Badanku siap menerima keadaan paling buruk sekalipun. Kakiku sudah menuai ancang-ancang indikasi untuk
segera menghindar. Aku yakin, pasti tembakan itu akan benar-benar di arahkan
kepadaku. Jadi aku hanya tinggal menghindar sejauh-jauhnya dari titik pijakanku.
“kau
sudah siap Arthof” tanya Gael yang saat ini kedengarannya sedang berada di
belakangku.
Aku
mengacungkan jempol tanda jika sudah siap. Tak berselang lama, tembakan pertama
terdengar dan dengan cepat badanku menghindar sejauh-jauhnya ke sisi kiri.
“hahaha....
ini mudah!” kataku teramat senang. Ternyata firasatku benar.
“jangan
senang dulu. itu tadi baru pemanasan” kata Gael.
“maksudmu?”
“sekarang
bersiaplah. Kali ini tidak akan ada jeda”
“duar...
duar... duar... duar...” empat bola meriam terlontar dalam waktu yang hampir
bersamaan. Seketika tak ada waktu untuk kaget. Segera aku meliuk-liukkan diri
kesegala arah, tanpa henti aku berdo’a agar peluru itu tak membunuhku.
“duag!”
satu peluru berhasil mengenai tangan kananku. Terdengar suara remukan tulang.
Aku meringis kesakitan. Terjatuh sambil mendekap tangan kananku yang sepertinya
telah
patah.
“akkh....!!!”
Lucunya
tidak ada yang segera menolong. Dan saat itu aku mendengar kembali empat buah
meriam itu kembali menggelegarkan suaranya.
“duar...
duar... duar... duar...”
Secara
logika ini tidak mungkin. Pasti ada yang membantu gael untuk menyumbu keempat
meriam itu. tapi tak ada waktu untuk protes. Latihan ini ternyata benar-benar
dirancang untuk membunuhku. Aku menghindar tanpa mempedulikan
rasa sakit yang
mencengkram tanganku. Dan kini benar,
keempat meriam itu mengarah tepat di tempatku jatuh.
“oi
pak tua! Ternyata anda sedang mencoba membunuhku ya!” aku mencoba melepas
ikatan tali yang menutup mataku. Tapi seperti diberi perekat. Kain penutup ini
benar-benar sangat sulit untuk dilepas.
“tentu
saja tidak. Disini aku hanya berniat untuk melatihmu”
“tapi Anda terlihat seperti ingin membunuhku!” jeritku, geram.
“hohohoho...
itu hanya firasatmu. Dan lagi kau salah ketika mencoba berpikir bila aku membantu Gael menyumbu meriamnnya. Dia memang memiliki langkah dan gerakan cepat sehingga
bisa melakukannya dengan mudah. Jadi nikmatilah latihanmu untuk sekarang.
Dijamin kamu akan merasa asyik”
(asyik
ndasmu!)
“duar...
duar... duar... duar...” kembali empat meriam itu memuntahkan pelurunya. Segera
aku menghindar lagi namun kali ini dua buah meriam berhasil mengenai kaki kiri
dan punggungku. Suara remukan tulang kembali terdengar.
“akhh.....”
aku meringkuk sambil menahan rasa sakit yang menjadi-jadi.
“ayolah
Arthof. Gerakanmu mudah sekali terbaca. Jangan berpikir aku hanya membidiknya tepat di posisi awalmu. Ingatlah
bahwa aku juga memprediksi gerakanmu”
“a—apa!?”
Aku merintih sambil menahan rasa sakit yang
menjadi-jadi.
“disini
kita saling memprediksi. Latihan ini dirancang untuk mengukur tingkat ketenanganmu dalam menangani
situasi genting. Jika kamu gagal memahami serangan lawan, cepat atau lambat kamu pasti akan segera berakhir. Itulah langkah awal yang harus kamu pelajari
dalam pertarungan” kata Gael dengan santainya.
“ta—tapi
apa kamu sadar bahwa aku masih seorang pemula. Apa tidak salah jika aku
langsung mendapat pengajaran yang keras. Aku ini baru saja sembuh dan sekarang
beberapa tulangku sudah patah lagi!” rintihku.
“duar..
duar... duar... duar...” seakan tidak diberi waktu untuk mengeluh, keempat bola peluru besi panas terlontar dari moncong meriam. Saat
itu yang bisa kugunakan untuk berpijak hanyalah kaki kanan. Lekas aku
berguling-guling dan menghindar ke arah yang tidak jelas. Dan kali ini aku
beruntung jika keempat bola meriam itu tidak ada yang mengenaiku.
“duar...
duar... duar... duar...” kembali lagi. badanku sudah mulai lelah berpindah dari
satu sisi ke sisi lain. Sebuah keajaiban aku berhasil menghindari keempat peluru itu lagi.
mungkin rasa takutku akan terkena peluru itulah yang membuat insting bertahan hidupku berhasil mengelaknya. Atau jangan-jangan Gael memang sengaja membuatnya luput dari sasaran.
“duar...
duar... duar... duar...” kali ini aku mencoba merasakan arah bolanya. Dan
berusaha menghindar ke arah suara yang kecil.
“duar...
duar... duar... duar...” belum sempat aku menghindari tembakan gelombang
pertama. Aku tertegun karena begitu cepatnya gelombang kedua datang. Saat itu
aku pasrah saja sambil bergerak-gerak kayak orang ngga jelas. Dan keempat
bola meriam itu menghantam pundak, perut, pupu, dan yang terakhir mengenai
tepat di jidatku, Membuatku akhirnya tak sadarkan diri. rasa sakit ini begitu
menggila. Dingin menyebar keseluruh penjuru tubuh. Beku
dan kaku, tampaknya aku tengah sekarat menahan ajal yang sebentar lagi menjemput.
Kesadaranku kabur dan aku pasti akan
segera pingsan, bukan,
mungkin aku akan segera mati. Kupikir
semuanya bakal berhenti, lalu mbah Jiwo atau Gael segera
menolongku setelah diriku dibombardir sedemikian rupa. Namun tidak seperti yang di harapkan.
“duar...
duar... duar... duar...” aku masih bisa mendengar suara dari meriam yang telah
ditembakkan kembali. Kali ini aku benar-benar tidak habis pikir.
(ternyata
mereka benar-benar mencoba untuk membunuhku) pikirku dalam ketidak sadaran. Aku
pasrah saja menerima nasib ini. Sampai akhirnya semua terasa gelap dan dingin.
***
0 komentar:
Posting Komentar