Malam ini
kukenakan jaket tebal yang baru aku beli sebulan yang lalu. Rasa capek dan
Lelah menggigit tiap pergelangan syaraf semenjak selesai mengikuti kegiatan
keorganisasian kampus. Semua terasa linu seperti digebukin oleh ratusan masa simpatisan
nasi bungkus. Sekarang Aku harus menghadiri acara yang bertempat di
tawangmangu. Bergelut dengan dinginnya udara pegunungan malam untuk sampai ke
seberang sana.
Menjengkelkan?
Tapi itu bukan yang aku rasakan kala itu, meski dalam keadaan setengah
terpaksa, Aku sadar kalau ini adalah kewajiban yang harus di tunaikan sebagai
mandat amanah organisasi. Kini Aku mulai menyalakan motor, mengenakan jaket dan
helm abu-abu, sepatu karet hitam karena takut nanti ada hujan, mantol juga
sudah tersedia di dalam jok motor. Suasana Solo yang panas pasti akan sangat
berbeda dengan suasana puncak tawangmangu yang membekukan badan. Bersiap
semenjak dini walau sekarang rasanya amat sumuk karena terlalu banyak
mengenakan pakaian tebal.
Melewati
lima kilometer pertama, Aku melihat google maps. Jarak yang harus di tempuh
kurang lebih empat puluh kilometer lagi. Lumayan. Yang Aku khawatirkan bukanlah
kegelapan, tapi kantuk yang menyerang tiba-tiba, semoga suasana dingin bisa
mengantisipasi hal itu. Sebagai sarana lain untuk mengatasi kantuk, Aku
mengenakan earphone di telinga, mendengarkan music kesukaan keras-keras supaya
konsentrasi tetap terjaga.
Dahulu,
mungkin sekitar lima hari yang lalu. Masih teringat dalam kenangan, berpartisipasi
dalam menyambut tahun baru Bersama teman-teman. Waktu begitu cepat terlewati
hingga tak sadar 2019 telah hadir menendang masa lalu. Awalnya ingin berniat
untuk berbenah, hingga membikin resolusi 2018 berubah menjadi lebih baik. Nyatanya
itu tak terealisasi dan harus rela mundur ke resolusi di tahun 2019. Aku hanya
tersenyum renyah, terundur hingga satu tahun itu bukan perkara bagus. Tapi
inilah yang terjadi, entah sampai kapan hal ini selalu mundur dan mundur,
kuharap aku tidak menunggu sampai mati.
Menyusuri
kenangan di akhir bulan Desember. Temanku dari bandung datang menghampiri
kosanku. Niatnya ngajak main sekaligus melihat moment pergantian tahun di
jogja, sekaligus silaturahmi dengan salah satu sahabatku disana. lagipula Aku
juga belum sekalipun melihat moment itu semenjak kelas lima SD. Jadi dengan
niat yang menggebu Aku dan Faiz berencana bukan merayakan, mungkin lebih
tepatnya hanya sekedar berpartisipasi melihat bagaimana pola orang-orang dalam
menyambut tahun baru.
Di
jogja aku menginap di Kos salah seorang temanku, namanya rohman. Dia sekalian
bakal di ajak ke sana, ke malioboro melihat ratusan kembang api yang menyala di
gelap malam. Tanpa pikir panjang Dia ikut. Karena toh sekarang memang jarang
kita bisa berkumpul bersama seperti masa SMA dulu. Aku sempat berfikir
bahwasanya ini akan menguras kocek cukup dalam. Tapi untuk kali ini mungkin tak
masalah, sekali-sekali.
Lampu
merah sudah berubah hijau. Aku kembali mengegas motor dan memasang kopling ke
gear dua kemudian tiga. Berusaha berkendara dengan santai berkecepatan 60 Km/
jam. Jam telah menunjuk pukul 23.30. waktu cukup larut dan jalanan ke
tawangmangu sudah sangat sepi. Dingin mulai menyusup ke dalam jaket dari ujung
pergelangan tangan. Seperti dugaan bahwa udara akan semakin dingin. Tanjakan
mulai sering terlihat mengarah ke jalur pendakian. Mesin memanas bekerja esktra
keras untuk bisa terus menanjak.
Melihat
langit sesaat, terlihat bintang bertabur acak di langit. Membentuk sebuah
pola-pola yang bisa dimengerti oleh ahli astronomi. Hutan belantara terpampang
di sebelah kiri. Sebelah kanan terdapat jurang, namun dalam suasana terbuka
seperti itu aku bisa melihat kelipan cahaya lampu kota yang berada di bawah. Terlihat
seperti bintang dari atas sini. Mengagumkan. Aku terpukau beberapa saat, sambil
memelankan motor untuk merasakan sensasi ini beberapa sesaat. Aku bersyukur
suasana malam ini cerah, bisa berabe nanti kalau terjadi hujan, yang jelas
udara pasti akan lebih dingin dari sekarang.
