Senin, 07 Januari 2019

Kumpulan Cerpen ; 2019



Malam ini kukenakan jaket tebal yang baru aku beli sebulan yang lalu. Rasa capek dan Lelah menggigit tiap pergelangan syaraf semenjak selesai mengikuti kegiatan keorganisasian kampus. Semua terasa linu seperti digebukin oleh ratusan masa simpatisan nasi bungkus. Sekarang Aku harus menghadiri acara yang bertempat di tawangmangu. Bergelut dengan dinginnya udara pegunungan malam untuk sampai ke seberang sana.

            Menjengkelkan? Tapi itu bukan yang aku rasakan kala itu, meski dalam keadaan setengah terpaksa, Aku sadar kalau ini adalah kewajiban yang harus di tunaikan sebagai mandat amanah organisasi. Kini Aku mulai menyalakan motor, mengenakan jaket dan helm abu-abu, sepatu karet hitam karena takut nanti ada hujan, mantol juga sudah tersedia di dalam jok motor. Suasana Solo yang panas pasti akan sangat berbeda dengan suasana puncak tawangmangu yang membekukan badan. Bersiap semenjak dini walau sekarang rasanya amat sumuk karena terlalu banyak mengenakan pakaian tebal.

            Melewati lima kilometer pertama, Aku melihat google maps. Jarak yang harus di tempuh kurang lebih empat puluh kilometer lagi. Lumayan. Yang Aku khawatirkan bukanlah kegelapan, tapi kantuk yang menyerang tiba-tiba, semoga suasana dingin bisa mengantisipasi hal itu. Sebagai sarana lain untuk mengatasi kantuk, Aku mengenakan earphone di telinga, mendengarkan music kesukaan keras-keras supaya konsentrasi tetap terjaga.

            Dahulu, mungkin sekitar lima hari yang lalu. Masih teringat dalam kenangan, berpartisipasi dalam menyambut tahun baru Bersama teman-teman. Waktu begitu cepat terlewati hingga tak sadar 2019 telah hadir menendang masa lalu. Awalnya ingin berniat untuk berbenah, hingga membikin resolusi 2018 berubah menjadi lebih baik. Nyatanya itu tak terealisasi dan harus rela mundur ke resolusi di tahun 2019. Aku hanya tersenyum renyah, terundur hingga satu tahun itu bukan perkara bagus. Tapi inilah yang terjadi, entah sampai kapan hal ini selalu mundur dan mundur, kuharap aku tidak menunggu sampai mati.

            Menyusuri kenangan di akhir bulan Desember. Temanku dari bandung datang menghampiri kosanku. Niatnya ngajak main sekaligus melihat moment pergantian tahun di jogja, sekaligus silaturahmi dengan salah satu sahabatku disana. lagipula Aku juga belum sekalipun melihat moment itu semenjak kelas lima SD. Jadi dengan niat yang menggebu Aku dan Faiz berencana bukan merayakan, mungkin lebih tepatnya hanya sekedar berpartisipasi melihat bagaimana pola orang-orang dalam menyambut tahun baru.

            Di jogja aku menginap di Kos salah seorang temanku, namanya rohman. Dia sekalian bakal di ajak ke sana, ke malioboro melihat ratusan kembang api yang menyala di gelap malam. Tanpa pikir panjang Dia ikut. Karena toh sekarang memang jarang kita bisa berkumpul bersama seperti masa SMA dulu. Aku sempat berfikir bahwasanya ini akan menguras kocek cukup dalam. Tapi untuk kali ini mungkin tak masalah, sekali-sekali.

            Lampu merah sudah berubah hijau. Aku kembali mengegas motor dan memasang kopling ke gear dua kemudian tiga. Berusaha berkendara dengan santai berkecepatan 60 Km/ jam. Jam telah menunjuk pukul 23.30. waktu cukup larut dan jalanan ke tawangmangu sudah sangat sepi. Dingin mulai menyusup ke dalam jaket dari ujung pergelangan tangan. Seperti dugaan bahwa udara akan semakin dingin. Tanjakan mulai sering terlihat mengarah ke jalur pendakian. Mesin memanas bekerja esktra keras untuk bisa terus menanjak.

Melihat langit sesaat, terlihat bintang bertabur acak di langit. Membentuk sebuah pola-pola yang bisa dimengerti oleh ahli astronomi. Hutan belantara terpampang di sebelah kiri. Sebelah kanan terdapat jurang, namun dalam suasana terbuka seperti itu aku bisa melihat kelipan cahaya lampu kota yang berada di bawah. Terlihat seperti bintang dari atas sini. Mengagumkan. Aku terpukau beberapa saat, sambil memelankan motor untuk merasakan sensasi ini beberapa sesaat. Aku bersyukur suasana malam ini cerah, bisa berabe nanti kalau terjadi hujan, yang jelas udara pasti akan lebih dingin dari sekarang.

