https://wall.alphacoders.com/ |
Badan terbujur lemas dikasur, tak bertenaga walau sudah
meminum proman dua kali. Sebongkah snack pitato, berjajar rapi memenuhi ruang
kamar yang sumpek kedap angin. Hari yang melelahkan, bikin malas dan bikin
penat. Rian menyekap wajahnya berusaha untuk melek walau dipaksa, memeriksa
keadaan dan mendapati jam sudah menunjuk pukul 6
“anjir!” pekiknya, dia
tidak bangun subuh pagi ini. Lekas berlari ke kamar mandi menyalakan kran air
untuk digunakan berwudhu.
Pagi
ini dia murung, seakan warna dunia pudar melempem bagai krupuk yang di ler di
udara terbuka selama tiga hari.
“kenapa?” tanyanya pada
diri sendiri, dia tak kuasa menahan amarah yang semenjak tadi tak bisa di
keluarkan. Tubuhnya kaku dan mati rasa menghadapi rasa malas yang menggebu-gebu
ada di dalam hatinya.
“apa kah ini penyakit?” tanyanya kembali
Tak menentu rasa yang
keluar menimbulkan gejolak mager yang mengakang badan. Badan sulit di gerakkan,
sendi terkunci dengan gembok pakem absolute
“Rian? Kamu masih tiduran
di Kasur? Ini udah jam berapa!? Ayo bangun! Kerja apa kek atau belajar
ketimbang turaturu aja” jerit sang Ibu.
Rian masih mendengkur
sambil mengerukupkan kepalanya di balik bantal, medan magnet yang begitu besar
di dalam Kasur membuat diri itu terus tersedot seperti jurus banso tein dari Pain.
“hmm” dengusnya seakan
tak mau melepaskan kemesraannya kepada Kasur
Sang ibu tak habis pikir,
lekas itu memaksa Rian keluar dari Kasur, menarik tangannya hingga Rian berada
di posisi berdiri dengan muka sayu seperti habis diputusin pacar.
“cepet cuci muka, mandi,
jangan ke Kasur lagi, sekarang sampai jam delapan malam tempat ini terlarang
untukmu” Jelas sang Ibu.
Rian dengan malas
melangkahkan kaki menuju kamar mandi, membasuh muka kemudian mandi sesuai
anjuran sang ibu, meski kotoran serta bau badan terangkat, namun rasa malas
tetap bersemayang pada tubuhnya.
Rian melongo di ruang tamu, sang ibu membuatkan secangkir
kopi pahit agar Rian benar-benar melek dan tersadar dari kesemuan dunia, tentu
saja sang ibu sangat kebingungan mendapati anaknya yang biasanya ceria dan
njingkrak-jingkrak tiap pagi tiba-tiba lesu kayak kurang gizi.
“kamu ini kenapa to? Coba
jelaskan pada ibu apa yang sedang kamu rasakan sekarang?” tanya ibu penuh
pengertian, tangannya di lekatkan di tangan anaknnya, mengambil posisi duduk
sambil terus menatap anaknya yang sekarang menatap depan dengan kekosongan.
Rian tak serta merta
menjawab. Sekilas dirinya berpikir perihal apa yang membuatnya menjadi seperti
ini. Semua seperti kosong, tak ada arti hidup, tak ada harapan, tak ada masa
depan.
“aku…” kali ini Rian
mulai angkat bicara, sang ibu mendekat supaya bisa mendengar suara anaknya dengan
jelas.
“aku merasa hampa, hatiku
tidak memiliki semangat dan tujuan, semua pupus bagai daun kering yang terbakar
api, bersisa abu kemudian terterpa angin, kosong melompong bagai cangkang
kosong, yang terbuang di sebuah padang pasir gersang tak berpenghuni”
Sang ibu hanya terdiam,
melihat anaknya menjadi sangat puitis, tak seperti biasanya yang terkadang
nyolot sana nyolot sini.
“mau periksa ke dokter?”
tanya sang Ibu.
Rian tak memberikan
jawaban, hanya mengangguk pelan sambil tetap menatap kosong ke depan.
Sampailah mereka di seorang psikiater. Tanpa banyak
cincong Rian sudah berhadapan dengan sang dokter. Sang ibu menepi di ruang tunggu
sambil menonton sinetron yang sedang viral di TV.
“Namanya?”
“Rian”
“Umur”
“20 hampir 21”
“apa yang membuat anda
datang kemari?”
“Tidak tau”
“apa yang membuat anda
tidak tau?”
“tidak tau”
“lho” dokter itu menjadi
bingung, Rian tak kalah bingung
“mungkin kita awali dari
awal dulu, apa yang menyebabkan anda menjadi murung?”
“tidak tau”
“apakah kamu tahu
semenjak kapan anda menjadi murung?”
“tidak tau”
“adakah tanda-tanda atau
gejala satu atau dua hari sebelumnya sebelum anda menjadi seperti ini?”
“tidak tau”
“bisakah anda berbicara
selain tidak tau?”
“tidak”
Hening sejenak, sang
dokter rupanya berhasil menyimpulkan sesuatu. Menulis dikertas dengan ekspresi
serius sambil geleng-geleng kepala.
“jadi begini nak Rian”
sang dokter menghela nafas sejenak “sepertinya anda sedang mengalami sebuah
trauma kekinian. Yakni sebuah trauma yang sering dialami para kaum milenial
entah itu karena kekurangan asupan mie instan, kehabisan kuota di tanggal tua,
atau ketika kekasih ditikung oleh teman dekat”
“Ta-tapi dok, saya tidak
mengalami hal seperti itu”
“tentu saja tidak, tadi
itu hanyalah sebuah contoh saja, pada intinya penyakit trauma kekinian itu
tercipta ketika diri sudah berada di puncak, kemudian tiba-tiba jatuh
tersungkur kebawah, bisa diumpamakan dengan grafik penjualan yang bulan lalu
naik maksimal, dibulan ini jatuh ambruk tak bersisa”
Rian mantuk-mantuk paham
dengan penjelasan sang dokter. “jadi pada intinya saya sekarang sedang berada
di masa ketika grafik saya sedang ambruk dok?” tanya Rian, memastikan
sang dokter mengangguk
“rutinitas yang padat juga sangat mempengaruhi, mental nak Rian yang sedang
tinggi tiba-tiba runtuh dan membuat gejala rasa malas dan ingin meninggalkan
semuanya”
“diri saya memang
benar-benar merasa lumpuh dan malas untuk berbuat apapun, kepingin istirahat,
pingin leyeh-leyeh, pingin jalan-jalan menatap pegunungan sekitar, ke pantai
dan berenang disana, ke pemandian air hangat sambil menyetel lagu haroki, dll”
“jadi kamu sudah paham
kan mengenai apa yang sedang kamu rasakan”
Rian mengangguk.
Ahad, March 31, 2019
M H A