Menjelang
tahun baru kami bertiga menggunakan dua motor, berjalan menyusuri jalan
malioboro dimana ribuan orang memadati jalanan menunggu event pergantian tahun.
Pak polisi dengan segenap peralatan bersiap siaga untuk berjaga menghindari
keributan. Suara kembang api menyala di mana-mana membuat pekak telinga. Langit
gelap terasa terang dengan ratusan nyala kembang api yang bersautan di
mana-mana.
Memang
ini jauh dari kata sempurna seperti yang dilakukan di negara lain. Mungkin perlu
adanya manajemen kembang api supaya proses penyalaannya tertata dengan baik
serta membuat pola-pola tertentu yang epic – Walau sebenarnya sia-sia saja
karena cuma berlangsung sesaat – Kalau kembang apinya dinyalakan acak seperti
ini kesannya malah cuma buang-buang uang tanpa ada makna yang jelas. Itulah
yang aku rasakan setelah melihat pesta kembang api pergantian tahun baru kala
itu.
Ribuan
orang berduyun-duyun memadati jalanan sehingga motor kami perlu untuk di
parkirkan. Sesak bergerumun dengan banyak orang yang berlalu Lalang entah hanya
untuk sekedar jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Kami bertiga
berusaha mencari tempat di area komplek taman pintar untuk duduk-duduk disana.
Waktu
sudah menunjuk pukul 00.00 dini hari. Perayaanpun dimulai. Kembang api,
anak-anak yang menjebol pagar, rumput yang awalnya tidak boleh untuk di injak
tapi orang-orang pada tiduran disana sambil melihat langit penuh kembang api.
Sampah-sampah berserakan mengotori jalanan dan taman, harga es teh kampul yang
sampai 10.000/pcs, semua itu yang aku rasakan di perayaan tahun baru malam itu.
hampa, kosong, tak bertujuan, banyak aku lihat manusia dalam kegajean yang
nyata. Bermain hp, bengong, ngobrol ngalur ngidul, jalan muter-muter tak tentu
arah, tidur di trotoar beralas plastik bekas, itupun ngga di buang keesokan
harinya. Mudhorotnya begitu besar, tak ada arti dan kesan yang berarti, toh
malam berlalu seperti biasanya. Hanya berganti angka tahun dan ini yang membuat
orang-orang rela merayakan hal ini dan melewatkan waktu subuhnya? Meski dalam
praktiknya ini menambah rejeki para pedagang yang ada disana.
Hari kian
larut dan Aku belum sampai juga. Udara semakin dingin, jaketku tak mampu
membendung dinginnya bahkan telapak tanganku sudah muali mati rasa. Lampu jalan
mulai jarang, sehingga jalanan hanya menyisakan lampu dari depan motorku,
jarang kendaraan berlalu Lalang, banyak pohon terterta di ruas kanan kiri
jalan. Jalan berliku dengan tanjakan ekstrem, membuatku hanya mempu memasang
gear dua supaya motorku kuat untuk di ajak kompromi.
Aku
berhenti sejenak untuk melihat maps. Untung saja sekarng ada fitur penyimpanan
lokasi, meski tak ada sinyal Aku masih tetap bisa menyalakan maps. Rupanya
kurang dua puluh menit. Aku menghela mafas, mengumpulkan segenap tenaga dan
ambisi untuk kembali melaju menyibak jalanan yang menanjak dan berliku-liku.
Tahun
baru memang tak selamanya menarik, terkadang hanya tidur nyenyak di Kasur,
bermain game sampai larut, atau melakukan kegiatan yang lebih berfaedah seperti
membaca, menulis, atau tilawah – Ketimbang harus mengikuti atau berpartisipasi
dalam acara perayaan tahun baru – Aku akhirnya sadar setelah melihat secara
langsung, betapa sia-sianya, betapa ramainya, betapa tidak ada artinya, hanya
kesengan sesaat namun menimbulkan kerugian yang banyak, waktu, uang, lingkungan,
semua tergerus oleh keindahan petasan yang hanya sebatas lima detik melayang di
angkasa.
“Gile, hari ini uangku habis
banyak banget cuy!”
“alah, sekali-sekali mah gapapa. Jarang
banget lho kita bisa kumpul kayak gini, uang mah bisa dicari, tapi waktu
Bersama dengan teman itu lebih mahal dari itu” sahut teman sejawatku, Faiz. Kata-katanya
membuatku semakin ikhlas setelah kehilangan hampir tiga ratus ribu dalam dua
hari ini.
Aku hanya membalasnya dengan
senyuman.
“iya… ntar lain kali giliran aku
deh yang main ke solo. Tinggal agendakan aja” sahut temanku asal jogja, Rohman.
