“nanti hari sabtu cuy, aku ada first date bareng dia, bakal aku baca berbagai tutorial kencan agar kesan pertamaku baik ke dia”
“semoga sukses, tapi jangan sampe kelewat batas ya”
“tenang saja bor, pacaranku lebih mengarah untuk menjaga dia, kencan kami ini bakalan syar’i kok”
***

“mas, ingin cendol dawet?”
“yah, saya beli satu”
Dengan ekpresi senang pedagang itu membuatkan ku satu gelas cendol yang kupesan. Membuatnya dengan lincah, menandakan pengalamannya dalam membuat minuman cendol dawet. Segelas cendol dawet tersaji di hadapanku.
“terimakasih”
“siap mas”

Mungkin dia sudah menjalani pekerjaan ini dengan sangat baik. Sambil memakan cendol aku masih kepikiran tentang apa yang aku hadapi saat ini. Tak ada rasa, tak berasa, hambar, bahkan cendol dawet ini saja tak bisa kurasakan setengah mati, padahal lidahku ini normal. Tak ada rasa, bagaik meminum air putih.

“ada apa mas, apa rasanya kurang enak?” rupanya bapak itu melihat raut mukaku yang masam
“tidak kok, rasanya enak” aku harus menipunya untuk mengenmabalikan senyumnya yang hilang lima detik yang lalu.

            Melihat orang yang sedang tersandung. Melihat seorang yang menangis, anak-anak yang nakal dan membully seorang anak yang lain. semua itu terkesan biasa di mataku. Semua seakan tidak ada artinya, tidak ada hablumnya. Bahkan ketika diriku sedang bergurau dengan orang lain. aku tidak menemukan sensasi tawa yang ada dalam setiap jokes nya. Sama sekali tidak.

“tadi sepertinya kamu memaksakan tawamu, apakah guyonan kami tadi segaring itu?” tanya rasya, dia sangat teliti sampai bisa merasakan ekspresi yang telah kusembunyikan
“tidak. Guyonan kalian sangat lucu, mengalahkn juara 1 stand up comedy”
“tapi, kenapa kamu tidak tertawa seperti biasanya? Apakah kamu memiliki masalah yang ingin kamu sharing denganku disini” pintanya sekali lagi. Dia memang orang yang sangat bisa membaca orang lain.
“tidak ada, aku tidak memiliki masalah, ataupun beban yang harus dipikirkan hingga otakku stress, tapi…”
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku
“aku mungkin sudah tidak bisa disebut manusia lagi”
Rasya memiringkan kepalanya, kebingungan menjabarkan kata-kataku.

            Seekor kucing yang kehilangan buntutnya, kulitnya mengelupas dan bulunya mulai rontok, seorang yang kecipratan genangan  air saat berjalan di trotoar, seorang yang kesandung, seorang yang sedang mengupil, seorang yang sedang membasuh keringat ketek, seorang yang sedang menggaruk-garuk Joni kemudian di cium, seorang yang sedang tertimpuk baseball, seorang yang sedang terkena hantaman bola di kepala. Semua tertawa, semua bisa merasakan sakitnya, malunya, lucunya, keindahannya. Namun aku lain. mengapa sekarang aku tidak merasakan hal itu?

“aneh” pikirku, seandainya ini diriku yang dulu, sudah barang tentu aku akan merasa kasihan, atau mungkin tertawa terbahak, atau menolong, atau mungkin setidaknya ikut berbela sungkawa
“ada apa denganku?”
Perasaan yang hilang, rasa empati yang sirna, semua terhempas entah kemana. Dimana aku harus mencari? Rasa yang sungguh datar, berbeda dengan diriku dulu. Waktu kecil bahkan aku bisa membedakan pola warna dari tiap agenda yang biasa kujalani, penuh warna dan mudah untuk di ingat. Apakah ini karena pola hidup? Tekanan hidup yang menekan sehingga lantas membuatku masa bodoh dan kehilangan tekanan itu? tekanan yang menyesakkan hati. Sebuah intens yang kadangkala membuatku khawatir sampai tidak bisa tidur pada malam hari. Namun sekarang segala tekanan itu serasa biasa, segala keadaan itu serasa ampas. Tak penting.

