Kamis, 17 Januari 2019

Novel; Arthof's Journey (Hal 19-21)



            Badanku siap menerima keadaan paling buruk sekalipun. Kakiku sudah menuai ancang-ancang indikasi untuk segera menghindar. Aku yakin, pasti tembakan itu akan benar-benar di arahkan kepadaku. Jadi aku hanya tinggal menghindar sejauh-jauhnya dari titik pijakanku.

“kau sudah siap Arthof” tanya Gael yang saat ini kedengarannya sedang berada di belakangku.
Aku mengacungkan jempol tanda jika sudah siap. Tak berselang lama, tembakan pertama terdengar dan dengan cepat badanku menghindar sejauh-jauhnya ke sisi kiri.
“hahaha.... ini mudah!” kataku teramat senang. Ternyata firasatku benar.
“jangan senang dulu. itu tadi baru pemanasan” kata Gael.
“maksudmu?”
“sekarang bersiaplah. Kali ini tidak akan ada jeda”

“duar... duar... duar... duar...” empat bola meriam terlontar dalam waktu yang hampir bersamaan. Seketika tak ada waktu untuk kaget. Segera aku meliuk-liukkan diri kesegala arah, tanpa henti aku berdo’a agar peluru itu tak membunuhku.

“duag!” satu peluru berhasil mengenai tangan kananku. Terdengar suara remukan tulang. Aku meringis kesakitan. Terjatuh sambil mendekap tangan kananku yang sepertinya telah patah.
“akkh....!!!”

Lucunya tidak ada yang segera menolong. Dan saat itu aku mendengar kembali empat buah meriam itu kembali menggelegarkan suaranya.

“duar... duar... duar... duar...”

Secara logika ini tidak mungkin. Pasti ada yang membantu gael untuk menyumbu keempat meriam itu. tapi tak ada waktu untuk protes. Latihan ini ternyata benar-benar dirancang untuk membunuhku. Aku menghindar tanpa mempedulikan rasa sakit yang mencengkram tanganku. Dan kini benar, keempat meriam itu mengarah tepat di tempatku jatuh.

“oi pak tua! Ternyata anda sedang mencoba membunuhku ya!” aku mencoba melepas ikatan tali yang menutup mataku. Tapi seperti diberi perekat. Kain penutup ini benar-benar sangat sulit untuk dilepas.
“tentu saja tidak. Disini aku hanya berniat untuk melatihmu”
“tapi Anda terlihat seperti ingin membunuhku!” jeritku, geram.
“hohohoho... itu hanya firasatmu. Dan lagi kau salah ketika mencoba berpikir bila aku membantu Gael menyumbu meriamnnya. Dia memang memiliki langkah dan gerakan cepat sehingga bisa melakukannya dengan mudah. Jadi nikmatilah latihanmu untuk sekarang. Dijamin kamu akan merasa asyik”

(asyik ndasmu!)

“duar... duar... duar... duar...” kembali empat meriam itu memuntahkan pelurunya. Segera aku menghindar lagi namun kali ini dua buah meriam berhasil mengenai kaki kiri dan punggungku. Suara remukan tulang kembali terdengar.

“akhh.....” aku meringkuk sambil menahan rasa sakit yang menjadi-jadi.
“ayolah Arthof. Gerakanmu mudah sekali terbaca. Jangan berpikir aku hanya membidiknya tepat di posisi awalmu. Ingatlah bahwa aku juga memprediksi gerakanmu”
“a—apa!?” Aku merintih sambil menahan rasa sakit yang menjadi-jadi.
“disini kita saling memprediksi. Latihan ini dirancang untuk mengukur tingkat ketenanganmu dalam menangani situasi genting. Jika kamu gagal memahami serangan lawan, cepat atau lambat kamu pasti akan segera berakhir. Itulah langkah awal yang harus kamu pelajari dalam pertarungan” kata Gael dengan santainya.
“ta—tapi apa kamu sadar bahwa aku masih seorang pemula. Apa tidak salah jika aku langsung mendapat pengajaran yang keras. Aku ini baru saja sembuh dan sekarang beberapa tulangku sudah patah lagi!” rintihku.

“duar.. duar... duar... duar...” seakan tidak diberi waktu untuk mengeluh, keempat bola peluru besi panas terlontar dari moncong  meriam. Saat itu yang bisa kugunakan untuk berpijak hanyalah kaki kanan. Lekas aku berguling-guling dan menghindar ke arah yang tidak jelas. Dan kali ini aku beruntung jika keempat bola meriam itu tidak ada yang mengenaiku.

“duar... duar... duar... duar...” kembali lagi. badanku sudah mulai lelah berpindah dari satu sisi ke sisi lain. Sebuah keajaiban aku berhasil menghindari keempat peluru itu lagi. mungkin rasa takutku akan terkena peluru itulah yang membuat insting bertahan hidupku berhasil mengelaknya. Atau jangan-jangan Gael memang sengaja membuatnya luput dari sasaran.

“duar... duar... duar... duar...” kali ini aku mencoba merasakan arah bolanya. Dan berusaha menghindar ke arah suara yang kecil.

“duar... duar... duar... duar...” belum sempat aku menghindari tembakan gelombang pertama. Aku tertegun karena begitu cepatnya gelombang kedua datang. Saat itu aku pasrah saja sambil bergerak-gerak kayak orang ngga jelas. Dan keempat bola meriam itu menghantam pundak, perut, pupu, dan yang terakhir mengenai tepat di jidatku, Membuatku akhirnya tak sadarkan diri. rasa sakit ini begitu menggila. Dingin menyebar keseluruh penjuru tubuh. Beku dan kaku, tampaknya aku tengah sekarat menahan ajal yang sebentar lagi menjemput.

            Kesadaranku kabur dan aku pasti akan segera pingsan, bukan, mungkin aku akan segera mati. Kupikir semuanya bakal berhenti, lalu mbah Jiwo atau Gael segera menolongku setelah diriku dibombardir sedemikian rupa. Namun tidak seperti yang di harapkan.

“duar... duar... duar... duar...” aku masih bisa mendengar suara dari meriam yang telah ditembakkan kembali. Kali ini aku benar-benar tidak habis pikir.

(ternyata mereka benar-benar mencoba untuk membunuhku) pikirku dalam ketidak sadaran. Aku pasrah saja menerima nasib ini. Sampai akhirnya semua terasa gelap dan dingin.

***

0 komentar:

Posting Komentar