Sekarang dia kuliah di UII mengambil jurusan arsitektur.
“Wokee siap, aku tungguin nih ya.
Moga aja masih di beri hidup” balasku.
Mereka mengamini bebarengan.
Kedai
kopi malam ini buka hingga suntuk. Aku dan dua kawanku mengobrol ngalur ngidul
tentang permasalahan hidup di kampus, baik itu pelajaran maupun organisasi yang
diikuti. Perbincangan terasa hangat dan nyaman. Sambil sesekali melihat
kebelakang mengenang masa SMA yang berlalu bergitu cepat.
“inget gak pas pertama kali kamu
dapet ucapan cinta dari si Dia?”
“ah, itu ga penting lagi
sekarang, buktinya dia udah punya pacar di kampus lain. Apanya yang katanya
cinta sehidup semati. Didiemin lama aja udah nyerah nyari korban lain” sahutku
jutek.
“kamunya juga ngga ngasih harapan
sama sekali sih, jadinya kan dia kabur”
“tapi biarin lah, lagian aku diam
juga karena ngga suka dengan egonya, menurut gossip yang aku dapet dia udah
pernah pacarana puluhan kali!”
“buset dah!”
“makanya gw ogah lah nerima cewek
cabe kaya gitu, ga level bro”
Perbincangan terus berlanjut
hingga tak sadar kami sudah beranjak memasuki waktu subuh, melakukan sholat
subuh berjamaah di masjid, kemudian kami tertidur pulas sampai siang hari. Hari
itu juga kami izin balik ke kos solo dan berjanji akan bertemu lagi tahun
depan. yah, kesibukan menghalangi kami untuk bertemu kesekian kalinya.
Kesibukan
hidup yang kini menjangkit mengekang tubuh. Membuat beberapa teman dekat dulu
kini terasa jauh, baru tahu rasanya, betapa kangennya dengan apa yang dulu
pernah tercipta, mungkinkah disaat lulus kuliah nanti, Aku juga akan merasa
kangen dengan suasana kampus yang katanya enak tapi kenyataannya begitu liar seperti
rimba? Saat beristri, mungkinkah Aku juga akan merasa kangen dengan masa-masa kejombloan?
ketika sudah mendapat pekerjaan, mungkin Aku akan kangen dengan suasana
menganggur dimana tidak ada tanggungan kerja atau lembur yang menyepetkan mata. Disaat tua, sudah
barang tentu Aku akan kangen dengan indahnya kenangan masa muda yang penuh canda
tawa. Dan di saat aku mati nanti…. Yah, mungkin aku akan menyesal atau kangen
dengan kehidupanku yang dulu pernah aku sia-siakan.
Sudah
kah sampai? Tanyaku pada diri sendiri. Lebih jauh dari yang diduga. Awalnya
kukira hanya di pertengahan saja, ternyata ini sudah jauh naik ke atas bukit.
Segera Aku nyalakan kembali GPS, jaraknya tinggal dua ratus meter lagi. Maps
menunjukkan jalanan kecil yang harus di lewati untuk sampai ke tujuan,
meninggalkan jalan raya yang sunyi.
Suara angin bergetar menggertak dahan. Tak
kutemui orang berlalu Lalang maupun kendaraan. Semua sudah terlelap di rumah
masing-masing menunggu hari esok menyingsing. Aku kembali lajukan motor. Suara
eraman mesin yang panas akibat terlalu lama mendaki. Mungkin esok hari bakal
aku servis, lagian waktu di jogja motor ini juga sudah aku hajar habis-habisan.
Sesampainya
di lokasi, semua telah terlelap. Aku nyalakan hp dan mencoba menelpon ketua
panitia yang ada di dalam. Tak berselang lama ketua panitia memanggilku dan
menyuruhku masuk ke dalam ruangan transit panitia. Udara dingin membuat seluruh
tubuhnya berbalut jaket, mukanya tertutup sarung dan hanya menyisakan celah di
kedua matanya.
“Masyaa Allah, kamu nekat banget
sampai kesini malem-malem!?” tanya dia seakan tak percaya dengan kedatanganku.
“hehe, ngga papa, lagian saya
juga datangnya telat tadi habis selesai acara kampus”
“oh gitu, ayok langsung masuk
kedalam, udara di luar dingin banget”
“okey”
Aku men-standart-kan
motor, menyampirkan helm di sepion, lalu masuk kedalam ruangan dengan tubuh
dingin beku. tanganku kesemutan dan sangat sulit untuk di gerakkan. Untung saja
disana sudah tersedia teh anget yang telah dipersiapkan untuk menghangatkan
tubuhku. Aku bersyukur punya teman sebaik mereka.
7 Januari 2019
M H
A
0 komentar:
Posting Komentar