“kenapa kamu tidak mau membantunya? Apakah kamu hanya mau diam disana dan melihat” tanya seorang ibu-ibu ketika di hadapanku terjadi kecelakaan beruntun.
Lamunanku terbuyar. Orang-orang banyak berhamburan ke lokasi kejadian. Membantu mereka yang terjepit, mengevakuasi para korban yang luka-luka. Mengkondisikan lokasi yang kacau balau. Mengatur jalan raya agar tidak macet parah.

“ketika ada kejadian seperti itu, kamu masih bisa-bisanya diam?”
Aku mengangguk
“Dimana hati nuranimu? Dimana empatimu? Dimana sisi kemanusiaanmu!?”
“sudah hilang, dan yang menghilangkannya tak lain manusia itu sendiri”


Surakarta, 28 November 2019

M         H         A

Rabu, 06 November 2019

Kumpulan Cerpen ; 21



Waktu semakin menipis, Raga semakin tergerus. Tak terasa, tak berasa, tak kuasa, merasa asa ini tak bisa lagi di perjuangkan. Menyalakan lentera, mengusir kegelapan yang seketika lenyap tersapu cahaya kuning kemerahan. Jalan yang ditempuh tak selamanya benar, yang ada hanyalah arah yang sebenarnya sudah di rancang. Namun sulit untuk bisa berjalan pada sebongkah aspal kecil yang tertera di depan, apakah ini jalan yang benar? karena jalan yang benar bukan berarti itu selalu sempit, kadang luas, hanya saja kita belum menemukannya.

“gimana? Motor lu bisa lewat ga?”
“mustahil, kalaupun bisa, itupun pasti esoknya motorku harus di servis karena jalanan yang begitu terjal”
“gapapa, ketimbang ga sampek tujuan, lagian lo harus kuliah besok. Masalah servis motor paling Cuma nunggu ngga ada tiga jam, kalo ga rame” Jelas Sudirjo.

Aku mengangguk setuju. Besok ada kuliah, dan aku harus menghadiri sesi itu untuk partisipasi kehadiran 75 persen. Ngga masuk sekali maka pupus sudah, mau tak mau harus mengulang lagi di semester selanjutnya.

            Aku beranikan diri melawati jalan itu, sebuah jalan yang harusnya tengah di perbaiki. Tak ada jalan lain selain jalan itu. padahal kedua orang tuaku sudah menyuruh untuk izin saja dan menghendaki agar berangkat kuliah pekan depan.

“tidak bisa, aku ingin menggali ilmu di kuliah, aku yakin itu masih worth it, dan masih diperlukan di dunia ini, tinggal bagaimana cara kita mengembangkan dan mempraktekkan ilmu itu di kehidupan nyata” jawabku seketika membantah mereka yang bilang kuliah itu buang-buang waktu, meski pada dasarnya memang iya. Karena alasan terselubungku adalah agar tidak alpha untuk yang ke empat kalinya.

            Hari berganti. Motorku benar-benar K.O. dan harus menjalani masa rehabilitasi selama empat jam di bengkel. Akhirnya memesan ojek online, sampai di kelas tepat waktu. Menyapa beberapa teman kemudian menikmati perkuliahan dengan seksama.

“ada yang janggal. Tak biasanya kamu kesini tepat waktu”
“biasanya kamu ke kunci di luar kelas kan. hebat banget bisa datang paling pagi di kelas?”
mereka tersenyum sinis, berusaha mengejek denga kata-kata santuy yang menghujam tajam ke dalam jiwa.
***


            Kelas selesai. Semua kembali seperti semula. Tersisa waktu setengah jam sampai motorku selesai di reparasi.

“mas, ini motormu sering kamu ajak trill2an to?” tanya bang Tubeless
“ndak mas. Cuma kemarin aja agak kurang beruntung harus lewatin jalan jelek”
“soalnya ini motor tua mas. Kalau ndak di rawat baik-baik bakal mati kayak kentut”
“iya mas saya tau”
Mulai saat itu aku paham bahwa benda harus di rawat dengan sebaik baiknya.
***


            Manusia. Begitulah kata orang-orang. mereka selalu mengingat hidup tanpa mengingat mati. Selalu merasa nikmat kadang merasa sakit. Membayangkan jika segala rasa sakit yang di dapat lebih perih dari orang lain. Tanpa peduli rasa sakit orang lain. dan begitu abai dengan nikmat yang selalu di terima setiap hari. Kesadaran itu berdampak pada tindakan, yang di olah dalam persepsi bawah sadar. Itu menjadi pokok dasar tolak ukur orang itu sukses atau tidak.