            Menjelang tahun baru kami bertiga menggunakan dua motor, berjalan menyusuri jalan malioboro dimana ribuan orang memadati jalanan menunggu event pergantian tahun. Pak polisi dengan segenap peralatan bersiap siaga untuk berjaga menghindari keributan. Suara kembang api menyala di mana-mana membuat pekak telinga. Langit gelap terasa terang dengan ratusan nyala kembang api yang bersautan di mana-mana.

Memang ini jauh dari kata sempurna seperti yang dilakukan di negara lain. Mungkin perlu adanya manajemen kembang api supaya proses penyalaannya tertata dengan baik serta membuat pola-pola tertentu yang epic – Walau sebenarnya sia-sia saja karena cuma berlangsung sesaat – Kalau kembang apinya dinyalakan acak seperti ini kesannya malah cuma buang-buang uang tanpa ada makna yang jelas. Itulah yang aku rasakan setelah melihat pesta kembang api pergantian tahun baru kala itu.

Ribuan orang berduyun-duyun memadati jalanan sehingga motor kami perlu untuk di parkirkan. Sesak bergerumun dengan banyak orang yang berlalu Lalang entah hanya untuk sekedar jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Kami bertiga berusaha mencari tempat di area komplek taman pintar untuk duduk-duduk disana.

Waktu sudah menunjuk pukul 00.00 dini hari. Perayaanpun dimulai. Kembang api, anak-anak yang menjebol pagar, rumput yang awalnya tidak boleh untuk di injak tapi orang-orang pada tiduran disana sambil melihat langit penuh kembang api. Sampah-sampah berserakan mengotori jalanan dan taman, harga es teh kampul yang sampai 10.000/pcs, semua itu yang aku rasakan di perayaan tahun baru malam itu. hampa, kosong, tak bertujuan, banyak aku lihat manusia dalam kegajean yang nyata. Bermain hp, bengong, ngobrol ngalur ngidul, jalan muter-muter tak tentu arah, tidur di trotoar beralas plastik bekas, itupun ngga di buang keesokan harinya. Mudhorotnya begitu besar, tak ada arti dan kesan yang berarti, toh malam berlalu seperti biasanya. Hanya berganti angka tahun dan ini yang membuat orang-orang rela merayakan hal ini dan melewatkan waktu subuhnya? Meski dalam praktiknya ini menambah rejeki para pedagang yang ada disana.

Hari kian larut dan Aku belum sampai juga. Udara semakin dingin, jaketku tak mampu membendung dinginnya bahkan telapak tanganku sudah muali mati rasa. Lampu jalan mulai jarang, sehingga jalanan hanya menyisakan lampu dari depan motorku, jarang kendaraan berlalu Lalang, banyak pohon terterta di ruas kanan kiri jalan. Jalan berliku dengan tanjakan ekstrem, membuatku hanya mempu memasang gear dua supaya motorku kuat untuk di ajak kompromi.

Aku berhenti sejenak untuk melihat maps. Untung saja sekarng ada fitur penyimpanan lokasi, meski tak ada sinyal Aku masih tetap bisa menyalakan maps. Rupanya kurang dua puluh menit. Aku menghela mafas, mengumpulkan segenap tenaga dan ambisi untuk kembali melaju menyibak jalanan yang menanjak dan berliku-liku.

Tahun baru memang tak selamanya menarik, terkadang hanya tidur nyenyak di Kasur, bermain game sampai larut, atau melakukan kegiatan yang lebih berfaedah seperti membaca, menulis, atau tilawah – Ketimbang harus mengikuti atau berpartisipasi dalam acara perayaan tahun baru – Aku akhirnya sadar setelah melihat secara langsung, betapa sia-sianya, betapa ramainya, betapa tidak ada artinya, hanya kesengan sesaat namun menimbulkan kerugian yang banyak, waktu, uang, lingkungan, semua tergerus oleh keindahan petasan yang hanya sebatas lima detik melayang di angkasa.

“Gile, hari ini uangku habis banyak banget cuy!”
“alah, sekali-sekali mah gapapa. Jarang banget lho kita bisa kumpul kayak gini, uang mah bisa dicari, tapi waktu Bersama dengan teman itu lebih mahal dari itu” sahut teman sejawatku, Faiz. Kata-katanya membuatku semakin ikhlas setelah kehilangan hampir tiga ratus ribu dalam dua hari ini.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“iya… ntar lain kali giliran aku deh yang main ke solo. Tinggal agendakan aja” sahut temanku asal jogja, Rohman. Sekarang dia kuliah di UII mengambil jurusan arsitektur.
“Wokee siap, aku tungguin nih ya. Moga aja masih di beri hidup” balasku.
Mereka mengamini bebarengan.