            Seseorang nongkrong di kolong jembatan. Para kere itu, mengapa mereka bisa menetap disana? Para politikus, para insinyur, para anggota dewan yang memiliki berbagai macam kekayaan. Mereka juga berposisi dan nongkrong di Gedung-gedung mewah. Orang-orang pintar, orang-orang goblok, orang terpelajar, maupun yang kurang ajar. Mereka semua nongkrong di tempat masing-masing. Di tempat-tempat yang telah di tentukan. Di sesuaikan dengan adil menurut dengan kapasitasnya. Namun banyak orang menganggap nya tidak adil. Lantas kenapa?

Mereka yang miskin membelot dan gusar. Merasa marah atas keadaan mereka yang serba kekurangan. Mereka yang kurang ajar frustasi. Merasa tersakiti dan hidup serasa seperti amplas kopling. Para terpelajar sambat, merasa hidupnya monoton, taka da gairah, dan ujung-ujungnya hanya bisa jadi pesuruh kerja. Para politikus, mereka nyaman, Cuma segala macam rasa khawatir selalu hinggap di dada mereka akibat tekanan-tekanan dari para invisible hand.

            Serasa tidak ada sama sekali nikmat. Seakan nikmat begitu mahal dirasakan di kehidupan sehari-hari. Seakan nikmat itu barang langka yang jarang di dapat semua orang. padahal mereka bisa saja merasakan nikmat itu di sekitar. Jika mereka sadar bahwa hanya dengan menghirup dan menghembuskan nafas saja itu merupakan salah satu nikmat. Hanya saja mereka tidak menyadarinya.

            Mereka hanya terlambat menyadari. Ketika mereka sadar mereka baru tahu kalau itu sudah terlambat. Terlambat akan satu hal yang membuat mereka berpaling dari kenyataan. Menuju dalam kesemuan yang mereka anggap itu nyata. Sesuatu yang melalaikan, bahkan membuat diri tak kuasa berpaling darinya.

“akan kuberi tahu apa yang Namanya penderitaan”
“aku sudah sering mengalaminya”
“seberapa sakit itu?”
“tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Tapi aku yakin setiap orang pasti memiliki deritanya masing-masing. Itulah cobaan, itulah pembelajaran. Yang kutahu itu membuatku semakin dewasa dan tegar menjalani hidup”
“mungkinkah begitu? Apa kau bisa merasakan mereka yang dilibas oleh berbagai penderitaan tiada akhir”
“aku bisa membayangkannya. Aku juga banyak melihatnya, mendengar ceritanya, mendengar jeritannya, rintihannya, melihat peluhnya, sakitnya, semua”

Melihat realitas sekarang begitu pelik. Tak semua kebaikan masuk hanya dengan di sampaikan. Tampilan ternyata sangat berpengaruh. Kalian bisa membuktikan itu melalui perbuatan. Tapi perbuatan itu tak melulu bisa dilakukan setiap waktu.

Ini kesekian kalinya aku menemukan diri berbalut amarah. Ingin rasanya melampiaskan tapi diri berusaha agar tetap sabar. Segala tanggungan yang luar biasa. Terus menderu bagai peluru yang menyasar ke berbagai tempat.

Beberapa hari menjelang. Memang seperti tidak ada penyelesaian yang berarti. Sebenarnya aku tahu mengapa masalah ini bisa terjadi. Bahkan aku tahu cara penangan yang sekiranya tepat untuk mengatasi segala macam problem yang menderu. Hanya saja tubuh ini tak sepakat dengan apa yang ada dalam pikiranku, walhasil dampak dan perbuatan berbeda dari apa yang di hasilkan oleh pikiran

“itu membuatku frustasi. Pantas saja katingku dulu sampai keluar. Padahal kutahu dia sedang mendapatkan tempat yang nyaman. Menghilang seperti di telan bumi”
“yah, aku juga tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan sesuatu yang sebisa mungkin itu akan menghasilkan dampak yang besar”
“kau pikir apa yang membuat sebuah organisasi, komunitas atau kumpulan itu bubar dan tak membekas”
“karena mereka tak menghasilkan output. Kalaupun ada itu tak seberapa. Atau mungkin itu adalah output yang dipaksakan”
“hmm, seseorang yang tidak melihat hasil apapun disitu. Namun disitu aku melihat hasil yang banyak. Hanya saja disitu juga terjadi banyak penyimpangan. Kenapa?”
“bukankah dirimu juga? Tidak bisa menjaga yang harusnya kau jaga?”
“memang benar. aku tidak bisa mengelaknya lagi. Itu sudah terjadi di depan mataku dan aku tahu itu semua bermula dari diri ini”
“lantas apa yang membuatmu marah ketika itu salahmu sendiri?”
“aku marah pada diriku sendiri”



Surakarta, 6 November 2019

M         H         A

Selasa, 05 November 2019

Kumpulan Cerpen ; SADTO



            Terlihat ambigu, berbagai hal buruk mulai berdatangan satu demi satu. Tak hanya berdampak dari diri Sadto sendiri, namun juga berdampak buruk bagi orang lain. Apakah karena manusia itu makhluk sosial? Sehingga dampak buruk itu bisa terbagi, menyatu, berpadu, dan berkesinambungan bagai domino.

            Sadto terlihat lesu, lemas, dan lelah dengan apa yang terjadi. Sudah berapa banyak orang yang dikecewakan. Awalnya Sadto berpikir jika kesialan itu akan mengena pada diri sendiri, nyatanya hal itu berdampak juga pada orang-orang yang ada di sekililingnya. Sadto tidak ingin hal ini terus berlanjut. Membiarkan orang tak bersalah terkena imbas atas tingkah laku Sadto.
“Mengapa kami saling terhubung? Apa yang membuat segala tindakanku berefek pula pada orang lain?” Sadto tak habis pikir. Dia pandang anak-anak sedang berlari mengejar layangan putus. Entah apa yang merasuki jiwa anak-anak itu sehingga membuat mereka lari tunggang langgang hanya untuk mendapatkan layangan putus seharga seribu rupiah.

            Tak heran Sadto saat ini tengah di jauhi banyak orang. Menghindari kesialan yang kerap kali didapatkan ketika berada di dekat Sadto. Sadto bukannya marah justru malah senang, karena korban kesialannya akan berkurang. Menerima kondisi ini merupakan pilihan bijak. Tidak melibatkan orang lain dalam masalah adalah pilihan terbaik yang bisa Sadto lakukan.
“Sadto kurang ajar, lain kali aku ngga mau sekelompok sama kamu”
Sadto hanya bisa menunduk tak berdaya, pasrah menerima lontaran kata pedas atas ketidak bertanggungjawabannya. Cacian dan cibiran memang layak untuk Sadto dapatkan.
“Gara-gara kamu nilai kami jadi jelek tau nggak, kalau mau males-malesan jangan sampe yang lain kena imbasnya dong. Simpan masalahmu sendiri”
Lalu mereka berdua pergi meninggalkan Sadto yang masih terduduk kaku disitu. Termenung menatap layar smartphone untuk mendapatkan sinyal wifi. Beberapa rekannya yang lain juga Nampak tak ingin mendekati Sadto.
***

            Sampailah Sato di tempat yang sepi.

“rasanya aku ingin sekali menghindari orang-orang. Menentramkan diri dalam kesendirian batin, ditemani dentuman music mellow, bagai seorang ampas yang telah kehilangan sari-sari kehidupannya”

Pepohonan rimbun kala itu membawa beberapa nyamuk yang kemudian menggigit Sadto. Sadto tak peduli lekas mempersilakan mereka meminum darahnya. Dia tak ingin mencari gara-gara dengan kerumunan nyamuk itu, apalagi untuk fokus menamplek para nyamuk itu gara mati berdarah-darah di telapak tangan. Sadto hanya pasrah saja sambil menyesali perbuatannya.

            Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Sadto masih berada disitu. Data Ponsel ia matikan untuk menghilangkan keberadaannya dari orang-orang. Dia tidak ingin diganggu pada saat ini. Meskipun masih ada banyak tugas yang menanti.

Lantas beberapa ada yang mencoba menelfonnya dengan menggunakan panggilan pulsa. Dahi Sato berkerut. Mengapa dia tidak dibiarkan untuk sendiri untuk beberapa saat.

What?

Dia membiarkan Smartphonenya berdering sendiri untuk beberapa lama. menunggu sang penelpon bosan dengan panggilannya. Setelah lima kali barulah panggilan itu berhenti. Suasana tenang kembali di dapatkan oleh Sato.

“sepertinya aku harus membangun kembali bangunan yang telah runtuh”

Sadto berfikir keras untuk bisa kembali menemukan semangatnya. Menemukan alasan yang mendasari tindakannya. Menemukan cahaya terang, yang selama ini hilang dari dalam hatinya. Dia ingin bangkit, namun tidak tahu untuk apa. Dia ingin berjuang, namun tidak tahu apa dan siapa yang harus di perjuangkan. Setelah melihat realita Sadto mulai paham, sedikit-demi sedikit itu mengikis bangunan yang telah lama di buat. Sadto menjadi luntur, lembek bagai permen karet yang di dudul sekali langsung berubah bentuk. Dia tidak memiliki pegangan yang kuat untuk melanjutkan apa yang selama ini di perjuangkan. Hingga akhirnya dia berkubang dalam lubang nestapa yang cukup dalam, dan pada saat itu orang-orang justru malah menambah bebannya dengan sampah-sampah yang di buang kelubang itu.

“jika dibiarkan maka bangunan yang selama ini kubangun akan runtuh semua, tak berbekas, rata dengan tanah”

Sudah berapa banyak kekecewaan. Dan itu dia dapatkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Namun yang membuatnya bingung adalah beberapa hal yang itu berimbas pada… pada…

“aku tak ingin membahasa itu. setiap orang memiliki penilaian dan tujuannya sendiri. Diri sendiri, eksistensi diri, merupakan tolak ukur nomor satu yang harus wajib terpenuhi. Sifat ke Akuan, ke angkuhan, kedigdayaan. ketika merasa dirugikan jelas diri akan berjuang membela dan mempertahankan diri, melampiaskan ke mereka yang bersalah, menyalahkan mereka yang tidak benar, mengutuk mereka yang menganggu kebebasannya, mengganggu eksistensinya”

“banyak orang berpikir asalkan diri mereka tidak terusik maka semua itu baik. yang jelas patokan utama adalah diri sendiri. Kepentingan diri jauh lebih baik dari pada orang lain. meski secara sadar mereka menolak argument itu, namun alam bawah sadar mereka menindak hal itu ”

Kesimpulan berani yang bisa Sadto kemukakan saat ini. Namun semua itu ada benarnya. Dia masih belum bisa membedakan, sebenarnya bisa, Cuma masih belum berani memastikan itu benar atau tidak. Bagaimana bekerja dengan hati dan bekerja hanya untuk kepentingan diri. Jika itu untuk kepentingan banyak orang mengapa tidak ada rasa keterikatan ketika menyelesaikan suatu masalah? Hanya sebatas menunggu dan membiarkan orang lain bekerja tanpa peduli dengan kondisi yang bekerja?

“itulah yang selama ini menjadi patokanku menilai kinerja mereka atas dasar kebersamaan atau kepentingan diri”

            Paksaan memang jalan terbaik untuk menimbulkan rasa tanggung jawab pada jiwa manusia. Tak ada pilihan lain selain mengikuti atau ter cap sebagai seorang yang tidak kompeten yang nantinya bakal di nyinyir oleh banyak orang.

“apakah hal itu termasuk dari kebersamaan kerja? Apakah itu yang Namanya menjalin hubungan baik antar sesama manusia? Menyalahkan atas dasar tanggung jawab tanpa peduli subjek yang melaksanakan tanggung jawab?  bahkan selama ini dia hanya melihat dari kejauhan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mau tahu asalkan kerjaan berjalan dengan baik, baru mau tahu ketika semua sudah terlambat untuk di ubah lagi”
“Statementku barusan tidak lain hanyalah pembelaan belaka. Aku tak bisa memandang secara objektif jika orang yang menjadi objek masalah adalah aku”

Memang fitrah manusia tidak ingin disalahkan. Sadto paham itu. dia tersenyum dan kembali menata pola pikirnya. Melupakan segala bentuk hambatan yang selama ini menerpa. Fokus utama Sadto adalah kembali membangun bangunan yang telah runtuh. Bukan menyalahkan mereka yang menghancurkan bangunan itu.

            Sadto berdiri. Malam sudah terlalu larut. Lampu-lampu jalan menyala semenjak tadi. Nyamuk-nyamuk menghilang karena kekenyangan menyerap darah dari Sadto. Sadto berkemas untuk kembali ke kosan. Tidak ingin berlama-lama melakukan uji nyali disitu ditemani dengan setan-setan alas.





Surakarta, November 5, 2019


M         H         A