Kedai kopi malam ini buka hingga suntuk. Aku dan dua kawanku mengobrol ngalur ngidul tentang permasalahan hidup di kampus, baik itu pelajaran maupun organisasi yang diikuti. Perbincangan terasa hangat dan nyaman. Sambil sesekali melihat kebelakang mengenang masa SMA yang berlalu bergitu cepat.

“inget gak pas pertama kali kamu dapet ucapan cinta dari si Dia?”
“ah, itu ga penting lagi sekarang, buktinya dia udah punya pacar di kampus lain. Apanya yang katanya cinta sehidup semati. Didiemin lama aja udah nyerah nyari korban lain” sahutku jutek.
“kamunya juga ngga ngasih harapan sama sekali sih, jadinya kan dia kabur”
“tapi biarin lah, lagian aku diam juga karena ngga suka dengan egonya, menurut gossip yang aku dapet dia udah pernah pacarana puluhan kali!”
“buset dah!”
“makanya gw ogah lah nerima cewek cabe kaya gitu, ga level bro”
Perbincangan terus berlanjut hingga tak sadar kami sudah beranjak memasuki waktu subuh, melakukan sholat subuh berjamaah di masjid, kemudian kami tertidur pulas sampai siang hari. Hari itu juga kami izin balik ke kos solo dan berjanji akan bertemu lagi tahun depan. yah, kesibukan menghalangi kami untuk bertemu kesekian kalinya.

            Kesibukan hidup yang kini menjangkit mengekang tubuh. Membuat beberapa teman dekat dulu kini terasa jauh, baru tahu rasanya, betapa kangennya dengan apa yang dulu pernah tercipta, mungkinkah disaat lulus kuliah nanti, Aku juga akan merasa kangen dengan suasana kampus yang katanya enak tapi kenyataannya begitu liar seperti rimba? Saat beristri, mungkinkah Aku juga akan merasa kangen dengan masa-masa kejombloan? ketika sudah mendapat pekerjaan, mungkin Aku akan kangen dengan suasana menganggur dimana tidak ada tanggungan kerja atau lembur yang menyepetkan mata. Disaat tua, sudah barang tentu Aku akan kangen dengan indahnya kenangan masa muda yang penuh canda tawa. Dan di saat aku mati nanti…. Yah, mungkin aku akan menyesal atau kangen dengan kehidupanku yang dulu pernah aku sia-siakan.

            Sudah kah sampai? Tanyaku pada diri sendiri. Lebih jauh dari yang diduga. Awalnya kukira hanya di pertengahan saja, ternyata ini sudah jauh naik ke atas bukit. Segera Aku nyalakan kembali GPS, jaraknya tinggal dua ratus meter lagi. Maps menunjukkan jalanan kecil yang harus di lewati untuk sampai ke tujuan, meninggalkan jalan raya yang sunyi.

 Suara angin bergetar menggertak dahan. Tak kutemui orang berlalu Lalang maupun kendaraan. Semua sudah terlelap di rumah masing-masing menunggu hari esok menyingsing. Aku kembali lajukan motor. Suara eraman mesin yang panas akibat terlalu lama mendaki. Mungkin esok hari bakal aku servis, lagian waktu di jogja motor ini juga sudah aku hajar habis-habisan.

            Sesampainya di lokasi, semua telah terlelap. Aku nyalakan hp dan mencoba menelpon ketua panitia yang ada di dalam. Tak berselang lama ketua panitia memanggilku dan menyuruhku masuk ke dalam ruangan transit panitia. Udara dingin membuat seluruh tubuhnya berbalut jaket, mukanya tertutup sarung dan hanya menyisakan celah di kedua matanya.

“Masyaa Allah, kamu nekat banget sampai kesini malem-malem!?” tanya dia seakan tak percaya dengan kedatanganku.
“hehe, ngga papa, lagian saya juga datangnya telat tadi habis selesai acara kampus”
“oh gitu, ayok langsung masuk kedalam, udara di luar dingin banget”
“okey”

Aku men-standart-kan motor, menyampirkan helm di sepion, lalu masuk kedalam ruangan dengan tubuh dingin beku. tanganku kesemutan dan sangat sulit untuk di gerakkan. Untung saja disana sudah tersedia teh anget yang telah dipersiapkan untuk menghangatkan tubuhku. Aku bersyukur punya teman sebaik mereka.



7 Januari 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar